• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

E. Pendekatan Kontekstual

Dalam suatu pembelajaran, suatu pendekatan yang dipilih dan dipakai bukanlah merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan suatu pembelajaran. Masih terdapat faktor-faktor lain yang turut menentukan keberhasilan suatu pembelajaran seperti kurikulum yang dipakai, kualitas guru, materi pembelajaran, strategi pembelajaran, sumber belajar dll. Penentuan pendekatan dirasa cukup penting karena penentuan materi, strategi, maupun bentuk penilaian harus selaras dengan pendekatan yang dipakai. Dalam penelitian ini, peneliti akan membahas banyak tentang pendekatan kontekstual.

Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dengan penerapannya dalam kehidupan sehari- hari baik itu sebagai anggota keluarga maupun masyarakat (Nurhadi, 2004:103).

Pendekatan kontekstual dirasa perlu, mengingat adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang sudah mereka pelajari dengan bagaimana memanfaatkan dan menerapkan pengetahuan mereka tersebut dalam kehidupan sehari- hari. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang mereka terima selama ini hanya mengarah pada kegiatan mengingat dan menghafal materi pelajaran yang cenderung teoritik. Pembelajaran tersebut tidak diikuti dengan pemahaman yang mendalam sehingga mereka tidak bisa menerapkan pengetahuan yang telah mereka dapat ketika berhadapan dengan permasalahan yang timbul dalam kehidupan sehari- hari. Jadi dapat dikatakan bahwa pembelajaran berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam hal “mengingat / menghafal”, akan tetapi gagal dalam membekali siswa memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Belajar aktif adalah suatu asas belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual, dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik (Natawidjaja, 1985:8).

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh dalam proses belajar-mengajar untuk mengetahui hubungan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata. Tidak hanya sampai mengetahui saja, akan tetapi siswa diharapkan juga mampu menerapkan dalam kehidupan keseharian mereka. Jadi siswa tidak hanya duduk diam, mencatat, mendengarkan, dan menghapalkan, akan tetapi

siswa berinteraksi dengan berbagai pihak baik itu dengan guru maupun dengan teman-temannya di dalam kelas. Dengan pembelajaran seperti ini, kemampuan berpikir (kognitif), menghargai pendapat orang lain (afektif), maupun berlatih mengemukakan pendapat (psikomotorik) dapat berkembang beriringan sejalan dengan proses pembelajaran.

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut:

a. Proses Belajar

Perencanaan pembelajaran tematik itu menyenangkan dan menantang kreatifitas saya namun sering kali memakan waktu lebih lama. Tidak jarang saya merasa kesulitan untuk menemukan media pembelajaran yang tepat sesuai dengan yang saya butuhkan, tetapi saya telah belajar untuk melibatkan peserta didik dalam merancang pembelajaran. Mereka membawa bahan-bahannya dari rumah kemudian mengembangkannya bersama-sama di kelas, seperti membuat topeng untuk bermain, alat demonstrasi untuk berbagai kegiatan permainan, dan puisi (http://www.idpeurope.org).

Belajar hendaknya tidak hanya dimaknai sebagai proses menghafal. Akan tetapi siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri melalui fakta- fakta dan pengalaman yang mereka alami dalam kehidupannya. Melalui pendekatan kontekstual, siswa diharapkan belajar melalui “mengalami”, bukan “menghafal”. Anak menemukan sendiri hal-hal yang bermakna dari pengetahuan baru, bukan diberi begitu saja oleh guru.

b. Transfer Belajar

Dalam pendekatan kontekstual, proses pembelajaran diharapkan berlangsung alamiah yakni siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain. Penting bagi siswa tahu tentang “untuk apa” ia belajar, dan “bagaimana” ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu. Dengan hal ini, mereka akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari dapat bermanfaat dan menjadi bekal bagi kehidupannya nanti. c. Siswa sebagai pembelajar

Seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal- hal yang baru. Oleh karena itu mereka tertarik untuk mencoba memecahkan setiap permasalahan yang baru dan menantang. Peran guru membantu agar setiap siswa mampu menemukan hubungan antara hal yang baru dengan pengalaman yang sudah diketahui dan dimiliki siswa. d. Pentingnya Lingkungan Belajar

Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Jadi guru hendaknya dapat mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan dan menunjang untuk proses belajar-mengajar. Proses belajar mengajar tidak harus berlangsung di dalam kelas saja, akan tetapi juga dapat dilakukan di luar kelas. Sebagai contohnya, berkaitan dengan materi permintaan, penawaran, dan harga keseimbangan, guru dapat memberikan tugas kepada siswa secara berkelompok untuk melakukan observasi di pasar-pasar terdekat.

2. Tujuh Pilar Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual memiliki tujuh pilar yang disusun agar pembelajaran menjadi lebih hidup. Berikut akan dijelaskan lebih mendalam mengenai masing- masing pilar pembelajaran kontekstual.

a. Konstruktivisme (Constructivism)

“Knowledge is constructed by humans, knowledge is not a set of facts, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something tat exists independent of knower. Human create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made” (Zahorik, 1995 dalam Nurhadi, 2004:45).

Konstruktivisme merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual, yaitu pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Pengetahuan merupakan hasil konstruksi manusia yang didasarkan pada pengalaman barunya sehingga pengetahuan juga berkembang.

Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain , dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuannya melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi

proses tersebut dengan cara: pertama, menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa. Kedua, memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri. Ketiga, menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

b. Menemukan (Inquiry)

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat fakta- fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri melalui kegiatan. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Adapun siklus inquiri dimulai dari observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan yang terakhir adalah penyimpulan.

c. Bertanya (Questioning)

Bertanya merupakan bagian yang penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui. Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari “bertanya”. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya hiterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Masyarakat belajar merupakan hasil pembelajaran yang diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Belajar yang baik adalah bersifat sosial. e. Pemodelan (Modeling)

Dalam sebuah pembelajaran diperlukan contoh-contoh sebagai model yang bisa ditiru baik itu perilaku belajar, cara mengerjakan sesuatu, cara mengoperasikan alat dll. Sebagian guru memberi contoh tentang cara kerja sesuatu, sebelum siswa mengerjakan tugasnya. Dalam pendekatan CTL, guru bukan merupakan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, selain itu model juga dapat didatangkan dari luar.

f. Refleksi (Reflection)

Refleksi merupakan cara berpikir tentang berbagai hal yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang hal- hal yang sudah dilakukan di masa lalu. Dengan kata lain merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau pengetahuan ya ng baru diterima. Siswa mengendapkan apa yang baru saja dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Realisasinya berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperolehnya hari itu, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, diskusi serta hasil karya.

g. Penilaian Otentik (Authentic Assessment)

Penilaian merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar guru bisa memastikan bahwa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Oleh karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan sepanjang proses pembelajaran, maka penilaian tidak dilakukan di akhir periode pembelajaran, tetapi dilakukan bersama secara terintegrasi dari kegiatan pembelajaran. Oleh karena penilaian menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh, dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.

3. Karakteristik Pembelajaran Berbasis CTL

Setiap model pembelajaran, pasti mempunyai karakteristik masing-masing baik itu CTL, CBSA, Quantum Learning, Student Active Learning,

Problem-Based Learning, Cooperative Learning dll. Sebenarnya inti dari berbagai model pembelajaran tersebut sama yakni bagaimana menghidupkan kelas. Hal ini dikarenakan kelas yang hidup adalah kelas yang memberdayakan siswa atau berfokus pada siswa sehingga timbul situasi yang produktif dan menyenangkan. Adapun karakteristik pembelajaran berbasis CTL yakni (Nurhadi, 2004:107):

a. Kerja sama dan saling menunjang

Dalam pembelajaran berbasis CTL, semua pihak yang terkait dengan proses belajar- mengajar dituntut saling bekerja sama dan saling menunjang. Siswa diharapkan dapat saling bekerja sama dengan berbagai pihak baik itu teman maupun guru dalam upaya menemukan sendiri pengetahuan, menghubungkan pengetahuan tersebut dengan dunia nyata, dan yang terakhir mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. b. Menyenangkan, tidak membosankan

