• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD). dana Alokasi Khusus (DAK), dana Bagi Hasil (DBH) Pajak/Bukan Pajak terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Tengah tahun 2003-2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD). dana Alokasi Khusus (DAK), dana Bagi Hasil (DBH) Pajak/Bukan Pajak terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Tengah tahun 2003-2011"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD),

DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), DANA BAGI HASIL (DBH)

PAJAK/BUKAN PAJAK TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI

DI KABUPATEN/KOTA PROPINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2003-2011

SKRIPSI

DiajukankepadaFakultasEkonomidanBisnis

UntukMemenuhiSyarat-SyaratGunaMeraihGelarSarjanaEkonomi

Disusun oleh:

WULAN FAUZYNI NIM. 109084000030

JURUSAN ILMU EKONOMI & STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

ii

ANALISIS PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD),

DANA ALOKASI KHUSUS (DAK), DANA BAGI HASIL (DBH)

PAJAK/BUKAN PAJAK TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI

DI KABUPATEN/KOTA PROPINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2003-2011

Skripsi

DiajukankepadaFakultasEkonomidanBisnis

UntukMemenuhiSyarat-SyaratGunaMeraihGelarSarjanaEkonomi

Disusun oleh:

WULAN FAUZYNI NIM. 109084000030

Dibawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Pheni Chalid, SF., MA., Ph.D UtamiBaroroh,S.Pi,M.Si NIP.19560505 200012 1 001

JURUSAN ILMU EKONOMI & STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF

HariiniRabu, 10 Juli 2013

telahdilakukanUjianKomprehensifatasmahasiswa : 1. Nama : Wulan Fauzyni

2. NIM : 109084000030

3. Jurusan : Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

4. Judul Skripsi : Analisis Pengaruh PAD, DAK dan DBH Pajak / Bukan Pajak

Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di

Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2011

Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang bersangkutan selama proses ujian komprehensif, maka diputuskan bahwa mahasiswa tersebut di atas dinyatakan LULUS dan diberi kesempatan untuk melanjutkan ke tahap Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Rabu 10 Julil 2013

1. Lukman, Dr, M.Si

NIP. 19640607 200302 1 001

2. Zuhairan Y. Yunan, S.E, M.Sc NIP. 198004162009121002

(4)

iv

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI

Hariini, Selasa 27 Agustus 2013 telahdilakukanUjianSkripsiatasmahasiswa : 1. Nama : Wulan Fauzyni

2. NIM : 109084000030

3. Jurusan : Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

4. Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Khusus

(DAK), Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten/Kota Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003-2011

Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang bersangkutan selama proses ujian skripsi, maka diputuskan bahwa mahasiswa tersebut di atas dinyatakan LULUS dan skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 27 Agustus 2013

1. Prof. Dr. Abdul Hamid, MS

NIP. 19570617 198503 1 002

2. Lukman, Dr, M.Si

NIP. 19820710 200912 2 002

3. Fitri Amalia M.Si

NIP. 19820710 200912 2 002

4. Pheni Chalid, Ph.D

NIP. 19560505 200012 1 001

(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Yang bertandatangan di bawahini,

Nama : Wulan Fauzyni

No IndukMahasiswa : 10908400030 Fakultas : EkonomidanBisnis

Jurusan : Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan

Denganinimenyatakanbahwadalampenulisanskripsiinisaya:

1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan mempertanggungjawabkan

2. Tidak melakukan plagiat terhadap naskah orang lain

3. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau tanpa izin pemilik karya

4. Tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data

5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggungjawab atas karya ini

Jika di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya dan melalui pembuktian yang saya dapat pertanggungjawabkan, ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan diatas, maka saya siap untuk dikenakan sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN SyarifHidayatullah Jakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 8 Agustus 2013

(6)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama lengkap : Wulan Fauzyni

2. Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 02 Oktober 1991

3. Alamat : Jl. Swasembada Timur XXI No. 15a RT 018/005 Tg. Priok, Jakarta Utara

4. Telepon : 085711196965

5. Email : wulan.fauzyni@yahoo.com

II. PENDIDIKAN

1. SDS HANG TUAH I Tahun 1997-2003

2. SMP N 95 Jakarta Tahun 2003-2006

3. SMA N 72 Jakarta Tahun 2006-2009

4. S1 Ekonomi Akuntansi UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2009-2013

III. PENDIDIKAN NON FORMAL

1. Lembaga Bahasa & Pendidikan Profesional Asia America, 2004-2007

IV. PENGALAMAN ORGANISASI

1. Tim Olimpiade Ekonomi SMA N 72 Jakarta sampai tingkat DKI Jakarta periode 2007-2009.

V. SEMINAR DAN WORKSHOP

(7)

vii

2. ―PelatihanAlatAnalisisPerencanaan Pembangunan‖, diselenggarakanolehFakultasEkonomidanBisnis UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 5 Oktober 2011.

VI. LATAR BELAKANG KELUARGA

1. Ayah : Kurdianto

2. Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 27 September 1959

3. Ibu : Hazni Hayati

4. Tempat Tanggal Lahir : Padang, 10 Desember 1964

(8)

viii ABSTRACK

The role of fiscal decentralization in economic growth has become the attention ofmany countries, including Indonesia. Since 2001, the Indonesian government has effectively run fiscal decentralization policy as a broad strategy to accelerateregional development. This fiscal decentralization policy has also brought majorchanges in revenue and expenditure growth districts in the province of CentralJava.

This study aims to see the influence of fiscal decentralization on economic growthin the province of Central Java. The analysis focused on indicators of fiscaldecentralization of expenditure, which is the ratio of total local government spending to total central government expenditure. This study uses panel data and analytical tools of LeastSquare Dummy Variable (LSDV) or also known as the Fixed Effects Model(FEM).

The study shows that there is a hump-shaped form (a hump-shaped relation) in theinfluence of fiscal decentralization in the province of Central Java. This means thatwhen the degree of fiscal decentralization is not too high, then the fiscaldecentralization policy will bring positive impact on economic growth, but thedegree of decentralization is too high, fiscal decentralization policies will onlyhinder economic growth. Government with a high degree of fiscal decentralizationshould be focus to do more efficiency and effectiveness of government spendingbecause it would provide better benefits for regional economic growth.

(9)

ix ABSTRAK

Peran Desentralisasi fiskal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi telah menjadiperhatian banyak Negara, termasuk Indonesia. Sejak 2001, secara efektif pemerintah Indonesia telah menjalankan kebijakan desentralisasi fiskal yang luas sebagai strategi untuk mempercepat pembangunan daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal ini juga telah membawa perubahan besar dalam perkembangan penerimaan dan belanja daerah kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah.

Studi ini bertujuan untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi Jawa Tengah. Analisis desentralisasi fiskal difokuskan pada indikator pengeluaran, yang merupakan rasio total pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah pusat Studi ini menggunakan data panel dan alat analisis Least Square Dummy Variabel (LSDV) atau dikenal juga sebagai Fixed Effect Model (FEM).

Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh desentralisasi fiskal di provinsi Jawa Tengah. Artinya pada saat derajat desentralisasi fiskal belum terlampau tinggi, maka kebijakan desentralisasi fiskal akan membawa pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun pada derajat desentralisasi fiskal terlampau tinggi, kebijakan desentralisasi fiskal justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dengan derajat desentralisasi fiskal tinggi sebaiknya justru lebih berfokus untuk melakukan kebijakan efisiensi dan efektifitas pada anggaran pengeluaran pemerintah karena akan memberikan manfaat yang lebih baik bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Assalamua’alaikumWr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT, Al-Wahhab Yang Maha Penganugrah, yang telah memberikan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman, yang telah membimbig umatnya menuju jalan kebenaran. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimakasih atas bantuan, bimbingan, dukungan, semangat dan doa, baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda terkasih, yang selalu mencurahkan perhatian, cinta dan sayang, dukungan serta doa tiada henti yang tertuju hanya untuk ananda, semoga hari ananda semakin mampu membuat bangga Ayah dan ibunda. 2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan

Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Lukman,M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Ibu Utami Baroroh, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Ekonomi Studi

Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Pheni Chalid, SF., MA., Ph.Dselaku Dosen Pembimbing Skripsi I

yang telah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih atas ilmu yang telah Bapak berikan selama ini.

(11)

xi

7. Seluruh dosen yang telah memberikan ilmu dan karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

8. Saudari – saudariku Nia Andriani dan Keisha Agha Mawarni yang selalu membantu dan menemani saat susah dan gembira, terimakasih buat semuanya.

9. Keluargaku Iih dan Om Agung yang slalu memberikan dukungan yang sangat berarti.

10.Sahabatku yang paling utama yang selalu mendukung baik dalam susah maupun senang Devi Arsenauli Pane, terimakasih untuk dukungan dan kasih sayang selama ini.

11.Achmad Aditya Ramadhan yang selalu mendukung dan memberikan semangat dan kasih sayang yang sangat berarti, terimakasih buat kesabarannya selama ini selalu menemani dan menyemangati.

12.SahabatkuInes Lestari, Nyakbit Bungong Tanmala, Rifka Kusumawardani, Virgin Ariana Pramono, Aristyasani Putri, Hikmah Nur Azza, Indah Sukma Ramdhini, Nida Khofiya, Annisya Sabrina kami dipertemukan dalam ikatan silahturahmi yang indah, terimakasih atas dukungan dan doa yang telah tercurahkan selama kita bergabung yang diberi nama dengan Holly.

13.Sahabatku Yusrina Rahma Dewi dan Syarifah Aini, terimakasih untuk semangat dan keceriaan selama ini yang sangat berarti sekali.

14.Sahabatku dari SMP Sinta Kusumawati, Siti Sarah, Indri Dwi Handayani, Marcelina Febriani terimakasih atas semangat dan dukungan kalian.

15.Sahabat seperjuanganku,Imah Astinia, Andre Widyantoro, Dimas Aditya Susanto, Fuad Nurcholis, Annisa Nurfatimah, Ratna Palamani, Reydit Tya, Juni Manisa, Sartika Dewi, Mage, Putri, Ka Endah terimakasih atas dukungan yang diberikan kepada penulis.

16.Sahabatku Madridista di seluruh Indonesia, terimakasih untuk semangatnya. 17.Gonzalo Higuain yang selalu memberikan dukungan dan semangat yang

(12)

xii

18.Seluruh Rekan IESP Pembangunan dan Syariah UIN 2009, terimakasih selama empat tahun kita bersama – sama menghadapi kehidupan kampus yang penuh warna.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.

Wassalamua’alaikumWr. Wb.

Jakarta, 1 Juli 2013

(13)

xiii DAFTAR ISI

Keterangan Halaman

Halaman Judul ... i

Lembar pengesahan Skripsi ... ii

Lembar pengesahan Ujian Komprehensif ... iii

Lembar Pengesahan Ujian Skripsi ... iv

Lembar Pernyataan keaslian Karya Ilmiah ... v

Daftar Riwayat Hidup ... vi

Abstrack ... viii

Abstrak ... ix

Kata pengantar ... x

Daftar Isi ... xiii

Daftar Tabel ... xvii

Daftar Gambar ... xviii

DaftarLampiran ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangPenelitian ... 1

B. PerumusanMasalah ... 15

C. TujuanPenelitian ... 17

C. ManfaatPenelitian ... 18

(14)

xiv

1. Pertumbuhan Ekonomi ... 20

2. Desentralisasi Fiskal... 24

3. Pendapatan Asli Daerah ... 34

4. Dana Alokasi Khusus ... 36

5. Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak ... 39

6. Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan... ... 40

B. Penelitian Terdahulu ... 42

C. KerangkaBerpikir ... 49

D. Hipotesis ... 52

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. RuangLingkupPenelitian ... 53

B. MetodePenentuanSampel ... 53

C. MetodePengumpulan Data ... 54

1. Sumber Data ... 54

2. MetodePengumpulan Data ... 55

a. Library Research ... 55

b. Internet Research ... 55

D. MetodeAnalisis Data ... 55

1. Metode Data Panel ... 56

2. Permodelan Data Panel ... 57

a. Polled Least Squared... 57

b. Model EfekTetap (Fixed Effect)... 58

(15)

xv

3. Pemilihan Model Data Panel ... 59

a. PLS vs FEM (Uji Chow) ... 60

b. FEM vs REM (Uji Hausman) ... 61

4. Model Empiris ... 63

5. UjiAsumsiKlasik ... 63

a. UjiNormalitas ... 64

b. UjiMultikolinearitas ... 64

c. UjiHeterokedastisitas... 66

d. Uji Autokorelasi ... 66

6. UjiHipotesis ... 68

a. Uji Statistik t ... 68

b. Uji Statistik F ... 69

c. KoefisienDeterminasi R2 ... 70

E. OperasionalVariabel ... 71

1. Variabeldependen ... 71

2. Variabelindependen... 71

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. SekilasGambaranUmumObjekPenelitian ... 74

B. PenemuandanPembahasan ... 76

1. AnalisisDeskriptif ... 76

a. AnalisaDeskriptif PDRB di Jawa Tengah ... 76

b. AnalisaDeskriptif PAD di Jawa Tengah ... 78

(16)

xvi

d. AnalisaDeskriptifDBH diJawa Tengah ... 80

2. Estimasi Model Data Panel ... 81

a. Pooled Least Square ... 81

b. Fixed Effect Model ... 82

c. PLS vs FEM (Uji Chow) ... 82

d. Random Effect Model ... 83

e.. FEM vs REM (UjiHausman) ... 84

2. UjiAsumsiKlasik ... 85

a. UjiNormalitas ... 85

b. UjiMultikolinearitas ... 86

c. UjiHeterokedastisitas ... 86

d. UjiAutokorelasi ... 87

3. PengujianHipotesis... 89

a. Uji t danInterpretasiHasilAnalisis ... 89

b. Uji F danInterpretasiHasilAnalisis ... 90

b. UjiKoefisienDeterminasi... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Nomor Keterangan Halaman

1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi di daerah Jawa Tahun

2005-2009 5

1.2 Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2005-2009

6

1.3 Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Menurut

Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2005-2009 9 1.4 Pertumbuhan Dana Alokasi Khusus Menurut

Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2005-2009 11 1.5 Pertumbuhan Dana Bagi Hasil Pajak/ Bukan Pajak

