• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain sistem monitoring control and surveillance nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Desain sistem monitoring control and surveillance nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia"

Copied!
400
0
0

Teks penuh

(1)

DESAIN SISTEM

MONITORING CONTROL

AND

SURVEILLANCE

NASIONAL

DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA

HARMIN SARANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Desain Sistem

Monitoring, Control and Surveillance Nasional dalam Pembangunan Kelautan Indonesia” adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan komisi pembimbing serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2007.

Harmin Sarana

(3)

ABSTRAK

HARMIN SARANA. Desain Sistem Monitoring Control and Surveillance Nasional dalam Pembangunan Kelautan Indonesia. Dibimbing John Haluan sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Daniel R. Monintja, Tommy H. Purwaka dan Hartrisari Hardjomidjojo sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Wilayah perairan laut Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan memiliki posisi strategis dalam perdagangan serta pelayaran internasional.Keadaan ini memancing pihak-pihak tertentu untuk melakukan eksploitasi dan memanfatkannya secara ilegal. Kerugian Indonesia dari kegiatan-kegiatan ilegal ini sangat besar jumlahnya.

Untuk mengantisipasi kegiatan pelanggaran hukum ini perlu diterapkan suatu sistem keamanan di laut. Sistem keamanan di laut di masa depan seharusnya dibangun dengan prinsip mensinergikan kekuatan yang dimiliki oleh berbagai instansi penyelenggara penegakan keamanan di laut tersebut. Sinergi ini harus tercermin dari struktur organisasi, mekanisme dan prosedur serta pelibatannya di laut. Salah satu bentuk nyata dari strategi tersebut adalah diberlakukannya sistem monitoring, control and surveillance nasional.

Di Indonesia sistem MCS telah mulai dirintis untuk dilaksanakan, namun masih bersifat parsial dan sektoral. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian dengan pendekatan kesisteman untuk menyusun suatu desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia.

Fokus permasalahan dalam studi ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan MCS di Indonesia pada saat ini dan kendala-kendala yang dihadapi serta membandingkan dengan pelaksanaan MCS di negara-negara lain di dunia sebagai patok duga.

Dari analisis existing condition pada saat ini dan dengan membandingkan dengan negara- negara lain di dunia dalam pelaksanaan MCS dalam bidang kelautan, dapat dik etahui posisi Indonesia pada saat ini yang ternyata masih berada pada level yang rendah.Untuk meningkatkan kondisi ini Indonesia harus meningkatkan landasan operasional MCS dan selanjutnya meningkatkan pelaksanaan MCSnya.

Dari analisis kebutuhan MCS dengan menggunakan expert judgment dan studi kepustakaan, didapat faktor-faktor kunci MCS untuk meningkatkan kinerja sistem MCS nasional. Untuk meningkatkan kinerja MCS Indonesia, perlu adanya pembenahan aspek lisensi dan legislasi.

Adapun kebijakan nasional yang perlu diterapkan dalam pengembangan MCS nasional adalah : (1) Pengembangan sistem MCS secara terintegrasi, (2) Penyusunan dan penerapan kebijakan integral yang komprehensif dalam penanganan MCS, (3) Penerapan good governance dalam pelaksanaan MCS, (4) Pengembangan kerjasama internasional untuk memperkuat pelaksanaan operasional sistem MCS, (5) Peningkatan kinerja operasional MCS untuk pengakuan internasional, (6) Pembentukan sistem kelembagaan dalam pelaksanaan MCS kelautan, (7) Peningkatan kualitas SDM kelautan dan perikanan dan membentuk Coast Guard Indonesia.

(4)

ABSTRACT

HARMIN SARANA. National Monitoring, Control and Surveillance Design System for Marine Development in Indonesia. Guided by John Haluan as the Chief of the Advisory Committee and Daniel R. Monintja, Tommy H. Purwaka, and Hartrisari Hardjomidojo as members of the Advisory Committee.

Indonesian sea areas are rich in natural resources and possessing a strategic position in international sea traffic. These factors stimulate plenty of third parties to illegally exploit and utilize those sea waters. Illegal activities significantly disadvantage Indonesia.

To anticipate those illegal activities, Indonesia should employ a maritime security system. A maritime security system in the future should be built on ideas which synergize the strengths of the organizations that enforce it. The synergy should be reflected in the organizational structure, mechanism, procedures, and the realization of those values in the sea. One of the tangible ways of such strategies is to employ a national monitoring, control, and surveillance (MCS) system.

The MCS system was already put into practice in Indonesia; but is still very partial and also sectored. Hence, it is necessary to perform a systemic approach assay to design a national MCS system in the development of Indonesian maritime.

The focus of this study is to examine the implementation of MCS in Indonesia today and also its current problems by benchmarking them with the actualization of MCS in other countries in the world.

Based on the existing condition analysis and also by comparing the actualization of maritime MCS in other countries, it can be concluded that Indonesia still operates at a relatively low level. Therefore, to improve this condition Indonesia has to increase its MCS operating principles and actualizations.

MCS needs are analyzed by expert judgment and library studies, which indicate the key factors necessary to increase national MCS performance. To improve the Indonesian MCS performance, it is necessary to fix and regulate MCS licensing and legislation aspects.

National legislations that need to be regulated for MCS implementation are: (1) Integrated MCS system deve lopment, (2) Legislation of comprehensive and integral laws for MCS regulation, (3) Application of good governance during MCS actualization, (4) Development of international relation to enhance MCS operational system, (5) Improvement in MCS operation for international recognition, (6) Development of organizational system for maritime MCS, (7) Improvement in maritime and fisheries human resources quality and the development of Indonesian Coast Guard.

(5)

DESAIN SISTEM MONITORINGCONTROLANDSURVEILLANCE NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN KELAUTAN INDONESIA

HARMIN SARANA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunianya sehingga akhirnya disertasi ini dapat terselesaikan.

Disertasi berjudul “Desain Sistem Monitoring Control and Surveillance

Nasional dalam Pembangunan Kelautan Indonesia” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis sampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan MSc, Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Tommy H. Purwaka, SH, LLM, Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, MSc. selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penyelesaian disertasi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. John Haluan MSc, selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, yang beserta staf selalu memberikan dukungan selama perkuliahan dan penyelesaian disertasi ini.

Terima kasih tak terhingga disampaikan kepada ayahanda Iwan Sarana (almarhum) dan ibunda Loyana Mulyati yang telah mendidik dan senantiasa mendoakan keberhasilan penulis, serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada istriku dr. Maya Surjadjaja M.Gizi, SpGK, dan anak-anakku Pascal, Pierre, Philippe dan Philbert yang telah denga n tiada henti memberikan dorongan dan semangat dengan penuh kesabaran dan doa yang tulus hingga selesainya disertasi ini

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada para responden, baik para experts maupun stakeholders, yang telah turut berpartisipasi dalam penelitian untuk disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada segenap teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini, namun selalu melekat dalam hati sanubari penulis, yang telah dengan tulus memberikan dukungan dan bantuan sehingga akhirnya disertasi ini dapat diselesaikan.

Akhir kata semoga karya ilmiah ini punya sekelumit nilai manfaat .

(7)

BIODATA

Harmin Sarana dilahirkan di Jakarta tanggal 27 Mei 1953, anak ke dua dari pasangan Bapak Iwan Sarana (almarhum) dan Ibu Loyana Mulyati. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar YPP, Sekolah Menengah Pertama Negeri LXIII sampai Sekolah Menengah Atas Kolese Kanisius di Jakarta sampai tahun 1971, terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1972 dan lulus tahun 1977. Tahun 1982-1983 menempuh pendidikan Naval Flight Surgeon di NAMI, USA. Tahun 1986 melanjutkan pendidikan Program Pascasarjana (spesialisasi Ilmu Bedah) Universitas Indonesia dan lulus tahun 1990. Tahun 1998 menempuh pendidikan Magister Manajemen di IPWIJA Jakarta dan selesai tahun 2000. Tahun 2001 diterima sebagai mahasiswa program Doktor untuk program Studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1978 sampai sekarang berdinas di TNI AL, dan dalam kurun waktu tersebut pernah menjabat sebagai Komandan Peleton Kesehatan, Komandan Detasemen Kesehatan, Wakil Komandan Batalyon dan Komandan Batalyon Kesehatan Korps Marinir, Kepala RSAL Tanjung Pinang dan Kepala Kesehatan Akademi Angkatan Laut serta Kepala Dinas Kesehatan Korps Marinir.

