• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Analisis Komoditi HHBK yang Berbasis di Kabupaten Pakpak Bharat

4.5.4. Pendapatan Petani Kemenyan

Pengukuran pendapatan petani kemenyan di Kabupaten Pakpak Bharat menggunakan indikator penerimaan petani dari penjualan produk kemenyan untuk seluruh jenis produk, kemudian dikurangi dengan biaya input yang

digunakan mulai dari pembukaan lahan sampai dihasilkan getah kemenyan. Pengelompokan pendapatan yang diterima petani berdasarkan nilai rata-rata (mean) dari seluruh data yang diperoleh dari seluruh responden. Variasi pendapatan petani kemenyan yang ditanyakan kepada 45 responden, seperti pada tabel berikut.

Tabel 4.39. Pendapatan Petani Kemenyan

No Pendapatan (Rp/ha) Jumlah Responden (Orang) Persen (%)

1 < Rp 30.476.151/ha 21 46,7

2 ≥ Rp 30.476.151/ha 24 53,3

Total 45 100,0

Sumber: Diolah dari Data Primer 2011

Tabel 4.39 menunjukkan umumnya responden dengan pendapatan kurang

dari rata-rata pendapatan (Rp 30.476.151/ha) dari pertanian kemenyan sebanyak 21 responden (46,7%), sedangkan responden dengan pendapatan sama dengan

atau di atas rata-rata pendapatan sebanyak 24 responden (53,3%).

4.6. Peranan HHBK terhadap Pembangunan Wilayah

Dalam pembangunan pedesaan maka kontribusi terbesar dalam menggerakkan

pembangunan adalah dari pertanian dan kehutanan. Dari beberapa pola pengelolaan hutan rakyat yang ada maka hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan desa dan pembangunan wilayah.

Dengan pengaturan terhadap HHBK baik dari proses produksi, pengolahan dan pemasaran, semua dapat dilakukan oleh masyarakat, sehingga income (pendapatan) dari kegiatan tersebut masuk dalam wilayah produsen. HHBK seperti getah damar, telah dapat menjadi basis (ICRAF, 2000). Dengan adanya kegiatan produksi dan pengolahan maka terjadi penyerapan tenaga kerja yang besar.

Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih ditekankan pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi pengembangan lokal wilayah yang mampu mendukung (menghasilkan) pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat, termasuk pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang ada di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam rencana pembangunan nasional, pengembangan wilayah lebih ditekankan pada penyusunan paket pengembangan wilayah terpadu dengan mengenali strategis (potensial) yang perlu dikembangkan di suatu wilayah.

Sistem pengembangan wilayah di Indonesia sebelum otonomi daerah dilaksanakan secara top down, baik kebijakan perluasan wilayah administratif maupun pembentukan wilayah kawasan ekonomi. Hal yang sama juga dilakukan dalam pembentukan kawasan khusus yang mengutamakan landasan kepentingan nasional yang mencerminkan karakteristik pendekatan regionalisasi sentralistik. Dalam hal ini aspek pengambilan keputusan dilaksanankan secara top down

Rondinelli dalam Rustiadi (2006) mengidentifikasikan tiga konsep pengembangan kawasan, yakni (1) konsep kutup pertumbuhan (growth pole), (2) integrasi (keterpaduan) fungsional-spasial, dan (3) pendekatan decentralized territorial. Di Indonesia konsep growth pole dirintis mulai tahun delapan puluhan yaitu dengan menekankan investasi massif pada industri-industri padat modal di pusat-pusat urban terutama di Jawa dimana banyak tenaga kerja, dengan harapan dapat menciptakan penyebaran pertumbuhan (spread effect) atau efek tetesan ke bawah (trickle down effect) dan berdampak luas terhadap pembangunan ekonomi wilayah. Indikator ekonomi nasional sangat bagus hingga tahun 1997, namun dampaknya bagi pembangunan daerah lain sangat terbatas. Kenyataannya teori ini gagal menjadi pendorong utama (prime over) pertumbuhan ekonomi wilayah.

Sebaliknya kecenderungan yang terjadi adalah penyerapan daerah sekelilingnya dalam hal bahan mentah, modal, tenaga kerja dan bakat-bakat enterpreneur. Hal ini menyebabkan kesenjangan antar daerah.

