• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

B. PENDEKATAN MUTU INTRINSIK DAN EKSTRINSIK

4. Pendekatan Northen (2000)

Secara umum, model atribut mutu yang dikembangkan oleh Northen merupakan penjabaran lebih lanjut mengenai atribut mutu intrinsik. Menurut Bredahl et al. (2001), atribut mutu dibagi menjadi dua atribut utama, yaitu atribut produk dan atribut proses. Atribut produk berkaitan dengan atribut fisik yang terdapat pada produk. Atribut proses merupakan bagian dari proses produksi dan tidak dapat dideteksi saat produk tersebut dikonsumsi. Penggolongan atribut produk berdasarkan pendekatan Northen dapat dilihat pada Tabel 1. Perbedaan antara isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik terletak pada perbedaan experience quality dan credence quality. Isyarat ektrinsik diasumsikan sebagai credence quality (tidak dapat dideteksi oleh konsumen), sedangkan isyarat intrinsik diasumsikan sebagai experience quality (dapat dideteksi konsumen setelah dilakukan konsumsi produk). Atribut proses juga digolongkan sebagai credence quality. Beberapa atribut proses hanya dapat dikomunikasikan melalui indikator ekstrinsik (Bredahl et al. 2001).

Tabel 1. Penggolongan atribut mutu proses dan produk

Atribut Proses

Atribut Produk

Isyarat Ekstrinsik Isyarat Intrinsik

Keamanan Pangan Gizi Sensori Fungsional

Animal welfare Patogen Kadar lemak Rasa Kemudahan

Bioteknologi Residu Kalori Tekstur Umur simpan

Produksi organik Promotor pertumbuhan Serat Tenderness

Ketertelusuran BTP Natrium Juiciness

Pakan Pakan Vitamin

Racun Mineral

Kontaminan fisik

Sumber: Northen (2000) diacu dalam Bredahl et al. (2001)

C.

MUTU INTRINSIK DAN EKSTRINSIK KLASIFIKASI CASWELL

Model proses persepsi konsumen yang dikembangkan oleh Caswell memiliki dasar pembedaan pada dimensi lingkungan informasi (atribut search, experience, dan credence quality). Model ini masih mengacu proses persepsi mutu yang dikembangkan oleh Steenkamp. Caswell menjelaskan kerangka kerja mutu yang menggambarkan proses penerimaan mutu. Kerangka kerja mutu yang dikembangkan oleh Caswell dapat dilihat pada Gambar 3. Mutu yang diharapkan konsumen

merupakan bentuk dari pengalaman dan pengetahuan mutu yang diperoleh konsumen. Pengalaman tersebut dapat berupa tingkat pendidikan, kesadaran dan pengetahuan tentang mutu, serta risiko mutu yang pernah dirasakan. Di samping itu juga dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor lain yang berasal dari lingkungan. Mutu intrinsik dilihat dari lingkungan informasi yang diterima oleh konsumen, baik dalam bentuk atribut search, experience, dan credence quality. Menurut Caswell (2000), atribut intrinsik mencakup karakteristik fisik produk dan ditambah dengan atribut lain yang mendefinisikan mutu produk. Mutu ekstrinsik lebih didukung oleh startegi dan usaha pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan. Penggolongan atribut mutu intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan oleh Caswell dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Kerangka kerja mutu (Caswell 2000)

Pengalaman sebelumnya: tingkat pendidikan, risiko mutu yang dirasakan, kesadaran mutu, tujuan penggunaan, faktor personal dan situasional

Usaha pemasaran

Indikator Extrinsic search

Mutu yang diharapkan Atribut Intrinsic search Atribut Intrinsic experience Atribut Intrinsic credence

9 Gambar 4. Atribut mutu intrinsik dan ekstrinsik (Caswell 2000)

Pada awalnya atribut mutu pada produk pangan hanya dibagi menjadi beberapa atribut. Caswell (1998) diacu dalam Lakni dan Mudalige (2009), mengelompokkan atribut mutu utama yang terdiri dari lima bagian, yaitu (1) keamanan pangan, (2) gizi, (3) nilai, (4) kemasan, dan (5) proses.