Menurut Kabupaten/Kota Jawa Tengah Tahun 2005-2009

13

1.6 Peresentase DAK dengan Pertumbuhan Ekonomi 14

2.1 Penelitian Terdahulu 47

3.1 Operasional Variabel Penelitian 73

4.1 Pooled Least Square 82

4.2 Fixed Effect Model 82

4.3 F-Restricted 83

4.4 Random Effect Model 83

4.5 Chi-Square 84

4.6 Correlation Matrix 86

4.7 Uji White Cross-Section 87

4.8 Uji Autokorelasi 88

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Keterangan Halaman

2.1 Kerangka Berpikir 51

4.1 PDRB 77

4.2 PAD 78

4.3 DAK 80

4.4 DBH 80

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Keterangan Halaman

1. Data (Dalam Jutaan Rupiah) 102

2. Pooled Least Square 104

3. Fixed Effect Model 106

4. Random Effect Model 109

5. Uji Chow 112

6. Chi Square 114

7. Uji Normalitas 115

8. Uji Multikolinearitas 115

9. Uji Heterokedastisitas 116

(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini berdasarkan pada Penelitian Pujiati Amin yang berjudul Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era Desentralisasi Fiskal yang menggunakan alat analisis yaitu Generalized

Least Squares (GLS), dengan pendekatan fixed effect.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum

digunakan dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran atas perkembangan atau kemajuan perekonomian dari suatu negara atau wilayah karena berkaitan erat dengan

aktivitas kegiatan ekonomi masyarakat khususnya dalam hal peningkatan produksi barang dan jasa. Peningkatan tersebut kemudian diharapkan

dapat memberikan trickle down effect karena itu, sudah sewajarnya peningkatan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target pembangunan baik di tingkat nasional maupun daerah. Untuk mengukur

pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional digunakan Produk Domestik Bruto (PDB) riil sedangkan untuk tingkat daerah digunakan Produk

Domestik Regional Bruto (PDRB) riil (M. Rizal, 2013:2).

Di Indonesia, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah mulai hangat dibicarakan sejak bergulirnya era reformasi pasca runtuhnya

(21)

2 sentralistis yang selama ini dianut pemerintahan presiden Soeharto dianggap tidak mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi

masyarakat luas sehingga memunculkan tuntutan kewenangan yang lebih besar dari daerah untuk melaksanakan pembangunan.

Dalam perkembangan bangsa Indonesia pada masa orde baru berbagai kebijakan seperti sentralisasi diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan sentralisasi yang dilakukan pemerintah pada masa orde baru kenyataannya hanya mampu mensejahterakan beberapa daerah atau

beberapa golongan saja, serta menyebabkan ketimpangan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Kebijakan sentralisasi tidak dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah perlu membuat kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah.

Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal sudah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1975 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Namun dalam prakteknya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal

selama pemerintahan orde baru belum dapat mengurangi ketimpangan vertikal dan horisontal, yang ditunjukkan dengan tingginya derajat

sentralisasi fiskal dan besarnya ketimpangan antar daerah dan wilayah (Uppal dan Suparmoko, 1986; Sjahfrizal, 1997).

Desentralisasi fiskal secara resmi berlaku mulai 1 januari 2001

(22)

3 RI No. 33 tahun 2004. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 sumber penerimaan yang digunakan untuk pendanaan pemerintah daerah dalam

pelaksanaan desentralisasi fiskal meliputi: Pendapatan Asli daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Bagi Hasil

Pajak (BHP), pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Pemerintah daerah harus dapat meningkatkan penerimaannya untuk membiayai kegiatan pembangunan, namun di era desentralisasi fiskal

harapan itu belum optimal yang tercermin di dalam pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto.

Melalui otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan prioritas pembangunan.

Diharapkan dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat lebih memeratakan pembangunan sesuai dengan keinginan daerah untuk

mengembangkan wilayah menurut potensi masing-masing.

Keputusan menerapkan Desentralisasi fiskal menuntut adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah. Berdasarkan teori Tiebout

Model yang menjadi landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah

dalam melayani kebutuhan barang publik dengan lebih baik dan efisien. Penyebab mendasar dari peningkatan kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih mengetahui kebutuhan dan karakter

(23)

4 akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya guna

(Sumarsono dan Utomo, 2009).

Provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten/kota memiliki

tingkat pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000. Provinsi Jawa Tengah dengan kapasitas fiskal yang tinggi

serta didukung oleh potensi-potensi sumber daya yang dimiliki seharusnya dapat memaksimalkan keuntungannya tersebut untuk dapat bersaing

dengan provinsi yang lain. Kapasitas fiskal merupakan kemampuan yang dimiliki daerah dalam proses pembangunan yang meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, tingkat industri, serta kemampuan lain daerah

dalam upaya meningkatkan jumlah PAD yang akan diterima.

Ditambah dengan jumlah kabupaten/kota yang terbilang cukup

besar yakni sejumlah 35 kabupaten/kota yang secara administratif masuk didalam pemerintahan daerah provinsi Jawa Tengah. Akan tetapi kondisi riil yang dapat dicapai belum terlalu menampakkan hasil yang memuaskan

(24)

5 Tabel 1.1

Laju Pertumbuhan Ekonomi

di Daerah Jawa Tahun 2005-2009 (persen)

Sumber: BPS, Jawa Tengah Dalam Angka (berbagai tahun)

Berdasarkan Tabel 1.1 diketahui bahwa provinsi Jawa Tengah

memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi tertinggi di bandingkan dengan daerah lain yakni sebesar 5,76 %. Posisi kedua ditempati oleh Provinsi Jawa Timur dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,73 %.

Kemudian Jawa Barat diposisi ketiga dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,59 % , dan yang berada diposisi terakhir yakni DIY

dengan rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,41%.

Jawa Tengah memiliki pertumbuhan ekonomi yang berfluktuasi dari tahun 2005-2009. Sama halnya dengan provinsi di pulau Jawa lainnya

yang cenderung mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berfluktuatif. Provinsi Jawa Tengah dengan kapasitas fiskal yang tinggi

serta didukung oleh potensi-potensi sumber daya yang dimiliki seharusnya dapat memaksimalkan keuntungannya tersebut untuk dapat bersaing dengan provinsi yang lain.

Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata Pertumbuhan

Jawa Barat 5,6 6,02 6,48 5,84 4,29 5,59

Jawa Tengah 5,35 6,33 6,59 5,46 4,71 5,76

DIY 4,73 3,7 4,31 5,02 4,39 4,41

(25)

6 Tabel 1.2

Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2009 (jutaan)

Sumber: BPS, Jawa Tengah Dalam Angka (berbagai tahun)

Kabupaten/ Kota 2005 2006 2007 2008 2009

(26)

7 Dari tabel 1.2 menunjukkan pertumbuhan PDRB di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami fluktuasi selama

pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2009. Pertumbuhan PDRB tertinggi pada Kabupaten Cilacap pada tahun 2009, diikuti dengan

Kabupaten Kudus, Kabupaten Semarang, dan Kota Semarang. PDRB yang paling rendah terdapat di Kota Magelang dan Kota Salatiga. Kenaikan yang kadang naik dan turun ini menunjukkan kinerja ekonomi

yang kurang baik, hal ini menunjukkan bahwa era desentralisasi fiskal di mana daerah diberi kewenangan dalam mengatur keuangan daerahnya

ternyata banyak kabupaten/kota yang belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam PDRB-nya meskipun PDRB bukan satu-satunya indikator dalam Pembangunan.

