• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Analisis Komoditi HHBK yang Berbasis di Kabupaten Pakpak Bharat

4.3.4. Pendapatan Petani Gambir

Pengukuran pendapatan petani gambir di Kabupaten Pakpak Bharat menggunakan indikator penerimaan petani dari penjualan produk gambir untuk seluruh jenis produk, kemudian dikurangi dengan biaya input yang digunakan mulai dari pembukaan lahan sampai panen. Pengelompokan pendapatan yang diterima petani berdasarkan nilai rata-rata (mean) dari seluruh data yang diperoleh dari seluruh responden. Variasi pendapatan petani gambir yang ditanyakan kepada 128 responden, seperti pada tabel berikut.

Tabel 4.21. Pendapatan Petani Gambir

No Pendapatan (Rp) Jumlah Responden (Org) Persen (%)

1 < Rp 21.518.086/ha 66 51.6

2 ≥ Rp 21.518.086/ha 62 48.4

Total 128 100,0

Sumber: Diolah dari Data Primer 2011

Tabel 4.21 menunjukkan umumnya responden dengan pendapatan kurang dari rata-rata pendapatan sebesar Rp 21.518.086 /ha dari pertanian gambir sebanyak 66 responden (51,6%), sedangkan responden dengan pendapatan sama dengan atau di atas rata-rata pendapatan sebanyak 62 responden (48,4%).

Sesuai studi Oka dan Achmad (2005) tentang Kontribusi Hasil Hutan Bukan Kayu Terhadap Penghidupan Masyarakat Hutan: studi kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, menyimpulkan bahwa kontribusi HHBK terhadap kehidupan masyarakat hutan Dusun Pampli selain sangat berarti secara ekonomi juga lebih merata dibandingkan dengan kayu. Manfaat dari kayu hanya dinikmati oleh masyarakat tertentu saja, yaitu mereka yang memiliki modal paling kurang satu unit chainsaw. Karena HHBK dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kapan pun mereka kehendaki, ada kecenderungan bahwa masyarakat Dusun Pampli menjadi manja, tidak berupaya melestarikan HHBK tempatnya bergantung hidup dan tidak merencanakan masa depannya dengan baik, sehingga mereka terbelenggu dalam kemiskinan.

Sesuai dengan studi Kadir (2005) tentang Pengembangan sosial forestry di SPUC Borisallo : Analisis sosial ekonomi dan budaya masyarakat, menyimpulkan

tersebut adalah tingginya persentase usia kerja produktif masyarakat, pekerjaan utama

petani, potensi tenaga kerja keluarga, persepsi masyarakat terhadap kawasan, dan adanya partisipasi masyarakat dalam menjaga kawasan hutan. Namun demikian pendapatan yang diperoleh masyarakat dari meggarap lahan di SPUC Borisallo belum

mampu mangangkat masyarakat dari garis kemiskinan sehingga diperlukan upaya-

upaya yang dapat meningkatkan produktivitas lahan.

Menurut Soedarsono (1998) bahwa tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang digunakan didalam melaksanakan proses produksi. Dalam proses produksi tenaga kerja memperoleh pendapatan sebagai balas jasa dari usaha yang telah dilakukannya yakni upah. Maka pengertian permintaan tenaga kerja disini diartikan sebagai jumlah tenaga kerja yang diminta oleh pengusaha pada berbagai tingkat upah.

Permintaan pengusaha terhadap faktor produksi berlainan dengan permintaan konsumen terhadap barang dan jasa. Seseorang membeli barang karena barang itu memberikan manfaat (utility) pada pembeli. Akan tetapi pengusaha menggunakan tenaga kerja karena tenaga kerja itu membantu memproduksi barang dan jasa untuk dijual kepada konsumen. Dengan kata lain pertambahan permintaan terhadap tenaga kerja, tergantung dari permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksinya. Permintaan tenaga kerja akan tenaga kerja yang seperti itu disebut derived demand..

Studi Roufiq et al (2007), menemukan bahwa proses pengolahan daun menjadi gambir dilakukan dalam pabrik pengolah yang terletak di kebun petani yang

berlokasi jauh dari rumah petani. Umumnya masih menggunakan alat pengolahan sederhana, berupa kempa atau kampo yang terbuat dari dua bilah kayu besar bebentuk huruf V dengan panjang kayu sekitar 3 meter. Penggunaan alat pengolahan serupa ini membutuhkan waktu relatif lama, biaya lebih tinggi dan membutuhkan beberapa tenaga kerja yang spesifik, seperti tukang kempa, tukang petik dan lain-lain. Mencari tenaga yang spesifik seperti ini sangat sulit dan mahal.

4.4. Nilam

Komoditas HHBK selanjutnya yang merupakan unggulan di Kabupaten Pakpak Bharat adalah tanaman nilam. Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang cukup penting, dikenal dengan nama Patchouly Oil. Minyak nilam bersama dengan 14 jenis minyak atsiri lainnya adalah komoditi ekspor menghasilkan devisa. Minyak nilam Indonesia sudah dikenal dunia sejak 65 tahun yang lalu, volume ekspor minyak atsiri selalu mengalami peningkatan. Indonesia pemasok utama minyak nilam dunia yang mencapai 90%.