Saya tidak pernah kagum pada sekolah-sekolah unggul yang menekankan agar anak-anak didiknya mendapat nilai delapan ke atas. Sekolahnya semua serba rapi, tetapi anak-anaknya justru tertekan. Lha untuk apa pintar kalau tidak happy," ujar Arief Rachman (http://rivafauziah.wordpress.com)

Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan dan situasi belajar turut mempengaruhi minat siswa untuk belajar. Oleh karena itu guru dituntut

untuk mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan baik itu melalui metode maupun strategi pembelajaran yang digunakan. Hendaknya guru menggunakan metode maupun strategi pembelajaran yang berbeda-beda untuk tiap pokok bahasan materi. Hal ini setidaknya dapat mencegah rasa kebosanan yang muncul dari siswa.

Rasa kebosanan dapat di minimalisir dengan beberapa permainan yang berkaitan dengan materi. Misalnya saja untuk materi permintaan dan penawaran, guru dapat mengajak siswa untuk bermain peran (role playing) dimana beberapa siswa ditunjuk untuk memodelkan seorang pembeli dan penjual di pasar.

c. Belajar dengan bergairah

Lingkungan dan situasi belajar secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap minat belajar siswa. Dalam pembelajaran CTL, lingkungan dan situasi belajar yang menyenangkan, secara tidak langsung dapat membuat siswa bersemangat untuk belajar. Dengan munculnya semangat belajar ini, kegiatan belajar akan tampak lebih hidup. Untuk itu diperlukan refleksi di akhir pembelajaran guna mendapatkan suatu evaluasi dari proses pembelajaran yang telah berlangsung. Apabila sebagian besar siswa menganggap pembelajaran berlangsung monoton dan membosankan, maka guru perlu membenahi metode mengajarnya.

d. Pembelajaran terintegrasi

Dalam pembelajaran CTL, belajar dipandang bukan sekedar proses mengumpulkan fakta yang lepas- lepas. Pengetahuan pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari pengalaman-pengalaman yang pernah dialami. Dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia tersebut, seperti pola berpikir, bertindak, dan memecahkan persoalan. Belajar hendaknya bersifat me nyeluruh sehingga didapat pengetahuan yang utuh. Belajar tidak hanya secara teoritik saja, akan tetapi juga disertai dengan upaya menghubungkan dan mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari- hari. Dalam hal ini siswa diajak untuk menkonstruksi sendiri pengetahuan baik itu berasal dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain.

e. Menggunakan berbagai sumber

Dalam pembelajaran konvensional, guru merupakan satu-satunya sumber belajar. Berbeda dengan pembelajaran CTL karena guru bukan lagi merupakan satu-satunya sumber belajar. Ada berbagai sumber belajar yang dapat digunakan siswa untuk belajar diantaranya buku pelajaran, televisi, radio, internet, pengalaman teman / orang lain dll. Dengan berbagai sumber bejar yang tersedia tersebut, pengetahuan siswa akan menjadi semakin luas. Dengan kata lain siswa dituntun untuk belajar menemukan sendiri pengetahuannya dari berbagai sumber belajar.

f. Siswa aktif, kritis dan guru kreatif

Pembelajaran berbasis CTL menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi dunia nyata sehingga mendorong siswa tersebut untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari- hari. Oleh karena itu, siswa hendaknya dapat bersikap aktif dan kritis dalam upaya menemukan pengetahuan yang baru tersebut. Siswa harus berani untuk bertanya apabila dia belum paham dan berani mengemukakan pendapatnya sendiri. Di pihak lain, guru harus bersikap kreatif dalam upaya menumbuhkan keaktifan siswa.