Atribut keamanan pangan mencakup aspek mikroba patogen, kontaminan fisik, senyawa toksik, dan residu pada produk pangan. Atribut gizi mencakup kadar lemak, kalori, serat, natrium, vitamin, mineral, dan lain-lain. Atribut nilai terdiri dari kemurnian, ukuran, penampakan, kemudahan dalam penyajian, dan rasa. Atribut nilai produk yang tinggi mendukung daya saing produk di pasaran. Atribut nilai tidak berhubungan secara langsung dengan keamanan pangan dan nilai gizi pangan (Lakni dan Mudalige 2009). Atribut kemasan terdiri dari sistem pengemasan, pelabelan, dan informasi yang tercantum dalam label. Informasi pada label merupakan bentuk dari atribut mutu ekstrinsik yang

Atribut Mutu Instrinsik Atribut Keamanan Pangan

Keracunan (patogen) Logam berat dan racun Pestisida dan residu obat Kontaminasi tanah dan air BTP dan pengawet Bahaya fisik

Kerusakan dan botulin Irradiasi dan fumigasi Lain-lain

Atribut Gizi Kalori

Kadar lemak dan kolesterol Garam dan mineral Kadar karbohidrat dan serat Protein

Vitamin Lain-lain Atribut Sensori

Rasa dan keempukan Warna Penampakan Kesegaran Kelembutan Bau/ aroma Lain-lain Atribut Nilai/ Fungsi

Integritas komposisi Ukuran Gaya Preparasi/ kemudahan Bahan kemasan Daya tahan Lain-lain Atribut Proses Kesejahteraan hewan Keaslian proses/ tempat asal Ketertelusuran

Bioteknologi/ biokimia Organik/ dampak lingkungan Keselamatan pekerja Lain-lain

Atribut Mutu Ekstrinsik Test/ Indikator Pengukuran

Sistem manajemen mutu Sertifikasi

Rekaman Pelabelan

Standar mutu minimum Lisensi pekerjaan Lain-lain Isyarat Harga Merek dagang Nama produsen Nama toko Pengemasan Iklan Daerah asal Outlet distribusi Garansi Reputasi

Pengalaman pasca beli Informasi lain

membantu konsumen untuk menduga mutu dan kinerja produk yang bersifat credence quality. Menurut Caswell (2000), indikator ekstrinsik dapat mengubah atribut intrinsik yang bersifat credence menjadi indikator atau isyarat ekstrinsik search, yang dapat memfasilitasi evaluasi mutu yang dilakukan oleh pembeli maupun penjual. Atribut proses dapat berupa aspek kesejahteraan hewan, bioteknologi, keselamatan kerja, dan dampak lingkungan. Atribut ini tidak berkaitan secara langsung dengan kondisi fisik produk.

D.

TAKSONOMI MODEL PERILAKU KONSUMEN

Konsumen memiliki pertimbangan tersendiri dalam memilih produk yang akan dibeli atau dikonsumsi. Pertimbangan tersebut mencakup atribut-atribut mutu yang terdapat pada produk maupun faktor lain yang berkaitan dengan proses pembelian produk. Proses yang dialami konsumen dimulai dari pertimbangan sebelum pembelian sampai efek yang ditimbulkan pasca pembelian ini disebut dengan perilaku konsumen. Perilaku kosumen berhubungan dengan usaha untuk mencari informasi dan mengevaluasi mutu produk agar memperoleh produk yang sesuai dengan kebutuhan.