(8)
(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Output Yang Diharapkan... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.6 Ruang Lingkup Penelitian... 10

1.7. Kerangka Penelitian... 11

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Sistem... 16

2.2 Kondisi Pembangunan Kelautan Indonesia dalam bidang Perikanan Tangkap pada saat ini... 22

2.3 Penegakan Keamanan di Laut... 24

2.4 Monitoring, Control and Surveillance (MCS) ... 25

2.5 Analisis Prospektif untuk Penentuan Faktor- faktor Dominan pada masa yang akan datang ... 27

2.6 Analisis SWOT ... 30

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan Data dan Informasi... 32

3.2 Waktu Penelitian dan Lokasi Penelitian ... 33

3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 33

3.4 Pendekatan Pembahasan Hasil Analisis... 35

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Nyata Penerapan Kebijakan Maritim Nasional Indonesia Terkait dengan Penerapan Strategi MCS ... 45

4.2 Penerapan MCS di Beberapa Negara... 62

4.3 CoastGuard Berbagai Negara ... 85

(10)

4.6 AnalisisFaktor Kunci yang Mempengaruhi MCS... 112

4.7 Analisis SWOT... 125

4.8 Skenario Strategi ... 140

4.9 Desain Model Strategi Pengembangan MCS Nasional ... 147

5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 153

5.2 Saran ... 154

DAFTAR PUSTAKA... 155

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penilaian bobot faktor strategi internal... 40

2 Penilaian bobot faktor strategi eksternal... 40

3 Matriks IFE Analisis SWOT... 42

4 Matriks EFE Analisis SWOT... 42

5 Penempatan kapal pengawas PSDKP ... 48

6 Penempatan Pokwasmas di seluruh Indonesia... 51

7 Penyebaran CDB di Indonesia ... 54

8 Peranan sub bagian MP dalam aktivitas MCS di Mozambique ... 72

9 Perbandingan kewenangan CoastGuard berbagai negara ... 90

10 Lisensi dan identifikasi kapal di berbagai Negara ... 94

11 Mekanisme antar lembaga dalam pelaksanaan MCS di berbagai negara 97 12 Penilaian komperatif kemampuan MCS masing- masing negara ... 100

13 Hasil analisis perbandingan landasan operasional MCS berbagai negara di dunia ... 105

14 Hasil perbandingan pelaksanaan MCS berbagai negara di dunia ... 108

15 Hasil perhitungan faktor- faktor yang mempengaruhi MCS di Indonesia ... 112

16 Total dan rata-rata kinerja dan kepentingan berdasarkan faktor kunci MCS Nasional... 113

17 Identifikasi faktor kunci yang mempengaruhi kenerja dan tingkat kepentingan MCS Indonesia ... 115

18 Hasil analisis faktor strategis internal MCS ... 126

19 Hasil analisis faktor strategis eksternal MCS ... 128

20 Hasil analisis faktor strategis internal MCS di Indonesia ... 130

21 Hasil analisis faktor strategis eksternal MCS Indonesia ... 131

22 Skenario prospektif sistem MCS Indonesia ... 141

23 Alternatif skenario yang mungkin terjadi terhadap pengembangan MCS pembangunan kelautan Indonesia ... 142

24 Skenario sangat optimistik ... 142

25 Skenario cukup optimistik ... 143

(12)
(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kewenangan berbagai institusi/instansi di laut ... 8

2. Strategi MCS dalam rangka memecahkan persoalan pembangunan kelautan Indonesia ... 12

3. Skema alur deskriptif kerangka pemikiran penelitian... 15

4. Kuadran dalam proses penemuan elemen kunci dalam analisis prospektif ... 31

5. Matriks SWOT... 32

6. Diagram Kartesius ... 39

7. Bagan alir importanceand performance analysis... 40

8. Matriks QSPM ... 45

9. Landasan operasional dan pelaksanaan MCS ... 110

10.Tingkat kepentingan faktor- faktor kunci MCS... 114

11.Diagram SWOT ... 127

12.Perumusan strategi MCS dengan matriks SWOT... 128

13.Desain model konseptual MCS nasional Indone sia ... 136

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Identifikasi dan analisis faktor- faktor kunci landasan operasional MCS 160

2. Identifikasi dan analisis faktor- faktor kunci pelaksanan MCS ... 170

3. Matriks QSPM Pengembangan MCS ... 181

4. Daftar Responden Expert... 183

(15)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.000 pulau. Garis pantai yang tercatat sebagai bagian dari wilayah Indonesia adalah sepanjang 81.000 km. Luas wilayah perairan laut (maritim) Indonesia tercatat 5,8 juta km2 yang terdiri dari wilayah perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km2 dan wilayah perairan zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2. Wilayah perairan laut Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan lingkungan dan memiliki posisi strategis dalam perdagangan dan pelayaran internasional (Dahuri 2003).

Kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan wilayah laut Indonesia terdiri dari potensi sumberdaya ikan, keanekaragaman ha yati, keindahan pantai dan taman laut, kandungan gas alam dan minyak bumi, sumberdaya mineral dan bahan tambang lainnya, seperti misalnya pasir laut, serta benda-benda peninggalan purbakala. Potensi sumberdaya yang terkandung dalam wilayah perairan laut nilainya tak terhitung dan selama ini belum seluruhnya dimanfaatkan untuk pembangunan nasional. Diantara berbagai kekayaan wilayah laut yang selama ini sudah terdata adalah sumberdaya perikanan.

Hasil kajian terakhir mengenai stok potensi sumberdaya perikanan Indonesia menghasilkan nilai- nilai tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield,

MSY) yang cukup tinggi, yakni sebesar 6,26 juta ton per tahun. Dari potensi tersebut, sebanyak 34,2 % telah dimanfaatkan secara penuh (fully exploited), bahkan sejumlah 1,2 % telah dieksploitasi secara berlebih (over exploited) (Widodo et al. 1998).

(16)

Kekayaan akan sumberdaya alam kelautan yang berlimpah dan posisi strategis wilayah dapat memancing pihak-pihak tertentu untuk melakukan eksploitasi dan memanfaatkannya secara ilegal. Oleh karenanya, masalah monitoring control and surveillance (MCS) atau pemantauan, pengendalian dan pengamatan lapangan serta evaluasi wilayah laut Indonesia merupakan isu strategis yang harus diselesaikan. Masalah ini menjadi salah satu isu nasional yang sangat penting, mengingat kerugian yang dialami Indonesia sangat besar, sebagai akibat berbagai pelanggaran hukum seperti illegal fishing, illegal migrant, illegal logging dan illegal mining. Dari illegal fishing dan ekspor ilegal perikanan saja diperkirakan Indonesia kehilangan devisa sebesar US$ 2 miliar per tahun (Dahuri 2002; Dahuri 2003).

Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982), Indonesia mendapat hak berdaulat (sovereign right) untuk memanfaatkan perairan Nusantara sampai zone ekonomi eksklusif yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian dan jurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Pada hakekatnya seluruh masyarakat Indonesia memiliki kepentingan yang sama terhadap laut, yaitu terlindunginya batas-batas wilayah dan potensi sumberdaya serta terwujudnya stabilitas keamanan di laut. Hal ini sangat penting dalam rangka menjamin integritas wilayah maupun kepentingan nasional di laut dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bangsa. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, diperlukan adanya upaya perlindungan sumberdaya, penegakan kedaulatan dan penegakan hukum. Sistem keamanan di laut di masa depan seharusnya dibangun dengan prinsip mensinergikan kekuatan yang dimiliki oleh berbagai instansi penyelenggara penegakan keamanan di laut tersebut. Sinergi ini harus tercermin dari struktur organisasi, mekanisme dan prosedur serta pelibatannya di laut. Salah satu bentuk nyata dari strategi tersebut adalah diberlakukannya sistem monitoring, control and surveillance (MCS) nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia.

(17)

bersifat sektoral. Oleh karena itulah demi pembangunan dan masa depan bangsa, maka keberadaan “desain sistem monitoring, control and surveillance nasional dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia” sangat diperlukan. Sistem MCS yang didesain ini tentunya akan berbeda dengan sistem MCS yang ada sebelumnya, karena akan mencakup seluruh kepentingan nasional secara lebih integratif atau tidak bersifat sektoral dan parsial.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, Indonesia membutuhkan suatu model desain sistem monitoring, control and surveillance nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang paling tepat untuk diterapkan pada kondisi dan situasi saat ini, serta dapat mengantisipasi perubahan-perubahan yang akan terjadi pada masa mendatang. Sistem ini diharapkan dapat mensinergikan potensi para pemangku kepentingan (stakeholders) yang dimiliki oleh bangsa Indonesia secara operasional dalam rangka pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pengamanan terhadap potensi dan pemanfaatan sumberdaya laut bagi pembangunan dan daya tangkal yang tinggi terhadap pelanggaran hukum di laut. Sistem ini diperlukan karena memiliki kemampuan dalam melakukan pengawasan, pemantauan dan pengamanan dalam pembangunan kelautan di Indonesia secara optimal dan terkendali. Sistem ini juga memiliki kemampuan untuk meminimalkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam bidang eksploitasi sumberdaya kelautan terutama sumberdaya perikanan tangkap.