Faktor-faktor yang menyebabkan bervariasinya pendapatan regional bruto daerah di masing-masing kabupaten/kota di Propinsi Jawa

Tengah juga cukup bervariasi, antara lain pengembangan sektoral yang berbeda antar daerah, jumlah penduduk dan tenaga kerja yang berbeda antar daerah, sumber-sumber penerimaan yang berbeda antar daerah, dan

lain sebagainya.

Peran pemerintah daerah dalam melaksanakan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak terlepas dari pengaruh gejolak ekonomi dan politik yang masih terjadi beberapa tahun terakhir ini. Pemerintah menjadi motor utama dalam menggerakkan perekonomian

(27)

8 semakin meningkat mendorong pemerintah daerah untuk mengupayakan peningkatan penerimaan daerah dengan memberi perhatian kepada

perkembangan pendapatan asli daerah. Komponen PAD tersebut secara penuh dapat digunakan oleh daerah sesuai dengan kebutuhan dan prioritas

daerah, di samping memperlihatkan adanya upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan daerah. Hal ini semakin leluasa dilakukan oleh daerah kabupaten/kota setelah

berlakunya otonomi daerah. Sumber penerimaan lainnya yang dapat digunakan untuk membiayai belanja daerah adalah penerimaan bagi hasil

pajak dan bukan pajak, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), bagi hasil pajak dan bantuan keuangan dari pemerintah daerah Provinsi, serta lain-lain pendapatan yang sah.

Komponen-komponen tersebut juga merupakan sumber penerimaan daerah yang digunakan untuk pendanaan pemerintah daerah

menurut UU No. 33 tahun 2004 dalam pelaksanaan desentralisasi. Komponen desentralisasi fiskal yang pertama yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD merupakan salah satu sumber penerimaan daerah

yang juga merupakan modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah. PAD bisa dijadikan

(28)

9 Tabel 1.3

Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2009 (jutaan)

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009

Kab.Purbalingga 40.755,77 47.694,606 52.727,439 63.795,293 88.177,001 Kab.Banjarnegara 34.210,831 43.900,257 44.876,89 46.528,34 60.636,815 Kab.Kebumen 31.707,792 92.533,197 54.260,879 58.599,425 63.016,364 Kab.Wonosobo 22.335,686 30.618,482 36.582,594 38.158,244 46.324,944 Kab.Wonogiri 25.589,410 47.864,47 50.329,495 54.129,295 49.946,258 Kab. Rembang 23.301,041 39.998,29 42.255,838 51.150,558 56.887,895 Kab. Batang 27.784,725 31.030,14 30.968,198 41.192,714 44.643,602 Kota Salatiga 27.784,724 32.449,466 42.198,433 49.653,433 52.911.035

Sumber: BPS, Jawa Tengah Dalam Angka (berbagai tahun)

Tabel 1.3 menunjukkan bahwa pertumbuhan PAD yang diperoleh pada saat pelaksanaan desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Tengah tahun

2005-2009 mengalami fluktuasi. Hal ini menunjukkan bahwa pemungutan yang dilakukan oleh lembaga terkait di Provinsi Jawa Tengah cukup baik. Meningkatnya realisasi PAD ditopang oleh besarnya pendapatan

pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah disektor Pajak Daerah yang memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PAD.

Berdasarkan penghitungan persentase DAK dan Pertumbuhan ekonomi maka penelitian ini difokuskan pada 8 Kabupaten/Kota yaitu: Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen,

Kabupaten Wonosobo, Wonogiri, Kabupaten Rembang, Kabupaten Batang, Kabupaten Salatiga dengan melalui perhitungan persentase yang

(29)

10 presentase PDRB. Peneliti melihat apakah dengan DAK yang tinggi pertumbuhan ekonominya juga akan tinggi. Hasilnya 8 Kabupaten tersebut

memiliki DAK yang paling tinggi dan dengan adanya transfer DAK yang tinggi diharapkan dapat terjadi pemerataan ekonomi. Pengambilan sampel

8 berdasarkan metode deskriptif : minimal 10% populasi, bila pupulasi relative kecil, minimum 20% dari populasi (Puguh Suharso, 2009:60).

Penerimaan PAD pada saat pelaksanaan desentralisasi fiskal di

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2009 mengalami peningkatan, namun peningkatan pertumbuhan PDRB seperti yang

diharapkan dari keputusan penerapan desentralisasi fiskal belum terpenuhi. Hal ini bisa dilihat dari data pertumbuhan PDRB tabel 1.1 yang menunjukkan pertumbuhan PDRB beberapa daerah masih mengalami

fluktuasi ini bisa disebabkan eksploitasi PAD yang berlebihan.

Komponen desentralisasi fiskal yang kedua yaitu Dana Alokasi

Khusus. Dana alokasi khusus (DAK) adalah adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan

Pemerintahan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Berdasarkan ketentuan Pasal 162 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun

2004 yang mengamanatkan agar DAK ini diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Pelaksanaan DAK sendiri

(30)

11 dan perbaikan sarana dan prasaran fisik pelayanan masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang,

dan tidak termasuk penyertaan modal. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian,

pelatihan, dan perjalanan dinas seperti pelaksanaaan penyusunan rencana dan program, pelaksanaan tender pengadaan kegiatan fisik.

Tabel 1.4

Pertumbuhan Dana Alokasi Khusus Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2009 (jutaan)

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009

Kab.Purbalingga 13.000 27.440 39.606 51.047 51.760,289 Kab.Banjarnegara 13.140 31.865 44.339 58.868 65.960

Kab.Kebumen 13.480 29.060 52.203 66.405 74.226

Kab.Wonosobo 11.980,176 45.890 45.427,7 57.280 67.019

Kab.Wonogiri 13.130 32.410 54.306 70.627 91.746,775

Kab. Rembang 11.280 45.910 41.005 51.071 56.663

Kab. Batang 12.150 26.168,238 44.628 55.568 63.377 Kota Salatiga 7.060 26.810 22.196,51 31.028 32.044 Sumber: BPS, Jawa Tengah Dalam Angka (berbagai tahun)

Tabel 1.4 menunjukkan bahwa saat pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2009 penerimaan daerah yang bersumber dari dana

perimbangan yang berupa Dana Alokasi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun pertumbuhan PDRB justru mengalami fluktuasi.

(31)

12 kemandirian daerah menurun sehingga pertumbuhan PDRB yang diharapkan meningkat justru mengalami fluktuasi.

Dana alokasi khusus merupakan dana yang dialokasikan dari APBN ke Daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan khusus yang

merupakan urusan daerah dan juga prioritas nasional antara lain: kebutuhan kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi atau prasarana, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer,

dll.

Menurut UU yang baru (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004),

wilayah yang menerima DAK harus menyediakan dana penyesuaian paling tidak 10% dari DAK yang ditransfer ke wilayah, dan dana penyesuaian ini harus dianggarkan dalam anggaran daerah (APBD).