Model perilaku konsumen dapat dipelajari menggunakan Taxonomy of Consumer Behaviour Model. Taksonomi ini menggambarkan tahapan yang dilalui konsumen dalam memilih produk, meliputi tahapan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi, pembelian, dan pasca pembelian. Taksonomi model perilaku konsumen dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Taksonomi model perilaku konsumen

No Tahapan Variabel dependen (Xi)

Model (jenis persamaan) yang digunakan

1 Kebutuhan Pembelian (pilihan) Model pilihan biner Waktu pembelian

2 Pencarian informasi

Kesadaran Model kesadaran individu Sekumpulan pertimbangan Model pertimbangan Sekumpulan pilihan

Dinamika kepercayaan Model integrasi informasi

3 Evaluasi

Persepsi produk Perceptual mapping (MDS) Preferensi produk Model attitude

(compensatory/ non-compensatory)

4 Pembelian

Pilihan merek Model pilihan diskret Pilihan tempat pembelian Model hierarkhi Pilihan kuantitas

5 Pasca pembelian

Merek Model kepuasan

Kepuasan/ kejenuhan Model pencarian variasi

Word-of-mouth Model komunikasi

Sumber: Robert dan Lilien (1993)

Perilaku konsumen berawal dari adanya suatu kebutuhan. Konsumen tidak dapat terlepas dari keinginan atau kebutuhan. Kebutuhan ini muncul karena adanya faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal meliputi faktor alami yang terjadi pada manusia, misalnya rasa lapar, haus, atau memerlukan sesuatu hal. Ketika faktor internal tersebut sudah melewati ambang batas tertentu, akan menjadi dorongan yang kuat terhadap konsumen untuk segera memenuhi kebutuhan tersebut. Di

11 samping itu, faktor eksternal yang berada di sekitar konsumen (informasi, iklan, keunggulan produk, dan lain-lain) juga dapat memicu munculnya ketertarikan konsumen terhadap suatu hal yang nantinya dapat menjadi suatu kebutuhan. Selanjutnya konsumen terdorong untuk menggali informasi guna mencari jenis produk yang tepat untuk dapat memenuhi kebutuhannya itu.

Kebutuhan manusia dapat bersifat biner. Artinya konsumen bisa saja memiliki sumber daya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Di samping itu, juga terdapat pertimbangan konsumen apakah kebutuhan tersebut benar-benar diperlukan. Di sisi lain, konsumen bisa juga tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Robert dan Lilien (1993) menjelaskan kebutuhan konsumen dapat dibuat model yang terdiri dari nilai utilitas/ value (VBi) dan kesalahan

penilaian/ error (ƐBi). Model tersebut dapat dilihat pada Persamaan 1. Nilai dari utilitas produk

menggambarkan nilai yang ada pada suatu kebutuhan dibandingkan dengan alternatif yang lain. Kesalahan penilaian (error) merupakan gangguan akibat pemilihan suatu alternatif kebutuhan.

UBi = VBi+ ƐBi……… Persamaan 1

Keterangan : UBi = utilitas yang diharapkan (dibeli)

VBi = nilai utilitas yang sebenarnya

ƐBi = kesalahan penilaian

Setelah konsumen memutuskan akan membeli produk untuk memenuhi kebutuhan, langkah selanjutnya yang dilakukan konsumen adalah mencari informasi tentang produk. Pencarian informasi ini dimaksudkan untuk memperoleh produk yang memiliki nilai mutu paling tinggi. Pada proses ini konsumen memiliki sekumpulan pertimbangan (consideration set) yang terdiri dari beragam jenis produk. Setelah dilakukan pertimbangan, beberapa jenis produk yang tidak sesuai kriteria akan dieliminasi. Jenis produk yang terpilih selanjutnya akan melalui tahap evaluasi agar dapat mengetahui mutu produk lebih lanjut.

