• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAAN PERENCANAAN “TOP-DOWN PLANNING”

DALAM PROGRAM RASKIN

DI DESA JOTANGAN

KEKURANGAN

PENDEKATAAN PERENCANAAN “TOP-DOWN PLANNING” DALAM PROGRAM RASKIN

DI DESA JOTANGAN

1. Dapat menghemat biaya, tenaga dan waktu karena tidak melibatkan masyarakat dari bawah yang membutuhkan dana untuk menjaring aspirasi masyarakat sampai tingkat desa.

2. Dapat menghasilkan outpur perencanaan yang maksimal karena pemerintah dianggap memiliki kualitas SDM yang lebih baik daripada kualitas SDM yang dimiliki masyarakat yang masih sangat rendah untuk terlibat dalam perencanaan. 3. Dapat lebih cepat dalam proses

pengambilan keputusan karena pengambilan keputusan dilakukan langsung oleh pemerintah yang melibatkan sedikit stakeholder pengambil keputusan sedangkan jika melibatkan masyarakat dari bawah hingga tingkat desa maka proses pengambilan keputusan semakin lama karena melibatkan banyak stakeholder pengambil keputusan.

1. Output perencanaan yang dihasilkan tidak dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat secara maksimal karena proses perencanaan dan pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah sedangkan masyarakat hanya sebagai benefician program yang diberikan pemerintah. Sehingga peran masyarakat hanya sebagai penerima keputusan atau hasil dari suatu program tanpa mengetahui jalannya proses pembentukan program tersebut dari awal hingga akhir.

2. Progam atau kebijakan yang merupakan hasil dari pemikiran pemerintah sering gagal dalam implementasinya karena pemerintah tidak mengetahui secara maksimal apa yang sebenarnya

dibutuhkan, diinginkan dan yang menjadi permasalahan masyarakat. Sehingga tujuan utama dari program tersebut yang hendaknya akan dikirimkan kepada masyarakat tidak terwujud. 3. Implementasi program atau kebijakan yang diberikan pemerintah

kepada masyarakat sering salah sasaran karena dalam penyusunan program dan implementasinya masyarakat tidak dilibatkan. Sehingga program yang diberikan tidak bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat terutama rakyat kecil yang serba dalam keterbatasan.

4. Masyarakat tidak bisa melihat sebarapa jauh suatu program telah dilaksanakan. Sehingga kontrol dari masyarakat yang lebih mengetahui implementasi dan sebagai sasaran program tidak dapat maksimal karena bukan hasil dari aspirasi mereka. Dimana masyarakat hanya sebagai penerima program atau kebijakan yang merupakan output dari perencanaan.

5. Rawan konflik internal karena cenderung mendorong korupsi dari pemerintah karena kontrol dari masyarakat sangat kurang dalam implementasi perencanaan.

6. Program yang dihasilkan dari proses perencanaan terpusat oleh pemerintah cenderung mengeneralisasikan kebutuhan, keinginan dan permasalahan di setiap daerah padahal di setiap daerah memiliki permasalahan dan kebutuhan masing-masing yang berbeda-beda dalam membutuhkan alternatif solusi.

Sumber:Hasil Ananlisis Penyusun, 2010

4.2 PENDEKATAN PERENCANAN PROGRAM KOMPENSASI PENGURANGAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK (PKPS BBM) BIDANG PENDIDIKAN DI DESA JOTANGAN BERDASARKAN KAJIAN TEORITIS

PKPS BBM Bidang Pendidikan merupakan upaya pemerintah dalam rangka membantu masyarakat yang kurang/tidak mampu membiayai pendidikan. Program ini dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk Bantuan Khusus Murid (BKM), yang kemudian sejak bulan Juli 2005 diganti dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Berbeda dengan

BKM yang sasarannya siswa dari keluarga tidak/kurang mampu, BOS dialokasikan untuk seluruh siswa yang ada di sekolah yang mendapatkan alokasi BOS. Sedangkan untuk SLTA atau sederajat tetap diberikan dalam bentuk BKM yang besarnya Rp 65.000/siswa/bulan. Perbedaan mendasar antara BOS dan BKM adalah, kalau BKM langsung diterimakan kepada siswa sedangkan BOS yang menerima dan mengelola adalah pihak sekolah. Perbedaan lainnya yaitu kalau BOS jumlah yang diterima adalah berdasarkan jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut, sedangkan BKM hanya untuk siswa yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu. Tapi kedua program ini mempunyai tujuan yang sama yaitu agar murid yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu, dapat membiayai keperluan sekolahnya sehingga murid : (1) tidak putus sekolah akibat kesulitan ekonomi; (2) mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk terus sekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.