Gambar 4.3 Tanaman Nilam 4.4.1. Gambaran Umum Responden

Petani nilam yang menjadi responden dalam penelitian ini sebanyak 66 orang. Gambaran umum responden meliputi umur, lama bermukim, pemilikan lahan, dan tingkat pendidikan, sebagaimana diuraikan berikut ini.

a. Identitas Responden Petani Nilam (1). Umur

Hasil penelitan menunjukkan bahwa umur responden antara 21 tahun sampai dengan 55 tahun.

Tabel 4.22. Komposisi Umur Responden Petani Nilam

No Umur (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persen (%)

1 21-35 12 18,2

2 36-45 32 48,5

3 46-55 22 33,3

Total 66 100,0

Sumber: Diolah dari Data Primer 2011

Tabel 4.22 menunjukkan 48,5% responden berumur 36–45 tahun, hal ini menunjukkan bahwa responden terdiri dari masyarakat yang telah memiliki kematangan dan berpengalaman dalam mengelola tanaman nilam.

Komposisi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.26.

Tabel 4.23. Tingkat Pendidikan Responden Petani Nilam

No Tingkat Pendidikan Jumlah Responden (Orang) Persen (%)

1 SD sederajat 10 15,2 2 SMP sederajat 23 34,8 3 SMA sederajat 28 42,4 4 D-III 4 6,1 5 Sarjana 1 1,5 Total 66 100,0

Sumber: Diolah dari Data Primer 2011

Tabel 4.23 menunjukkan umumnya responden berpendidikan SMA sederajat sebanyak 28 responden (42,4%) dan berpendidikan Sarjana (S-I) hanya ada 1 responden (1,5%).

(3). Lama Bermukim

Responden Petani nilam kabupaten Pakpak Bharat adalah petani yang telah lama tinggal di lokasi penelitian atau dapat dikatakan penduduk asli bukan pendatang dari luar, akan tetapi akibat harga yang berfluktuasi maka sering kali responden berpindah ke komoditi yang sedang dibutuhkan oleh pasar.

Tabel 4.24. Lama Bermukim Responden Petani Nilam

No Lama Bermukim (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persen (%)

1 5-15 12 18,2

2 16-25 23 34,8

3 26-35 31 47,0

Total 66 100,0

Sumber: Diolah dari Data Primer 2011

Tabel 4.24 menunjukkan 47,0% responden telah bermukim selama 26 – 35 tahun pada lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa responden terdiri dari masyarakat yang telah lama bermukim dan bertani nilam di lokasi penelitian dan mengalami perkembangan pertanian nilam. Pada penelitian ini juga ditemukan responden yang lama bermukim antara 5 – 15 tahun sebanyak 12 responden (18,2%), yang merupakan penduduk pendatang di lokasi penelitian.

(4). Pemilikan Lahan

Pemilikan Lahan nilam sebagian besar adalah lahan dengan status milik sendiri atau Private Property Right (hak kepemilikan pribadi).

Tabel 4.25. Kepemilikan Lahan Responden Petani Nilam

No Kepemilikan Lahan Jumlah Responden (Orang) Persen (%)

1 Milik sendiri 48 72,7

2 Menyewa 16 24,2

3 Tanah Ulayat 2 3,1

Total 66 100,0

Tabel 4.25 menunjukkan responden mempunyai lahan tanaman nilam dengan status milik sendiri sebanyak 48 responden (72,7%), selebihnya merupakan lahan dengan status menyewa dan tanah ulayat.

Studi Mairi (2005) tentang Sosial Budaya Masyarakat adat Toraja dalam rangka Pelestarian Sumber Daya Hutan, menyatakan bahwa tradisi dan budaya masyarakat adat Toraja sangat erat kaitannya dengan pengamanan dan pelestarian sumberdaya hutan. Hal ini mendasari timbulnya kesadaran yang membudaya untuk mengelola hutan adat yang dimiliki secara kolektif

b. Luas Lahan Nilam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah lahan dari 66 responden adalah 44,8 Ha dengan klasifikasi seperti pada tabel 4.29.

Tabel 4.26. Luas Lahan Responden Petani Nilam

No Luas Lahan (Ha) Jumlah Responden (Orang) Persen (%)

1 < 1 31 47,0

2 ≥ 1 35 53,0

Total 66 100,0

Sumber: Diolah dari Data Primer 2011

Tabel 4.26 menunjukkan responden memiliki lahan luas tanaman nilam dibawah rata-rata luas lahan (1 ha) adalah sebanyak 31 responden (47,0%), sedangkan responden memiliki lahan luas tanaman nilam di atas atau sama dengan rata-rata luas lahan adalah sebanyak 35 responden (53,0%)

c. Lama Bertani Nilam

Komposisi responden tentang lamanya bertani nilam dapat dilihat pada Tabel 4.27.

Tabel 4.27. Komposisi Responden berdasarkan Lama Bertani Nilam No Lama Bertani (Tahun) Jumlah Responden (Orang) Persen (%)

1 5-10 43 65,2

2 11-20 18 27,3

3 21-30 5 7,5

Total 66 100,0

Sumber: Diolah dari Data Primer 2011

Tabel 4.27 menunjukkan umumnya responden telah bertani nilam selama 5-10 tahun sebanyak 43 responden (65,2%), sementara itu, ada responden yang telah bertani nilam selama 21-30 tahun sebanyak 5 responden (7,5%), yaitu petani yang telah menjadikan komoditi nilam sebagai pertanian yang dikelola secara terus-menerus.

Dokumen terkait