• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.4 Pendekatan Pembahasan Hasil Analisis

Hasil analisis penelitian ini akan dibahas dan ditelaah serta disajikan dengan pendekatan kelembagaan. Hal ini berdasarkan pada kenyataan yang ada bahwa kegiatan MCS nasional kelautan Indonesia, khususnya dalam bidang perikanan tangkap, dilaksanakan oleh institusi- institusi pemerintahan yang bersifat kelembagaan. Masing- masing kelembagaan menjalankan kegiatan surveillance ini berdasarkan mandat hukum yang tertuang dalam Undang-Undang tentang kelembagaan yang bersangkutan. Dapat terjadi adanya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang saling tumpang tindih. Oleh karena itu dalam pembahasan hasil analisis perlu dilakukan pendekatan secara kelembagaan (Likadja 1988; Subagyo 1993).

Disamping dengan pendekatan tersebut, dalam rangka menyusun suatu ulasan rekomendasi kebijakan operasional, akan mengarah kepada upaya untuk

mengembangkan sistem MCS nasional kelautan yang lebih terarah (efektif) dengan proses yang lebih ringkas (efisien). Salah satu metoda pembahasan yang dapat dipakai dalam kancah manajemen organisasi adalah benchmarking strategy.

Benchmarking (patok duga) merupakan proses pembelajaran dari yang terbaik.

Spendolini (1992) mendefinisikan benchmarking sebagai: a continuous, systematic process for evaluation the products, services, and work processes of organization that are recognized as representing best practices for the purpose of organizational improvement.

Analisis benchmarking berangkat dari bukti dan anggapan bahwa tidaklah sepenuhnya benar jika dinyatakan bahwa MCS nasional yang ada sekarang sekalipun masih parsial memiliki kinerja yang buruk dan berdasarkan kasus beberapa lainnya yang berhasil dikumpulkan data dan informasinya akan menunjukkan bahwa MCS berjalan dengan sangat baik. Oleh karenanya perlu ditarik pelajaran dari pengalaman MCS yang berhasil, sehingga MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia mampu melakukan proses benchmarking (patok duga) guna meningkatkan kinerjanya pada masa yang akan datang.

Proses benchmarking (patok duga) merupakan suatu proses belajar dari pihak lain yang lebih baik kinerjanya. Proses belajar ini untuk menghadirkan informasi

penting yang berguna untuk membangun gagasan-gagasan perbaikan yang dibutuhkan. Sebaliknya, proses patok duga bukannya suatu proses untuk memperoleh jawaban secara mudah atau sekedar proses peniruan secara membabi buta. Jika antara MCS dapat dilakukan patok duga terkait dengan produk dan servis maupun proses kerja, kelembagaan dan organisasinya, maka patok duga antara MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia dapat dilaksanakan secara terpadu, efisien dan efektif.

3.4.1 Analisis tingkat kepentingan dan kinerja

Untuk pengembangan MCS Indonesia, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah kondisi faktor-faktor MCS yang berpengaruh dalam pelaksanaan MCS kelautan. Untuk itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang dianggap penting oleh para ahli di bidang kelautan dan selanjutnya sistem diupayakan menghasilkan kinerja sebaik mungkin. Oleh karena itu, perlu dilakukan “importance and performance analysis”.

(1) Metode analisis data

Dalam menganalisis data penelitian digunakan metode deskriptif kualitatif – kuantitatif. Untuk menjawab sampai sejauh mana penerapan MCS di Indonesia, maka digunakan importance and performance analysis (IPA) atau analisis tingkat kepentingan dan kinerja pelaksanaan MCS. Untuk tingkat kepentingan digunakan 4 skala yang terdiri dari : 1) sangat penting diberi bobot 4; 2) penting diberi bobot 3; 3) kurang penting diberi bobot 2; dan 4) tidak penting diberi bobot 1. Untuk kinerja digunakan 4 skala yaitu: 1) jika penilaian kinerja MCS mempunyai kemampuan yang baik diberi bobot 4; 2) jika sistem MCS sudah memiliki kemampuan yang baik, tapi masih memerlukan sedikit tambahan, diberi bobot 3; 3) jika sistem MCS telah ada, tapi masih belum memadai diberi bobot 2; dan 4) jika tidak ada sistem MCS atau sangat tidak memadai diberi bobot 1.

Berdasarkan hasil penilaian tingkat kepentingan dan hasil penilaian kinerja, maka dihasilkan suatu perhitungan mengenai tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan tingkat kinerjanya. Tingkat kesesuaian adalah hasil perbandingan skor kinerja dengan skor kepentingan. Tingkat kesesuaian inilah

yang akan menentukan urutan prioritas peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pengembangan MCS di Indonesia.