Proses evaluasi terdiri dari dua komponen, yaitu persepsi dan preferensi. Konsumen akan membentuk kepercayaan atau anggapan tentang fitur dari alternatif produk (persepsi). Berdasarkan persepsi tersebut, kemudian konsumen mengambil sikap (attitude) terhadap beberapa produk (Rober dan Lilien 1993). Persepsi konsumen berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan setiap konsumen memililih atribut/ kriteria yang relevan dengan kebutuhannya. Persepsi digunakan konsumen untuk membentuk preferensi produk, yang digunakan untuk menilai produk berdasarkan kombinasi atribut mutu produk. Dalam pengukuran preferensi konsumen, model preferensi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu compensatory dan non-compensatory. Pada model compensatory, kelemahan salah satu atribut produk dapat ditutupi dengan kelebihan pada atribut yang lain. Sebaliknya, pada model non-compensatory, kelemahan salah satu atribut tidak dapat ditutupi oleh atribut yang lain. Bass dan Talarzyk (1972) mengemukakan model pembentukan preferensi yang disebut dengan model kepercayaan-kepentingan (Persamaan 2). Model ini menggambarkan sikap (attitude) terhadap merek merupakan fungsi dari kepercayaan terhadap suatu atribut dan tingkat kepentingan dari atribut tersebut.

A = ∑bi Ii ………..………… Persamaan 2

Keterangan : A = sikap (attitude) terhadap produk bi = kepercayaan (belief) terhadap atribut i

Pada tahap pembelian, konsumen memilih produk yang memiliki beberapa atribut mutu yang relevan dengan kebutuhannya. Produk ini cenderung memiliki nilai atribut mutu yang lebih tinggi dari alternatif produk sejenis. Tahap pembelian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut berupa perubahan faktor situasional, seperti tingkat pendapatan, harga produk, dan keunggulan dari produk (Robert dan Lilien 1993). Waktu pembelian juga dapat mempengaruhi sikap dalam proses pembelian. Tekanan waktu dapat mempengaruhi secara cepat terhadap proses persepsi dan keputusan pembelian. Menurut Steenkamp (1989) diacu dalam Lazarova (2010), tekanan waktu menyebabkan konsumen lebih sedikit menggunakan isyarat mutu yang tersedia, konsumen lebih banyak mendapatkan informasi negatif, dan konsumen cenderung menggolongkan mutu ke dalam kategori dapat diterima atau tidak dapat diterima.

Tahap pasca beli merupakan evaluasi konsumen terhadap atribut mutu produk setelah dikonsumsi. Tahap ini merupakan tahap yang sangat kritis karena menentukan akan atau tidaknya dilakukan pembelian berulang pada jenis dan merek produk yang sama. Hal ini menyangkut bagaimana tingkat kepuasan konsumen terhadap atribut mutu produk. Tingkat kepuasan merupakan jarak perbedaan antara mutu yang diharapkan dengan mutu yang dirasakan. Apabila mutu produk yang dirasakan sama atau paling tidak gap negatif yang terbentuk antara mutu yang dirasakan dengan mutu yang diharapkan tidak terlalu besar, maka kemungkinan terjadi pembelian berulang terhadap produk tersebut akan semakin besar. Di samping itu, kepuasan yang dirasakan konsumen juga dapat mendorong informasi positif tentang suatu produk. Dalam hal ini, konsumen akan memberikan rekomendasi produk kepada konsumen lain yang membutuhkan informasi tentang produk tersebut.

E.

PRODUK PANGAN KEMASAN

Pangan kemasan merupakan produk pangan yang telah mengalami proses pengolahan sebagian maupun seluruhnya dan selanjutnya dikemas dengan kemasan makanan melalui teknik dan jenis kemasan tertentu. Hasil pengolahan pangan tersebut menghasilkan dua kondisi, yaitu pangan siap makan (ready to eat) dan pangan siap masak (ready to cook). Pangan siap makan merupakan jenis makanan yang siap dikonsumsi tanpa melalui proses pengolahan atau pemasakan lebih lanjut, seperti makanan ringan, minuman, sari buah, acar, dan lain-lain. Pangan siap masak merupakan makanan yang harus diolah atau dimasak terlebih dahulu. Proses pemasakan ini dapat berupa pengolahan pada suhu tinggi maupun dengan penambahan pangan lain atau bahan tambahan pangan.