Meskipun demikian, wilayah dengan pengeluaran lebih besar dari penerimaan tidak perlu menyediakan dana penyesuaian. Tetapi perlu

diketahui bahwa tidak semua daerah menerima DAK karena DAK bertujuan untuk pemerataan dan untuk meningkatkan kondisi infrastruktur fisik yang dinilai sebagai prioritas nasional.

Komponen desentralisasi fiskal yang ketiga yaitu Dana Bagi Hasil. Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan

(32)

13 Tabel 1.5

Pertumbuhan Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2009 (jutaan)

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009

Kab.Purbalingga 15.574,967 21.331,241 23.601,577 37.021,773 39.105,473 Kab.Banjarnegara 17.416,889 24.814,687 37.097,011 40.257,529 34.151,938 Kab.Kebumen 19.341,976 25.074,29 29.935,559 36.768,51 37.756,956 Kab.Wonosobo 13.640,72 23.094,19 30.866,038 33.070,809 40.498,277 Kab.Wonogiri 20.194,907 25.267,63 30.893,55 36.821,688 38.607,215 Kab. Rembang 16.732,996 21.185,48 34.372,202 35.011,845 37.826,499 Kab. Batang 16.627,479 24.147,357 30.285,485 34.571,222 36.454,378 Kota Salatiga 12.025,852 13.329,66 18.466,485 20.685.561 24.834,796 Sumber: BPS, Jawa Tengah Dalam Angka (berbagai tahun)

Dari tabel 1.5 menunjukkan Dana Bagi Hasil yang diterima setiap daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa tengah tahun 2005-2009 berbeda.

Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme bagi hasil berdasarkan kapasitas Sumber Daya Alam dan/atau pusat bisnis yang dimiliki daerah. Pengoptimalan perolehan Dana Bagi Hasil yang dianggap sebagai modal

bagi kepentingan pembangunan daerah akan mempercepat pertumbuhan PDRB (Pujiati, 2008).

Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak bersumber dari pedapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan presentase tertentu (Ahmad Subekan, 2012:50). Meskipun Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan

Pajak bukan yang utama dalam proses mempercepat pertumbuhan tetapi berperan penting dalam meningkatkan presentase pertumnuhan yang ada

(33)

14 Tabel 1.6

Persentase DAK Dengan Pertumbuhan Ekonomi (persen)

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 2009

Kab.Purbalingga 0,810498021 1,359217847 1,847513453 2,261325573 2,171140276 Kab.Banjarnegara 0,576918553 1,340727586 1,776554688 2,246879139 2,395117623 Kab.Kebumen 0,570126898 1,180908631 2,02961601 2,440235193 2,624315139 Kab.Wonosobo 0,762899584 2,830737451 2,708079057 3,289782936 3,706296393 Kab.Wonogiri 0,536242761 1,281609316 2,043831088 2,549310131 3,161961964 Kab. Rembang 0,617892392 2,382999883 2,050300068 2,439605085 2,589978274 Kab. Batang 0,634131529 1,29398307 2,132276918 2,560908979 2,815983576 Kota Salatiga 0,977752746 3,564452277 2,800183893 3,728632824 3,685535661

Dari hasil persentase Tabel 1.6 menunjukkan bahwa kabupaten

Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Rembang, Kabupaten

Batang, Kabupaten Salatiga merupakan 8 Kabupaten yang memiliki presentase DAK tertinggi dan dengan adanya transfer DAK yang tinggi diharapkan dapat terjadi pemerataan ekonomi dan kesejahteraan sosial di

Provinsi Jawa Tengah sehingga tujuan dari pertumbuhan ekonomi dapat dicapai.

Dengan pencapaian tersebut, diharapkan keseluruhan daerah dapat mengoptimalkan komponen–komponen dan kemampuan yang dimiliki sehingga pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan menggunakan anggaran

(34)

15 bagi daerah tersebut untuk menggali potensi-potensi yang dimiliki dan meningkatkan kemandirian soal pendanaan daerah.

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka judul dalam penelitian ini yaitu “Analisis Pengaruh PAD, DAK dan DBH PAJAK/BUKAN

PAJAK Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah tahun 2003-2011”.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini mengambil obyek penelitian di Kabupaten/Kota di

Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2003-2011. Dari data yang ada menunjukkan PDRB di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah pada periode 2002–2011 mengalami fluktuasi. Hal ini tidak sesuai dengan apa

yang diharapkan dari keputusan penerapan desentralisasi fiskal.

Dengan adanya penerimaan pendapatan daerah dapat menambah

akumulasi modal yang merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Namun kenyataanya hanya beberapa daerah saja yang mengalami pertumbuhan PDRB secara konsisten. Terkait hal tersebut

maka pertanyaan penelitian yang dapat dikemukakan adalah bagaimana dampak pelaksanaan desentraliasi fiskal terhadap PDRB di daerah

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2003-2011 melalui Sumber penerimaan daerah yang digunakan untuk pendanaan pemerintah daerah menurut UU No. 33 tahun 2004 dalam pelaksanaan desentralisasi

(35)

16 (DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH). Apakah dengan PAD yang tinggi maka PDRB akan meningkat tetapi dengan DAK yang tinggi maka PDRB

juga akan meningkat, melalui perhitungan persentase yang ada dengan membandingkan persentase DAK dibandingkan dengan presentase PDRB.

Dengan DAK yang tinggi pertumbuhan ekonominya juga akan tinggi. Hasilnya 8 Kabupaten tersebut memiliki DAK yang paling tinggi dan dengan adanya transfer DAK yang tinggi diharapkan dapat terjadi

pemerataan ekonomi sehingga tujuan utama dari pertumbuhan ekonomi yaitu kesejahteraan ekonomi dapat dicapai dengan pengalokasian yang

sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ada. Dengan melihat Dana Bagi hasil pajak dan bukan pajak apakah dengan mengoptimalkan perolehan Dana Bagi Hasil pajak dan bukan pajak yang dianggap sebagai modal bagi

kepentingan pembangunan daerah dapat mempercepat pertumbuhan, walaupun pada kenyataannya dana bagi hasil pajak dan bukan pajak bukan

prioritas utama pemerintah dalam proses mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Komponen-komponen desentralisasi fiskal menurut Menteri

Keuangan No. 224 / PMK.07 tahun 2008, sehingga perlu diteliti :

1. Sejauhmana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD)

(36)

17 2. Sejauhmana pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa

Tengah tahun 2003-2011?

3. Sejauhmana pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak/Bukan

Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2003-2011?

4. Sejauhmana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana

Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak/Bukan Pajak Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di

Provinsi Jawa Tengah tahun 2003-2011?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin di capai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi

Jawa Tengah pada saat pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2003-2011.

2. Untuk menganalisis pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK)

terhadap PDRB di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah pada saat pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2003-2011.

3. Untuk menganalisis pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) pajak/bukan pajak terhadap PDRB di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah pada saat pelaksanaan desentralisasi

(37)

18 4. Untuk menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil

Pajak/Bukan Pajak (DBH) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun

2003-2011?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:

1. Kegunaan praktis sebagai informasi dan masukan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan untuk

mengatasi permasalahan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.