Perubahan dari paradigma sentralistik pasca otonomi daerah tidak serta merta hilang, namun secara berangsur-angsur mulai beralih pola ke arah bottom up. Peluang pembangunan wilayah secara nonstruktural, berdasarkan inisiatif lokal dan dikelola tanpa memiliki keterikatan struktural administratif terhadap hirarki yang diatasnya.

Namun dimensi ruang (spatial) memiliki arti yang penting dalam konteks pengembangan wilayah, karena ruang dapat menciptakan konflik dan pemicu kemajuan bagi individu dan masyarakat. Secara kuantitas ruang adalah terbatas dan secara kualitas ruang memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda-beda.

Maka dari itu intervensi terhadap kekuatan pasar (planning) yang berwawasan keruangan memegang peranan yang sangat penting dalam formulasi kebijakan pengembangan wilayah. Sehingga keserasian berbagai kegiatan pembangunan dan wilayah dapat diwujudkan, dengan memanfaatan ruang dan sumber daya yang ada didalamnya guna mendukung kegiatan kehidupan masyarakat (Riyadi, DS, dalam Urbanus M Ambardi, 2002).

Menurut Friedmann dalam Aydalot (1985) menyatakan bahwa pembangunan dari dalam adalah yang bersifat kedaerahan, kerakyatan dan demokratis. Daerah merupakan basis pembangunan, dimana wilyah merupakan basis dari pembangunan itu sendiri, yaitu sebuah kawasan tertentu dimana pembangunan terjadi dan menarik sumber daya yang ada. Dia merupakan hasil dari setiap bagian/komponen wilayah dari suatu kawasan, dengan kata lain komponen alam, budaya, ekonomi dan sosial. Dikatakan kerakyatan bila dia melibatkan partisipasi dari masyarakat setempat dan dikatakan demokratis bila dia dapat mendukung sistem yang demokratis dalam pelaksanaannya.

Kemudian program ini terutama sekali diciptakan untuk menyetarakan pembangunan kota dan desa, meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, merangsang pertumbuhan industri, berkelanjutan dan mengurangi urbanisasi kemudian menciptakan lapangan kerja guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.

Lahan potensial dengan peruntukan pengembangan tanaman tahunan/perkebunan tersebar diseluruh kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat, dengan arahan pengembangan terutama pada lahan-lahan yang kurang/tidak

mendukung untuk pengembangan pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering. maka dalam rencana Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Pakpak Bharat hingga Tahun 2030, alokasi lahan untuk kawasan pertanian tanaman tahunan/perkebunan adalah seluas ± 13.313,77 ha (10,93 %) yang tersebar di Kecamatan Salak, Sitellu Tali Urang Julu, Pergetteng-Getteng Sengkut, Siempat Rube, Tinada, Kerajaan, Sitellu Tali Urang Jehe dan Pagindar.

Tabel 4.40 Luas Kawasan Hutan di Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2009

No Fungsi Hutan Luas (ha) %

1 Hutan Lindung 45.163,65 34

2 Hutan Produksi Tetap 10.740,66 8

3 Hutan Konservasi 5.657,00 4

4 Hutan Produksi Terbatas 71.303,81 54

Jumlah 132.865,08 100

Sumber : - Pakpak Bharat Dalam Angka, Tahun 2009.

- BAPPEDA Kabupaten Pakpak Bharat Tahun 2009.

Penyerapan tenaga kerja dalam mengembangkan tanaman hasil hutan bukan kayu yang berbasis Kabupaten Pakpak Bharat, dapat menyerap tenaga kerja seperti pada Tabel 4.41

Tabel 4.41 Penyerapan Tenaga Kerja Tanaman HHBK

No Jenis Komoditas Luas (ha) Kebutuhan Tenaga Kerja rata-rata (hok/ha) Total Kebutuhan Tenaga (hok/luas) 1 Gambir 1.051 120 126.120 2 Nilam 82,5 61 5.002 3 Kemenyan 953,2 61 58.133 Total 2.086,7 228 189.255

Tabel 4.41 menunjukkan kebutuhan tenaga kerja untuk mengelola 2.086,7 hektar HHBK berbasis di Kabupaten Pakpak Bharat sebanyak 189.255 hok, dengan kebutuhan tenaga terbesar pada tanaman gambir yaitu 126.120 hok.