(18)

pada aspek tersebut, salah satunya difokuskan pada upaya untuk mengoptimalkan faktor- faktor penggerak pembangunan ekonomi. Ada empat faktor penggerak (four prime mover) pembangunan ekonomi (Pakpahan 1989), yaitu (1) sumberdaya alam, (2) sumberdaya manusia, (3) kapital dan teknologi, dan (4) kelembagaan. Dalam konteks ini, kelembagaan berfungsi sebagai media beraktivitas, berinteraksi, serta berfungsi dalam melakukan perubahan-perubahan dalam pembangunan. Jika diperhatikan, ketertinggalan pembangunan di sektor kelautan nasional adalah akibat masalah- masalah yang ada di dalam empat faktor pembangunan tersebut.

1.2.1 Faktor sumberdaya alam

Wilayah kelautan nasional Indonesia kaya akan potensi sumberdaya alam. Sebagai contoh potensi sumberdaya ikan misalnya, potensi MSY wilayah kelautan nasional mencapai 6,26 juta ton per tahun dan belum mampu dimanfaatkan sepenuhnya oleh bangsa Indonesia. Sementara itu, negara- negara lain baik yang bertetangga maupun yang telah intensif melaksanakan pembangunan dengan pemanfaatan sumberdaya alam perikanan dan kelautan telah mengalami overfishing. Pada posisi potensi sumberdaya yang sudah sangat berkurang, sementara potensi pasar sangat besar, negara-negara tersebut mencari daerah tangkapan di wilayah perairan Indonesia dalam rangka memenuhi kebutuhan produksi dan pasarnya. Sebagai akibat dari sistem MCS nasional kelautan Indonesia yang belum sepenuhnya diterapkan dan penegakan hukum di laut yang masih lemah, kasus pencurian atau

illegal fishing merebak dimana- mana, khususnya di wilayah ZEEI dan hal ini sangat merugikan bangsa Indonesia (Dahuri 2003).

Selama ini potensi sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia masih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Di samping sumberdaya perikanan, pada umumnya sumberdaya kelautan yang lainnya seperti pasir pantai, terumbu karang, benda-benda purbakala dan potensi sumberdaya alam migas dan mineral serta keanekaragaman hayati milik bangsa Indonesia, juga tidak luput dari pengrusakan atau dieksploitasi secara ilegal. Research and development

(19)

1.2.2 Faktor sumberdaya manusia

Secara umum nelayan Indonesia termasuk kelompok masyarakat yang tertinggal dan berada dalam kehidupan yang serba kekurangan. Peralatan tangkap, tingkat kemampuan manajemen dan ketrampilan, permodalan dan pemasaran yang terbatas, menyebabkan kemampuan usaha mereka juga kecil. Industri kapal di Indonesia masih tergolong mahal, baik sarana dan prasarananya, sehingga pada kondisi seperti tersebut di atas, nelayan Indonesia tidak mampu memiliki kapal yang efektif dan efisien. Kapal ikan buatan dalam negeri yang pada umumnya bersifat tradisional, tidak dapat memberikan hasil tangkapan yang optimal. Kualitas sumberdaya manusia masih rendah terutama kemampuan teknologi, sehingga sebagian besar armada kapal ikan dikuasai kapal yang berskala kecil dengan kemampuan jangkauan pendek dan waktu berlayar tidak lama. Sementara di pihak lain, sebagian pengusaha nasional memiliki mental yang kurang baik. Pengusaha ini lebih senang sebagai broker tanpa harus membangun kapasitas usahanya dan bekerja keras, karena menganggap dengan kondisi demikian sudah cukup memuaskan. Sementara itu pengusaha-pengusaha asing memanfaatkan mereka sebagai tameng usaha dan akibatnya kapal-kapal asing beroperasi dengan bebas di wilayah perairan Indonesia dengan menggunakan bendera Indonesia.

Kondisi ini menunjukkan rendahnya mental oknum pemberi ijin dan penegak hukum yang mengeluarkan perijinan yang bukan menjadi wewenangnya. Ind ikasi lain juga menunjukkan bahwa ditemukan juga adanya upaya melindungi kegiatan melawan hukum tersebut demi kepentingan pribadi. Di samping hal tersebut di atas, juga menunjukkan bahwa peraturan dan kebijakan dalam pengaturan usaha perikanan masih belum kondusif dan masih belum menghasilkan kontrol yang efektif. Hal ini menyebabkan banyaknya celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang kurang bertanggungjawab.

1.2.3 Faktor kapital dan teknologi

(20)

hukum di laut yang dimiliki oleh Indonesia tidak sebanding dengan luasnya wilayah kelautan nasional. Celah ini dimanfaatkan oleh pihak asing untuk melakukan pencurian sumberdaya, pelanggaran perbatasan dan perdagangan ilegal. Luasnya wilayah kelautan nasional yang harus dikelola, membutuhkan peningkatan kapital dan teknologi secara memadai.

1.2.4 Faktor kelembagaan

Selama lebih dari tiga dekade, pembangunan berorientasi pada pengelolaan sumberdaya yang ada di darat. Saat ini potensi sumberdaya di darat seperti hutan, bahan tambang dan mineral serta lahan pertanian produktif semakin menipis atau sukar untuk dikembangkan lebih lanjut. Oleh karena itu, sumberdaya pesisir dan lautan akan menjadi tumpuan harapan bangsa di masa depan. Kondisi ini menjadikan dicarinya sumber-sumber ekonomi baru bagi kelangsungan hidup dan masa depan bangsa dari sumberdaya alam kelautan. Dalam rangka pembangunan kelautan sangat banyak pihak yang terkait, baik yang menyangkut aspek ekonomi, sosial budaya dan bidang kelembagaan penegakan hukum di laut.

Pada bidang ekonomi, sektor perikanan yang mulai diandalkan menjadi sumber pertumbuhan baru ternyata belum mencapai sasaran. Hal ini disebabkan oleh tingginya penangkapan secara ilegal yang mencapai sekitar Rp. 21 trilyun pada tahun 2002. Berkeliarannya sekitar 5000 kapal penangkapan ikan asing tanpa ijin sah di perairan yuridiksi Indonesia merupakan problema tersendiri yang memerlukan suatu sistem MCS yang handal untuk mengantisipasinya (Dahuri 2003).

(21)

masyarakat nelayan ini, yang sangat didambakan mereka untuk kelangsungan hidupnya.

Pada bidang budaya, sebenarnya secara klasik bangsa Indonesia telah memiliki nilai kapital sosial atau kearifan lokal untuk pelaksanaan MCS. Sejak jaman dahulu, budaya pengawasan masalah kelautan telah dikenal masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu contoh misalnya sasi di Maluku. Keberadaan suatu sistem MCS nasional kelautan yang mewadahi seluruh unsur atau komponen masyarakat, secara historis telah dirasakan kebutuhannya bagi masyarakat dan pengembangannya tidak akan menjadi masalah serta kendala.

Dalam bidang hukum, disamping hukum-hukum adat yang tidak tertulis, secara nasional dan internasional hukum dan perundang-undangan yang ada selama ini diberlakukan di Indonesia. Dalam rangka pelaksanaannya sangat dibutuhkan unsur pengawasan dan penegakan hukum agar dapat diperoleh suatu kepastian hukum di Indonesia. Sementara itu pada bidang kelembagaan penegakan hukum tidak dapat ditangani oleh satu instansi saja, karena undang- undang memberikan mandat kepada beberapa instansi pemerintah untuk melaksanakan unsur pengawasan dalam penegakan hukum. Dalam pelaksanaan MCS nasional dalam bidang pembangunan kelautan di Indonesia, instansi- instansi terkait ini seringkali berjalan sendiri-sendiri dan menjalankan surveillance dalam bidangnya masing- masing, masih terasa kurangnya keterpaduan antar instansi (Purwaka 2005).

(22)

Gambar 1 Kewenangan berbagai institusi/instansi di laut (Mabes TNI AL 2005).

Berdasarkan keempat aspek seperti di atas, maka muncul beberapa fokus permasalahan yang sangat penting berkaitan dengan desain sistem MCS nasional dala m pembangunan kelautan Indonesia. Dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia, fokus permasalahan yang dianggap penting tersebut adalah: (1) Selama ini MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia telah mulai dirintis untuk dikembangkan, sekalipun masih bersifat sektoral dan parsial. Oleh karena itu muncul suatu pertanyaan bagaimana sistem MCS yang telah ada selama ini dan kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaannya di lapangan. (2) Bagaimana mensinergikan unsur-unsur MCS nasional kelautan yang selama ini masih bersifat sektoral dan parsial menjadi suatu desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang terpadu ; dan (3) Perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional apa saja yang diperlukan dalam rangka mengembangkan sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang sesuai dengan kondisi saat ini dan antisipasinya pada masa mendatang?