g. Sharing dengan teman

Karakteristik yang satu ini dapat termasuk ke dalam 2 pilar dari pembelajaran CTL yakni masyarakat belajar dan refleksi. Masyarakat belajar karena konsep ini menyarankan agar hasil belajar diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Hal ini berarti hasil belajar dapat diperoleh melalui sharing antar teman. Siswa yang sudah tahu, memberi tahu kepada siswa yang belum tahu. Dengan kata lain siswa saling berbagi informasi maupun pengalaman mereka masing- masing. Disisi lain termasuk refleksi karena dalam proses refleksi, siswa dapat mensharingkan apa yang telah diperoleh dari pelajaran hari itu. Selain itu mereka juga dapat mensharingkan (memberi kritik maupun saran) berkenaan dengan kegiatan belajar mengajar hari itu.

h. Dinding kelas dan lorong- lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar-gambar, artikel, humor, dll.

Dalam pembelajaran CTL, hasil karya siswa yang selama ini di buat tidak dibiarkan terbuang sia-sia begitu saja. Akan tetapi hasil karya tersebut dapat dimanfaatkan dengan cara memajangnya di dinding kelas maupun lorong- lorong kelas. Hal ini di satu sisi dapat menjadi hiasan kelas, dan di sisi lain merupakan suatu bentuk apresiasi terhadap hasil karya siswa yang telah dibuat. Dengan demikian itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi siswa sehingga secara tidak langsung memotivasi mereka untuk terus berkarya.

i. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tapi juga hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dll.

Salah satu pilar dari pembelajaran CTL adalah penilaian otentik dimana kemajuan belajar dinilai dari proses belajar bukan hanya hasil belajar yang berbentuk rapor saja. Oleh karena penekanannya pada proses belajar maka kemajuan belajar siswa dapat diukur dengan berbagai cara misalnya dengan hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, pekerjaan rumah, presentasi dan penampilan siswa, dll.

4. Kesimpulan mengenai kaitan antara 7 pilar CTL dengan karakteristik dari pembelajaran CTL

a. Kreatif (Inquiry)

Berkenaan dengan 2 pilar dari CTL yakni konstruktivisme dan menemukan, maka belajar hendaknya bersifat menyeluruh sehingga didapat pengetauan yang utuh. Ini dapat diartikan bahwa belajar tidak hanya secara teoritik saja, akan tetapi juga disertai dengan upaya untuk menghubungkan dan mencoba menerapkan dalam kehidupan sehari- hari. Oleh karena itu siswa diajak untuk kreatif dalam mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Dalam upaya mengkonstruksi suatu pengetahuan, siswa juga harus kreatif untuk menemukan suatu pengetahuan dari berbagai sumber belajar seperti buku pelajaran, televisi, radio, internet, pengalaman teman/orang lain, dll.

Tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan dan situasi belajar turut mempengaruhi minat siswa untuk belajar. Oleh karena itu guru dituntut untuk mampu menciptakan situasi belajar yang menyenangkan melalui metode- metode belajar yang menarik. Misalnya saja pembelajaran yang diselingi dengan permainan-permainan yang berkaitan dengan materi. Hal ini tentunya dapat meminimalisir rasa kebosanan siswa dalam belajar. Selain itu, untuk menciptakan lingkungan belajar yang menarik, guru dapat melakukan pembelajaran di luar kelas, misalnya di kebun sekolah yang sejuk, pendopo, di pasar terdekat, dll.

b. Kritis (Bertanya)

Bertanya merupakan kegiatan yang penting dalam upaya menemukan suatu pengetahuan. Oleh karena itu, siswa hendaknya bersikap kritis dalam upaya menemukan pengetahuan yang baru tersebut. Siswa harus berani untuk bertanya apabila dia belum paham dan berani mengemukakan pendapatnya sendiri. Di pihak lain, guru harus bersikap kreatif dalam upaya menumbuhkan keaktifan siswa.

c. Diskusi

Salah satu pilar dari pembelajaran CTL adalah masyarakat belajar dimana konsep ini menyarankan agar hasil belajar diperoleh melalui kerja sama dengan orang lain. Hal ini berarti hasil belajar dapat diperoleh melalui sharing antar teman. Siswa yang sudah tahu, memberi tahu kepada siswa yang belum tahu. Dengan kata lain siswa saling berbagi informasi maupun pengalaman mereka masing- masing.