Dalam penelitian ini terdapat dua buah variabel yang diwakilkan oleh huruf x dan y, dimana x adalah merupakan tingkat kinerja MCS, sedangkan y merupakan tingkat kepentingan MCS. Adapun rumus yang digunakan adalah:

Tki = Xi x 100%

Yi

dimana : Tki = tingkat kesesuaian responden Xi = skor kinerja MCS

Yi = skor penilaian tingkat kepentingan MCS

Selanjutnya sumbu mendatar (X) akan diisi oleh skor tingkat kinerja MCS, sedangkan sumbu tegak (Y) akan diisi oleh skor tingkat kepentingan MCS. Dalam penyederhanaan rumus, maka untuk setiap faktor yang mempengaruhi pelaksanaan MCS adalah dengan :

_ _

X = S Xi Y = S Yi n n

_

dimana : X = skor rata-rata tingkat kinerja _

Y = skor rata-rata tingkat kepentingan

n = jumlah responden

Diagram Kartesius merupakan suatu bangun yang dibagi atas empat bagian yang dibatasi oleh dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik-titik (X, Y), dimana X merupakan rata-rata dari rata-rata skor tingkat kinerja seluruh faktor atau atribut dan Y adalah rata-rata dari rata-rata skor tingkat kepentingan seluruh faktor yang mempengaruhi pelaksanaan MCS. Maka rumusnya menjadi:

= n = n X = Si = 1 Xi Y = Si = 1 Yi K K

dimana : K = banyaknya atribut atau faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan MCS

Selanjutnya tingkat unsur-unsur tersebut akan dijabarkan dan dibagi menjadi empat bagian ke dalam diagram Kartesius seperti ditampilkan pada Gambar 6.

Y

Kepentingan Prioritas utama Pertahankan prestasi A B

=

Y

C D

Prioritas rendah Berlebihan

Kinerja =

X X

Gambar 6 Diagram Kartesius (Sumber: Supranto 2006).

Keterangan:

A : menunjukkan faktor yang dianggap mempengaruhi pelaksanaan MCS, termasuk unsur- unsur yang dianggap sangat penting, namun kinerjanya belum sesuai dengan yang diharapkan, sehingga mengecewakan/tidak puas. B : menunjukkan unsur MCS yang telah berhasil dilaksanakan, untuk itu wajib

dipertahankan, dianggap sangat penting dan sangat memuaskan.

C : menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya dan dalam pelaksanaan MCS biasa-biasa saja, dianggap kurang penting dan kurang memuaskan.

D : menunjukkan faktor tingkat kepentingan MCS yang kurang penting, akan tetapi pelaksanaannya telah cukup baik/berlebihan, dianggap kurang penting tapi sangat memuaskan.

(2) Operasional penelitian

Bagan alir importance and performance analysis ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Bagan alir importance and performance analysis (Sumber: Supranto 2006)

3.4.2 Analisis SWOT

Analisa secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan matriks IFE, EFE, IE dan QSPM. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu organisasi dalam menghadapi lingkungan internal dan eksternal dengan cara mendapatkan angka yang menggambarkan kondisi organisasi terhadap kondisi lingkungannya. Matriks IFE dan EFE diolah dengan menggunakan beberapa langkah berikut (Rangkuti 2006):

(1) Identifikasi faktor internal dan eksternal

Langkah awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi faktor internal, yaitu dengan mendaftarkan semua kelemahan dan kekuatan organisasi. Kekuatan diidentifikasi terlebih dahulu, baru kemudian dikenali kelemahan. Daftar dibuat spesifik dengan menggunakan prosentase, rasio atau angka perbandingan. Faktor eksternal diidentifikasi dengan mendata semua peluang dan ancaman.

Data eksternal diperoleh dari hasil wawancara atau kuesioner dan diskusi dengan para pakar di bidangnya, serta data penunjang lainnya. Hasil kedua identifikasi faktor- faktor di atas tersebut menjadi faktor penentu internal dan eksternal yang selanjutnya akan diberikan bobot atau rating.

Variabel MCS Variabel tanggapan

responden Tingkat kepentingan Tingkat kinerja Pelaksanaan MCS 1.Lisensi 2.Legislasi

3.Koordinasi antar lembaga

4.Pelatihan MCS

5.Prosedur inspeksi

6.Sistem perencanaan data

7.Kapasitas di laut 8.Identifikasi kapal

(2) Penentuan bobot setiap peubah

Penentuan bobot dilakukan dengan jalan mengajukan identifikasi faktor- faktor strategis eksternal dan internal tersebut kepada para pakar dengan menggunakan metode paired comparison (Kinnear & Taylor 1991). Metode tersebut digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu internal dan eksternal. Untuk menentukan bobot setiap peubah digunakan skala 1, 2, dan 3. Skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah :

1 = jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal 2 = jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal 3 = jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal Bentuk penilaian pembobotan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Penilaian bobot faktor strategi internal