Dilihat dari tujuan yang dicapai, sebenarnya program PKPS BBM Bidang Pendidikan sudah tepat sasaran, mengingat tingkat anak-anak putus sekolah yang cukup besar dan hal ini disebabkan faktor ekonomi yang kurang/tidak mendukung. Program BOS merupakan kebijakan yang tidak langsung ditujukan kepada keluarga miskin (murid) melalui sekolah berupa pembebasan biaya pendidikan dan untuk penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Sehingga program seperti ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat miskin. Tetapi dalam pelaksanaannya, ada beberapa hal yang harus dikritisi lagi :

1. Jika dalam program BKM bantuan hanya untuk siswa yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu, BOS jumlah yang diterima adalah berdasarkan jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut. Jadi dalam BOS, bantuan tidak hanya dikhususkan bagi murid dari keluarga miskin, tapi juga bagi seluruh siswa. Meskipun dengan program ini harapannya siswa tidak lagi dibebani biaya SPP dan diasumsikan dengan dana itu adanya sistem subsidi silang antara siswa mampu dan yang kurang mampu, tetapi dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Meskipun siswa tidak lagi dibebani biaya SPP, tetapi ternyata masih banyak iuran yang harus dibayarkan oleh orang tua siswa, terutama untuk kegiatan- kegiatan yang tidak bisa diakomodasi oleh dana BOS. Selain itu, siswa juga masih harus dibebani dengan biaya buku yang harganya cukup tinggi dan tentu saja sangat memberatkan bagi orang tua dari kalangan keluarga miskin. Apalagi dalam pelaksanaannya, dalam masalah penyediaan dan distribusi buku, siswa diharuskan membeli semua buku yang ‘diwajibkan’ oleh pihak sekolah atau dari kantor Dinas Pendidikan setempat dan buku-buku yang ada berganti setiap tahunnya. Sehingga dari sisi murid, pelaksanaan program ini kurang memenuhi asas keadilan karena beban yang diterima antara murid kurang mampu dengan murid dari kelurga mampu sama saja. 2. Tujuan program BOS sebenarnya adalah memberikan bantuan kepada sekolah dalam

rangka membebaskan iuran siswa, tetapi sekolah tetap dapat mempertahankan mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat. Tetapi dalam pelaksanaannya, pemberian dana yang merata untuk seluruh siswa dari sekolah-sekolah penerima, jika dilihat dari sisi pihak sekolah yang menerima dana BOS, hal ini cukup memberatkan terutama bagi sekolah yang jumlah muridnya sedikit dan sebagian besar berasal dari keluarga kurang/tidak mampu. Lewat program BOS, sekolah diberi wewenang penuh untuk mengelolanya, meskipun dalam penentuan program kegiatan yang akan dilaksanakan dengan menggunakan dana ini lewat kesepakatan dengan pihak wali murid. Dengan adanya dana ini, mengandung implikasi bahwa sekolah tidak lagi diperbolehkan menarik iuran SPP maupun iuran-iuran lain dari murid, kecuali untuk kegiatan-kegiatan tertentu dengan persetujuan wali murid lewat rapat komite sekolah dengan wali murid. Semua kegiatan operasional sekolah harus dibiayai dengan dana ini. Bagi sekolah dengan jumlah murid yang banyak, hal ini tidak begitu menjadi masalah karena dana BOS yang diterima besar sehingga bisa mencukupi untuk kegiatan operasional sekolah. Apalagi jika murid-murid

dari sekolah tersebut sebagian besar dari keluarga mampu, maka untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang tidak mampu dicukupi dari dana BOS, lewat rapat bersama komite sekolah, dana tersebut bisa dicukupi dengan iuran dari orang tua siswa ataupun yang sering dikatakan sifatnya ‘sumbangan sukarela’. Tetapi bagi sekolah dengan jumlah murid sedikit dan sebagian besar siswanya dari kalangan tidak mampu, dana BOS yang diterima seringkali tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan operasional sekolah. Hal ini ternyata juga berimplikasi pada kualitas pendidikan dan sarana belajar yang bisa diterima murid. Karena sekolah hanya bisa menyediakan sarana dan kegiatan yang secukupnya sesuai dengan ketersediaan dana. Ini yang banyak terjadi pada sekolah-sekolah didaerah pinggiran atau daerah minus seperti Desa Jotangan ini. Kondisi seperti ini yang menyebabkan terjadinya ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah kurang mampu dengan sekolah yang termasuk kategori mampu, sehingga berdampak juga pada kualitas murid yang dihasilkannya.