Instansi Undang -Undang

TNI AL POLRI PPNSBEA CUKAI

(23)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu desain sistem monitoring, control and surveillance (MCS) nasional dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia. Mengingat selama ini telah dirintis MCS di Indonesia secara sektoral dan parsial, mensinergikan agar MCS yang secara parsial tersebut menjadi sistem MCS terpadu dan dalam operasio nalnya membutuhkan perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional, maka dalam penelitian ini memiliki sub-sub tujuan yaitu :

(1) Melakukan identifikasi MCS yang dilaksanakan di Indonesia saat ini.

(2) Mempelajari sistem MCS yang ada selama ini dan kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaannya di lapangan.

(3) Menyusun desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang lebih terpadu.

(4) Merumuskan kebutuhan perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional yang diperlukan dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan sistem MCS nasional terpadu dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia.

1.4 Keluaran atau Output yang Diharapkan

Keluaran atau output yang diharapkan dari hasil penelitian ini terdiri dari dua hal pokok yaitu (1) Kerangka konseptual desain sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia yang terpadu dan (2) Rumusan bahan rekomendasi atau usulan kebijakan kebutuhan perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional yang diperlukan dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan sistem MCS nasional terpadu dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

(24)

Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Jaksa Agung Republik Indonesia, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Badan Intelijen Nasional dan Kepala Staf Angkatan Tentara Nasional Indonesia dalam rangka menentukan kebijakan dan langkah operasional di bidang kelautan.

Secara khusus penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : (1) Departemen Kelautan dan Perikanan dalam rangka menyusun suatu kerangka kebijakan pembangunan ekonomi perikanan dan kelautan; (2) Nelayan dan pengusaha perikanan dalam menentukan posisi dan peranannya dalam pembangunan ekonomi dan usaha mereka, keamanan dan kenyamanan berusaha, kepastian hukum usaha dan kontribusinya dalam pembangunan bidang kelautan dan perikanan; (3) Bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam rangka memberikan informasi yang berguna bagi mereka dalam kiprahnya sebagai bagian dari pelaku pembangunan kelautan dan perikanan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

(25)

1.7 Kerangka Penelitian.

Laut Indonesia yang demikian luasnya membutuhkan suatu sistem yang terpadu dalam pengelolaan sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati yang terkandung di dalamnya. Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaannya diperlukan suatu sistem pengawasan agar sumber daya ini dapat terjaga keberlangsungannya. Dalam kaitan itu, pemerintah telah mencoba mengembangkan sistem MCS nasional terutama dalam bidang perikanan tangkap, namun fakta menunjukkan bahwa sistem tersebut belum berjalan secara sempurna.

Pembangunan kelautan Indonesia menghadapi permasalahan yang sangat kompleks. Kompleksitas masalah pembangunan kelautan Indonesia dapat digambarkan seperti Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa kebijakan pembangunan kelautan Indonesia dapat digambarkan menyentuh dua kelompok aspek penting yaitu : (1) Manajemen kelautan dan perikanan dan (2) Aspek hukum dan hankam yang didalamnya menyangkut peraturan perundangan, penegakan hukum dan pengadilan bagi pelanggar (kehakiman), disamping aspek pertahanan dan keamanan nasional bangsa. Pada aspek manajemen perikanan dan kelautan hal- hal yang penting untuk dikelola adalah stok sumberdaya dan habitat dari sumberdaya, sehingga di dalamnya menyangkut aspek pengelolaan sumberdaya perikanan, migas, mineral, tambang, plasma nutfah, taman laut, dan benda cagar budaya, sedangkan aspek hukum dan hankam menyangkut aspek peraturan, perundangan, pengawasan, pemantauan, pengamanan, penegakan hukum (kehakiman) dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya.

(26)

`

Gambar 2. Strategi MCS dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia.

Potensi pembangunan kelautan meliputi : (1) sumberdaya dapat diperbaharui (renewable resources) termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, hutan mangrove, hewan karang, lamun dan biota laut lainnya; (2) sumberdaya tak dapat diperbaharui (non-renewable resources), seperti minyak bumi dan gas, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral; (3) energi kelautan seperti energi gelombang, pasang surut, angin dan ocean thermal energy conversion; dan (4) jasa-jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat (habitat) yang indah dan menyejukkan untuk lokasi pariwisata dan rekreasi, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim, penampung limbah, dan sebagainya (Dahuri 2002; Dahuri 2003)

Tindakan-tindakan melawan hukum dalam bidang perikanan tangkap di wilayah perairan yuridiksi Indonesia (Markas Besar TNI AL 2002) meliputi : (1) Menangkap ikan tanpa ijin yang sah (IUP, SPI dan SIPI), (2) Menggunakan alat tangkap jaring trawl, lampara dasar, pukat udang dan bahan peledak; (3) Melanggar

Kebijakan pembangunan

Strategi MCS Kelautan Manajemen kelautan

dan perikanan nasional Hukum dan

Hankam

Monitoring

Control

Surveillance

(27)

Kegiatan menangkap ikan tanpa ijin yang sah ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori : (1) Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau ZEE tanpa memiliki ijin dari negara pantai (illegal fishing); (2) Kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut (unregulated fishing); (3) Kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE yang tidak dilaporkan, baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya (unreported fishing) (Sularso 2004).

Kegia tan Illegal, Unregulated, Unreported Fishing (IUU) di perairan Indonesia dilakukan oleh : (1) Kapal Ikan Asing (KIA), kapal berbendera asing yang melaksanakan kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia. Jumlah golongan ini cukup besar, berdasarkan perkiraan FAO terdapat sekitar 3000 kapal, yang berasal dari Thailand, RRC, Philipina, Taiwan , Korea Selatan dan lain- lain, (2) Kapal ikan berbendera Indonesia eks KIA yang dokumennya aspal (asli tapi palsu) atau tidak ada dokumen ijin sama sekali, (3) Kapal ikan Indonesia (KII) dengan dokumen aspal (asli tapi palsu), baik pejabat yang mengeluarkan bukan pejabat yang berwenang atau dokumen tersebut palsu (4) KII tanpa dilengkapi dokumen sama sekali, artinya menangkap ikan tanpa ijin; (5) Kapal ikan yang melakukan pelanggaran jalur atau penggunaan alat tangkap terlarang.

Pemalsuan dokumen perizinan kapal penangkap ikan dilakukan dengan : (1) Pemalsuan dokumen pendukung penerbitan izin : (a) Pemalsuan deletion certificate;

(b) Pemalsuan surat galangan kapal/surat keterangan tukang; (c) Pemalsuan gross akte kapal; (2) Pemalsuan dokumen izin perikanan (Sularso 2004).

(28)

yang ditangkap); (6) Merusak citra Indonesia pada kancah internasional karena IUU

fishing yang dilakukan oleh kapal asing berbendera Indonesia. Hal ini juga dapat berdampak ancaman embargo terhadap produk hasil perikanan Indonesia yang dipasarkan di luar negeri (DKP 2003).

Gambar 2 juga menunjukkan bahwa masalah kelautan nasional memiliki kompleksitas yang tinggi dan membutuhkan solusi untuk memecahkan konflik kepentingan (kebutuhan) antar komponen (pelaku). Strategi MCS merupakan alternatif pemecahan yang dinilai dari permasalahan yang sedemikian kompleks dan dinamik tersebut. Desain MCS merupakan desain sistem yang kompleks, dinamik dan probabilistik. Dalam penelitian dilakukan analisis untuk mendesain sistem MCS yang dimaksudkan bahwa proses dari sistem belum diketahui, sedangkan masukan dan keluaran sistem diketahui. Secara deskriptif, penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran pada Gambar 3.

Gambar 3 menunjukkan bahwa untuk menyusun bahan rekomendasi usulan penerapan model MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia, yang mencakup kebutuhan perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional yang diperlukan dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan sistem MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia dilakukan berbagai tahapan analisis. Tahapan analisis yang pertama adalah melakukan identifikasi kondisi saat ini (existing condition). Hasil analisis ini akan menghasilkan identifikasi posisi MCS Indonesia dibandingkan dengan negara- negara lain. Negara-negara lain ini akan menjadi model bagi pengembangan sistem MCS Indonesia. Analisis kedua dilakukan untuk mengetahui kebutuhan MCS Indonesia dengan melihat faktor- faktor kunci yang nantinya akan menghasilkan gambaran kinerja MCS Indonesia saat ini. Hasil analisis tahapan kedua ini adalah gambaran kondisi nyata dari penerapan kebijakan kelautan nasional Indonesia dan keterkaitannya dengan MCS.

(29)

kompleksitas yang paling tinggi diantara sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian digunakan asumsi bahwa jika model yang dibangun tersebut sesuai atau cocok untuk sektor perikanan tangkap, maka model tersebut dinilai akan sesuai dengan sektor-sektor lainnya. Sektor-sektor lainnya memiliki tingkat kompleksitas yang dinilai lebih rendah jika dibandingkan sektor perikanan tangkap. Model MCS Nasional yang diperoleh akan dilengkapi dengan panduan, rancangan kelembagaan beserta tupoksi.