Pangan kemasan memiliki dua aspek keunggulan, yaitu kemudahan dan daya simpan. Proses pengolahan yang telah dilakukan pada produk pangan sebelum dikemas menyebabkan produk tersebut lebih mudah dalam pengolahan selanjutnya. Untuk mengolah produk pangan tersebut menjadi produk yang siap untuk dimakan, dibutuhkan waktu yang lebih singkat. Di samping itu dengan adanya pengemasan, produk pangan tersebut memiliki masa simpan yang lebih panjang dan mudah dalam proses distribusi maupun penyimpanan.

Menurut Holdsword dan Simpson (2008), kemasan pangan dapat dibedakan dalam empat material, yaitu logam (kaleng), gelas, plastik rigid, dan retortable pouch. Kemasan logam dalam bentuk kaleng alumunium banyak digunakan pada produk minuman. Di dalam kaleng tersebut dilapisi dengan lacquer untuk mencegah korosi dan kontaminasi pada produk pangan di dalamnya. Botol gelas banyak digunakan pada pangan kemasan dan minuman. Kemasan gelas memiliki kelebihan karena memiliki sedikit interaksi dengan pangan dan sifatnya yang transparan. Kemasan plastik banyak digunakan untuk kemasan pangan siap makan, seperti makanan ringan. Kemasan plastik rigid banyak digunakan karena mudah dibentuk. Retortable pouch umumnya digunakan pada produk

13 minuman dan susu. Retortable pouch merupakan kemasan (kantong) yang telah mengalami laminasi dan tahan terhadap proses panas.

F.

MI INSTAN

Mi instan merupakan salah satu jenis produk pasta atau ekstrusi. Menurut SNI 01-3551-2000, mi instan dibuat dari adonan terigu, tepung beras, atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya. Definisi tersebut meliputi mi (dari terigu), bihun (dari beras dan sagu), sohun (dari pati kacang hijau dan sagu), dan kwetiau (dari beras dan atau terigu). Mi dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses gelatininsasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lain. Definisi instan dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan memerlukan proses rehidrasi untuk siap dikonsumsi. Syarat mutu mi instan menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan proses pengeringannya, mi instan dibedakan menjadi dua macam, yaitu mi instan goreng dan mi instan kering. Mi instan goreng (instant fried noodle) dikeringkan dengan cara digoreng dalam minyak, sedangkan mi instan kering (instant dried noodle) dikeringkan dengan udara panas. Menurut Astawan (1999) diacu dalam Wijaya (2010), mi instan goreng mampu menyerap minyak 20% selama penggorengan. Kandungan minyak dalam mi menyebabkan mi instan goreng memiliki keunggulan rasa dibandingan dengan jenis mi yang lain (Dessyana 2010). Namun, mi instan goreng memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami ketengikan. Keunggulan mi instan kering yaitu kadar air yang lebih rendah dan lebih tahan lama atau tidak mudah tengik (Wijaya 2010).

Berdasarkan cara memasaknya, mi instan dibedakan menjadi dua macam. Pertama, mi instan yang dimasak dengan cara direbus langsung dalam air mendidih. Waktu yang diperlukan untuk merebus mi instan adalah 3-5 menit. Kedua, mi instan yang dimasak dengan cara diseduh dengan air panas selama 3-5 menit. Perkembangan mi instan yang diseduh ini menghasilkan beberapa jenis mi instan, seperti mi instan gelas, cup noodle, dan bowl noodle. Mi instan yang diseduh dengan air panas dianggap lebih praktis daripada mi yang direbus. Contoh mi instan yang ada di pasaran (baik yang diseduh maupun yang direbus) dapat dilihat pada Gambar 5.

Bahan baku utama dalam pembuatan mi instan adalah terigu, tepung beras, dan tepung lainnya yang dibentuk adonan dengan bantuan penambahan air. Selain bahan tersebut, dalam pembuatan mi instan juga ditambahkan bahan baku lain. Bahan baku lain yang sering ditambahkan dalam pembuatan mi instan dapat dilihat pada Tabel 4.