3. Pelaksanaan program BOS mengacu pada petunjuk pelaksanaan program yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Buku petunjuk tersebut digunakan sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program bagi seluruh pengelola pendidikan dari tingkat pusat sampai tingkat sekolah. Berdasarkan hal tersebut, maka perencanaan dalam Program BOS menggunakan tradisi analisis kebijakan dan pendekatan perencanaan secara atas bawah (top-down). Disini pemerintah pusat secara sentralistik menyusun dan merencanakan berbagai arahan dan pedoman sebagai dasar pelaksanaan program dan melibatkan berbagai institusi pemerintah dalam pelaksanaan program dan menempatkan masyarakat sebagai obyek penerima program. Pemerintah daerah hanya dilibatkan pada tahap pelaksanaan program melalui alokasi dana dari pemerintah pusat. Faktor yang mendorong terjadinya kebijakan yang demikian adalah faktor urgensi, yaitu faktor keterdesakan yang senantiasa mendorong para pengambil keputusan/kebijakan untuk bertindak cepat dan faktor jangkauan sektoral, dimana dalam hal ini perencanaan yang dilakukan hanya berdasarkan kepentingan yang bersifat departemental dan berfokus sektoral yang cukup sempit. Namun demikian, pendekatan sektoral yang telah berlangsung selama ini kurang berhasil dalam menanggulangi kemiskinan karena yang dipakai sebagai kriteria adalah target-target sektoral dan mementingkan target-target angka. Tanpa tujuan yang pasti dan disepakati bersama oleh berbagai pelaku, maka pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan hanya sekedar memenuhi target-target tersebut. Dilihat dari sisi efisiensi dan jenis serta manfaat program yang dilaksanakan, sebenarnya penggunaan tradisi analisis kebijakan dan pendekatan perencanaan secara top-down cukup bagus dilaksanakan. Tetapi dalam pelaksanaannya, terutama menyangkut jenis dan bentuk kegiatan dari penggunaan dana BOS, semestinya pemerintah pusat menyerahkannya kepada masing-masing daerah. Karena, bagaimanapun, pemerintah daerah yang lebih mengetahui kondisi dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Masing-masing daerah memiliki karakteristik dan permasalahan yang berbeda, sehingga tingkat kebutuhan akan suatu program juga berbeda-beda. Yang mana nantinya dalam pelaksanaannya, pemerintah daerah bisa melibatkan anggota masyarakat sehingga kesepakatan yang dicapai diantara anggota masyarakat dalam penentuan sasaran program bisa dicapai.

Terlepas dari segala kekurangan dalam pelaksanaan program PKPS BBM Bidang Pendidikan, keberlanjutan program ini dirasa masih sangat diperlukan. Karena tidak bisa dipungkiri, masyarakat miskin banyak yang bisa merasakan manfaat dari program ini. Tetapi dalam pelaksanaannya di masa mendatang, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan dan diperbaiki. Kebijakan pengentasan kemiskinan, termasuk di bidang pendidikan, selama ini lebih banyak didesain secara sentralistik oleh pemerintah pusat yang merancang program penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan dukungan alokasi dan distribusi anggaran

dari APBN. Pendekatan pengelolaan program yang masih bersifat sentralistik dan pelibatan pemerintah daerah yang sangat rendah menjadikan tanggung jawab pemerintah daerah sangat rendah, pengendalian pelaksanaan lemah, dan para penerima manfaat program tidak mampu melakukan kontrol terhadap keefektifan program yang dilaksanakan. Padahal dalam hal ini pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan aspirasi yang dimiliki daerahnya, dan masalah pendidikan yang dihadapi setiap daerah juga memiliki karakteristik yang berbeda- beda. Selain itu keterlibatan masyarakat umum maupun yang memperoleh manfaat program secara langsung relatif sangat kecil baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program. Sehingga dalam pelaksanaannya di masa mendatang, meski masih bersifat sentralistik dalam hal menyusun dan merencanakan berbagai arahan dan pedoman sebagai dasar pelaksanaan program, tetapi dalam penentuan sasaran, jenis kegiatan dan teknis pelaksanaannya, sebaiknya diserahkan kepada daerah masing-masing dengan melibatkan masyarakat sebagai penerima program. Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Program pengentasan kemiskinan akan dapat berhasil apabila kaum miskin menjadi aktor utama dalam program tersebut, sehingga sebaiknya pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat setempat.

Pemahaman masyarakat terhadap program-program pengentasan kemiskinan termasuk di bidang pendidikan juga belum baik. Jika ada program bantuan pemerintah, mayoritas masyarakat berbondong-bondong menyatakan diri sebagai orang miskin. Sosialisasi program oleh pemerintah pusat maupun Pemerintah Kabupaten yang lebih intensif untuk meningkatkan pemahaman baik masyarakat maupun aparatur pemerintah sehingga mempunyai pemahaman yang baik terhadap program-program yang dijalankan tersebut. Hal ini akan lebih membantu dalam keberhasilan dan keberlanjutan program di masa-masa yang akan datang.

Untuk lebih jelas mengetahui karakteristik program PKPS BBM Bidang Pendekatan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel IV.3

Karakteristik Perencanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) Bidang Pendidikan Dalam Pendekatan Top-Down

KARAKTERISTIK

Dokumen terkait