Verifikasi model pada sektor perikanan merupakan tahapan analisis yang kelima. Hasil verifikasi akan menunjukkan kesesuaian model tersebut terhadap kondisi nyata di lapangan. Apabila sesuai maka usulan rekomendasi penerapan model MCS nasional kelautan dapat langsung dirumuskan, namun demikian jika ternyata berdasarkan hasil verifikasi tersebut tidak sesuai maka dilakukan revisi-revisi atau perbaikan-perbaikan untuk penyempurnaan model agar sesuai dengan hasil verifikasi di lapangan. Hasil perbaikan model tersebut yang telah sesuai dengan hasil verifikasi di lapangan akan dijadikan dasar penyusunan bahan usulan rekomendasi kebijakan operasional MCS kelautan nasional Indonesia. Berdasarkan Gambar 3, maka dapat disusun kerangka konseptual model yang menunjukkan bahwa kerangka konseptual model akan mengikuti tahapan analisis pada Gambar 3.

Gambar 3 Skema alur deskriptif kerangka pemikiran penelitian

A

Annaalliissiiss eexxiissttiinngg ccoonnddiittiioonn AAnnaalliissiissKKeebbuuttuuhhaann MMCCSS

E

ExxiissttiinnggCCoonnddiittiioonn Faktor Kunci MCS

P

PoossiissiiMMCCSS I

Innddoonneessiiaa Kinerja MCS

Indonesia

MODEL MCS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN

KELAUTAN INDONESIA

(30)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Sistem

2.1.1 Konsep dan definisi sistem

Istilah sistem atau system berakar dari kata Latin systema yang berarti sepenuhnya terorganisasi. Dalam kamus Webster, sistem didefinisikan sebagai agregasi atau rangkaian sejumlah objek yang tersusun dalam suatu keteraturan interaksi atau keterikatan; sekelompok unit yang beragam yang terpadu secara alami atau buatan membentuk kesatuan yang utuh, sehingga berfungsi, beroperasi atau bekerja secara patuh dalam suatu bentuk kendali.

Definisi itu merupakan pengertian dasar mengenai sistem, sehingga masih diperlukan berbagai persyaratan khusus lainnya dan tingkat akurasi yang memadai agar pemahaman itu dapat diterapkan dalam menjelaskan rekayasa sistem. Guna memenuhi tujuan rekayasa sistem, diperlukan berbagai persyaratan tambahan karakteristik suatu sistem. Pertama, suatu sistem tersusun atas paduan rumit berbagai sumber (complex combination of resources) dalam bentuk manusia, material, peralatan, fasilitas, dana, data dan lain- lain. Guna memenuhi berbagai fungsi secara serentak, acapkali rekayasa sistem memerlukan sejumlah besar personel, peralatan, fasilitas dan data, yang harus dikelola secara efektif.

Kedua, suatu sistem selalu dibatasi oleh jenjang atau hierarchy tertentu. Misalnya, suatu mesin pengiris daging dapat digolongkan sebagai sebuah sistem tersendiri, tetapi mesin tersebut adalah bagian proses pengolahan pangan, yang berada dalam pabrik makanan, yang berada di suatu sistem perusahaan multinasional. Dengan demikian, sistem pengirisan daging tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem yang tingkatnya lebih tinggi dan berbagai faktor eksternal lainnya.

(31)

komponen, tidak mungkin menghasilkan suatu rancang bangun sistem yang efektif dengan mempertimbangkan masing- masing komponen secara terpisah.

Keempat, suatu sistem harus memenuhi tujuan tertentu. Artinya, sistem harus fungsional, tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan yang sudah diterapkan sebelumnya, dan secara keseluruhan dapat mencapai tujuan pembentukan sistem itu sendiri secara efisien dan efektif. Walaupun ada sasaran pada pembentukan sistem itu yang bertentangan, akibat pengaruh dari jenjang yang lebih tinggi, sistem itu tetap harus mampu memenuhi pencapaian tujuan melalui kemungkinan yang terbaik (Jackson 2000; Midgley 2000; Eriyatno 1999; Blanchard & Fabrycky 1981).

Suatu sistem harus memenuhi kriteria falsafah cybernetics, holistik dan efektif. Artinya sistem harus berorientasi pada tujuan sehingga perancangan suatu sistem dimulai dengan penetapan tujuan yang dilakukan melalui analisis sistem. Selain itu, suatu sistem harus bersifat holistik, yaitu bersifat utuh karena segmentasi atau cara pandang parsial dapat mereduksi kemampuan dan kinerja sistem. Selain itu, sistem harus bersifat efektif dengan lebih mementingkan hasil guna secara operasional dan layak dibandingkan pendalaman teoritik mengenai efisiensi pengambilan keputusan (Eriyatno 1999).

2.1.2 Karakteristik dan klasifikasi sistem

Ada berbagai cara penggolongan sistem. Diantaranya penggolongan dikotomistis yang berdasarkan kesamaan atau ketidaksamaan sifat suatu sistem. Secara umum, sistem dapat dideskripsikan sebagai sistem alam dan buatan (natural

(32)

terpisah (Jackson 2000; Midgley 2000; Eriyatno 1999; Blanchard 1998; Coyle 1996; Law & Kelton 2000; Blanchard & Fabrycky 1981).

2.1.3 Sistem, model dan simulasi.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa sistem ternyata memiliki karakter atau sifat umum yang independen dari area ilmu pengetahuan tempat sistem itu dioperasikan. Evolusi pengetahuan sistem diuraikan melalui pemahaman

cybernetics, teori sistem umum (general system theory atau GST) dan sistemologi (Gates 2000; Honeycutt 2000; Jackson 2000; Midgley 2000; Eriyatno 1999; Blanchard 1998; Kahaner 1996; Coyle 1996; Underwood 1994; Blanchard & Fabrycky 1981).

Cybernetics berasal dari bahasa latin kybernetes yang artinya pengatur, pamong, penata atau pengarah. Konsep umpan balik merupakan inti teori cybernetic.

Semua bentuk pencapaian sasaran, dikendalikan oleh umpan balik atau informasi korektif mengenai penyimpangan realisasi dari sasaran yang diinginkan (Gates 2000; Honeycutt 2000; Indrajit 2000; Jackson 2000; Midgley 2000; Eriyatno 1999; Blanchard 1998; Coyle 1996; Underwood 1994; Blanchard & Fabrycky 1981).

Tercatat tiga kontribusi utama pengetahuan cybernetics mengenai pengaturan dan pengendalian dalam ilmu sistem. Pertama, cybernetics menekankan konsep arus informasi sebagai komponen sistem yang tersendiri dan menegaskan pemisahan antara tenaga penggerak dengan sinyal informasi. Kedua, pengetahuan cybernetics

menjabarkan adanya kemiripan pada mekanisme pengendalian yang melibatkan prinsip-prinsip yang pada hakikatnya identik. Ketiga, pengetahuan cybernetics

menjelaskan bahwa prinsip-prinsip dasar pengendalian umpan balik adalah perlakuan matematis (Gates 2000; Honeycutt 2000; Jackson 2000; Midgley 2000; Eriyatno 1999; Blanchard 1998; Kahaner 1996; Coyle 1996; Underwood 1994; Blanchard & Fabrycky 1981).

Pengetahuan cybernetics berperan penting tidak hanya pada terapan pengendalian, tapi juga bagi para peneliti ilmu pengetahuan dasar. Cybernetics

merupakan pengetahuan baru mengenai kemanfaatan dan pengendalian optimal yang dapat diaplikasikan pada proses rumit dalam alam, masyarakat dan organisasi bisnis.

(33)

pengembangan kerangka sistematis guna menjelaskan hubungan-hubungan umum dalam alam dan sistem buatan. Kebutuhan akan kehadiran teori umum mengenai sistem akibat adanya masalah komunikasi di sejumlah disiplin ilmu. Meski metode ilmiah memungkinkan kesamaan dalam hal pendekatan yang digunakan, tetapi hasilnya sulit dikomunikasikan dengan menembus batas masing- masing disiplin ilmu (Marimin 2004; Gates 2000; Honeycutt 2000; Jackson 2000; Midgley 2000; Eriyatno 1999; Blanchard 1998; Kaha ner 1996; Coyle 1996; Underwood 1994; Blanchard & Fabrycky 1981).

Suatu pendekatan terhadap kerangka yang tertata dilakukan dengan penyusunan struktur hierarki jenjang kompleksitas bagi unit-unit dasar perilaku dalam berbagai bidang permintaan. Sebuah hierarki jenjang dapat mengarahkan pada pendekatan sistem dalam sistem-sistem yang memiliki aplikasi luas. Salah satu contoh hierarki yang diformulasikan oleh K. Boulding adalah sebagai berikut (Jackson 2000):

(1) Tingkat struktur statis atau kerangka (framework), meliputi geografi dan anatomi alam semesta.

(2) Tingkat sistem dinamis sederhana seperti clockworks, mencakup segmen penting ilmu kimia, fisika dan pengetahuan keteknikan.