2. Kegunaan ilmiah untuk memberikan sumbangan pemikiran

(38)

19 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Studi tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi tentu saja tidak dapat mengabaikan kajian terhadap faktor-faktor lain yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi di suatu negara atau

daerah. Isu yang perlu diperhatikan untuk studi lanjutan guna memperkuat keyakinan kita terhadap hasil empiris tentang desentralisasi fiskal dan

pertumbuhan ekonomi adalah kemungkinan adanya kesalahan dalam spesifikasi model estimasi. Literatur tentang pertumbuhan ekonomi menjelaskan bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi mungkin

merupakan suatu fungsi dari banyak variabel seperti struktur hukum dan kebebasan ekonomi, tingkat tabungan, perilaku investasi, akumulasi

modal, human capital, pengembangan teknologi, dan sebagainya. Mengeluarkan beberapa variabel kontrol yang kemungkinan penting dalam pertumbuhan ekonomi tersebut bisa saja memberikan kesimpulan

yang salah tentang hubungan signifikan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan di suatu negara/daerah. Oleh sebab itu, perlu dibahas secara

(39)

20 1. Pertumbuhan Ekonomi

Setiap negara di dunia ini sudah lama menjadikan pertumbuhan

ekonomi sebagai target ekonomi. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi faktor yang paling penting dalam keberhasilan perekonomian suatu negara untuk jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi sangat

dibutuhkan dan dianggap sebagai sumber peningkatan standar hidup (standar of living) penduduk yang jumlahnya terus meningkat.

Economic Development is Growth Plus Change‖ yang berarti

pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh

perubahan-perubahan dalam struktur dan corak (Sukirno, 1994). Simon Kuznets dalam Sukirno, mendefenisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu peningkatan bagi suatu negara untuk menyediakan

barang-barang ekonomi bagi penduduknya, pertumbuhan kemampuan ini disebabkan oleh kemajuan teknologi, kelembagaan, serta

penyesuaian ideologi yang dibutuhkan (Sukirno, 1995). Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang. Kemampuan suatu negara untuk

menghasilkan barang dan jasa akan meningkat dari satu periode ke periode lainnya. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh

faktor-faktor produksi yang selalu meningkat baik jumlah maupun kualitasnya. Investasi akan menambah jumlah barang modal.

Teknologi yang digunakan berkembang. Disamping itu tenaga

(40)

21 pengalaman kerja dan pendidikan menambah keterampilan mereka. Robinson Tarigan (2004) secara khusus menjelaskan pengertian

pertumbuhan ekonomi wilayah (daerah) sebagai pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu

kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi di wilayah (daerah) tersebut. Pertambahan pendapatan ini diukur dalam nilai riil (dinyatakan dalam harga konstan). Ukuran yang sering digunakan

untuk menghitung pertumbuhan ekonomi adalah Produk Domestik Bruto (PDB).

PDB adalah nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu negara dalam satu tahun tertentu dengan menggunakan faktor-faktor produksi milik warga negaranya dan penduduk di negara-negara lain

(Sadono Sukirno, 2004:36).

Boediono (1992:114) menyatakan, bahwa pertumbuhan

ekonomi adalah proses kenaikan output dalam jangka panjang. Pemakaian indikator pertumbuhan ekonomi akan dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama, misalnya sepuluh,duapuluh, limapuluh tahun

atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi akan terjadi apabila ada kencenderungan yang terjadi dari proses internal perekonomian itu,

(41)

22 Menurut Michel P. Todaro (2004:92), terdapat tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa,

antara lain:

a. Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi

yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan modal atau sumber daya manusia. Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan kembali dengan

tujuan memperbesar output dan pendapatan dikemudian hari. b. Pertumbuhan penduduk, yang pada akhirnya akan memperbanyak

jumlah angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja (yang terjadi beberapa tahun kemudian setelah pertumbuhan penduduk) secara tradisional dianggap menjadi salah

satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah

tenaga produktif.

c. Kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang paling penting. Kemajuan teknologi terjadi karena

ditemukannya cara baru atas perbaikan cara-cara lama dalam menangani pekerjaan-pekerjaan tradisional seperti kegiatan

(42)

23 linier dan pembangunan sebagai pertumbuhan; model perubahan struktural; revolusi ketergantungan internasional.

Ada dua teori yang dapat dikelompokkan dalam teori tahapan linier dan pembangunan sebagai pertumbuhan, yaitu teori pertumbuhan

Rostow, dan teori pertumbuhan Harrod-Domar.

Teori ini bertolak dari lingkungan intelektual yang masih steril dan dipacu oleh politik Perang Dingin yang berkobar pada masa

tersebut. Model pembangunan tahap pertumbuhan (stages-of-growth model development) merupakan hasil pemikiran dari seorang ahli

sejarah ekonomi dai Amerika Serikat yaitu Walt W. Rostow.

Menurut ajaran Rostow (Tulus T.H. Tambunan, 2009:52), perubahan dari keterbelakangan menuju kemajuan ekonomi dapat

dijelaskan dalam satu seri tahapan yang harus dilaului oleh setiap negara. Adapun tahapan tersebut adalah:

(1) Tahapan perekonomian tradisional; (2) Tahapan pra kondisi tinggal landas; (3) Tahapan tinggal landas;

(4) Tahapan menuju kedewasaan; (5) Tahapan konsumsi massa tinggi.

(43)

24 menghasilkan kenaikan arus output nasional atau GNP (Todaro dan Smith, 2003:63).

Persamaan tersebut merupakan bentuk sederhana dari teori pertumbuhan Harrod-Domar. Persamaan tersebut menjelaskan secara jelas bahwa tingkat pertumbuhan GNP (ΔY/Y) ditentukan bersama

-sama oleh rasio tabungan nasional (s), serta rasio modal output nasional (k). secara lebih spesifik , persamaan tersebut mentakan

bahwa tanpa adaya intervensi pemerintah, tingkat pertumbuhan pendapatan nasional berbanding lurus dengan rasio tabungan (semakin

besar bagian GNP yang ditabung atau diinvestasikan, K pertumbuhan GNP yang akan dihasilkan menjadi lebih besar), dan berbanding terbalik dengan rasio modal output di suatu perekonomian (semakin

besar rasio modal-output nasional (k), maka tingkat pertumbuhan ekonomi semakin rendah).

Jadi berdasarkan teori Harrod-Domar agar dapat tumbuh dengan pesat, maka setiap perekonomian harus menabung dan menginvestasikan sebanyak mungkin GNP-nya. Akan tetapi tingkat

pertumbuhan aktiva yang dapat dijangkau pada tiap tingkat tabungan dan investasi juga bergantung pad produktivitas investasi tersebut.

2. Desentralisasi Fiskal

(44)

25 Tengah), penelitian ini mendasarkan pada teori-teori yang relevan sehingga mendukung bagi tercapainya hasil penelitian yang ilmiah.

Teori-teori ini yang akan dijadikan peneliti sebagai dasar pemikiran dan menjadi acuan dalam melakukan penelitian. Selain itu,

agar secara empiris dapat dihubungkan dengan hasil-hasil penelitian sejenis atau yang memiliki topik yang hampir sama, maka dilengkapi juga dengan beberapa penelitian terdahulu. Penelitian-penelitian

terdahulu tersebut sekaligus menjadi acuan dan komparasi dalam penelitian ini.