d. Refleksi

Refleksi dilakukan seusai kegiatan belajar-mengajar. Melalui refleksi ini, siswa dapat berpikir kembali apa yang telah dipelajarinya tadi dan kemudian mensharingkannya pada teman maupun guru tentang apa yang telah diperolehnya dari pelajaran hari itu baik itu secara lisan maupun tertulis. Selain itu mereka juga dapat mengungkapkan baik itu kesan maupun saran berkenaan dengan pembelajaran hari itu. Suasana

kebersamaan nampak ketika para siswa memberikan saran-saran yang berguna untuk memajukan pembelajaran di kelasnya.

e. Pemodelan

Sepenggal pepatah dari Ki Hajar Dewantoro berbunyi “Ing Ngarso Sun Tuladha” yang mana dapat diartikan di depan harus memberikan contoh bagi yang dibelakangnya. Penggalan pepatah inilah yang mencerminkan sikap seorang guru dimana guru harus memberikan contoh yang baik bagi siswa-siswanya. Ibaratnya guru berperan sebagai model yang ditiru baik itu perilaku belajar, cara mengerjakan sesuatu, cara mengoperasikan alat, dll. Namun perlu diingat bahwa dalam pembelajaran CTL, guru bukanlah merupakan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa maupun orang luar. Misalnya saja untuk materi permintaan dan penawaran, guru dapat mengajak siswa untuk bermain peran (role playing) dimana beberapa siswa ditunjuk untuk memodelkan seorang pembeli dan penjual di pasar.

f. Penilaian otentik

Dalam pembelajaran CTL, kemajuan belajar dinilai bukan hanya dari hasil belajar yang berbentuk rapor saja. Akan tetapi juga meliputi proses belajar secara menyeluruh. Oleh karena itu kemajuan belajar siswa dapat diukur dengan berbagai cara diantaranya seperti hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, pekerjaan rumah, presentasi dan penampilan siswa, dll. Dan perlu menjadi catatan disini bahwa hasil karya

siswa yang telah dibuat, tidak dibiarkan terbuang sia-sia begitu saja. Akan tetapi hasil karya tersebut dapat dimanfaatkan dengan mema jangnya di dinding maupun lorong kelas. Hal ini di satu sisi dapat menjadi hiasan kelas, dan di sisi lain merupakan suatu bentuk apresiasi terhadap hasil karya siswa yang telah dibuat. Dengan demikian itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi siswa sehingga secara tidak langsung memotivasi mereka untuk terus berkarya.

5. Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas

Secara garis besar penerapan CTL dalam kelas adalah berikut ini: kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. Ciptakan masyarakat belajar, hadirkan model sebagai contoh pembelajaran, lakukan refleksi di akhir pertemuan. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara (Nurhadi, 2004:106).

Ada beberapa pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk melaksanakan pembelajaran kontekstual. Salah satunya yakni pendekatan kooperatif. Pendekatan kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar . Strategi pembelajaran cooperative learning menekankan pada proses kerja sama dalam suatu kelompok yang terdiri dari 3-5 orang siswa (Nurhadi, 2004:112).

Melalui pendekatan ini, siswa didorong untuk bekerja sama secara maksimal sesuai dengan keadaan kelompoknya. Yang dimaksud kerja sama disini yakni setiap anggota kelompok harus saling bantu. Sebagai contoh siswa yang paham atas materi yang dipelajari, membantu teman sekelompoknya yang belum paham. Hal ini dikarenakan penilaian akhir ada di tangan masing- masing siswa maupun kelompok. Kegagalan seorang siswa dalam kelompok, sama juga kegagalan kelompok tersebut. Demikian pula sebaliknya keberhasilan seorang siswa dalam kelompok, sama juga keberhasilan bagi kelompok tersebut. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawab penuh terhadap kelompoknya. Hal ini sejalan dengan salah satu pilar pendekatan kontekstual yakni terciptanya masyarakat belajar.

6. Penyusunan Rencana Pembelajaran Berbasis Kontekstual

Dokumen terkait