Terigu digunakan sebagai bahan baku mi karena memiliki kandungan gluten yang tinggi sehingga menghasilkan mi yang tidak mudah putus selama proses pencetakan dan pemasakan (Suseno 2010). Terigu yang digunakan adalah jenis hard flour yang memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu sekitar 12-13% (Dessyana 2010). Air berfungsi sebagai media reaksi antara karbohidrat dengan gluten, sebagai pelarut garam, dan pembentuk sifat kenyal. Garam berfungsi memberi rasa, memperkuat tekstur, dan meningkatkan elastisitas mi. Soda abu (campuran natrium karbonat dan kalium karbonat dengan perbandingan 1:1) berfungsi mempercepat pembentukan gluten, meningkatkan kehalusan tekstur, dan meningkatkan kekenyalan. Dalam pembuatan mi juga digunakan bahan pengembang seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulose) yang dapat mempengaruhi sifat adonan, memperbaiki ketahanan terhadap air, dan mempertahankan keempukan mi selama penyimpanan. Zat warna juga sering ditambahkan untuk memberikan warna kuning khas pada mi. Zat warna yang sering digunakan pada mi instan adalah tartrazin.

Tabel 3. Syarat mutu mi instan menurut SNI 01-3551-2000

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan2)

1.1 Tekstur - normal/ dapat diterima

1.2 Aroma - normal/ dapat diterima

1.3 Rasa - normal/ dapat diterima

1.4 Warna - normal/ dapat diterima

2 Benda asing - tidak boleh ada

3 Keutuhan1) % bb min 90

4 Kadar air2)

4.1 Proses penggorengan % bb maks 10,0

4.2 Proses pengeringan % bb maks 14,5

5 Kadar protein2)

5.1 Mi dari terigu % bb min 8,0

5.2 Mi dari bukan terigu % bb min 4,0 6 Bilangan asam1) mg KOH/ g minyak maks 2,0 7 Cemaran logam2)

7.1 Timbal (Pb) mg/ kg maks 2,0

7.2 Raksa (Hg) mg/ kg maks 0,05

8 Arsen (As)2) mg/ kg maks 0,5

9 Cemaran mikroba2)

9.1 Angka lempeng total koloni/ g maks 1,0 x 106

9.2 E. coli APM/ g < 3

9.3 Salmonella - negatif per 25 g

9.4 Kapang koloni/ g maks 1,0 x 103

1) Berlaku untuk keping mi

2) Berlaku untuk keping mi dan bumbunya

CATATAN Persyaratan mutu pada tingakat pedagang eceran Sumber: BSN (2000)

Proses pembuatan mi instan secara umum terdiri dari pencampuran, pencetakan, pengukusan, pengeringan, dan pengemasan. Proses pencampuran bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air, menghasilkan adonan yang homogen, dan menarik serat-serat gluten. Pencampuran dilakukan pada suhu dan selang waktu tertentu. Pencetakan bertujuan untuk membentuk lembaran mi dari adonan dan kemudian dibentuk menjadi untaian mi. Mi instan komersial biasanya dicetak dengan ketebalan 1.8– 3.2 mm. Pengukusan dilakukan untuk mematangkan mi. Pada proses pengukusan terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten yang menyebabkan mi bersifat solid dan kenyal. Pengukusan umumnya dilakukan pada suhu 90-100OC. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air sehingga meningkatkan umur simpan. Pengeringan dapat dilakukan dengan proses penggorengan atau proses pengeringan dengan udara panas. Menurut Suseno (2010), penggorengan dilakukan pada suhu 140- 150OC selama 60-70 detik untuk mi kemasan biasa dan 157-160OC selama 90-120 detik untuk mi

15 dalam cup. Tahap terakhir adalah pengemasan. Sebelum mi instan dikemas, dilakukan proses pendinginan terlebih dahulu untuk menurunkan suhu mi setelah pengeringan dan mencegah oksidasi minyak.