Dengan demikian, desentralisasi fiskal akan memberi keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka keseimbangan fiskal.

Simanjuntak (2001:99) berpendapat ada empat alasan untuk mempunyai sistem pemerintahan yang terdesentralisai yaitu:

Desentralisasi merupakan bagian dari strategi setiap institusi yang berkehendak untuk tidak mati dalam persaingan global. Ia adalah strategi untuk menjadi kompetitif. Demikian pula bagi sebuah negara.

Desentralisasi menjadikannya terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang terintegrasi dan menjadi sebuah "makhluk organik" yang

bergerak efisien mengatasi tantangan global. Dalam praktik, desentralisasi dan otonomi bersifat tumpang tindih.

Namun, dalam makna keduanya memiliki perbedaan.

(45)

26 dengan sentralisasi. Jika sentralisasi adalah pemusatan pengelolaan, maka desentralisasi adalah pembagian dan pelimpahan. Menurut

Rondinelli dan Cheema yang dikutip oleh Sarundajang (1999:32) bahwa Desentralisasi adalah "the transfer of planning, decission making, or administrative authority from the central government to its

field organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations".

Keputusan menerapkan Desentralisasi fiskal menuntut adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah. Berdasarkan teori

Tiebout Model yang menjadi landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan barang publik dengan

lebih baik dan efisien. Penyebab mendasar dari peningkatan kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih

mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program-program dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi penganggaran publik akan muncul

konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya guna (Sumarsono dan Utomo, 2009:53).

Hubungan desentralisasi dan otonomi, yaitu pada dasarnya otonomi adalah derivat dari desentralisasi daerah-daerah otonom, yaitu daerah yang mandiri, tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat

(46)

27 desentralisasi, semakin tinggi otonomi daerah. Sedangkan desentralisasi, yang dimaksudkan dalam UU No. 32 tahun 2004

menyatakan penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Desentralisasi adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, baik bersifat kewilayahan maupun kefungsian.

Menurut Prawirosetoto (2002), Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan

kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment). Desentralisasi fiskal ini

dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik (public goods / public service).

Desentralisasi fiskal merupakan inti dari desentralisasi itu sendiri karena pemberian kewenangan di bidang politik maupun administrasi tanpa dibarengi dengan desentralisasi fiskal merupakan

desentralisasi yang mempunya kriteria sebagai berikut:

1. Representasi demokrasi, untuk memastikan hak seluruh warga

Negara untuk berpartisipasi secara langsung pada keputusan yang akan mempengaruhi daerah atau wilayah.

2. Tidak dapat dipraktekkanya pembuatan keputusan yang

(47)

28 sentralistis untuk membuat keputusan mengenai semua pelayanan rakyat seluruh negara, terutama pada negara yang berpenduduk besar

seperti Indonesia.

3. Pengetahuan lokal (local knowledge), mereka yang berada pada

daerah lokal mempunyai pengetahuan yang lebih banyak mengenai kebutuhan lokal, prioritas, kondisi, dll.

4. Mobilitas sumber daya, mobilitas pada bantuan dan sumber daya

dapat di fasilitasi dengan hubungan yang lebih erat di antara populasi dan pembuat kebijakan pada tingkat lokal.

Secara umum konsep desentralisasi pada dasarnya terdapat empat jenis desentralisasi (Sidik, 2002:76), yaitu:

1) Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian

hak kepada warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk mengambil keputusan publik.

2) Desentralisasi administrasi (administrative decentralization), yaitu pelimpahan wewenang guna mendistribusikan wewenang, tanggung

jawab dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik, terutama yang menyangkut perencanaan, pendanaan dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada

(48)

29 3) Desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization) yaitu pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan, yang

mencakup:

a. Self-financing atau cost recorvery dalam pelayanan publik

terutama melalui pengenaan retribusi daerah.

b. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi

tenaga kerja.

c. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana

Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat, serta pinjaman daerah (sumber daya alam)

4) Desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization),

yaitu kebijakan tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan

masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi dan ekonomi pasar.

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules)

money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau

(49)

30 2008 komponen-komponen desentralisasi fiskal terdiri dari : PAD, DAU, DBH.

Penerapan otonomi dan desentralisasi fiskal ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999

pada 1 Januari 2001. Dalam perjalanannya kedua undang-undang tersebut menimbulkan beberapa permasalahan yang kemudian diperbaiki oleh pemerintah melalui revisi undang-undang tersebut

menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diberlakukan pada

bulan desember 2004 (RPJMN 2004-2009) Dalam UU No. 32 Tahun 2004, desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah, oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatan Republik Indonesia Menurut Ebel dan Yilmaz (2002) ada tiga

bentuk/variasi desentralisasi, dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan di daerah, yaitu: 1. Decontretation

Merupakan pelimpahan kewenangan dari agen-agen pemeritah pusat yang ada di ibukota negara, pada agen-agen di

(50)

31 Merupakan penunjukan oleh pemerintah pusat pada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan

dengan tanggung jawab pada pemerintah pusat 3. Devolution

Merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintah pusat, pada pemerintah daerah, dimana daerah juga diberi kewenangan dalam mengelolah penerimaan dan pengeluaran

daerahnya. Mengingat prinsip money follow function dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka maka desentralisasi fiskal di

Indonesia merupakan bentuk dari desentralisasi yang ketiga (devolution). Lebih lanjut Slinko (2002) menyatakan bahwa: Under the concept of “fiscal decentralization” we understand

theassignment of fiscal responsibilities to the lower levels of

goverment, thats, the degree of regional (local) autonomy and the

authority of local goverment to decide upon its own expanditure

and its ability to generate local revenues. Pernyataan Slinko memepertegas pengertian desentralisasi fiskal, yaitu sebagai

bentuk transfer kewenangan (tanggung jawab dan fungsi) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, termasuk di dalamnya

(51)

32 dalam penyedian barang dan jas publik (pubilcgoods/public services).

Ada dua keuntungan yang dapat dicapai dari penerapan desentralisasi fiskal (Ebel dan Yilmaz, 2002:43), antara lain:

1. Efisiensi dan alokasi sumber-sumber ekonomi

Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena pemerintah daerah mampu memperoleh informasi yang lebih baik

(dibandingkan dengan pemerintah pusat) mengenai kebutuhan rakyat yang ada di daerahnya. Oleh karena itu, pengeluaran

pemerintah daerah lebih mampu merefleksikan kebutuhan/pilihan masyarakat di wilayah tersebut dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah pusat.

2. Persaingan antara pemerintah daerah

Penyediaan barang publik yang dibiayai oleh pajak daerah

akan mengakibatkan pemerintah daerah berkompetisi dalam menyediakan fasilitas publik yang lebih baik. Karena dalam sistem desentralisasi fiskal, warga negara menggunakan metode ―vote by

feet‖ dalam menentukan barang publik di wilayah mana, yang akan dimanfaatkan.

