• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Atribut Mutu pada Produk Pangan Kemasan dan Mi Instan Menggunakan Klasifikasi Caswell

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Atribut Mutu pada Produk Pangan Kemasan dan Mi Instan Menggunakan Klasifikasi Caswell"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

ANALYSIS OF QUALITY ATTRIBUTES OF PACKAGED FOOD PRODUCT

AND INSTANT NOODLES BASED ON CASWELL’S CLASSIFICATION

Muhammad Maqfuri and Muhammad Arpah

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220

Bogor, West Java, Indonesia

Phone: 62 857 11221350, e-mail: muhammad.maqfuri@gmail.com

ABSTRACT

Packaged foods have various characters and attributes which reflect both intrinsic and extrinsic qualities. A typical packaged food may have unique and different features that can distinguish the quality. Packaged instant noodles consists of four types and each type may have different quality attributes. After assessing the important quality attributes in packaged foods, four types of instant noodles were determined their dominant quality attributes. The objectives of this study were to determine the dominant quality attributes in packaged foods and instant noodles, including the influence of economic and socio-demographic factors on choosing food quality attributes. The study was conducted by using online survey. Result indicated that certification and food safety was assessed as dominant quality attributes in packaged foods. NADFC and Halal certification were the important certifications desired by respondents. On food safety attribute, they were especially concerned about the use of food additives in packaged foods. Others Caswell’s quality attributes such as functional properties, taste, composition integrity, material’s origin, and organic nature were also analysed as important quality attributes in packaged food product. Although certification was the most important quality attribute, combination of intrinsic attibutes had great effect in forming whole packaged food quality. There were weak relationships between age, education, and income level towards the importance level of food safety, sensory, price, and manufacturer attributes. Regarding instant noodles, average ranking of attributes of regular instant noodle are higher on nutrition, sensory, price, promotion, and distribution, while cup noodle was dominant in value attribute.

(2)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Produk pangan kemasan yang terdapat di pasaran sangat bervariasi, mulai dari jenis bahan baku sampai dengan cara pengolahannya. Variasi pada produk pangan tersebut dapat dideskripsikan dengan karakteristik atau atribut tertentu. Seringkali karakter atau atribut pangan menunjukkan mutu pangan secara umum. Karakteristik mutu pangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu mutu intrinsik dan mutu ekstrinsik. Mutu pangan intrinsik adalah mutu pangan yang berhubungan dengan sifat fisik produk secara langsung, sedangkan mutu pangan ekstrinsik adalah mutu yang berkaitan dengan produk, tetapi bukan bagian dari sifat fisik produk (Steenkamp et al. 1986). Caswell (2000) mengelompokkan mutu intrinsik dan ekstrinsik ke dalam beberapa atribut atau kriteria mutu yang lebih spesifik. Mutu intrinsik terdiri dari atribut keamanan pangan, gizi, sensori, nilai, dan proses. Mutu ekstrinsik terdiri dari indikator pengukuran dan isyarat mutu.

Baik mutu pangan intrinsik maupun ekstrinsik mempengaruhi perilaku konsumen. Mutu pangan tersebut merupakan sumber informasi bagi konsumen untuk mengevaluasi karakter produk sebelum menentukan keputusan pembelian. Konsumen bisa saja memandang mutu produk tersebut secara objektif maupun subjektif. Mutu pangan objektif dilihat berdasarkan karakteristik fisik produk, sedangkan mutu pangan subjektif dilihat berdasarkan pemikiran dan pertimbangan konsumen. Mutu objektif bersifat teknis, sehingga proses dan kontrol mutu dapat diukur dan diverifikasi (Espejel et al. 2007). Secara subjektif, penilaian terhadap mutu pangan ditentukan oleh proses yang dilalui konsumen untuk dapat menggali informasi yang ada pada produk. Proses ini dimulai dari awal terbentuknya kebutuhan sampai dengan penilaian mutu pasca pembelian produk. Pertimbangan yang dilakukan oleh konsumen dapat juga dipengaruhi oleh faktor tertentu, seperti faktor internal (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan) maupun faktor eksternal (informasi yang diperoleh dari lingkungan).

Perkembangan pengolahan dan pengemasan pangan menghasilkan beragam produk pangan kemasan. Produk pangan kemasan merupakan produk pangan yang telah mengalami proses pengolahan sebagian maupun seluruhnya dan selanjutnya dikemas dengan kemasan makanan melalui teknik dan jenis kemasan tertentu. Kemasan makanan yang digunakan dapat berupa logam (kaleng), gelas, plastik rigid, dan retortable pouch. Produk pangan kemasan memiliki pertambahan nilai dalam segi kemudahan, yaitu mempersingkat waktu pengolahan menjadi makanan siap saji atau bahkan tanpa pengolahan lebih lanjut. Produk pangan kemasan yang ada saat ini memiliki beragam atribut mutu, bahkan pada jenis produk yang sama. Suatu jenis produk pangan mungkin dapat terdiri dari beragam merek dan fitur tambahan. Keragaman pada produk pangan kemasan tersebut memberikan pertimbangan bagi konsumen untuk memilih salah satu produk pangan dari berbagai alternatif produk pangan yang sejenis.

(3)

yang dimasak dengan diseduh air panas (mi instan gelas, cup noodle, dan bowl noodle). Keempat jenis mi instan tersebut memiliki karakter atau atribut mutu yang mungkin berbeda satu sama lain. Karakter atau atribut mutu tersebut (baik intrinsik maupun ekstrinsik) cenderung mempengaruhi preferensi konsumen dalam memilih jenis mi instan yang akan dikonsumsi.

Karakterisasi mutu yang dominan pada produk pangan kemasan dan mi instan berguna untuk menentukan atribut mutu yang penting produk tersebut. Atribut tersebut dapat mencirikan karakter mutu utama pada produk pangan kemasan maupun mi instan. Mutu produk pangan yang dominan akan mempengaruhi preferensi dan menjadi pertimbangan konsumen dalam proses pemilihan produk. Atribut mutu yang dominan ini juga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengembangan mutu produk pangan kemasan maupun mi instan.

B.

TUJUAN

(4)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

KONSEP MUTU PANGAN

Menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman. Mutu pangan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan dalam menghasilkan suatu produk pangan karena berkaitan erat dengan tujuan produsen (perusahaan) maupun kosumen. Menurut Wolff (1986) diacu dalam Bernués et al. (2003), mutu merupakan elemen esensial dalam strategi kompetisi pada sebuah perusahaan. Sementara itu dari segi konsumen, mutu berkaitan dengan karakteristik produk pangan yang diinginkan. Konsumen cenderung akan memilih produk pangan yang sesuai dengan mutu yang mereka harapkan.

Konsep mutu pangan terus berkembang dari masa ke masa. Konsep mutu pangan tidak unik dan lebih tergantung dari siapa yang mendefinisikannya (Bernués et al. 2003). Menurut Grunert (2005), mutu pangan memiliki dua dimensi, yaitu mutu objektif dan mutu subjektif. Mutu objektif adalah karakteristik fisik yang terdapat dalam produk pangan. Mutu objektif bersifat teknis, sehingga proses dan kontrol mutu dapat diukur dan diverifikasi (Espejel et al. 2007). Mutu subjektif adalah mutu yang dipersepsikan oleh konsumen. Titik tengah dari kedua dimensi tersebut tercapai apabila produsen dapat menerjemahkan karakteristik yang diinginkan oleh konsumen ke dalam karakteristik fisik produk yang dihasilkan.Meskipun demikian, mutu pangan tetap lebih bergantung pada penilaian yang dilakukan konsumen. Mutu pangan tidak melekat pada karakteristik pangan, tetapi lebih berkaitan dengan konsep penerimaan (Issanchou 1996).

(5)

B.

PENDEKATAN MUTU INTRINSIK DAN EKSTRINSIK

Pandangan terhadap mutu produk pangan sangat beragam pada saat produk pangan tersebut sampai ke tangan konsumen. Konsumen akan menilai dari segi yang berbeda-beda. Menurut Steenkamp (1990) diacu dalam Lazarova (2010), penilaian mutu pangan oleh konsumen bergantung pada persepsi, kebutuhan, dan tujuan yang mereka miliki.Penilaian mutu yang dapat dilakukan adalah dengan memahami mutu yang dirasakan atau diketahui oleh konsumen. Grunert et al. (1996) diacu dalam Bernués et al. (2003) menyatakan bahwa pendekatan persepsi mutu yang dirasakan konsumen merupakan konsep mutu yang didefinisikan oleh konsumen, tetapi tidak mudah untuk diukur. Mutu yang dirasakan oleh konsumen hanya dapat diukur berdasarkan atribut-atribut yang ada dalam produk pangan. Oleh karena itu, pengukuran mutu dilakukan dengan mempelajari hubungan antara atribut-atribut mutu yang ada pada produk pangan dengan persepsi konsumen.

Salah satu pendekatan mutu yang dapat dipakai adalah pendekatan multi-attribute. Pendekatan ini menekankan bahwa mutu merupakan fenomena multi dimensi, yang dapat dijelaskan dengan sekelompok karakteristik atau atribut yang secara subjektif diketahui oleh konsumen (Grunert 1997). Karakter atau atribut ini akan menjadi tolok ukur mutu produk. Menurut Bernués et al. (2003), karakteristik dan atribut produk memiliki makna yang tidak sama. Becker (2000) diacu dalam Bernués et al. (2003) menyatakan bahwa karakteristik produk merupakan fitur produk yang digunakan sebagai indikator teknis untuk mutu dan prinsip pengukurannya dapat dilakukan dengan metode analisis. Atribut produk merupakan fitur pada produk yang memenuhi kebutuhan konsumen.