(3) Tingkat thermostat atau sistem cybernetics, mencakup transmisi dan interpretasi informasi.

(4) Tingkat sel, mencakup struktur yang mampu bekerja sendiri (self maintaining) atau sistem terbuka yang mewadahi kehidupan tahap awal.

(5) Tingkat tumbuh-tumbuhan, dengan struktur genetik yang membentuk dunia botani.

(6) Tingkat binatang, mencakup mobilitas, perilaku teleological dan kesiagaan diri.

(7) Tingkat manusia, mencakup kesadaran diri, serta kemampuan memproduksi, menyerap dan menerjemahkan lambang-lambang.

(34)

(9) Tingkat sulit diketahui (unknowable), yang struktur dan hubungannya mungkin bisa dilukiskan secara postulat tetapi belum bisa terjawab tuntas. Hierarki menurut Boulding paling banyak anggotanya. Sistem statis dapat dijumpai dimana-mana dan kelompok ini menyediakan dasar bagi analisis dan pembentukan sistem yang tingkatannya lebih tinggi. Sistem dinamis dengan hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu, banyak dijumpai di lingkungan ilmu pengetahuan alam. Model dapat dijumpai di jenjang yang lebih tinggi seperti

cybernetics, terutama dalam bentuk sistem tertutup.

Teori sistem umum atau GST berhasil menyediakan suatu kerangka umum, yang memungkinkan tiap disiplin ilmu berkontribus i. Hal ini memungkinkan para ilmuwan membandingkan konsep dan temuan yang memiliki kemiripan, akibat adanya peluang komunikasi lintas disiplin ilmu.

2.1.4 Desain (rancang bangun) atau rekayasa sistem

(1) Analisis kebutuhan dan identifikasi sistem

Persiapan awal yang harus dilakukan sebelum rekayasa suatu sistem adalah analisis kebutuhan dan identifikasi sistem. Analisis kebutuhan merupakan tahap paling dini dan dilakukan dengan mengumpulkan kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan dapat dipenuhi oleh fungsi suatu sistem. Pengumpulan kebutuhan akan fungsi sistem tersebut dilakukan melalui wawancara terhadap manajer, administrator, distributor hasil sistem, pengguna hasil sistem dan terutama perancang sistem tersebut.

Berdasarkan daftar kebutuhan tersebut, dilakukan identifikasi sistem. Pada hakikatnya, identifikasi sistem adalah upaya menghubungkan antara kebutuhan-kebutuhan dengan kemampuan suatu sistem memenuhi kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan tersebut, yang dilakukan dengan jalan menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif pada peubah dan sekaligus juga menetapkan kendala-kendala yang mungkin timbul. Berdasarkan analisis kebutuhan dan identifikasi sistem, dilakukan analisis sistem.

(2) Analisis sistem

(35)

merekomendasikan keputusan dalam berbagai tahapan pencapaian fungsi mereka dan hasil keputusan tersebut pada umumnya memiliki dampak yang signifikan terhadap kinerja dan efektivitas sistem. Apapun tujuan maupun masalah yang diharapkan dapat diselesaikan, seorang analis sistem harus memulai sejumlah tindakan dan menjalani proses analis tertentu yang dapat menjamin semua faktor yang diperlukan telah dipertimbangkan sesuai dengan metodologi dan logika sistem.

Proses analisis sistem diawali dengan penetapan masalah. Langkah awal dari setiap analisis sistem dimulai dengan klarifikasi tujuan, penetapan masalah pokok dan pembatasan masalah sehingga persoalan pokoknya dapat diteliti secara efisien dan tepat waktu. Dalam berbagai kejadian, masalah yang dihadapi biasanya terlihat amat besar dan perumusan definisi masalah tersebut secara akurat menjadi bagian yang paling sulit dari keseluruhan proses. Namun tanpa definisi masalah secara jelas dan akurat, sulit dihasilkan hasil analisis yang berarti.

Langkah kedua setelah pendefinisian masalah adalah identifikasi pilihan-pilihan penyelesaian yang layak. Seluruh kemungkinan penyelesaian harus dipertimbangkan dan semakin banyak alternatifnya semakin rumit pula proses analisis berlangsung. Seluruh alternatif yang tersedia harus didaftar guna menghindarkan kesalahan yang tidak diharapkan, baru kemudian diseleksi dan disingkirkan jika memang benar-benar bukan pilihan yang cukup layak sehingga tersisa hanya kemungkinan-kemungkinan penyelesaian yang paling besar peluangnya.

Ketiga, penetapan kriteria evaluasi, yang parameternya harus berkaitan secara langsung dengan persoalan pokok yang akan diselesaikan. Kriteria yang digunakan dalam proses evaluasi bisa bervariasi, tergantung pada definisi masalah dan tingkat maupun kerumitan analisis yang dilakukan. Misalnya pada tingkat sistem, parameter yang paling penting meliputi efektivitas biaya, efektivitas logistik dan peluang operasional.

(36)

masalah, jumlah peubah, hubungan parameter asupan (input-parameter relationship), jumlah alternatif yang dievaluasi dan kerumitan operasi sistem yang dibentuk.

Kelima, penyediaan data asupan. Salah satu langkah terpenting dalam proses analisis sistem adalah penentuan persyaratan data asupan yang tepat. Jenis data yang tepat harus dikumpulkan pada saat yang tepat dan dipresentasikan dalam format yang benar. Persyaratan data asupan yang spesifik harus sesuai dengan yang telah ditentukan sewaktu dilakukan penetapan kriteria evaluasi dan penentuan persyaratan asupan model yang digunakan dalam pencapaian tujuan evaluasi.

Sesudah data terkumpul dan dijadikan asupan, maka model dapat diuji coba atau dimanipulasikan. Hasil analisis akan membuahkan rekomendasi langkah tertentu. Perlu dilakukan analisis kepekaan sebelum dipilih rekomendasi akhir. Dalam analisis, mungkin saja ada parameter asupan penting yang diragukan analis dan kepekaan hasil terhadap variasi parameter yang diragukan itu harus dapat ditentukan (Marimin 2004; Eriyatno 1999)

(3) Verifikasi dan Validasi

Langkah memastikan model sesuai dengan kebutuhan dilakukan melalui verifikasi dan validasi. Langkah-langkah ini diperlukan guna memastikan bahwa model yang dibentuk dapat dipercaya (credible) dan bisa diterima oleh pihak pengguna (Eriyatno 1999).

2.2 Kondisi pembangunan kelautan Indonesia dalam bidang perikanan tangkap pada saat ini.

(37)

2000 nilai produksi perikanan tangkap di tingkat produsen mencapai Rp. 18,46 triliun. Namun demikian penangkapan ikan ilegal juga mencapai nilai cukup tinggi, yakni diperkirakan sebanyak 1 juta ton ikan atau senilai Rp. 21 triliun per tahun yang dilakukan oleh kapal asing (Dahuri 2002). Berdasarkan perkiraan FAO terdapat sekitar 3000 kapal asing, yang berasal dari Thailand, RRC, Philipina, Taiwan, Korea Selatan dan lain- lain (DKP 2003).

Sumberdaya laut dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya, memiliki berbagai macam kegunaan dan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, di antaranya untuk makanan, minuman, farmasi dan kosmetika. Dalam pemanfaatan kekayaan sumberdaya laut tersebut, perlu dilakukan pengembangan industri bioteknologi kelautan.

Aktifitas utama industri kelautan adalah kegiatan industri perkapalan. Distribusi galangan kapal ini tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, serta NTT dan Bali yang mencapai 257 unit. 65 % galangan kapal mempunyai kapasitas mencapai 500 GT, 25 % berkapasitas antara 501 – 1.000 GT dan sisanya berkapasitas 1.001 – 30.000 GT. Sedangkan untuk jenis industri komponen kapal berjumlah sekitar 220 unit yang tersebar di seluruh wilayah tadi, kecuali di NTT dan Bali. Meski demikian, pembangunan industri ini masih mengalami kendala terutama menyangkut potensi pasar yang masih terbatas dan permasalahan kepemilikan merek. Industri kelautan nasional sebenarnya mampu memproduksi sebagian besar komponen-komponen penunjang tersebut. Namun skala ekonomi dari hasil produk belum mampu diserap secara penuh oleh pasar dalam negeri (Dahuri 2003).

(38)

Kegiatan penelitian kelautan di Indonesia pada tahun 1960 diawali dengan dibentuknya tiga badan nasional yang berperan mengadakan kegiatan penelitian kelautan, yaitu Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI, Lembaga Penelitian Perikanan Laut dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL. Kegiatan penelitian bidang kelautan untuk mendukung program-program pembangunan kelautan mulai dilaksanakan oleh lembaga- lembaga terkait seperti BPPT, LIPI, PPGL, Ditjen Perikanan, Dishidros TNI-AL dan beberapa pelaku kegiatan riset kelautan lainnya yang diprakarsai oleh BAPPENAS (Sutjipto 2003).