Tabel 4.42 Penyerapan Tenaga Kerja di Kabupaten Pakpak pada Tanaman HHBK

Tenaga kerja di Kabupaten Pakpak

Bharat (hok/thn)

Kebutuhan Tenaga Kerja rata-rata (hok/ha)

Penyerapan (%)

6.226.800 189.255 3,04

Sumber data ; diolah dari data primer 2011

Tabel 4.42 menunjukkan ketersediaan tenaga kerja (hok/thn) di Kabupaten Pakpak Bharat sebanyak 6.226.800 hok dari 20.756 orang penduduk berusia 15-49 tahun. Dengan kebutuhan tenaga kerja pada HHBK berbasis sebanyak 189.255 hok/ha, maka penyerapan tenaga kerja untuk HHBK berbasis dari total tenaga kerja yang tersedia di Kabupaten Pakpak Bharat sebesar 3,04%.

Tabel 4.43 Pendapatan dari HHBK yang menjadi basis di Kabupaten Pakpak Bharat

No Jenis Komoditas Produksi (ton/ha) Pendapatan rata-rata (Rp/ha) Total Pendapatan (Rp) 1 Gambir 1.523 21.580.200 32.866.644.600 2 Nilam 25,5 77.830.000 1.984.665.000 3 Kemenyan 133,1 30.476.151 4.056.375.698 Total 38.907.685.298

Tabel 4.43 menunjukkan total pendapatan dari HHBK berbasis di Kabupaten Pakpak Bharat sebesar Rp. 38.907.685.298. Pendapatan terbesar dari tanaman gambir sebesar Rp. 32.866.644.600 pada harga jual daun gambir Rp. 1000/kg; kemenyan Rp. 120.000/kg dan minyak nilam Rp. 500.000/kg.

Tabel 4.44 Pendapatan dari HHBK Berbasis terhadap PDRB Sektor Pertanian di Kabupaten Pakpak Bharat

Pendapatan dari HHBK Berbasis (Rp) PDRB Pertanian tahun 2010 (Rp) Kontribusi (%) 38.907.685.298 189.305.020.000 20,55

Sumber data ; diolah dari data primer 2011

Tabel 4.44 menunjukkan total pendapatan dari HHBK berbasis di Kabupaten Pakpak Bharat sebesar Rp. 38.907.685.298, dibandingkan total PDRB sektor pertanian tahun 2010 sebesar Rp. 189.305.020.000, maka kontribusi pendapatan HHBK berbasis terhadap PDRB pertanian di Kabupaten Pakpak Bharat sebesar 20,55%.

Tabel 4.45 Pendapatan dari HHBK Berbasis terhadap PDRB Kabupaten Pakpak Bharat Pendapatan dari HHBK Berbasis (Rp) PDRB Pakpak Bharat 2010 (Rp) Kontribusi (%) 38.907.685.298,00 290.299.800.000,00 13,40

Tabel 4.45 menunjukkan total pendapatan dari HHBK berbasis di Kabupaten Pakpak Bharat sebesar Rp. 38.588.092.100, dibandingkan total PDRB Pakpak Bharat tahun 2010 sebesar Rp. 290.299.800.000,00, maka kontribusi pendapatan HHBK berbasis terhadap PDRB Kabupaten Pakpak Bharat sebesar 13,40 %.

Tabel 4.46 PDRB Sektor Pertanian terhadap PDRB Kabupaten Pakpak Bharat PDRB Pertanian tahun 2010 (Rp) PDRB Pakpak Bharat 2010 (Rp) Kontribusi (%) 189.305.020.000 290.299.800.000,00 65,21

Sumber data ; diolah dari data primer 2011

Tabel 4.46 menunjukkan total PDRB sektor pertanian di Kabupaten Pakpak Bharat sebesar Rp. 189.305.020.000, dibandingkan total PDRB Pakpak Bharat tahun 2010 sebesar Rp. 290.299.800.000,00, maka kontribusi PDRB sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Pakpak Bharat sebesar 65,21 %.

BAB V

Dokumen terkait