Konsumen secara langsung dapat mengevaluasi mutu dengan cara mengetahui informasi dari karakteristik mutu produk. Informasi ini sampai kepada konsumen dalam bentuk isyarat mutu (quality cues). Menurut Steenkamp (1990) diacu dalam Lazarova (2010), isyarat mutu merupakan informasi yang menurut konsumen berhubungan dengan mutu produk dan dipastikan oleh konsumen melalui indera sebelum mengkonsumsi produk tersebut. Isyarat mutu digunakan untuk mengevaluasi kinerja produk yang berhubungan dengan harapan konsumen. Isyarat mutu dapat berupa intrinsik maupun ekstrinsik (Olson dan Jacoby 1972).

Mutu intrinsik dan ekstrinsik memberikan pertimbangan kepada konsumen dalam mengevaluasi mutu produk. Konsep mutu intrinsik dan ekstrinsik pertama kali dikemukakan oleh Olson pada tahun 1972. Konsep mutu ini kemudian dikembangkan oleh Steenkamp (1990), Grunert (1996), Northen (2000), dan Caswell (2000). Perkembangan mutu intrinsik dan ekstrinsik cenderung berdasarkan proses dan model tertentu yang dianalisis oleh masing-masing peneliti. Namun, pada intinya memiliki tujuan yang sama, melihat karakeristik di dalam produk dan di luar produk.

Mutu intrinsik berbeda dengan mutu ekstrinsik. Menurut Olson dan Jacoby (1972), indikator mutu intrinsik secara aktual berasal dari fisik produk. Mutu ini tidak dapat diganti atau dimanipulasi secara eksperimen tanpa mengubah karakteristik produk tersebut. Perubahan mutu ini dapat dievaluasi dengan melihat perubahan karakter fisik produk, misalnya penurunan mutu pada suatu produk ditandai dengan perubahan rasa dan aroma. Indikator mutu ekstrinsik berhubungan dengan produk, tetapi secara aktual bukan merupakan bagian dari fisik produk. Mutu ekstrinsik cenderung berhubungan dengan usaha untuk meningkatkan daya jual produk. Indikator mutu ekstrinsik ini dapat berupa merek dagang, sertifikasi, sistem pelabelan, dan lain-lain.

1.

Pendekatan Olson (1972)

(6)

5 kemudian menggabungkan evaluasi yang mereka buat ke dalam penilaian secara keseluruhan (overall) terhadap mutu produk. Pertimbangan yang dilakukan konsumen merupakan hasil kombinasi dari beberapa indikator mutu yang ada pada produk. Olson dan Jacoby menemukan bahwa merek dagang dan komposisi produk merupakan faktor terpenting untuk mengetahui mutu produk (Caswell et al. 2002). Dua karakter tersebut bertolak belakang dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa harga merupakan faktor terpenting dalam menentukan persepsi produk.

Mutu intrinsik dan ekstrinsik yang dikemukakan Olson dan Jacoby (1972) merupakan pengujian karakteristik yang dipakai konsumen untuk mengetahui mutu produk. Pembedaan mutu intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan Olson dan Jacoby (1972) berdasarkan pada dapat atau tidaknya sifat fisik produk tersebut dimanipulasi. Jika sifat produk berubah ketika isyarat mutu dimanipulasi maka isyarat mutu tersebut adalah intrinsik, tetapi jika sifat fisik produk tidak berubah, isyarat mutu tersebut adalah ekstrinsik (Lazarova 2010). Mutu ekstrinsik dapat digunakan sebagai faktor untuk meningkatkan mutu produk secara keseluruhan ketika mutu instrinsik suatu produk tidak dapat ditingkatkan lebih lanjut. Isyarat mutu ekstrinsik dapat dipengaruhi oleh usaha pemasaran (Caswell et al. 2002). Usaha pemasaran yang dilakukan dapat berupa promosi, iklan, dan citra perusahaan. Strategi pemasaran yang efektif juga mampu meningkatkan persepsi konsumen terhadap mutu intrinsik produk. Walaupun demikian, mutu intrinsik memegang peranan yang lebih penting dalam mendeskripsikan mutu produk. Konsumen cenderung lebih memilih isyarat mutu yang bersifat intrinsik (Caswell et al. 2002).

2.

Pendekatan Steenkamp (1990)

Mutu intrinsik dan ekstrinsik yang dikembangkan oleh Steenkamp merupakan perkembangan dari mutu intrinsik dan ekstrinsik yang telah dibuat oleh Olson. Steenkamp menguraikan model berdasarkan perbedaan antara isyarat mutu dan atribut mutu, khususnya perbedaan di antara isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik, serta perbedaan antara experience quality dan credence quality (Lazarova 2010). Model proses persepsi mutu yang dikembangkan oleh Steenkamp dapat dilihat pada Gambar 1.

(7)

Proses pembentukan persepsi mutu dibedakan menjadi tiga tahap, yaitu tahap akuisisi dan kategorisasi isyarat mutu, tahap pembentukan kepercayaan terhadap atribut mutu, dan tahap penggabungan kepercayaan terhadap atribut mutu. Pada tahap pertama, kepercayaan terhadap isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik muncul akibat adanya isyarat-isyarat mutu yang ada di lingkungan individu dan memberikan persepsi tersendiri terhadap masing-masing individu. Pada kondisi ini, konsumen mendapatkan isyarat mutu yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik. Konsumen akan memilih isyarat yang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka. Pada tahap kedua, baik isyarat mutu intrinsik maupun ekstrinsik pada produk pangan dievaluasi berdasarkan experience quality dan credence quality. Pada tahap ketiga, konsumen menggabungkan atribut mutu yang telah dipilih, dievalusi, dan dirasakan menjadi persepsi mutu.

Persepsi konsumen dipengaruhi oleh beberapa isyarat mutu yang mereka terima maupun adanya faktor lain. Menurut Lazarova (2010), isyarat mutu tunggal tidak mungkin dapat menjadi indikator yang sempurna pada atribut mutu tertentu. Isyarat mutu yang diterima merupakan kombinasi beberapa isyarat mutu yang ada. Di samping itu, selama proses pembentukan persepsi, konsumen dipengaruhi faktor pribadi dan lingkungan. Faktor tersebut dapat mempengaruhi pertimbangan konsumen dalam menentukan isyarat mutu yang akan diterima.

3.

Pendekatan Grunert (1996)

Pendekatan mutu yang dilakukan oleh Grunert merupakan pengembangan dari model Steenkamp (Lazarova 2010). Grunert mengembangkan proses persepsi mutu melalui model Total Food Quality (TFQ) yang dapat dilihat pada Gambar 2. Model TFQ menjelaskan persepsi mutu konsumen dilihat dari dua sudut pandang, yaitu situasi sebelum pembelian dan situasi setelah pembelian.

(8)

7 Menurut Lazarova (2010), model TFQ menjelaskan perbedaan antara isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik serta antara mutu yang diharapkan (expected quality) dan mutu yang diketahui (perceived quality). Perceived quality dapat diasumsikan sebagai experience quality. Isyarat mutu (cues) yang penting sebelum pembelian mencakup biaya, mutu ekstrinsik, dan spesifikasi teknis produk (mutu intrinsik). Isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik akan menghasilkan atribut mutu yang diharapkan (expected quality). Proses akan berlanjut ke tahap pembelian produk pangan apabila memenuhi dua syarat, yaitu dari segi biaya dan mutu yang diharapakan (expected quality). Setelah pembelian, mutu yang diharapkan (expected quality) akan berubah menjadi pengalaman mutu (experience quality) yang akan menentukan pembelian di masa yang akan datang.

4.

Pendekatan Northen (2000)

Secara umum, model atribut mutu yang dikembangkan oleh Northen merupakan penjabaran lebih lanjut mengenai atribut mutu intrinsik. Menurut Bredahl et al. (2001), atribut mutu dibagi menjadi dua atribut utama, yaitu atribut produk dan atribut proses. Atribut produk berkaitan dengan atribut fisik yang terdapat pada produk. Atribut proses merupakan bagian dari proses produksi dan tidak dapat dideteksi saat produk tersebut dikonsumsi. Penggolongan atribut produk berdasarkan pendekatan Northen dapat dilihat pada Tabel 1. Perbedaan antara isyarat mutu intrinsik dan ekstrinsik terletak pada perbedaan experience quality dan credence quality. Isyarat ektrinsik diasumsikan sebagai credence quality (tidak dapat dideteksi oleh konsumen), sedangkan isyarat intrinsik diasumsikan sebagai experience quality (dapat dideteksi konsumen setelah dilakukan konsumsi produk). Atribut proses juga digolongkan sebagai credence quality. Beberapa atribut proses hanya dapat dikomunikasikan melalui indikator ekstrinsik (Bredahl et al. 2001).

Tabel 1. Penggolongan atribut mutu proses dan produk

Atribut Proses

Atribut Produk

Isyarat Ekstrinsik Isyarat Intrinsik

Keamanan Pangan Gizi Sensori Fungsional

Animal welfare Patogen Kadar lemak Rasa Kemudahan

Bioteknologi Residu Kalori Tekstur Umur simpan

Produksi organik Promotor pertumbuhan Serat Tenderness

Ketertelusuran BTP Natrium Juiciness

Pakan Pakan Vitamin

Racun Mineral

Kontaminan fisik

Sumber: Northen (2000) diacu dalam Bredahl et al. (2001)

C.