2.3 Penegakan keamanan di laut.

Berbeda dengan daratan, laut tidak dapat diduduki secara permanen, dipagari atau dikuasai secara mutlak, laut hanya dapat dikendalikan dalam jangka waktu yang terbatas. Kedaulatan dan hak berdaulat di laut suatu negara diatur secara universal dalam UNCLOS 1982. Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut ke dalam Undang Undang No. 17 tahun 1985. Pada tiap rejim perairan Indonesia ditetapkan kedaulatan dan hak berdaulat sebagai berikut :

(1) Di Laut Wilaya h selebar 12 mil laut dari garis pangkal, Indonesia memiliki kedaulatan penuh, artinya negara berhak mengatur segala ketentuan hukum nasional.

(2) Di Zona Tambahan selebar 24 mil laut dari garis pangkal, Indonesia memiliki hak berdaulat dalam bidang kepabeanan, sanitasi, imigrasi dan fiskal.

(3) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil laut dari garis pangkal, Indonesia memiliki hak berdaulat dalam eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya laut.

(4) Di Landas Kontinen sampai kedalaman 350 meter, Indonesia berhak untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya alam.

(39)

2.4 Monitoring, Control and Surveillance (MCS)

Pengertian monitoring, control and surveillance (MCS) didefinisikan sebagai berikut :

(1) Monitoring adalah kegiatan pengumpulan dan analisis data untuk menilai tingkat pemanfaatan dan kelimpahan sumberdaya ikan, mencakup antara lain kapal penangkapan ikan, operasi, hasil tangkapan, upaya penangkapan, pengangkutan, pengolahan dan pengepakan hasil (Flewwelling 2003; FAO 1995; Flewwelling 1995; DKP 2001). Monitoring atau pemantauan merupakan kegiatan pengawasan dengan obyek yang diawasi adalah hubungan fisik antara manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya. Dengan pemantauan akan dapat diketahui, antara lain, apakah suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya melampaui daya dukung dan daya tampung yang telah ditetapkan, dan apakah teknologi yang dipakai akrab lingkungan atau tidak (Martono 1997; Purwaka 1995; Purwaka1984).

Dengan demikian monitoring mempunyai karakteristik sebagai kegiatan pengawasan yang menitik beratkan kegiatannya pada intervensi terhadap hubungan fisik antara manusia dan sumberdaya alam dan lingkungannya. Hubungan fisik di sini artinya adalah interaksi secara fisik antara ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang dipakai manusia dengan sumberdaya alam dan dampaknya terhadap lingkungannya. Sedangkan intervensi harus diartikan sebagai langkah dari lembaga pengawas untuk membatasi pilihan-pilihan manusia dalam menetapkan cara pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya, cara pengolahan produksi yang ramah lingkungan, dan cara pengolahan limbahnya, mencegah pemakaian cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam dan pengolahan produksi yang dapat merusak lingkungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap perubahan intensitas hubungan fisik antara manusia dengan sumberdaya alam yang mempengaruhi keseimbangan ekosistem merupakan pusat perhatian dari kegiatan pemantauan (Anonimous 1997)

(40)

perijinan, pembatasan alat tangkap, zonasi penangkapan (Flewwelling 2003; FAO 1995; Flewwelling 1995; DKP 2001). Control atau pengendalian merupakan kegiatan pengawasan dengan fokus hubungan administratif antara manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya. Dengan pengendalian akan dapat diidentifikasi, antara lain, apakah suatu kegiatan usaha menaati peraturan perundangan- undangan dan ketentuan-ketentuan perizinan yang berlaku atau tidak, dan apakah suatu kegiatan usaha legal atau ilegal. Kegiatan yang taat dan legal akan dilindungi, sedang yang tidak taat dan atau ilegal akan ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (Martono 1997; Purwaka 1995; Purwaka 1984).

(3) Surveillance didefinisikan sebagai kegiatan operasional dalam rangka menjamin ditaatinya peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dalam pengendalian (Flewwelling 2003; DKP 2001; FAO 1995; Flewwelling 1995).

Surveillance atau pengamatan lapangan merupakan kegiatan pengawasan dengan obyek hubungan geografis antara manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya. Dengan pengamatan lapangan, yang dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara, akan dapat diketahui, antara lain, setiap olah gerak suatu kegiatan usaha, pelanggaran batas-batas kegiatan usaha, lokasi pelanggaran, dan juga luas daerah yang tercemar atau rusak, sehingga tindakan pencegahan atau penanggulangannya akan sege ra dapat dilakukan. Pengamatan lapangan akan lebih efektif dan efisien bila dilaksanakan bersama-sama dengan pemantauan dan pengendalian (Martono 1997; Purwaka 1995; Purwaka 1984)

(41)

ini dapat dilakukan dengan diwajibkannya pemasangan transmitter untuk setiap kapal yang memiliki ijin penangkapan ikan (DKP 2001).

Monitoring dilakukan pula melalui jaringan komunikasi antara pusat pengendalian dan daerah yang didukung dengan sistem informasi. Implementasi sistem MCS mengacu kepada ketentuan code of conduct for responsiblefisheries dari FAO yang sudah terbukti berhasil diterapkan di beberapa negara, khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan (FAO 1995).

2.5 Analisis prospektif untuk penentuan faktor-faktor dominan (faktor

kunci) pada masa yang akan datang.

Analisis prospektif adalah studi tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan. Analisis prospektif dilakukan denga n menggunakan metoda wawancara untuk mengidentifikasi faktor- faktor kunci yang mempengaruhi kondisi di masa yang akan datang. Kegunaan analisis prospektif setidaknya terdapat dua hal yaitu (1) mempersiapkan tindakan-tindakan strategis yang perlu dilakukan pada masa yang akan datang terhadap suatu kasus tertentu; dan (2) melihat atau mengetahui apakah dibutuhkan suatu perubahan pada masa yang akan datang.

Analisis prospektif memiliki tiga langkah utama yaitu (1) mengidentifikasi faktor- faktor penentu di masa depan; (2) menemukan elemen kunci di masa depan dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan di masa depan (Bourgeois 2004)

Menurut Hardjomidjojo (2002), tahapan metodologi analisis prospektif adalah : (1) definisikan batasan sistem, (2) indentifikasi kriteria, (3) diskusi kriteria, (4) diskusi pengaruh mutual, (5) diskusi kriteria keadaan, (5) membangun skenario, dan (6) analisis implikasi tindakan.

2.5.1 Melakukan identifikasi faktor-faktor penentu

Berdasarkan pada tujuan studi yang ingin dicapai (yang telah dijelaskan secara rinci sebelumnya), responden diminta untuk memikirkan faktor/kriteria/ variabel yang mempengaruhi pada pencapaian tujuan studi (Bourgeois 2004)

2.5.2 Menemukan elemen kunci di masa yang akan datang.

(42)

(2) Langkah kerja. Tabel matriks analisis pengaruh antar faktor disiapkan untuk diisi dengan skor dari pengaruh relatif antar faktor. Lakukan contoh pengisian Tabel dengan mengambil satu faktor terpilih yang mudah dan lihat pengaruhnya terhadap faktor lainnya. Matriks Individu dikumpulkan untuk diolah menjadi Matriks Gabungan.

Dalam melihat hubungan antar faktor dilakukan penilaian dengan skoring. Skor penilaian. 0 = tidak berpengaruh; 1 = berpengaruh kecil; 2 = berpengaruh besar dan 3 = berpengaruh kuat. Penilaian dilakukan dengan proses : (1) Dilihat dahulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya beri nilai 0; (2) Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya beri nilai 3; dan (3) Jika tidak, baru dilihat apakah berpengaruh kecil = 1, atau berpengaruh sedang = 2 (Bourgeois 2004)

2.5.3 Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan di masa yang akan datang

(1) Pedoman analisis matriks gabungan: 1) Apabila pengaruh antar satu

faktor dengan satu faktor lainnya (selanjutnya kita sebut sebuah sel), mempunyai nilai 0 dengan jumlah > 1/2N, maka nilai sel tersebut adalah 0; 2) Jika nilai 1, 2, dan 3 bersama-sama berjumlah > 1/2N, maka nilai sel tersebut ditentukan berdasarkan yang paling banyak dipilih antara nilai 1, 2, dan 3; dan 3) Jika jumlah aktor (N) adalah genap, dan didapat dalam satu sel jumlah nilai 0 sama banyak dengan jumlah nilai 1, 2, dan 3, maka perlu dilakukan diskusi atau klarifikasi lebih lanjut dengan para aktor untuk menentukan nilai sel tersebut.

