• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Konflik Dahrendorf

BAB I PENDAHULUAN

E. Kerangka Konseptual

4. Pendekatan Konflik Dahrendorf

Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu mahluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun Poerwadarminta, konflik berarti pertentangan atau percekcokan25. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan fisik ataupun ide antara dua belah pihak yang berseberangan.

Konflik berasal dari kata kerja latin configure yang bermakna saling memukul. Sedangkan secara sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih maupun antar kelompok dimana salah satu

orang ataupun salah satu kelompok berusaha menyingkirkan ataupun menghancurkan yang lain. Konflik juga dapat mengandung pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar individu, konflik antar keluarga sampai konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik antar masyarakat yang melibatkan kelompok yang lebih besar.

Teori konflik dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap Teori Fungsionalisme Struktural. Kalau menurut Teori Fungsionalisme Struktural masyarakat berada dalam kondisi keseimbangan maka menurut Teori Konflik sebaliknya. Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang

ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya26.

Asumsi yang mendasari teori sosial non-Marxian Dahrendorf antara lain:

(1) Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai andil bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial.

(2) Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan.

Dahrendorf menganalisis konflik dengan mengidentifikasi berbagai peranan dan kekuasaan dalam masyarakat. Perlu dipahami, kekuasaan dalam penelitian adalah para kelompok senioritas yang memerintahkan juniornya untuk melancarkan tawuran. Dahrendorf mengatakan bahwa kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan, karena mereka yang memegangnya

memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo27. Dalam masyarakat

selalu terdapat dua golongan yang bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang

26 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm. 25.

dikuasai. Dahrendorf melihat yang terlibat konflik adalah kelompok semu (quasi

group), yaitu para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang

sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan. Adapun kelompok kedua adalah kelompok kepentingan yang terdiri dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik dalam masyarakat.

Teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik memimpin ke arah perubahan dan pembangunan. Karena dalam situasi konflik golongan yang terlibat konflik melakukan tindakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konfliknya hebat, maka yang terjadi adalah perubahan secara radikal, bila konfliknya disertai kekerasan, maka perubahan konflik dengan mengabaikan norma-norma dan nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat.

Dahrendorf membuat kerangka konseptual yang disebut teori konflik atau teori koersif (paksaan), yang terdiri dari pengertian-pengertian berikut28:

a. Tiap-tiap masyarakat di segala bidangnya mengalami proses-proses perubahan; perubahan sosial terdapat dimana-mana.

b. Tiap-tiap masyarakat memperlihatkan perbantahan (dissensus) dan konflik di segala bidangnya; konflik sosial ada dimana-mana.

c. Tiap-tiap unsur di dalam masyarakat menyumbang kepada disintegrasi dan perubahannya.

28 K.J. Veeger, REALITAS SOSIAL: refleksi filsfat sosial atas hubungan

d. Tiap-tiap masyarakat berdiri atas dasar paksaan yang dikenakan oleh segelintir anggota atas sesama anggota lain.

Adapun fungsi konflik menurut Dahrendorf sebagai berikut:

(1) Membantu membersihkan suasana yang sedang kacau;

(2) Katub penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan;

(3) Energi-energi agresif dalam konflik realitas (berasal dari kekecewaan) dan konflik tidak realitas (berasal dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan), mungkin terakumulasi dalam proses interaksi lain sebelum ketegangan dalam situasi konflik diredakan;

(4) Konflik tidak selalu berakhir dengan rasa permusuhan;

(5) Konflik dapat dipakai sebagai indikator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan;

(6) Konflik dengan berbagai outgroup dapat memperkuat kohesi internal suatu kelompok.

Menurut Pierre van den Berghe, konflik memiliki empat fungsi, yaitu29 :

(1) Sebagai alat untuk memelihara solidaritas

(2) Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain (3) Mengaktifkan pernan individu yang semula terisolasi

(4) Fungsi komunikasi. Sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antara kelompok menjadi jelas. Individu dan kelompok tahu secara

29 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, 2010, Jakarta: Rajawali, hlm. 29.

pasti dimana mereka berdiri dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak dengan lebih tepat.

Bila mau melihat lebih dalam dari sisi positif, konflik bermakna kesempatan. Karena konflik merupakan ambang menuju kehadiran kesadaran yang baru, fase kehidupan yang baru, masuk kedalam pertumbuhan kepribadian yang lebih sehat dan sejahtera30. Dalam perubahan sosial, politik, dan ekonomi, konflik menjadi potensial untuk hadir. Jika individu atau masyarakat mampu mengelola konflik dengan cara yang bijak, maka sekalipun konflik itu bermuatan

negatif akan mampu diubah menjadi memiliki muatan positif, yakni lahirnya

sejumlah kesempatan untuk memasuki era kehidupan yang positif.

Namun, hal yang umum di Indonesia, khususnya dewasa ini adalah bahwa konflik seringkali dimaknai negatif. Akibatnya, konflik merupakan sesuatu yang sering atau harus dihindari oleh berbagai pihak, individu maupun kelompok, bahkan oleh aparat negara itu sendiri.

Kesimpulan penting yang dapat diambil adalah bahwa teori konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri. Masyarakat selalu dipandangnya dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan.

Konflik tidak selamanya berakibat negatif bagi masyarakat. Jika bisa dikelola dengan baik, konflik justru bisa menghasilkan hal-hal yang positif.

30 Sondang E. Sidabutar dkk, Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas, 2003, kerjasama KontraS dan Yayasan Pulih, hlm 6.

Misalnya, sebagai pemicu perubahan dalam masyarakat, memperbarui kualitas keputusan, menciptakan inovasi dan kreativitas, sebagai sarana evaluasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa jika konflik tidak dikelola dengan baik dan benar, maka akan menimbulkan dampak negatif dan merugikan bagi masyarakat.

5. Konsep Interaksi Sosial