MUTU INTRINSIK DAN EKSTRINSIK KLASIFIKASI CASWELL

(9)

merupakan bentuk dari pengalaman dan pengetahuan mutu yang diperoleh konsumen. Pengalaman tersebut dapat berupa tingkat pendidikan, kesadaran dan pengetahuan tentang mutu, serta risiko mutu yang pernah dirasakan. Di samping itu juga dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor lain yang berasal dari lingkungan. Mutu intrinsik dilihat dari lingkungan informasi yang diterima oleh konsumen, baik dalam bentuk atribut search, experience, dan credence quality. Menurut Caswell (2000), atribut intrinsik mencakup karakteristik fisik produk dan ditambah dengan atribut lain yang mendefinisikan mutu produk. Mutu ekstrinsik lebih didukung oleh startegi dan usaha pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan. Penggolongan atribut mutu intrinsik dan ekstrinsik yang dilakukan oleh Caswell dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Kerangka kerja mutu (Caswell 2000)

Pengalaman sebelumnya: tingkat pendidikan, risiko mutu yang dirasakan, kesadaran mutu, tujuan penggunaan, faktor personal dan situasional

Usaha pemasaran

Indikator Extrinsic search

Mutu yang diharapkan Atribut

Intrinsic search

Atribut Intrinsic experience

Atribut Intrinsic credence

(10)

9 Gambar 4. Atribut mutu intrinsik dan ekstrinsik (Caswell 2000)

Pada awalnya atribut mutu pada produk pangan hanya dibagi menjadi beberapa atribut. Caswell (1998) diacu dalam Lakni dan Mudalige (2009), mengelompokkan atribut mutu utama yang terdiri dari lima bagian, yaitu (1) keamanan pangan, (2) gizi, (3) nilai, (4) kemasan, dan (5) proses.

Atribut keamanan pangan mencakup aspek mikroba patogen, kontaminan fisik, senyawa toksik, dan residu pada produk pangan. Atribut gizi mencakup kadar lemak, kalori, serat, natrium, vitamin, mineral, dan lain-lain. Atribut nilai terdiri dari kemurnian, ukuran, penampakan, kemudahan dalam penyajian, dan rasa. Atribut nilai produk yang tinggi mendukung daya saing produk di pasaran. Atribut nilai tidak berhubungan secara langsung dengan keamanan pangan dan nilai gizi pangan (Lakni dan Mudalige 2009). Atribut kemasan terdiri dari sistem pengemasan, pelabelan, dan informasi yang tercantum dalam label. Informasi pada label merupakan bentuk dari atribut mutu ekstrinsik yang

Atribut Mutu Instrinsik

Atribut Keamanan Pangan Keracunan (patogen) Logam berat dan racun Pestisida dan residu obat Kontaminasi tanah dan air BTP dan pengawet Bahaya fisik

Kerusakan dan botulin Irradiasi dan fumigasi Lain-lain

Atribut Gizi Kalori

Kadar lemak dan kolesterol Garam dan mineral Kadar karbohidrat dan serat Protein

Vitamin Lain-lain Atribut Sensori

Rasa dan keempukan Warna Penampakan Kesegaran Kelembutan Bau/ aroma Lain-lain Atribut Nilai/ Fungsi

Integritas komposisi Ukuran Gaya Preparasi/ kemudahan Bahan kemasan Daya tahan Lain-lain Atribut Proses Kesejahteraan hewan Keaslian proses/ tempat asal Ketertelusuran

Bioteknologi/ biokimia Organik/ dampak lingkungan Keselamatan pekerja Lain-lain

Atribut Mutu Ekstrinsik

Test/ Indikator Pengukuran Sistem manajemen mutu Sertifikasi

Rekaman Pelabelan

Standar mutu minimum Lisensi pekerjaan Lain-lain Isyarat Harga Merek dagang Nama produsen Nama toko Pengemasan Iklan Daerah asal Outlet distribusi Garansi Reputasi

(11)

membantu konsumen untuk menduga mutu dan kinerja produk yang bersifat credence quality. Menurut Caswell (2000), indikator ekstrinsik dapat mengubah atribut intrinsik yang bersifat credence menjadi indikator atau isyarat ekstrinsik search, yang dapat memfasilitasi evaluasi mutu yang dilakukan oleh pembeli maupun penjual. Atribut proses dapat berupa aspek kesejahteraan hewan, bioteknologi, keselamatan kerja, dan dampak lingkungan. Atribut ini tidak berkaitan secara langsung dengan kondisi fisik produk.

D.

TAKSONOMI MODEL PERILAKU KONSUMEN

Konsumen memiliki pertimbangan tersendiri dalam memilih produk yang akan dibeli atau dikonsumsi. Pertimbangan tersebut mencakup atribut-atribut mutu yang terdapat pada produk maupun faktor lain yang berkaitan dengan proses pembelian produk. Proses yang dialami konsumen dimulai dari pertimbangan sebelum pembelian sampai efek yang ditimbulkan pasca pembelian ini disebut dengan perilaku konsumen. Perilaku kosumen berhubungan dengan usaha untuk mencari informasi dan mengevaluasi mutu produk agar memperoleh produk yang sesuai dengan kebutuhan.

Model perilaku konsumen dapat dipelajari menggunakan Taxonomy of Consumer Behaviour Model. Taksonomi ini menggambarkan tahapan yang dilalui konsumen dalam memilih produk, meliputi tahapan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi, pembelian, dan pasca pembelian. Taksonomi model perilaku konsumen dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Taksonomi model perilaku konsumen

No Tahapan Variabel dependen (Xi)

Model (jenis persamaan) yang digunakan

1 Kebutuhan Pembelian (pilihan) Model pilihan biner Waktu pembelian

2 Pencarian informasi

Kesadaran Model kesadaran individu Sekumpulan pertimbangan Model pertimbangan Sekumpulan pilihan

Dinamika kepercayaan Model integrasi informasi

3 Evaluasi

Persepsi produk Perceptual mapping (MDS)

Preferensi produk Model attitude

(compensatory/ non-compensatory)

4 Pembelian

Pilihan merek Model pilihan diskret Pilihan tempat pembelian Model hierarkhi Pilihan kuantitas

5 Pasca pembelian

Merek Model kepuasan

Kepuasan/ kejenuhan Model pencarian variasi

Word-of-mouth Model komunikasi

Sumber: Robert dan Lilien (1993)

(12)

11 samping itu, faktor eksternal yang berada di sekitar konsumen (informasi, iklan, keunggulan produk, dan lain-lain) juga dapat memicu munculnya ketertarikan konsumen terhadap suatu hal yang nantinya dapat menjadi suatu kebutuhan. Selanjutnya konsumen terdorong untuk menggali informasi guna mencari jenis produk yang tepat untuk dapat memenuhi kebutuhannya itu.

Kebutuhan manusia dapat bersifat biner. Artinya konsumen bisa saja memiliki sumber daya untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Di samping itu, juga terdapat pertimbangan konsumen apakah kebutuhan tersebut benar-benar diperlukan. Di sisi lain, konsumen bisa juga tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Robert dan Lilien (1993) menjelaskan kebutuhan konsumen dapat dibuat model yang terdiri dari nilai utilitas/ value (VBi) dan kesalahan

penilaian/ error (ƐBi). Model tersebut dapat dilihat pada Persamaan 1. Nilai dari utilitas produk

menggambarkan nilai yang ada pada suatu kebutuhan dibandingkan dengan alternatif yang lain. Kesalahan penilaian (error) merupakan gangguan akibat pemilihan suatu alternatif kebutuhan.

UBi = VBi+ ƐBi……… Persamaan 1

Keterangan : UBi = utilitas yang diharapkan (dibeli)

VBi = nilai utilitas yang sebenarnya

ƐBi = kesalahan penilaian

Setelah konsumen memutuskan akan membeli produk untuk memenuhi kebutuhan, langkah selanjutnya yang dilakukan konsumen adalah mencari informasi tentang produk. Pencarian informasi ini dimaksudkan untuk memperoleh produk yang memiliki nilai mutu paling tinggi. Pada proses ini konsumen memiliki sekumpulan pertimbangan (consideration set) yang terdiri dari beragam jenis produk. Setelah dilakukan pertimbangan, beberapa jenis produk yang tidak sesuai kriteria akan dieliminasi. Jenis produk yang terpilih selanjutnya akan melalui tahap evaluasi agar dapat mengetahui mutu produk lebih lanjut.

Proses evaluasi terdiri dari dua komponen, yaitu persepsi dan preferensi. Konsumen akan membentuk kepercayaan atau anggapan tentang fitur dari alternatif produk (persepsi). Berdasarkan persepsi tersebut, kemudian konsumen mengambil sikap (attitude) terhadap beberapa produk (Rober dan Lilien 1993). Persepsi konsumen berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan setiap konsumen memililih atribut/ kriteria yang relevan dengan kebutuhannya. Persepsi digunakan konsumen untuk membentuk preferensi produk, yang digunakan untuk menilai produk berdasarkan kombinasi atribut mutu produk. Dalam pengukuran preferensi konsumen, model preferensi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu compensatory dan non-compensatory. Pada model compensatory, kelemahan salah satu atribut produk dapat ditutupi dengan kelebihan pada atribut yang lain. Sebaliknya, pada model non-compensatory, kelemahan salah satu atribut tidak dapat ditutupi oleh atribut yang lain. Bass dan Talarzyk (1972) mengemukakan model pembentukan preferensi yang disebut dengan model kepercayaan-kepentingan (Persamaan 2). Model ini menggambarkan sikap (attitude) terhadap merek merupakan fungsi dari kepercayaan terhadap suatu atribut dan tingkat kepentingan dari atribut tersebut.