(2) Analisis. 1) Nilai- nilai sel yang telah disepakati oleh para aktor

(43)

tersedia. Perlihatkan dan jelaskan pada para aktor (dengan in fokus) hasil analisis tersebut berupa “pengaruh langsung, tidak langsung dan total antar faktor”, dalam bentuk: (vi) Pengaruh langsung global. (vii) Ketergantungan global; (viii) Kekuatan global; (ix) Kekuatan global tertimbang; (x) Gambar hubungan antar faktor berdasarkan total pengaruh dan ketergantungannya; dan 5) Seleksi 5 sampai 7 faktor untuk diskusi tahap selanjutnya membangun skenario berdasarkan keadaan/state

kriteria (tahap 3), seleksi dilakukan berdasarkan kekuatan global tertimbang dan posisi faktor dalam Gambar hubungan antar faktor, yaitu pada kuadran kiri atas. Untuk setiap faktor dapat dibuat satu atau lebih keadaan dengan ketentuan sebagai berikut : 1) keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi (bukan khayalan) dalam suatu waktu di masa yang akan datang; 2) keadaan bukan merupakan tingkatan atau ukuran suatu faktor (seperti besar/sedang/kecil atau baik/buruk); tetapi merupakan deskripsi tentang situasi dari sebuah faktor.

(3) Langkah-langkah menentukan keadaan suatu faktor: 1) Susun suatu

skenario yang memiliki peluang besar untuk terjadi di masa yang akan datang; 2) Skenario merupakan kombinasi faktor. Oleh sebab itu , sebuah skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu keadaan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang mutual incompatible; 3) Tulis setiap skenario dalam satu kartu secara vertikal. Setiap peserta memperoleh 2 kartu untuk membangun 2 skenario : (i) Kumpulkan skenario (kartu) yang sama dalam satu kelompok dan diurutkan dari kiri ke kanan ( di stereoform) mulai dari skenario paling optimis sampai ke skenario yang paling pesimis; (ii) Gabungkan skenario yang relatif sama (perbedaan keduanya sangat sedikit dan hanya terjadi pada satu faktor). 4) Berikan nama pada setiap skenario (mulai dari nama paling optimis sampai ke nama paling pesimis).

(4) Langkah-langkah penentuan skenario yang paling mungkin terjadi.

(44)

jumlah seluruh bintang yang diberikan seluruh peserta; dan 4) Urutkan skenario-skenario tersebut mulai dari skenario-skenario yang memperoleh jumlah bintang paling banyak sampai ke skenario yang memperoleh bintang paling sedikit (Bourgeois 2004).

Pengaruh

Ketergantungan

Gambar 4 Kuadran dalam proses penemuan elemen kunci dalam analisis prospektif (Sumber : Bourgeois 2004).

2.6 Analisis SWOT

Metode analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan, sehingga dengan demikian perencana strategis harus menganalisis faktor- faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat ini yang disebut dengan analisa situasi. Model yang dapat digunakan untuk analisis situasi adalah analisis SWOT (Rangkuti, 2006).

Analisis matriks SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) yaitu situasi penting yang menguntungkan dalam suatu lingkungan dan ancaman (threats) yaitu situasi penting yang tidak menguntungkan dengan faktor internal kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yaitu keterbatasan atau kekurangan dalam sumberdaya.

Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi (Rangkuti 2006). Matriks Variabel

Penentu

Variabel Penghubung

(Stakes)

Variabel Autonomous

Unused

(45)

dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi, yaitu strategi S-O, strategi W-O, strategi W-T dan strategi S-T, seperti dapat dilihat pada Gambar 5.

INTERNAL

EKSTERNAL

Strength –S

Daftar 5-10 faktor- faktor kekuatan

Weakness – W

Daftar 5-10 faktor- faktor kelemahan

Opportunities – O

Daftar 5-10 faktor- faktor peluang

Daftar 5-10 faktor- faktor ancaman

Gambar 5 Matriks SWOT.

Analisis SWOT didasarkan pada asumsi bahwa suatu strategi yang efektif memaksimumkan kekuatan dan peluang, dan meminimumkan kelemahan dan ancaman. Untuk dapat membandingkan antar unsur SWOT, maka perlu diketahui nilai masing- masing unsur SWOT. Nilai masing- masing unsur SWOT ditempatkan ke dalam diagram SWOT, yang merupakan perpaduan antara perbandingan kekuatan dan kelemahan dengan perbandingan peluang dan ancaman. Letak nilai S-W dan O-T dalam diagram SWOT akan menentukan arah strategi yang diambil (Rangkuti 2006).

(46)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pengumpulan Data dan Informasi

Data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan secara langsung di lapangan. Pengumpulan data primer di lapangan dilakukan untuk memperoleh data dan informasi langsung dari sumbernya di lapangan dengan cara :

(1) Observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan tentang faktor- faktor strategis yang mempengaruhi sistem MCSkelautansecara umum dan secara khusus dalam bidang perikanan tangkap.

(2) Kuesioner, yaitu dengan menyebarkan daftar pertanyaan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian.

Responden yang diwawancarai adalah para pakar atau expert pihak-pihak terkait yang relevan dengan pengembangan dan pemanfaatan MCS nasional kelautan. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling, agar diperoleh hasil wawancara yang memenuhi kriteria expert judgement. Pengamatan langsung dilakukan terhadap sistem MCS yang sudah ada dan mengunjungi objek-objek penerapan sistem MCS yang didekati secara kritis, di salah satu dari 9 (sembilan) zona penangkapan ikan dan yang dipilih adalah Kepulauan Riau dengan pertimbangan geografis berupa kepulauan dan berbatasan dengan negara- negara tetangga serta pertimbangan sosial ekonomi dengan banyaknya masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari perikanan tangkap serta banyaknya pelanggaran yang terjadi di laut.. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang relevan yaitu instansi yang terkait dengan Bakorkamla sesuai Keputusan Presiden no 81 tahun 2005 dan berbagai instansi lain yang terkait serta penelusuran dari situs internet.

Data primer sepenuhnya merupakan data yang bersifat kualitatif dalam rangka melakukan identifikasi kebutuhan sistem MCS nasional kelautan. Data sekunder yang dikumpulkan disamping selain data kualitatif juga data kuantitatif. Disamping data dan informasi dari persepsi responden yang terkait dengan pengembangan sistem MCS nasional kelautan, data dan informasi yang dikumpulkan antara lain :

(1) Keragaan desain sistem MCS nasional terkait bidang kelautan yang telah diterapkan oleh berbagai instansi selama ini.

(47)

(3) Kebijaksanaan pembangunan terkait dengan bidang kelautan nasional.

(4) Kebijakan pembangunan bidang kelautan dan perikanan dan instansi terkait lainnya yang relevan.

(5) Data-data statistik potensi sumberdaya perikanan dan kelautan, produksi, perdagangan, kapal, perikanan tangkap dan data statistik lain terkait dengannya, termasuk jumlah pelanggaran dan praktek-praktek ilegal.

(6) Data dan informasi mengenai berbagai hukum, peraturan, perundangan dan perjanjian-perjanjian terkait dengan kelautan dan perikanan baik nasional maupun internasional.

(7) Peta nasional yang memuat wilayah-wilayah perbatasan laut, zona-zona tertentu dan wilayah laut yang dilindungi serta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).

(8) Data dan informasi lainnya yang relevan

3.2 Waktu Penelitian dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan mulai dari bulan Februari 2006 sampai dengan bulan September 2006.

Penelitian difokuskan pada lokasi di Jakarta dan untuk pengamatan langsung terhadap salah satu zona perikanan tangkap dilaksanakan di Kepulauan Riau yang ditentukan berdasarkan hasil wawancara dan rekomendasi dari para experts yang diwawancarai, terutama experts dari Departemen Kelautan dan Perikanan.

3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Gambar

Gambar 6  Diagram Kartesius (Sumber:  Supranto 2006).
Gambar 8  Matriks QSPM (Sumber: Umar 2001).
Tabel 9  Lanjutan
Tabel 10 Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Struktur perencanaan pembangunan di Indonesia berdasarkan hirarki dimensi waktunya berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Dalam desain sistem akuntansi secara umum juga terdapat komponen-komponen desain sistem yaitu desain output (produk dari sistem informasi yang dapat dilihat), desain input

Riset Sosial Ekonomi Perikanan mendukung Program Prioritas Pengelolaan Kemaritiman, Perikanan dan Kelautan sebagai bagian yang mendukung target dan sasaran pada Agenda Pembangunan

Kalau kita dapat mengembangkan pendidikan nasional serta kebudayaan nasional secara memadai maka keberhasilan pembangunan nasional yang berkelanjutan akan dapat dicapai lebih baik

Selain itu, untuk mewujudkan rencana pembangunan nasional yang baik, pada RPJMN tahun 2015-2019 pendekatan yang digunakan dalam menyusun dokumen perencanaan dari

Dalam kerangka pelaksanaan pembangunan daerah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, mengamanatkan

Tantangan pokok yang dihadapi dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan sebagai bagian dari sistem pendukung manajemen pembangunan adalah integrasi, sinkronisasi

Namun hadirnya teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi (SIG) telah memberikan pencerahan untuk kemudahan optimalisasi pembangunan sektor kelautan