Gambar 5. Jenis mi instan (a) mi instan biasa (b) cup noodle (c) mi instan gelas (d) bowl noodle

Tabel 4. Bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan mi instan No Bahan lain yang ditambahkan

1 Pati dan tepung lainnya 2 Garam

3 Hidrokoloid

4 Gula dan turunannya 5 Lemak dan minyak

6 Bahan tambahan pangan yang diizinkan 7 Bahan penyedap rasa dan aroma yang diizinkan 8 Rempah-rempah dan produk olahannya 9 Telur dan produk olahannya

10 Daging ternak, unggas, produk perairan, dan produk olahannya 11 Susu dan produk olahannya

12 Sayur dan produk olahannya 13 Buah dan produk olahannya 14 Vitamin dan mineral Sumber : BSN (2000)

G.

SURVEI ONLINE BERBASIS WEB

Survei merupakan salah satu metode untuk mengumpulkan data atau informasi. Berbeda dengan sensus yang mengambil data dari seluruh populasi, survei hanya menggali informasi atau data yang ada pada suatu populasi. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Hasil survei ini nantinya digeneralisasi dan dapat digunakan untuk menjelaskan suatu pola atau kecenderungan yang terdapat pada populasi tertentu. Survei

(a)

(b)

mengandalkan jawaban dari responden untuk mempelajari pemikiran individu, perasaan, dan perilaku serta untuk mengamati tren sosial (Schwarz 1999). Survei merupakan sarana yang kurang sempurna untuk mengumpulkan data (Andrews et al. 2003) karena hanya diperlukan sejumlah responden yang digunakan sebagai sampel dari suatu populasi. Oleh karena itu, dalam survei sangat perlu diperhatikan teknik yang digunakan untuk mendapatkan data seakurat mungkin, sehingga dapat menjelaskan kondisi dari suatu populasi.

Metode yang digunakan dalam melakukan survei terus berkembang dari waktu ke waktu. Pada tahun 1930-an dan 1940-an, survei dilakukan dengan cara wawancara langsung (face to face) atau dengan menggunakan surat. Pada tahun 1970-an, adopsi jaringan telepon menyebabkan wawancara melalui telepon menjadi alternatif dalam melakukan survei. Survei yang dilakukan secara personal (langsung), melalui surat, atau melalui telepon mengeluarkan biaya yang beragam, mencakup waktu, desain kuesioner, fasilitas fisik, dan kecepatan melakukan survei (Evans dan Mathur 2005). Saat ini, perkembangan internet yang sangat pesat menyebabkan survei online dapat dipertimbangkan sebagai metode survei karena memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki metode survei yang lain.

Internet mengalami perkembangan yang cepat sejak ditemukan pada akhir tahun 1960-an, baik dari segi teknologi maupun fungsi. Pengaruh ini juga terlihat dalam penggunaannya sebagai media survei. Selama abad ke duapuluh, terdapat kemajuan besar dalam teknik dan teknologi yang digunakan dalam penelitian survei, mulai dari sampling sistematis sampai dengan peningkatan desain kuesioner dan analisis data dengan komputer (Evans dan Mathur 2005). Menurut Schonlau et al. (2001), teknologi telah merevolusi cara mengelola survei yang ditandai dengan munculnya survei email pertama pada tahun 1980 dan survei berbasis web pada awal tahun 1990-an. Survei dengan media email maupun dengan web memiliki cakupan wilayah yang lebih luas daripada survei metode konvensional biasa. Survei tersebut dapat dilakukan lintas negara, sehingga memperoleh sampel yang lebih banyak dan beragam.

Penggunaan internet sebagai media survei dapat diterapkan pada beberapa bidang. Penelitian berbasis survei merupakan pilihan praktis dalam penelitian bidang sosial untuk mengelola kuesioner

Dokumen terkait