A = ∑bi Ii ………..………… Persamaan 2

Keterangan : A = sikap (attitude) terhadap produk bi = kepercayaan (belief) terhadap atribut i

(13)

Pada tahap pembelian, konsumen memilih produk yang memiliki beberapa atribut mutu yang relevan dengan kebutuhannya. Produk ini cenderung memiliki nilai atribut mutu yang lebih tinggi dari alternatif produk sejenis. Tahap pembelian dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut berupa perubahan faktor situasional, seperti tingkat pendapatan, harga produk, dan keunggulan dari produk (Robert dan Lilien 1993). Waktu pembelian juga dapat mempengaruhi sikap dalam proses pembelian. Tekanan waktu dapat mempengaruhi secara cepat terhadap proses persepsi dan keputusan pembelian. Menurut Steenkamp (1989) diacu dalam Lazarova (2010), tekanan waktu menyebabkan konsumen lebih sedikit menggunakan isyarat mutu yang tersedia, konsumen lebih banyak mendapatkan informasi negatif, dan konsumen cenderung menggolongkan mutu ke dalam kategori dapat diterima atau tidak dapat diterima.

Tahap pasca beli merupakan evaluasi konsumen terhadap atribut mutu produk setelah dikonsumsi. Tahap ini merupakan tahap yang sangat kritis karena menentukan akan atau tidaknya dilakukan pembelian berulang pada jenis dan merek produk yang sama. Hal ini menyangkut bagaimana tingkat kepuasan konsumen terhadap atribut mutu produk. Tingkat kepuasan merupakan jarak perbedaan antara mutu yang diharapkan dengan mutu yang dirasakan. Apabila mutu produk yang dirasakan sama atau paling tidak gap negatif yang terbentuk antara mutu yang dirasakan dengan mutu yang diharapkan tidak terlalu besar, maka kemungkinan terjadi pembelian berulang terhadap produk tersebut akan semakin besar. Di samping itu, kepuasan yang dirasakan konsumen juga dapat mendorong informasi positif tentang suatu produk. Dalam hal ini, konsumen akan memberikan rekomendasi produk kepada konsumen lain yang membutuhkan informasi tentang produk tersebut.

E.

PRODUK PANGAN KEMASAN

Pangan kemasan merupakan produk pangan yang telah mengalami proses pengolahan sebagian maupun seluruhnya dan selanjutnya dikemas dengan kemasan makanan melalui teknik dan jenis kemasan tertentu. Hasil pengolahan pangan tersebut menghasilkan dua kondisi, yaitu pangan siap makan (ready to eat) dan pangan siap masak (ready to cook). Pangan siap makan merupakan jenis makanan yang siap dikonsumsi tanpa melalui proses pengolahan atau pemasakan lebih lanjut, seperti makanan ringan, minuman, sari buah, acar, dan lain-lain. Pangan siap masak merupakan makanan yang harus diolah atau dimasak terlebih dahulu. Proses pemasakan ini dapat berupa pengolahan pada suhu tinggi maupun dengan penambahan pangan lain atau bahan tambahan pangan.

Pangan kemasan memiliki dua aspek keunggulan, yaitu kemudahan dan daya simpan. Proses pengolahan yang telah dilakukan pada produk pangan sebelum dikemas menyebabkan produk tersebut lebih mudah dalam pengolahan selanjutnya. Untuk mengolah produk pangan tersebut menjadi produk yang siap untuk dimakan, dibutuhkan waktu yang lebih singkat. Di samping itu dengan adanya pengemasan, produk pangan tersebut memiliki masa simpan yang lebih panjang dan mudah dalam proses distribusi maupun penyimpanan.

(14)

13 minuman dan susu. Retortable pouch merupakan kemasan (kantong) yang telah mengalami laminasi dan tahan terhadap proses panas.

F.

MI INSTAN

Mi instan merupakan salah satu jenis produk pasta atau ekstrusi. Menurut SNI 01-3551-2000, mi instan dibuat dari adonan terigu, tepung beras, atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya. Definisi tersebut meliputi mi (dari terigu), bihun (dari beras dan sagu), sohun (dari pati kacang hijau dan sagu), dan kwetiau (dari beras dan atau terigu). Mi dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali. Proses gelatininsasi dilakukan sebelum mi dikeringkan dengan proses penggorengan atau proses dehidrasi lain. Definisi instan dicirikan dengan adanya penambahan bumbu dan memerlukan proses rehidrasi untuk siap dikonsumsi. Syarat mutu mi instan menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan proses pengeringannya, mi instan dibedakan menjadi dua macam, yaitu mi instan goreng dan mi instan kering. Mi instan goreng (instant fried noodle) dikeringkan dengan cara digoreng dalam minyak, sedangkan mi instan kering (instant dried noodle) dikeringkan dengan udara panas. Menurut Astawan (1999) diacu dalam Wijaya (2010), mi instan goreng mampu menyerap minyak 20% selama penggorengan. Kandungan minyak dalam mi menyebabkan mi instan goreng memiliki keunggulan rasa dibandingan dengan jenis mi yang lain (Dessyana 2010). Namun, mi instan goreng memiliki kelemahan yaitu mudah mengalami ketengikan. Keunggulan mi instan kering yaitu kadar air yang lebih rendah dan lebih tahan lama atau tidak mudah tengik (Wijaya 2010).

Berdasarkan cara memasaknya, mi instan dibedakan menjadi dua macam. Pertama, mi instan yang dimasak dengan cara direbus langsung dalam air mendidih. Waktu yang diperlukan untuk merebus mi instan adalah 3-5 menit. Kedua, mi instan yang dimasak dengan cara diseduh dengan air panas selama 3-5 menit. Perkembangan mi instan yang diseduh ini menghasilkan beberapa jenis mi instan, seperti mi instan gelas, cup noodle, dan bowl noodle. Mi instan yang diseduh dengan air panas dianggap lebih praktis daripada mi yang direbus. Contoh mi instan yang ada di pasaran (baik yang diseduh maupun yang direbus) dapat dilihat pada Gambar 5.

Bahan baku utama dalam pembuatan mi instan adalah terigu, tepung beras, dan tepung lainnya yang dibentuk adonan dengan bantuan penambahan air. Selain bahan tersebut, dalam pembuatan mi instan juga ditambahkan bahan baku lain. Bahan baku lain yang sering ditambahkan dalam pembuatan mi instan dapat dilihat pada Tabel 4.

(15)

Tabel 3. Syarat mutu mi instan menurut SNI 01-3551-2000

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan2)

1.1 Tekstur - normal/ dapat diterima

1.2 Aroma - normal/ dapat diterima

1.3 Rasa - normal/ dapat diterima

1.4 Warna - normal/ dapat diterima

2 Benda asing - tidak boleh ada

3 Keutuhan1) % bb min 90

4 Kadar air2)

4.1 Proses penggorengan % bb maks 10,0

4.2 Proses pengeringan % bb maks 14,5

5 Kadar protein2)

5.1 Mi dari terigu % bb min 8,0

5.2 Mi dari bukan terigu % bb min 4,0 6 Bilangan asam1) mg KOH/ g minyak maks 2,0 7 Cemaran logam2)

7.1 Timbal (Pb) mg/ kg maks 2,0

7.2 Raksa (Hg) mg/ kg maks 0,05

8 Arsen (As)2) mg/ kg maks 0,5

9 Cemaran mikroba2)

9.1 Angka lempeng total koloni/ g maks 1,0 x 106

9.2 E. coli APM/ g < 3

9.3 Salmonella - negatif per 25 g

9.4 Kapang koloni/ g maks 1,0 x 103

1) Berlaku untuk keping mi

2) Berlaku untuk keping mi dan bumbunya

CATATAN Persyaratan mutu pada tingakat pedagang eceran Sumber: BSN (2000)

(16)

15 dalam cup. Tahap terakhir adalah pengemasan. Sebelum mi instan dikemas, dilakukan proses pendinginan terlebih dahulu untuk menurunkan suhu mi setelah pengeringan dan mencegah oksidasi minyak.

Gambar 5. Jenis mi instan (a) mi instan biasa (b) cup noodle (c) mi instan gelas (d) bowl noodle

Tabel 4. Bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan mi instan

No Bahan lain yang ditambahkan 1 Pati dan tepung lainnya

2 Garam 3 Hidrokoloid

4 Gula dan turunannya 5 Lemak dan minyak

6 Bahan tambahan pangan yang diizinkan 7 Bahan penyedap rasa dan aroma yang diizinkan 8 Rempah-rempah dan produk olahannya 9 Telur dan produk olahannya

10 Daging ternak, unggas, produk perairan, dan produk olahannya 11 Susu dan produk olahannya

12 Sayur dan produk olahannya 13 Buah dan produk olahannya 14 Vitamin dan mineral Sumber : BSN (2000)

G.

SURVEI

ONLINE

BERBASIS

WEB

Survei merupakan salah satu metode untuk mengumpulkan data atau informasi. Berbeda dengan sensus yang mengambil data dari seluruh populasi, survei hanya menggali informasi atau data yang ada pada suatu populasi. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Hasil survei ini nantinya digeneralisasi dan dapat digunakan untuk menjelaskan suatu pola atau kecenderungan yang terdapat pada populasi tertentu. Survei

(a)

(b)

(17)

mengandalkan jawaban dari responden untuk mempelajari pemikiran individu, perasaan, dan perilaku serta untuk mengamati tren sosial (Schwarz 1999). Survei merupakan sarana yang kurang sempurna untuk mengumpulkan data (Andrews et al. 2003) karena hanya diperlukan sejumlah responden yang digunakan sebagai sampel dari suatu populasi. Oleh karena itu, dalam survei sangat perlu diperhatikan teknik yang digunakan untuk mendapatkan data seakurat mungkin, sehingga dapat menjelaskan kondisi dari suatu populasi.

Metode yang digunakan dalam melakukan survei terus berkembang dari waktu ke waktu. Pada tahun 1930-an dan 1940-an, survei dilakukan dengan cara wawancara langsung (face to face) atau dengan menggunakan surat. Pada tahun 1970-an, adopsi jaringan telepon menyebabkan wawancara melalui telepon menjadi alternatif dalam melakukan survei. Survei yang dilakukan secara personal (langsung), melalui surat, atau melalui telepon mengeluarkan biaya yang beragam, mencakup waktu, desain kuesioner, fasilitas fisik, dan kecepatan melakukan survei (Evans dan Mathur 2005). Saat ini, perkembangan internet yang sangat pesat menyebabkan survei online dapat dipertimbangkan sebagai metode survei karena memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki metode survei yang lain.

Internet mengalami perkembangan yang cepat sejak ditemukan pada akhir tahun 1960-an, baik dari segi teknologi maupun fungsi. Pengaruh ini juga terlihat dalam penggunaannya sebagai media survei. Selama abad ke duapuluh, terdapat kemajuan besar dalam teknik dan teknologi yang digunakan dalam penelitian survei, mulai dari sampling sistematis sampai dengan peningkatan desain kuesioner dan analisis data dengan komputer (Evans dan Mathur 2005). Menurut Schonlau et al. (2001), teknologi telah merevolusi cara mengelola survei yang ditandai dengan munculnya survei email pertama pada tahun 1980 dan survei berbasis web pada awal tahun 1990-an. Survei dengan media email maupun dengan web memiliki cakupan wilayah yang lebih luas daripada survei metode konvensional biasa. Survei tersebut dapat dilakukan lintas negara, sehingga memperoleh sampel yang lebih banyak dan beragam.

Penggunaan internet sebagai media survei dapat diterapkan pada beberapa bidang. Penelitian berbasis survei merupakan pilihan praktis dalam penelitian bidang sosial untuk mengelola kuesioner yang murah dan praktis pada berbagai populasi (Sepulveda 2009). Akhir-akhir ini survei berbasis web digunakan sebagai media untuk memperoleh data bagi suatu perusahaan. Umumnya, survei secara online diterapkan untuk customer satisfaction survey. Sebagai suatu klausa pengontrolan yang wajib dalam ISO 9001:2008, customer satisfaction wajib dilakukan oleh semua produsen, baik yang berupa produk maupun jasa. Menurut Grossnickle dan Raskin (2001) diacu dalam Evans dan Mathur (2005), alat-alat survei online dapat memenuhi kebutuhan dari riset pasar profesional. Perusahaan dapat dengan lebih cepat dan murah memperoleh informasi mengenai produk atau jasa yang mereka produksi. Survei ini mempermudah dan mempercepat perusahaan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen.

(18)

17 Tabel 5. Alamat website penyedia fasilitas survei online

No Nama Website Alamat Website

1 Freeonlinesurveys.com http://www.freeonlinesurveys.com 2 Survey Monkey http://www.surveymonkey.com/ 3 QuestionPro http://www.questionpro.com/ 4 Object Planet http://www.objectplanet.com/ 5 Surveygizmo http://www.surveygizmo.com/ 6 Kwik Survey http://www.kwiksurveys.com/ 7 Createsurvey http://www.createsurvey.com/ 8 Smart-Survey http://www.smart-survey.co.uk/ 9 Question Star http://www.questionstar.com/en-us/ 10 Zoomerang http://www.zoomerang.com/online-surveys/ 11 Surveygalaxy http://www.surveygalaxy.com/

12 Survs http://www.survs.com/

13 Vanguard Vista http://www.vista-survey.com/default.htm 14 HostedSurvey http://www.hostedsurvey.com/home.html 15 Inquisite http://inquisite.com/

16 Survey Connect http://surveyconnect.com/ 17 Survey Gold http://surveygold.com/

18 Surveytracker http://www.surveytracker.com/

19 Survey Writer http://www.surveywriter.com/home/index.html 20 Qualtricks http://www.qualtrics.com/

21 Google https://docs.google.com/

Survei online atau survei berbasis web memiliki beberapa keunggulan. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan website untuk menulis data secara langsung ke dalam database setelah dilakukan submisi (Goldby et al. 2001). Hal ini dapat mengurangi kesalahan input data manual pada survei konvensional saat pemindahan data pada lembar kertas kuesioner ke dalam database agar dapat dianalisis atau diproses lebih lanjut. Seringkali dalam input data tersebut terjadi kesalahan pengkodean dan sulit untuk dilakukan koreksi, terlebih apabila mempunyai jumlah sampel yang sangat banyak. Dengan kata lain, metode input ke dalam database pada survei online dapat dilakukan lebih efektif dan efisien.

Kelebihan lain dari survei online adalah waktu pengisian yang lebih fleksibel. Responden dapat mengisi kuesioner kapanpun ketika ada waktu luang. Responden dapat mengambil waktu sebanyak yang mereka butuhkan untuk menjawab kuesioner (Evans dan Mathur 2005). Survei secara online mendukung anonimitas dan dapat menghindari adanya efek penyurvei. Kadang-kadang responden merasa tidak bebas dalam mengisi kuesioner di dekat penyurvei. Menurut Van Selm dan Jankowski (2006) diacu dalam Sepulveda (2009), adanya sifat anonimitas pada survei online memungkinkan responden merasa aman untuk mengungkapkan perasaan dan pendapat mereka.

(19)

Gambar 6. Keunggulan dan kelemahan survei online (Evans dan Mathur 2005)

Dalam melakukan survei online perlu diperhatikan beberapa hal agar sampel yang digunakan sesuai target survei. Umumnya, survei online dilakukan terhadap responden dari panel yang telah menyetujui ikut bergabung dalam riset pasar (Duffy et al. 2005). Artinya, responden yang digunakan pada survei online bersifat sukarela. Menurut Terhanian (2003) diacu dalam Duffy et al. (2005), terdapat tiga persoalan yang menyangkut sampling pada survei online. Pertama, survei hanya menjangkau responden yang memiliki jaringan internet (online). Kedua, survei hanya menjangkau responden yang benar-benar menyetujui untuk ikut menjadi bagian dari panel. Ketiga, tidak semua responden yang ikut dalam panel memberikan respon terhadap survei. Hal ini berkaitan dengan cara rekruitmen responden yang bersifat volunter (sukarela). Responden memiliki kebebasan untuk menyelesaikan survei secara keseluruhan, memulai mengisi kuesioner tetapi tidak menyelesaikannya, atau mengabaikan survei sama sekali (Evans dan Mathur 2005).

Persepsi sebagai “junk mail

Populasinya hanya pengguna internet

Pemilihan sampel

Pengetahuan internet rendah

Variasi teknologi

Instruksi kurang jelas

Impersonal

Isu privasi

Tingkat respon rendah Potensi Kelemahan

Atribut Survei

Online Jangkauan global

Daya tarik bisnis dan konsumen

Fleksibilitas

Efisiensi waktu

Inovasi teknologi

Kenyamanan

Kemudahan input data

Keragaman pertanyaan

Biaya murah

Kemudahan follow-up Sampling terkontrol

Sampel besar mudah didapat

Jawaban teratur

Jawaban lengkap

Kemampuan “Go To

Karakter pengetahuan responden vs non responden

(20)

19 Gambar 7. Solusi untuk mengurangi kelemahan survei secara online (Evans dan Mathur 2005)

E-mail dengan link kuesioner

Keseimbangan demografi

Sampel random

Instruksi dan jawaban mudah

Standar warna dan dimensi layar, teknologi pop-up

Pre-test, teknologi pop-up

Respon timbal balik

Batasi kontak, memberikan insentif, teknik survei yang baik

Solusi yang Mungkin

Kuesioner jelas, aturan kuesioner yang mudah

Persepsi sebagai “junk mail

Populasi terbatas

Pemilihan sampel

Pengetahuan internet rendah

Variasi teknologi

Instruksi kurang jelas

Impersonal

Isu privasi

(21)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

TAHAPAN PENELITIAN

Penelitian dibagi menjadi lima tahap, yaitu (1) penyusunan kuesioner, (2) pembuatan kuesioner online, (3) uji coba kuesioner, (4) pengumpulan data, dan (5) analisis data. Tahapan penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram alir tahapan penelitian survei konsumen Pengumpulan data

Tabulasi data

Analisis data dan pengambilan kesimpulan

Pembuatan laporan

Valid dan reliabel

Selesai Mulai

Penentuan tujuan penelitian

Penentuan metode pengambilan data

Penentuan responden

Penyusunan kuesioner

Perbaikan

(22)

21

B.

PELAKSANAAN SURVEI

Penelitian survei dibagi menjadi dua tahap penyebaran kuesioner, yaitu tahap uji coba dan tahap survei. Tahap uji coba dilakukan selama dua hari yaitu tanggal 13 dan 14 April 2011. Setelah selesai tahap uji coba, dilakukan analisis validitas dan reliabilitas untuk melihat kualitas kuesioner. Tahap survei dilaksanakan selama tujuh minggu yaitu mulai dari tanggal 27 April sampai dengan 12 Juni 2011.

C.

METODE PENGAMBILAN SAMPEL

Populasi dalam penelitian ini merupakan individu pengguna jaringan internet dan layanan email. Responden survei online ditentukan berdasarkan teknik purposive sampling. Menurut Van Selm dan Jankowski (2005) diacu dalam Sepulveda (2009), survei berbasis internet digunakan untuk penelitian dengan sampling non-probabilitas. Purposive sampling (teknik sampling bertujuan) digunakan apabila anggota sampel yang dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian (Usman dan Akbar 2008). Responden yang dipilih merupakan anggota dari beberapa mailing list (milis) yang berada di wilayah Jabodetabek dan bersedia mengikuti survei. Sementara itu untuk pengisian kuesioner mengenai mi instan, ditambahkan persyaratan yaitu responden merupakan individu yang pernah mengkonsumsi produk mi instan.

Publikasi survei dilakukan dengan mengirimkan email yang berisi undangan kepada calon responden. Publikasi link kuesioner secara umum atau luas tidak dilakukan untuk menghindari adanya pengisian kuesioner yang tidak terkontrol yang akan menyebabkan kesalahan sampling. Menurut Verster et al. (2010), pengisian kuesioner yang tidak terkontrol karena setiap pengunjung website bebas mengisi kuesioner akan menyulitkan dalam menyimpulkan hasil penelitian. Oleh karena itu, pengisian kuesioner dibatasi hanya untuk responden yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya (Jabodetabek).

Jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam survei online dihitung berdasarkan teknik proporsi sesuai dengan Persamaan 3. Berdasarkan InternetWorldStat.com (2011), jumlah pengguna internet di Indonesia per Maret 2011 sebesar 14.2%. Apabila digunakan taraf signifikansi sebesar 5%, diperoleh nilai Z sebesar 1,96. Dengan data tersebut, berdasarkan Persamaan 3 akan diperoleh jumlah minimal sampel yang dibutuhkan dalam survei sebesar 188 orang.

……… Persamaan 3

orang

Keterangan: n = jumlah sampel yang diambil

Z = nilai tabel Z yang sesuai dengan α yang digunakan p = proporsi populasi yang akan diukur

(23)

D.

PEMBUATAN KUESIONER

1.

Penggolongan Atribut Mutu

Kuesioner yang diajukan merupakan alat untuk mengukur preferensi konsumen terhadap atribut-atribut mutu yang terdapat pada produk pangan kemasan secara umum dan produk mi instan. Dalam penelitian, atribut mutu yang digunakan mengacu pada penggolongan atribut mutu intrinsik ekstrinsik yang dilakukan oleh Caswell , tetapi dengan beberapa perubahan. Atribut mutu intrinsik dibagi menjadi lima kelompok atribut, yaitu atribut keamanan pangan, gizi, sensori, nilai, dan proses. Sementara itu, atribut mutu ekstrinsik dibagi menjadi dua atribut, yaitu atribut manajemen perusahaan dan informasi (indikator mutu).

Masing-masing kelompok atribut mutu kemudian dijabarkan lebih lanjut menjadi atribut mutu yang lebih spesifik. Penjabaran atribut mutu dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9. Atribut mutu yang digunakan merupakan atribut mutu yang secara umum sering dipertimbangkan oleh konsumen dalam memilih produk pangan kemasan. Di samping itu juga mencakup aspek maupun isu yang terdapat pada produk pangan kemasan (misalnya produk organik, bioteknologi, penggunaan bahan tambahan pangan, dan produk pangan fungsional).

Gambar 9. Pengelompokan atribut mutu produk pangan kemasan

Atribut Mutu Instrinsik

Atribut Keamanan Pangan Mikroba

Logan berat Kerusakan fisik Pestisida, obat BTP dan pengawet Irradiasi

Atribut Gizi Kalori

Lemak dan kolesterol Protein

Vitamin dan mineral Garam (natrium) Fungsional Atribut Sensori

Rasa dan tekstur Warna

Aroma

Penampakan/ kesegaran Atribut Nilai/ Manfaat

Bahan dan desain kemasan Kelengkapan gizi Ukuran, volume Preparasi, kemudahan Daya tahan Atribut Proses Asal-usul bahan Bioteknologi Organik Penanganan

Atribut Mutu Ekstrinsik

Manajemen perusahaan Sertifikasi BPOM Sertifikasi Halal HACCP GMP Reputasi perusahaan Informasi Harga Merek dagang Nama produsen Nama toko Reputasi produk Label kemasan Iklan dan promosi lain

Atribut Mutu Umum

(24)

23 Selain pengelompokkan berdasarkan aspek intrinsik maupun ektrinsik, atribut mutu juga dikelompokkan menjadi atribut mutu umum. Atribut mutu umum merupakan atribut mutu yang mudah dinilai atau dapat menjadi pertimbangan utama dalam memilih produk pangan kemasan. Atribut mutu umum tersebut terdiri dari lima atribut mutu intrinsik (keamanan pangan, kandungan gizi, sensori, nilai, dan proses) dan lima atribut mutu ekstrinsik (sertifikasi, pengemasan, harga, produsen, dan iklan). Atribut umum nantinya digunakan sebagai atribut yang menjadi pertimbangan utama dan dinilai tingkat kepentingannya.

Karakterisasi mutu pada produk mi instan berdasarkan pada sembilan atribut mutu. Sama halnya seperti atribut mutu umum, atribut mutu yang dianalisis pada produk mi instan merupakan kombinasi dari atribut mutu instrinsik dan ekstrinsik. Atribut mutu tersebut adalah gizi, keamanan, sensori, nilai, kemasan, harga, merek, iklan, dan distribusi. Perbedaannya dengan atribut mutu umum terdapat pada atribut proses dan sertifikasi. Produk mi instan yang ada dipasaran diasumsikan memiliki kriteria atribut proses dan sertifikasi yang relatif sama.

2.

Bentuk Kuesioner

Kuesioner yang disusun terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berisi informasi tentang identitas responden survei online. Bagian kedua berisi pertanyaan yang mengeksplorasi atribut mutu pada produk pangan kemasan secara umum. Bagian ketiga berisi informasi tentang profil konsumsi produk mi instan. Bagian yang terakhir berisi pertanyaan yang mengeksplorasi atribut mutu pada empat jenis produk mi instan. Daftar pertanyaan pada kuesioner dapat dilihat pada Tabel 6.

Berdasarkan jenisnya, pertanyaan kuesioner dibagi menjadi pertanyaan terbuka, pertanyaan tertutup, pertanyaan semi tertutup, dan pertanyaan tertutup dengan skala Likert. Pada pertanyaan terbuka, responden diminta untuk mengisi jawabannya pada kolom yang sudah disediakan. Pada pertanyaan semi tertutup, responden dapat memilih jawaban yang sudah disediakan, tetapi resonden juga dapat mengisi jawabannya pada kolom yang sudah disediakan apabila jawaban yang dimaksud tidak terdapat pada pilihan jawaban yang telah disediakan. Sementara itu pada pertanyaan tertutup dengan skala Likert, responden diminta memberikan penilaian terhadap atribut mutu berdasarkan tingkatan tertentu (sangat penting – sangat kurang penting, sangat baik – sangat kurang, sangat murah – sangat mahal).

(25)

Tabel 6. Daftar pertanyaan pada kuesioner online

Bagian Soal No Soal Soal Jenis Pertanyaan

Identitas responden A1 Nama Terbuka

A2 Domisili Tertutup

A3 Email Terbuka

A4 Jenis kelamin Tertutup

A5 Usia Tertutup

A6 Tingkat pendidikan Semi tertutup A7 Jenis pekerjaan Semi tertutup A8 Tingkat pendapatan Tertutup

Atribut mutu produk pangan kemasan

B1 Pertimbangan utama Semi tertutup

B2 Tingkat kepentingan atribut mutu Tertutup (skala Likert) B3 Atribut keamanan pangan Tertutup

B4 Atribut gizi Tertutup

B5 Atribut sensori Tertutup

B6 Atribut nilai Tertutup

B7 Atribut informasi Tertutup

B8 Atribut proses Tertutup (skala Likert) B9 Atribut manajemen perusahaan Tertutup (skala Likert) B10 Atribut intrinsik/ ekstrinsik Tertutup

Profil konsumsi C1 Pernah konsumsi mi instan Tertutup C2 Frekuensi konsumsi mi Semi tertutup C3 Frekuensi konsumsi mi instan Semi tertutup

C4 Waktu konsumsi Tertutup

C5 Tanggapan produk mi instan Tertutup (skala Likert) C6 Jenis mi instan Tertutup

Atribut mutu mi instan

(26)

25 Gambar 10. Tampilan halaman awal kuesioner online

Gambar 11. Tampilan halaman awal web blog

E.

PENGUJIAN KUESIONER

(27)

terbukti validitas dan reliabilitasnya. Uji coba kuesioner juga dilakukan untuk memperbaiki desain dan isi kuesioner berdasarkan saran dari pengisi kuesioner (responden). Setelah dilakukan uji coba, kuesioner yang kurang baik dapat diperbaiki atau dihilangkan sebelum diajukan ke responden. Uji coba kuesioner meliputi uji validitas dan uji reliabilitas.

Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), validitas kuesioner menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur (kuesioner) mampu mengukur apa yang ingin diukur. Pada pengujian ini diukur sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukuran (kuesioner) dalam melakukan fungsi ukurnya. Hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang relevan dengan tujuan penelitian. Uji coba disarankan menggunakan responden minimal sebanyak 30 orang. Dengan jumlah minimal tersebut, maka distribusi nilai akan mendekati kurva normal.

Uji validitas untuk data ordinal dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi Rank Spearman. Teknik korelasi Rank Spearman adalah dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu variabel atau pertanyaan dikatakan valid bila skor variabel atau pertanyaan tersebut berkorelasi signifikan dengan skor total. Rumus korelasi Rank Spearman dapat dilihat pada Persamaan 4. Dalam uji validitas, uji hipotesisnya adalah uji satu ujung (one-tail) karena suatu item dikatakan valid jika mempunyai korelasi yang positif signifikan (Suliyanto 2005). Pengujian validitas dilakukan dengan bantuan SPSS 16 for Windows.

……… Persamaan 4

Keterangan: rs = koefisien rank Spearman

bi2 = selisih antara ranking satu dengan yang lain

n = jumlah pengamatan (responden)

Reliabilitas kuesioner menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran tersebut diulangi (Singarimbun dan Effendi 1989). Uji reliabilitas mengukur sejauh mana hasil pengukuran dapat dipercaya bila dilakukan pengukuran pada waktu yang berbeda pada kelompok subjek yang sama, diperoleh hasil yang relatif sama. Uji reliabilitas dapat diukur dengan menggunakan rumus alpha cronbach pada SPSS 16 for Windows. Rumus umum alpha cronbach dapat dilihat pada Persamaan 5. Menurut Rusli (2006), pertanyaan dalam kuesioner memiliki korelasi dan keandalan yang cukup tinggi jika nilai alpha cronbach lebih besar dari 0.7 dan mendekati 1.

………... Persamaan 5

keterangan: α = koefisien alpha cronbach (koefisien reliabilitas) k = butir pertanyaan yang valid

Σσ2

yi = jumlah varian butir pertanyaan yang valid

σ2

(28)

27

F.

PENGOLAHAN DATA

Analisis data yang digunakan antara lain analisis deskriptif, crosstab, analisis faktor, analisis korelasi Spearman, uji Kruskal-Wallis, dan uji multiple Dunn. Analisis deskriptif digunakan untuk menguraikan dan menjelaskan keterangan terhadap data-data yang diperoleh dalam bentuk tabel, kurva, atau grafik. Data yang dianalisis secara deskriptif adalah data identitas responden dan pertanyaan pilihan ganda (pertanyaan tertutup dan semi tertutup). Crosstab digunakan untuk menampilkan diagram yang menunjukkan hubungan antara faktor ekonomi dan sosio demografi terhadap pemilihan atribut mutu.

Analisis faktor digunakan untuk menganalisis data tingkat kepentingan atribut mutu umum pada produk pangan kemasan. Sepuluh atribut mutu umum tersebut akan direduksi menjadi beberapa kelompok atribut mutu. Jenis data yang dapat dianalisis dengan analisis faktor adalah data interval dan rasio. Karena data yang diperoleh dari kuesioner berbentuk data ordinal, data tersebut diubah terlebih dahulu menjadi data interval. Perubahan data tersebut dilakukan dengan menggunakan Metode Succesive Interval (MSI). Analisis faktor terdiri dari dua tahap, yaitu tahap uji kelayakan dan tahap ekstraksi. Uji kelayakan digunakan untuk melihat korelasi varibel. Variabel yang tidak berkorelasi (memiliki nilai MSA < 0.5), tidak diikutkan dalam uji lanjut.

(29)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PENGUJIAN KUESIONER

1.

Uji Validitas

Hasil uji validitas 58 variabel kuesioner dengan menggunakan korelasi Rank Spearman dapat dilihat pada Tabel 7. Uji validitas dilakukan dengan program SPSS 16 for Windows. Variabel yang valid merupakan variabel yang memiliki koefisien korelasi (rs) lebih besar dari koefisien korelasi pada

tabel kritis korelasi Spearman pada taraf signifikansi 5%, yaitu sebesar 0.317 (n=30; db=28). Hasil uji validitas secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 7. Nilai koefisien korelasi (rs) Rank Spearman variabel uji

No Variabel uji Koefisien

korelasi No Variabel uji

Koefisien korelasi

1 B1_Keamanan 0.609 30 D18_Sensori 4 0.913

2 B1_Gizi 0.449 31 D19_Keamanan 1 0.905

3 B1_Sensori 0.395 32 D19_Keamanan 2 0.951

4 B1_Nilai 0.487 33 D19_Keamanan 3 0.969

5 B1_Proses 0.769 34 D19_Keamanan 4 0.918

6 B1_Sertifikasi 0.251* 35 D20_Nilai 1 0.761

7 B1_Kemasan 0.613 36 D20_Nilai 2 0.784

8 B1_Harga 0.694 37 D20_Nilai 3 0.655

9 B1_Produsen 0.140* 38 D20_Nilai 4 0.646

10 B1_Promosi 0.369 39 D21_Kemasan 1 0.753

11 B8_Asal 0.693 40 D21_Kemasan 2 0.849

12 B8_Bioteknologi 0.670 41 D21_Kemasan 3 0.829

13 B8_Organik 0.866 42 D21_Kemasan 4 0.816

14 B8_Penanganan 0.841 43 D22_Harga 1 0.721

15 B9_BPOM 0.750 44 D22_Harga 2 0.718

16 B9_Halal 0.604 45 D22_Harga 3 0.811

17 B9_HACCP 0.723 46 D22_Harga 4 0.659

18 B9_GMP 0.678 47 D23_Merek 1 0.823

19 B9_Reputasi 0.418 48 D23_Merek 2 0.848

20 C15_Pokok 0.655 49 D23_Merek 3 0.799

21 C15_Pengganti 0.536 50 D23_Merek 4 0.608

22 C15_Selingan 0.494 51 D24_Iklan 1 0.414

23 D17_Gizi 1 0.951 52 D24_Iklan 2 0.701

24 D17_Gizi 2 0.940 53 D24_Iklan 3 0.761

25 D17_Gizi 3 0.966 54 D24_Iklan 4 0.630

(30)
[image:30.595.112.525.229.520.2]

29 Berdasarkan hasil uji validitas, 56 variabel kuesioner dinyatakan valid karena memiliki nilai koefisien korelasi lebih besar dari 0.317. Sementara itu, terdapat dua variabel yang tidak valid, yaitu variabel tingkat kepentingan atribut sertifikasi dan produsen. Variabel tersebut memiliki nilai koefisien korelasi kurang dari 0.317. Kedua variabel tersebut termasuk dalam pertanyaan tingkat kepentingan atribut mutu umum yang dapat dilihat pada Lampiran 1 pertanyaan B2. Ketidakvalidan kedua variabel tersebut diduga disebabkan karena jawaban tingkat kepentingan atribut mutu yang bervariasi pada tahap uji coba kuesioner terhadap 30 responden. Jawaban responden terhadap tingkat kepentingan atribut sertifikasi dan produsen dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Respon terhadap pertimbangan mutu utama dan tingkat kepentingan sertifikasi dan produsen

No Pertimbangan utama

Tingkat kepentingan

No Pertimbangan utama

Tingkat kepentingan Sertifikasi Produsen Sertifikasi Produsen

1 Nilai 5 4 16 Gizi 5 4

2 Keamanan 5 3 17 Produsen 5 5

3 Sertifikasi 5 4 18 Pengemasan 4 4

4 Promosi 5 4 19 Produsen 5 4

5 Sertifikasi 5 3 20 Keamanan 5 5

6 Keamanan 2 4 21 Keamanan 4 2

7 Sensori 5 3 22 Keamanan 5 4

8 Sensori 5 3 23 Sensori 4 3

9 Gizi 4 3 24 Keamanan 5 5

10 Harga 5 3 25 Harga 5 4

11 Keamanan 4 3 26 Keamanan 5 4

12 Produsen 5 5 27 Harga 3 4

13 Sensori 4 3 28 Harga 4 4

14 Sensori 5 3 29 Harga 5 3

15 Sensori 5 3 30 Sertifikasi 5 3

Keterangan: 1 Sangat kurang penting 4 Penting 2 Kurang penting 5 Sangat penting 3 Cukup penting

Secara umum responden memberikan penilaian skala Likert terhadap dua variabel tersebut dengan skala 3 (cukup penting) sampai skala 5 (sangat penting). Namun, beberapa responden ada yang menilai atribut tersebut dengan skala 2 (kurang penting), sehingga pada hasil uji validitasnya memperoleh nilai koefisien korelasi yang rendah. Hal ini menunjukkan responden memiliki persepsi yang beragam terhadap atribut tingkat kepentingan sertifikasi dan produsen.

Perbedaan persepsi responden diduga disebabkan karena adanya keterangan tambahan (penjelasan) terhadap atribut. Pada atribut sertifikasi ditambahkan keterangan sertifikasi BPOM, Depkes, Halal, dan lain-lain, sedangkan pada atribut produsen ditambahkan keterangan merek, reputasi, dan lain-lain. Keterangan tersebut diduga memberikan pemahaman yang berbeda antar responden. Sebagai contoh pada atribut sertifikasi, responden hanya menilai dari sudut pandang sertifikasi halalnya saja, bukan sertifikasi secara keseluruhan.

(31)

untuk pengujian kuesioner didasarkan atas urutan data yang masuk dalam database. Oleh karena itu, data yang digunakan sebagai pengujian kuesioner belum mencakup seluruh wilayah sampling.

Tabel 8 juga menunjukkan pola penilaian responden terhadap atribut mutu yang menjadi pertimbangan utama dan tingkat kepentingan atribut sertifikasi dan produsen. Ketika responden memilih atribut sertifikasi maupun atribut produsen, responden juga memberikan jawaban tingkat kepentingan yang tertinggi (penting dan sangat penting) terhadap atribut tersebut. Sementara itu, responden memberikan jawaban tingkat kepentingan yang lebih rendah apabila atribut sertifikasi atau produsen bukan menjadi pertimbangan utama dalam memilih produk pangan kemasan. Penilaian terhadap tingkat kepentingan kedua atribut mutu tersebut dipengaruhi oleh apakah atribut mutu tersebut menjadi pertimbangan utama ataukah tidak. Oleh karena itu, meskipun atribut tingkat kepentingan sertfikasi dan produsen memiliki nilai validitas yang rendah, responden cukup konsisten dalam menilai kedua atribut tersebut.

Perbaikan untuk meningkatkan kualitas kuesioner (terutama meningkatkan nilai koefisien korelasi atribut sertifikasi dan produsen) tidak dilakukan. Hal ini disebabkan karena data lain untuk kelompok pertanyaan B2 dinilai sudah cukup baik. Di samping itu, data yang masuk (yang seharusnya digunakan untuk pengujian kuesioner) setelah proses pengujian kuesioner sudah cukup banyak, walaupun yang digunakan hanya 30 responden. Pengiriman kembali email sebagai pemberitahuan untuk pengisian ulang kuesioner tidak dilakukan karena dapat menyebabkan meningkatnya non-respon sehingga jumlah data yang diperoleh untuk pengisian kuesioner yang sebenarnya menjadi lebih sedikit.

2.

Uji Reliabilitas

Tabel 9 menunjukkan hasil uji reliabilitas internal α-cronbach terhadap 58 variabel kuesioner dengan menggunakan program SPSS 16 for Windows. Berdasarkan hasil pengujian, nilai α-cronbach yang diperoleh sebesar 0.862. Pengujian ini dilakukan secara keseluruhan variabel kuesioner (58 variabel). Nilai tersebut lebih besar dari nilai kritis tabel Rho Sperman pada taraf signifikansi 5%, yaitu sebesar 0.377 (N=30; db=28). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kuesioner yang diajukan memiliki reliabilitas yang cukup tinggi.

Tabel 9. Output SPSS hasil uji reliabilitas kuesioner

B.

PROFIL RESPONDEN

(32)

31

1.

Wilayah Domisili

[image:32.595.87.504.111.796.2]

Jumlah responden yang mengikuti survei sebesar 203 orang yang mencakup 13 wilayah di wilayah Jabodetabek. Distribusi responden berdasarkan wilayah domilisi dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Distribusi responden berdasarkan wilayah domisili

No Wilayah Domisili Jumlah Persentase (%)

1 Jakarta Pusat 20 9.9

2 Jakarta Utara 7 3.4

3 Jakarta Selatan 22 10.8

4 Jakarta Timur 21 10.3

5 Jakarta Barat 12 5.9

6 Kota Bogor 30 14.8

7 Kabupaten Bogor 25 12.3

8 Kota Depok 20 9.9

9 Kota Tangerang 5 2.5

10 Kabupaten Tangerang 3 1.5

11 Tangerang Selatan 5 2.5

12 Kota Bekasi 17 8.4

13 Kabupaten Bekasi 16 7.9

Total 203 100.0

Berdasarkan data distribusi wilayah, responden yang berasal dari wilayah Kota Bogor memiliki persentase respon yang paling tinggi, yaitu sebesar 14.8%. Respon yang tinggi (lebih dari 10%) selanjutnya adalah Kabupaten Bogor (12.3%), Jakarta Selatan (10.8%), dan Jakarta Timur (10.3%). Karena menggunakan media internet, jumlah responden yang diperoleh tidak sama untuk setiap wilayah. Pengisian kuesioner dipengaruhi oleh minat dan ketersediaan waktu yang dimiliki oleh responden. Di samping itu, responden pada sebuah mail group memiliki distribusi wilayah anggota yang tidak merata meskipun telah dilakukan rekruitmen calon responden berdasarkan wilayah atau regional tertentu di wilayah Jabodetabek.

2.

Jenis Kelamin

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan jenis kelamin responden yang mengikuti survei, 59.1% responden (120 orang) adalah pria, sedangkan 40.9% responden (83 orang) adalah wanita.

Tabel 11. Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin

No Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

1 Pria 120 59.1

2 Wanita 83 40.9

[image:32.595.122.440.174.431.2]
(33)

3.

Rentang Usia

Distribusi responden berdasarkan rentang usia dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan rentang usia responden, 54.2% responden berusia 15-25 tahun, 27.1% responden berusia 26-35 tahun, 11.3% responden berusia 36-45 tahun, dan 7.4% responden berusia lebih dari 45 tahun. Dari data tersebut terlihat bahwa semakin tinggi rentang usia responden, semakin rendah keikutsertaan dalam survei online. Hal ini dapat disebabkan karena minat responden maupun frekuensi pemakaian komputer maupun internet yang dilakukan oleh responden pada rentang usia tertentu. Menurut Hoesin dan Saleh (2009), mayoritas pengguna komputer dengan intensitas penggunaan 1-5 jam per hari relatif didominasi oleh kalangan usia muda dibandingkan dengan usia yang lebih tua.

Tabel 12. Distribusi responden berdasarkan rentang usia

No Usia Responden Jumlah Persentase (%)

1 15 - 25 tahun 110 54.2

2 26 - 35 tahun 55 27.1

3 36 - 45 tahun 23 11.3

4 Lebih dari 45 tahun 15 7.4

Total 203 100.0

4.

Tingkat Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan responden saat ini (bagi yang masih dalam proses studi) maupun tingkat pendidikan responden yang terakhir (bagi yang sudah tidak melanjutkan studi), 12.8% responden memiliki tingkat pendidikan SMA/SMK, 12.3% responden memiliki tingkat pendidikan diploma, 66.0% responden memiliki tingkat pendidikan sarjana, dan 8.9% responden memiliki tingkat pendidikan pasca sarjana. Tidak ada responden yang memiliki tingkat pendidikan SMP. Responden dengan tingkat pendidikan sarjana memiliki persentase paling tinggi dibandingkan tingkat pendidikan yang lain. Hal ini disebabkan karena frekuensi penggunaan internet yang tinggi di kalangan mahasiswa maupun pegawai yang memiliki latar pendidikan sarjana. Pengguna internet terbanyak adalah adalah para mahasiswa dan pekerja kantor yang memanfaatkan internet untuk tugas kuliah dan pekerjaan kantor (Hoesin dan Saleh 2009). Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

No Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SMP 0 0.0

2 SMA/ SMK 26 12.8

3 Diploma 25 12.3

4 Sarjana 134 66.0

5 Pasca sarjana 18 8.9

(34)

33

5.

Jenis Pekerjaan

Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan jenis pekerjaan responden, 6.4% responden bekerja sebagai pegawai negeri, 36.5% responden bekerja sebagai pegawai swasta, 13.8% responden berkerja sebagai wirausaha, 33.5% responden merupakan mahasiswa atau pelajar, 3.9% responden belum bekerja, dan 5.9% responden memiliki pekerjaan selain yang telah disebutkan. Pegawai swasta dan mahasiswa atau pelajar mendominasi keikutsertaan dalam survei online. Pegawai swasta dan mahasiswa cenderung memiliki akses terhadap jaringan internet yang lebih mudah. Menurut Kusumaardhiati (2011), sebesar 57% mahasiswa mengakses jaringan internet lebih dari empat kali per minggu dan sebesar 60.0% responden memiliki durasi penggunaan 1-2 jam per akses.

Tabel 14. Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan

No Pekerjaan Jumlah Persentase (%)

1 Pegawai negeri 13 6.4

2 Pegawai swasta 74 36.5

3 Wirausaha 28 13.8

4 Mahasiswa/ pelajar 68 33.5

5 Belum bekerja 8 3.9

6 Lainnya 12 5.9

Total 203 100.0

6.

Pendapatan Rata-rata per Bulan

Distribusi responden berdasarkan jumlah pendapatan rata-rata per bulan dapat dilihat pada Tabel 15. Berdasarkan jumlah pendapatan rata-rata per bulan, 27.6% responden memiliki jumlah pen

Gambar

Tabel 8. Respon terhadap pertimbangan mutu utama dan tingkat kepentingan sertifikasi dan produsen
Tabel 10. Distribusi responden berdasarkan wilayah domisili
Gambar 13. Diagram crosstab hubungan antara jenis kelamin terhadap pemilihan atribut mutu
Gambar 17. Diagram crosstab hubungan antara tingkat pendapatan terhadap pemilihan atribut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keterangan yang dilarang atau tidak boleh dicantumkan (keterangan yang tidak benar dan menyesatkan, pangan dapat berfungsi sebagai obat, mencantuman nama dan lembaga yang

Hasil analisis data menunjukkan : 1) Pengguna kartu GSM prabayar sebagian besar adalah wanita, usia antara 21-23 tahun, dan mempunyai uang saku lebih dari Rp.300.000 perbulan

Jadi, tetap diperhatikan syarat kriteria pemilihan parameter mutu, dapat dilihat bahwa atribut mutu rasa asam, aroma pala, dan aroma gula juga memiliki nilai R 2 di

Tingkat pengetahuan wanita pekerja di UMS tentang pemilihan makanan sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan baik yaitu sebesar 75,7% dan yang tidak baik

Berdasarkan diagram diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki penilaian citra merek yang baik akan produk Catrice, lebih dari seperemat

Atribut Produk memiliki tingkat signifikansi sebesar 0,001. Dari hasil uji t pada variabel atribut produk menyatakan bahwa signifikansi uji t lebih kecil dari 0,05 dan

Gambar 1 Pareto Diagram Klasifikasi ABC Berdasarkan Nilai Pemakaian Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa Ball Bearing dengan klasifikasi A memiliki nilai pemakaian yang sangat

Sedang pada Grafik 1 -terlihat perbandingan persentase penderita wanita lebih besar dari pada pria dengan uji HI positif berdasarkan seks dan rumah sakitnya.. Jumlah