Faktor strategis internal A B C D ... Total A B C D ... Total

Tabel 2 Penilaian bobot faktor strategi eksternal

Faktor strategis eksternal A B C D ... Total A B C D ... Total

Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai rataan dari setiap peubah terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah dengan menggunakan rumus (Kinnear & Taylor 1991):

xi Ai = n

? Xi i=1

Dimana : ai = bobot peubah ke- i

Xi = nilai peubah ke- i i = 1, 2, 3, ..., n n = jumlah peubah

(3) Penentuan Peringkat (Rating)

Penentuan rating (rating) oleh manajemen atau pakar dari organisasi yang dianggap sebagai decision maker dilakukan terhadap peubah-peubah dari hasil analisis situasi organisasi. Untuk mengukur pengaruh masing- masing peubah terhadap kondisi organisasi digunakan nilai peringkat dengan skala 1, 2, 3, dan 4 terhadap masing- masing faktor strategis yang menandakan seberapa efektif strategi organisasi saat ini, dimana untuk matriks EFE skala nilai peringkat yang digunakan yaitu:

1 = Rendah, respon kurang

2 = Rendah, respon sama dengan rata-rata 3 = Tinggi, respon di atas rata-rata

4 = Sangat tinggi, respon superior

Untuk faktor- faktor ancaman merupakan kebalikan dari faktor peluang, dimana skala 1 berarti sangat tinggi, respon superior terhadap organisasi. Skala 4 berarti rendah, respon kurang terhadap organisasi.

Untuk matriks IFE, skala nilai peringkat yang digunakan dalam kolom rating

dengan skala 1 – 4, pada masing- masing faktor internal yang ada dalam organisasi saat ini. Untuk faktor kekuatan dan kelemahan, yaitu (1) kelemahan utama, (2) kelemahan kecil, (3) kekuatan kecil, (4) kekuatan utama.

Selanjutnya nilai dari pembobotan dikalikan dengan nilai rataan peringkat pada tiap-tiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk

memperoleh total skor pembobotan. Hasil pembobotan dari peringkat (rating) berdasarkan analisa situasi dimasukkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2.

Nilai IFE dikelompokkan dalam : Tinggi (3,0 – 4,0); Sedang (2,0 – 2,99); dan Rendah (1,0 – 1,99). Sedangkan nilai-nilai EFE dikelompokkan dalam : Kuat (3,0 – 4,0), Rata-rata (2,0 – 2,99) dan Lemah (1,0 – 1,99) (David 1998).

Tabel 3 Matriks IFE Analisis SWOT

Faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor A. Kekuatan 1. 2. 10. Jumlah (A) B.Kelemahan 1. 2. 10. Jumlah (B) Total (A+B)

Tabel 4 Matriks EFE Analisis SWOT

Faktor Strategis Eksternal Bobot Rating Skor C.Peluang 1. 2. 10. Jumlah (C) D.Ancaman 1. 2. 10. Jumlah (D) Total (C+D)

Terdapat 8 tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu: 1) Tentukan faktor-faktor peluang eksternal.

2) Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal 3) Tentukan faktor-faktor kekuatan internal 4) Tentukan faktor-faktor kelemahan internal

5) Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S – O.

6) Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi W – O.

7) Sesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi S – T.

8) Sesuaikan kelemahan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi W – T.

Selanjutnya dalam menyusun matriks QSPM perlu dilakukan langkah- langkah sebagai berikut:

1) Membuat daftar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman di kolom sebelah kiri.

2) Membuat bobot pada masing- masing kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.

3) Menuliskan dan mengidentifikasikan strategi alternatif yang harus dipertimbangkan, yang selanjutnya mencatat strategi-strategi tersebut atas baris QSPM.

4) Menetapkan AS (attractiveness score), yaitu nilai yang menunjukkan kemenarikan relatif untuk masing- masing strategi yang terpilih. Batasan nilai AS adalah 1 sampai 4. Nilai 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = secara logika menarik, 4 = sangat menarik.

5) Menghitung TAS (total attractiveness score) dari hasil perkalian bobot yang terdapat pada matriks IFE dengan AS yang diperoleh. TAS menunjukkan kemenarikan relatif dari masing- masing alternatif strategi.

6) Menjumlah semua TAS pada masing- masing kolom QSPM. Berdasarkan nilai TAS yang didapat, nilai TAS dari alternatif strategi yang tertinggilah yang

menunjukkan bahwa alternatif strategi itu yang menjadi pilihan utama. Nilai TAS terkecil menunjukkan bahwa alternatif strategi ini menjadi pilihan terakhir. Ilustrasi QSPM dapat dilihat pada Gambar 8.

.

Alternatif Strategi

Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 Faktor kunci

:

Bobot

AS TAS AS TAS AS TAS

Peluang - - Ancaman - - Kekuatan - - Kelemahan - - Total

Dokumen terkait