Untuk mengukur desentralisasi fiskal di suatu wilayah, terdapat dua variabel umum yang sering digunakan, yaitu pengeluaran dan penerimaan daerah. Ebel dan Yilmaz (2002)

(52)

33 mengukur desentralisasi antara negara yang satu dengan negara yang lain. Meskipun sama-sama menggunakan variabel yang

pengeluaran dan penerimaan pemerintah, yang menjadi pembeda adalah variabel ukuran (size variabels) yang digunakan oleh

peneliti yang satu dengan peneliti yang lain. Ada tiga sizevariabels yang umum digunakan, yaitu: jumlah penduduk, luas wilayah, dan GDP.

Lebih lanjut Ebel dan Yilmaz (2002) bahwa baik penerimaan dan atau pengeluaran pemerintah bukanlah indikator

yang sempurna untuk mengukur desentralisasi fiskal. Slinko (2002) memberikan penjelas yang lengkap mengenai hal ini. The problem with the expanditure decentralization is that local govermentusualy

does not have real degree of autonomy but act on behalf of the

regional and federal goverments. We also have problems with the

revenue side estimation of fiscal decentralization since those also

could be not the consequnce of municipal ability to rise and assign

taxes, but the consequence of the revenue-sharing policy of

regional goverment.

Meskipun kedua variabel tersebut bukanlah indikator

desentralisasi fiskal yang sempurna, penelitian ini akan menggunakan share penerimaan daerah (penerimaan asli daerah, PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD) untuk mengukut

(53)

34 Pemilihan sisi penerimaaan sebagai indikator untuk mengukur desentralisasi fiskal dikarenakan keterbatasan data yang tersedia

dari sisi pengeluaran.

3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Mardiasmo (2002:132), ―pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan

daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah‖.

Menurut Guritno Mangkosubroto (1997) menyatakan bahwa pada umumnya penerimaan pemerintah diperlukan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Pada umumnya penerimaan pemerintah dapat

dibedakan antara penerimaan pajak dan bukan pajak. Penerimaan bukan pajak, misalnya adalah penerimaan pemerintah yang berasal

dari pinjaman pemerintah, baik pinjaman yang berasal dari dalam negeri maupun pinjaman pemerintah yang berasal dari luar negeri.

Salah satu tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan

desentralisasi dan otonomi daerah yakni untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya sehingga pelayanan publik yang

(54)

35 dimiliki dan memilih sektor ekonomi unggulan berdasarkan potensi sumber daya daerah masing.

Desentralisasi berarti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah (Kuncoro,

2006:497). Semakin tinggi PAD yang diperoleh suatu daerah maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Brata (2004) yang dikutip oleh Adi dan Harianto (2007) menyatakan bahwa

terdapat dua komponen penerimaan daerah yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah yaitu PAD

serta sumbangan dan bantuan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Tambunan (2006:36) bahwa pertumbuhan PAD secara berkelanjutan akan menyebabkan

peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu. Namun apabila eksploitasi PAD dilakukan secara berlebihan justru akan semakin

membebani masyarakat, menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian secara makro (Mardiasmo, 2002:87).

Di dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 ditegaskan bahwasanya ―kebijakan desentralisasi Daerah diarahkan untuk mencapai

peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas Pemda,

keselarasan hubungan antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah

itu sendiri dalam kewenangan dan keuangan untuk menjamin

(55)

36 konsekuensi dari pemberian otonomi yang luas maka sumber-sumber keuangan telah banyak bergeser ke Daerah baik melalui perluasan

basis pajak (taxing power) maupun dana perimbangan. Hal ini sejalan dengan makna desentralisasi fiskal yang mengandung pengertian

bahwa kepada Daerah diberikan:

(1) kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri yang dilakukan dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber

utamanya adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tetap

mendasarkan batas kewajaran.

(2) didukung dengan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.

Sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai di dalam

pelaksanaan desentralisasi dan otonomi Daerah, tentang kemandirian Daerah bukan hal yang baru. Secara teoritis pengukuran kemandirian

Daerah diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). 4. Dana Alokasi Khusus

Dana alokasi khusus (DAK) adalah salah satu mekanisme

transfer keuangan Pemerintah Pusat ke daerah yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah

sesuai prioritas nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah dan pelayanan antarbidang (Ahmad Subekan, 2012:88). DAK memainkan peran penting dalam dinamika

(56)

37 sesuai dengan prinsip desentralisasi–tanggung jawab dan akuntabilitas bagi penyediaan pelayanan dasar masyarakat telah dialihkan kepada

pemerintah daerah.

Dana alokasi khusus merupakan dana yang dialokasikan dari

APBN ke Daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan khusus yang merupakan urusan daerah dan juga prioritas nasional antara lain: kebutuhan kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi

atau prasarana, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dll.

Menurut UU yang baru (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004), wilayah yang menerima DAK harus menyediakan dana penyesuaian paling tidak 10% dari DAK yang ditransfer ke wilayah,

dan dana penyesuaian ini harus dianggarkan dalam anggaran daerah (APBD). Meskipun demikian, wilayah dengan pengeluaran lebih besar

dari penerimaan tidak perlu menyediakan dana penyesuaian. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua daerah menerima DAK karena DAK bertujuan untuk pemerataan dan untuk meningkatkan kondisi

infrastruktur fisik yang dinilai sebagai prioritas nasional.

a) Kriteria umum Dana Alokasi Khusus

Prioritas pengalokasian DAK diutamakan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah rata-rata. Kemampuan fiskal daerah tersebut didasarkan atas selisih

(57)

38 perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah) tidak termasuk sisa anggaran lebih (SAL) dengan Belanja Pegawai

Negeri Sipil Daerah (fiskal netto) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

b) Kriteria Khusus Dana Alokasi Khusus

Pengalokasian DAK juga harus memperhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki dan/atau berada di wilayah dengan

kondisi dan kebutuhan khusus, seperti :

 ¨Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

(NAD) yang merupakan Daerah otonomi khusus;

 ¨Kawasan Timur Indonesia, Pesisir dan Kepulauan, Perbatasan

Darat, Tertinggal/Terpencil, Penampung Program Transmigrasi, Rawan Banjir dan Longsor.

 Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagai Daerah Pasca

Konflik;

Pengalokasian DAK kepada daerah sepenuhnya menjadi wewenang Pemerintah Pusat berdasarkan kriteria tertentu. Dalam

hal ini, peran satuan kerja perangkat daerah (SKPD) hanyalah menyediakan data bagi departemen teknis terkait. Peran pemda dalam pengalokasian DAK bersifat pasif. Contoh kasus dalam

pengalokasian Dana Khusus ini adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, misalnya, belum pernah secara khusus

Gambar

Tabel  1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi
Tabel 1.2
Tabel 1.3
Tabel 1.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuannya untuk mengetahu i pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan pertumbuhan penduduk

Abstrak : Penelitian ini berjudul “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Pertumbuhan Penduduk terhadap

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris dengan menggunakan data sekunder, mengenai pengaruh pendapatan asli daerah, dana bagi hasil, dana alokasi

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang didapatkan dari Laporan realisasi APBD yang berupa jumlah Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris yang mengetahui ada tidaknya pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris yang mengetahui ada tidaknya pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana

Penelitian ini berjudul “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Penelitian ini berjudul “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan