• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Penerapan MCS di Beberapa Negara

4.2.1 Malaysia

Malaysia mempunyai manajemen perikanan yang sangat lengkap dan mempunyai kontrol yang kuat terhadap legislasi, lisensi, identifikasi kapal, mengembangkan prosedur inspeksi di laut dan pelabuhan, termasuk inspeksi peralatan. Malaysia juga menerapkan perjanjian internasional dengan membuat dan memperbaharui peraturan undang-undang perikanan. Sistem MCS dan mekanisme antar lembaga di Malaysia merupakan yang paling maju di wilayah Asia Tenggara dan dapat menjadi model bagi negara lainnya.

Malaysia membentuk lembaga penjaga pantai yang baru, yang mengambil alih tanggung jawab dan aset dari badan pelaksana yang ada. Lembaga ini menyarankan pengembangan program baru, karena hampir tidak ada armada pelaksana yang tepat untuk berpatroli di luar wilayah ZEE. Kapal patroli yang modern memerlukan biaya yang mahal dalam hal pengadaan dan pengoperasiannya, namun demikian, biaya yang hilang karena pencurian, kerusakan sumberdaya alam, kehilangan pajak, dan kekerasan atau pencurian di laut jauh lebih besar daripada biaya pengadaan (Flewwelling 2001).

4.2.2 Philipina

Philipina memiliki manajemen perikanan yang responsif dan berkelanjutan serta mempunyai sistem MCS dan semua peralatan yang siap untuk dikembangkan dan diakui, serta mempunyai tenaga yang terlatih. Pada dasarnya, manajemen dan sistem MCS Philipina cukup bagus, tetapi implementasi sistemnya tidak jelas, tidak mempunyai perjanjian kerjasama internasional yang diakui dan disetujui oleh pemerintah. Secara politik, manajemen perikanan yang berkelanjutan belum merupakan suatu prioritas bagi pemerintah, begitu juga oleh Departemen Perikanan dan Sumberdaya Air, yang seharusnya aktif membentuk mekanisme kerja sama antar lembaga yang memberi perhatian terhadap perikanan komersil dan perikanan asing yang ilegal. Philipina mempunyai program yang sangat progresif dalam membangun kesadaran publik dengan metode partisipasi untuk pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Philipina mempunyai semua komponen untuk menjadi model di Asia, tetapi kontinuitas dan keinginan politik tidak tampak di dalam sistemnya (Flewwelling 2001).

4.2.3 Maladewa

Menurut Flewwelling (2001), Maladewa mempunyai teknik yang progresif untuk sistem MCS (VMS plus citra satelit), meskipun sistemnya tidak sepenuhnya berfungsi karena dalam implementasinya membutuhkan pendanaan, penempatan operator terlatih, dan memerlukan mekanisme kerjasama antar lembaga (Pabean, Penjaga Pantai, Turisme, Departemen Perdagangan dan Industri, dan Departemen Manajemen Atol). Kelemahan lainnya adalah dalam pelatihan MCS dan inspeksi di laut yang dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan tidak menjadi prioritas utama.

Instrumen perundang-undangan juga memerlukan pembaharuan, selain itu juga diperlukan peningkatan perhatian terhadap standar keamanan di laut karena semakin banyaknya armada perikanan nasional yang mempunyai kapal besar dengan kemampuan berlayar sampai berhari-hari. Pengembangan peralatan keamanan diperlukan untuk meminimalkan kegiatan pencarian dan penyelamatan (SAR). Maladewa sangat mendukung sepenuhnya kerjasama regional untuk manajemen berkelanjutan dan aktivitas MCS karena beberapa hal yaitu:

(1) Tergantung pada tingginya stok perpindahan ikan

(2) Kurangnya alternatif pilihan kerja selain sektor perikanan dan turisme

(3) Adanya tekanan terhadap armada asing di wilayah perbatasan ZEE dan kapal asing berlisensi yang melakukan penangkapan ikan di dalam wilayah ZEE.

4.2.4. Thailand

Thailand dikenal memiliki nelayan yang cukup dihargai di wilayah sekitarnya, sehingga banyak perusahaan perikanan Malaysia yang lebih suka mempekerjakan nelayan Thailand sebagai awak kapal mereka. Oleh karena itu Thailand berusaha untuk mengimplementasikan konsep kerjasama internasional di bidang perikanan. Thailand juga telah mempertimbangkan untuk mengembangkan infrastruktur MCS perikanannya, karena itu diperlukan perencanaan manajemen perikanan yang lebih pro aktif dan revisi terhadap beberapa peraturan undang-undang.

Komitmen pemerintah terhadap penerapan MCS dan manajemen perikanan yang berkelanjutan cukup tinggi. The National Development Plan menetapkan prioritas yang tinggi terhadap pelayaran di luar ZEE, dan mengharapkan 1,8 juta ton ikan per tahun yang dihasilkan oleh armada perikanan di luar wilayah ZEE Thailand. Dalam melakukan pengawasan, Thailand menerapkan mekanisme kontrol bendera negara terhadap usaha perikanan Thailand yang menangkap ikan di luar wilayah ZEE (Flewwelling 2001).

4.2.5 India

India mempunyai Penjaga Pantai yang sangat komprehensif dan kompeten untuk mendukung sistem MCS di perairan laut dalam dan kontrol perbatasan terhadap

usaha perikanan asing. Area pantai dikontrol dan diregulasi oleh pemerintah. Tugas pengawasan ini cukup sulit karena terdapat hampir 9 juta nelayan, sekitar 2,4 juta yang bekerja full time di sekitar wilayah laut India. India belum mempunyai mekanisme undang-undang untuk mengontrol kapal perikanan India di luar laut territorial.

Penerapan MCS India difokuskan terhadap kekerasan yang terjadi di dalam wilayah ZEE dan penyelesaian konflik dengan negara lain. Oleh karena itu sangat dibutuhkan adanya koordinasi antar pemerintah dan antar lembaga, mekanisme kontrol dan perencanaan yang lebih pro aktif. Selain itu juga dibutuhkan suatu pelatihan MCS bagi pegawai pemerintah untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingnya manajemen perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Selain itu juga perlu dilakukan perubahan terhadap izin penangkapan ikan sehingga tidak melakukan usaha penangkapan ikan secara berlebihan, karena dari hasil riset terindikasi bahwa area pantai saat ini telah overfished. Dalam mekanisme antar lembaga pertimbangan ilmiah tidak selalu menjadi bagian dalam pengambilan keputusan, sehingga hal ini menjadi salah satu kelemahan dalam pengembangan manajemen sumberdaya kelautan yang berkelanjutan (Flewwelling 2001).

4.2.6 Bangladesh dan Myanmar

Bangladesh dan Myanmar memiliki manajemen perikanan proaktif yang relatif kecil, tetapi keduanya mempunyai mekanisme pengawasan yang ketat di pelabuhan terhadap kapal yang masuk dan meninggalkan pelabuhan mereka. Kemampuan kelautan keduanya sangat terbatas sehingga pelatihan MCS sangat diperlukan. Kekurangan infrastruktur dari manajemen perikanan dan kurangnya sumberdaya manusia yang terlatih juga merupakan faktor pembatas. Perhatian departemen secara internal terhadap hal ini cukup tinggi, tetapi sektor ini bukan merupakan prioritas utama pemerintah.

Bangladesh mempunyai data dan informasi dari proyek Bay of Bengal yang dapat digunakan dalam menangani perikanan pesisir mereka. Myanmar memerlukan bantuan dalam perencanaan, infrastruktur, pembaharuan undang-undang yang berhubungan dengan perjanjian dan aktivitas internasional, penerapanan manajemen

perikanan yang berkelanjutan, dan peningkatan prioritas pemerintah dan kesadaran masyarakat terhadap sektor perikanan dan kelautan (Flewwelling 2001).

4.2.7 Kamboja

Kamboja masih dalam tahap perbaikan setelah adanya konflik internal di negaranya. Dalam bidang perikanan, pengelolaannya hampir secara total ditujukan terhadap perikanan darat di Sungai Mekong dan wilayah Tonle Sap. Terdapat kontrol yang sangat ketat terhadap skema manajemen perikanan daratnya, tapi hanya memberikan keuntungan bagi beberapa industri tertentu sedangkan nelayan lainnya secara umum hanya mendapatkan keunt ungan yang kecil. Hal ini terjadi karena pelelangan jatah perikanan dan sistem lisensi yang sangat mahal.

Kamboja mempunyai pantai yang sangat terbatas dan mengabaikan perhatiannya terhadap pengelolaan perikanan lepas pantai dan kemampuan MCS. Perencanaan manajemen proaktif untuk memaksimalkan keuntungan terhadap nelayan, peningkatan manajemen dan pelatihan MCS, peningkatan kesadaran nelayan dan masyarakat, edukasi, dan perbaikan infrastruktur diperlukan untuk membantu pemulihan Kamboja setelah beberapa tahun berada dalam konflik internal (Flewwelling 2001).

4.2.8 Srilangka

Srilangka mempunyai keterbatasan dalam memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap wilayah pantainya karena masih berada di bawah konflik internal dengan Tamil, sehingga pemerintah mempunyai kesulitan mengontrol armadanya dalam wilayah lautnya. Adanya reorganisasi baru dari Departemen Perikanan akan memperkuat organisasi.

Menurut Flewwelling (2001), di Srilangka terdapat suatu pendekatan inovatif melalui suatu komite the Special Area Management (SAMs) dalam membangun mekanisme antar lembaga, yang memusatkan perhatiannya terhadap pantai dan laguna secara umum dan dapat dijadikan contoh bagi negara lainnya. Komite ini melakukan pendekatan yang sangat holistik berdasarkan pada kebutuhan semua sektor, termasuk pengembangan prioritas terhadap perikanan. Srilangka juga membuat peraturan undang- undang baru yang memungkinkan untuk dikaji ulang dan direvisi. Otoritas terhadap kerjasama usaha the Board of Investment (BOI)

memungkinkan kapal internasional melakukan pendaratan ikan- ikan di pelabuhan Srilangka sehingga dapat memberikan sedikit keuntungan untuk Srilangka. Selain itu juga dikembangkan usaha untuk mengimplementasikan VMS terhadap kapal BOI, dan semua kapal yang melakukan pelayaran di laut dalam dan menerapkan mekanisme kontrol bendera negara.

Hal lainnya yang mendapat perhatian dalam pengelolaan perikanan adalah faktor keamanan terhadap kapal-kapal besar yang berlayar di laut dalam. Kerjasama regional untuk pengelolaan perikanan dan MCS juga mendapat perhatian Srilangka karena keberadaan armada kapal mereka yang melakukan interaksi dengan armada perikanan negara lain.

4.2.9 Vietnam

Vietnam merupakan negara dengan sektor perikanan yang besar yang pengaruhnya semakin meningkat. Usaha yang sunguh-sungguh dibuat untuk meningkatkan kemampuan armada perikanannya, tetapi kemampuan manajemen pemerintah dan mekanisme kontrol tidak terlihat pengembangannya pada laju yang sama. Manajemen perikanan Vietnam dan kemampuan MCS difokuskan pada area pantai/pesisir dengan monitor terhadap laut dalam yang jauh dari pantai, terutama terhadap perbatasan wilayah tetapi belum untuk tujuan manajemen berkelanjutan. Oleh karena itu Vietnam harus memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pelatihan teknik MCS dan manajemen berkelanjutan dengan adanya dukungan perundang-undangan (Flewwelling 2001).

4.2.10 Namibia

Menurut Steele (2000), Namibia merupakan salah satu negara penghasil ikan yang produktivitasnya cukup besar di dunia. Hal ini merupakan hasil dari sistem

Benguela yang mutakhir yang dimiliki oleh Departemen Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (the Ministry of Fisheries and Marine Resources /MFMR). Misi departemen ini adalah untuk memperkuat posisi Namibia sebagai negara yang maju di bidang produksi perikanan dan mempunyai tujuan memberikan kontribusi dalam peningkatan ekonomi negara, bidang sosial dan konservasi.

Tujuan utama dari MFMR adalah :

(1) Mengembangkan dan mengoptimalkan regulasi perundang-undangan sumberdaya kelautan untuk konservasi ekosistem kelautan yang berkelanjutan.

(2) Membuat lingkungan yang kondusif bagi industri perikanan sehingga dapat meningkatkan pendapatan dari sumberdaya kelautan secara lebih optimal.

(3) Mengembangkan kepentingan Namibia di sektor perikanan internasional.

(4) Memberikan pelayanan secara responsif dan profesional.

(5) Melakukan pelayanan secara efektif dan efisien di sektor keuangan.

(6) Secara kontinyu melakukan investasi dalam pengembangan sumberdaya manusia.

Departemen ini memiliki tiga direktorat yaitu direktorat manajemen sumberdaya yang berhubungan dengan aktivitas penelitian, direktorat operasional yang berhubungan dengan administrasi dan operasional dan direktorat kebijakan, perencanaan dan ekonomi. MFMR dibentuk sejak tahun 1990, dan saat ini dipertimbangkan sebagai suatu model manajemen perikanan yang mendukung sektor industri perikanan sehingga dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam peningkatan perekonomian negara.

Di MFMR, Direktorat Operasional bertanggung jawab untuk pelaksanaan MCS (monitoring, control dan surveillance). Dalam implementasinya, untuk mengontrol setiap kegiatan yang berada dalam wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE), di Namibia terdapat suatu program yang terintegrasi untuk inspeksi dan patroli di laut, di pelabuhan dan di udara secara berkelanjutan ya ng memenuhi hukum perikanan Namibia.

Sejak kemerdekaannya, Namibia telah menetapkan tiga strategi utama dalam kebijakan bidang perikanan, yaitu:

(1) Stock rebuilding (pembangunan kembali cadangan sumberdaya), yakni

membangun kembali cadangan sumberdaya yang telah terkuras oleh usaha penangkapan ikan yang berlebihan sebelum masa kemerdekaan;

(2) Namibianisasi (nasionalisasi bidang usaha perikanan Namibia) untuk mengganti dan memperbaiki dominasi asing di bidang perikanan sebelum masa kemerdekaan, melalui usaha integrasi sektor usaha perikanan itu ke dalam perekonomian dan masyarakat Namibia, sehingga peluang kerja dan penghasilan yang dapat diperoleh dari pembangunan kembali cadangan sumberdaya itu dapat dinikmati oleh masyarakat Namibia itu sendiri.

(3) Empowerment (pemberdayaan) untuk menjamin berlangsungnya peran serta masyarakat Namibia itu dalam sektor perikanan yang di masa awal kemerdekaan dalam kondisi yang lemah, sehingga tidak berkembang dengan baik. Juga untuk menjamin berlangsungnya partisipasi yang meningkat dan seimbang di sektor ini oleh masyarakat Namibia dengan berbagai latar belakang (keahlian maupun kemampuan).

Institusi atau lembaga pusat untuk mengimplementasikan semua strategi ini adalah Kementerian Perikanan dan Sumberdaya Kelautan. Lembaga ini harus membangun semua aspek dan program penelitian sampai pengawasan, yang kesemuanya itu merupakan unsur-unsur dasar dari administrasi perikanan. Juga menata kerangka kerja legal maupun perangkat peraturan lainnya untuk mengatur sektor perikana n.

Pemerintah Namibia sangat memperhatikan dan memberikan prioritas yang tinggi terhadap kebijakan dan usaha untuk menghentikan kasus over-fishing

(penangkapan ikan secara berlebihan). Dalam hal ini telah disusun dan ditetapkan sebuah sistim tentang Total Allowable Catches (TACs, total tangkapan yang diperkenankan) bagi semua cadangan sumberdaya ikan yang utama. Dengan sistim ini dapat dilakukan reduksi/pengurangan tangkapan dibandingkan dengan periode sebelum kemerdekaan yang penangkapan ikan ketika itu relatif tidak terkontrol sama sekali. Dengan demikian, kondisi cadangan sumberdaya dapat mulai dipulihkan kembali dengan cepat. Dengan sistem ini dapat pula ditingkatkan kapasitas TAC itu sendiri dan hasil total tangkapan meningkat secara signifikan dari 408.000 metrik ton pada tahun 1990, menjadi 789.000 metrik ton pada 1993.

Keberhasilan manajemen perikanan didukung oleh adanya riset ilmiah, yang berada di bawah wewenang Direktorat Manajemen Sumberdaya yang melakukan

penelitian di bidang kelautan dan perikanan. Bagi industri perikanan modern keputusan dibuat berdasarkan pada pengetahuan tentang stok ikan untuk menjamin keberlangsungan usaha. Di Namibia, kemampuan untuk menghasilkan data meningkat cukup besar sejak departemen bersifat independen.

Analisis dan survei yang sistematis dilakukan untuk mendapatkan data yang diperlukan sebagai dasar dalam melakukan pertimbangan dan saran dalam manajemen. Program yang digunakan untuk memonitor lingkungan kelautan adalah dengan menggunakan citra satelit dan laporan di bidang kelautan yang terbaru.

Untuk mengembangkan kemampuan staf departemen dalam melakukan pemantauan dan pengawasan dilakukan berbagai usaha seperti pelatihan, seminar, dan lain sebagainya untuk meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan data yang akan diperlukan sebagai bahan dalam berbagai pertimbangan manajemen di departemen.

(1) Kerangka kerja regulasi dan hukum

Beberapa hal utama dalam pembentukan dan penetapan kerangka kerja hukum dan peraturan ini :

1) Pada tahun 1990 oleh Majelis (Badan Legislatif) Nasional telah diloloskan sebuah “Territorial Sea and Exclusive Economic Act” (Akta Teritorial Laut dan Ekonomi Eksklusif) sebagai ketetapan perundang- undangan yang baru dari Majelis (Badan Legislatif) Nasional Namibia itu, dan memberi hak kedaulatan atas sumberdaya kelautan di perairan Namibia.

2) Penyebar-luasan peraturan tentang Perikanan Laut pada tahun 1993 yang menjelaskan secara rinci tentang ketentuan-ketentuan di dalam Akta Perikanan Laut yang baru itu.

3) Pada tahun 1996, Majelis Nasional Namibia mengadopsi sebuah WhitePaper

lain tentang Kebijakan Perikanan di darat (laut pedalaman), yang menekankan tentang urgensinya keterlibatan masyarakat dalam manajemen perikanan tersebut.

4) Penyiapan sebuah rancangan Undang-Undang tentang Perikanan Laut Dalam untuk mengimplementasikan White Paper, setelah konsultasi (dengar pendapat) yang luas dengan masyarakat yang terlibat dan terkait.

5) Persiapan sebuah rancangan yang baru tentang Akta Perikanan Laut yang mempertimbangkan penyusunan hukum internasional yang baru, ya ng berkaitan dengan bidang perikanan, terutama tentang tanggung-jawab negara untuk mengontrol usaha perikanan dan kapal ikan yang dipergunakan di laut bebas.

6) Namibia menerima Compliance Agreement (kesepakatan tentang pemenuhan ketentuan) FAO dan Namibia juga melakukan ratifikasi kesepakatan tentang cadangan sumberdaya perikanan PBB; dan dalam kedua kasus itu, Namibia termasuk kelompok negara pertama di dunia yang mengambil langkah- langkah ini.

Keberhasilan manajemen perikanan didukung oleh adanya riset ilmiah, yang berada di bawah wewenang Direktorat Manajemen Sumberdaya yang melakukan penelitian di bidang kelautan dan perikanan. Analisa dan survei yang sistematis dilakukan untuk mendapatkan data yang diperlukan sebagai dasar dalam melakukan pertimbangan dan saran dalam manajemen. Program yang digunakan untuk memonitor lingkungan kelautan adalah dengan menggunakan citra satelit dan laporan di bidang kelautan yang terbaru.

Direktorat Operasi bertanggung-jawab untuk melakukan pemantauan, kontrol dan pengawasan. Pengalaman di dunia, terutama dalam implementasi ZEE telah menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat dikenakan hukum dalam jurisdiksi pemerintah, jika tidak ada kontrol di kawasan ZEE. Dalam hal ini, selama periode tahun 1990-1991, pemerintah Namibia telah bertindak cepat dalam menghadapi para pelanggar hukum dari operasi kapal-kapal asing itu. Meskipun masih terdapat beberapa pelanggaran, namun tindakan hukum yang tegas merupakan hal yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya operasi penangkapan ikan ilegal yang dilakukan secara sistematis.

(2) Kerjasama Internasional

Secara regional, untuk sektor perikanan Namibia melakukan kerjasama dengan negara tetangga yang bergabung dalam the Southern African Development Community (SADC) yang terdiri dari enam negara pantai yaitu Angola, Mauritus, Mozambiq, Namibia, Afrika Selatan dan Tanzania. SADC ini berada di bawah koordinasi Namibia. MFMR membantu dengan membuat suatu unit yang bertugas memberikan pedoman formulasi, evaluasi, manajemen dan implementasi untuk kebijakan spesifik, program dan proyek pengembangan di sektor sumberdaya perikanan dan kelautan. Unit tersebut mengkoordinasikan program pelatihan dan konsultasi berdasarkan perkiraan kebutuhan wilayah, yang berhubungan dengan MCS dan pengembangan sistem informasi (Steele, 2000).

4.2.11 Mozambique

Menurut Kelleher (2002), di Mozambique yang bertanggungjawab terhadap

monitoring, kontrol dan pemberdayaan di bidang perikanan adalah the Ministry of Fisheries (MP). Ada lima sub bagian dari MP yang berperan dalam aktivitas MCS, seperti dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Peranan sub bagian the Ministry of Fisheries (MP) dalam aktivitas MCS

Entity Peranan Comment

Direktorat administrasi perikanan (DAP/DNAP)

Lisensi perikanan, legislasi, proteksi, monitoringquota

dan penangkapan ikan,

observer dan inspeksi. Lisensi/kontrol industri perikanan. Melakukan hubungan dengan Departemen Hukum

Terdapat di semua propinsi melalui the Provincial Fisheries Administration Service (SPAPs). Administrasi bertindak sebagai lembaga di beberapa lokasi, yang menilai pajak dari berbagai izin beroperasi.

Direktorat Ekonomi (DE)

Manajemen ekonomi dan

monitoring

Bertanggung jawab dalam

administrasi dan sistem informasi statistik.

Direktorat

Inspeksi Perikanan (DIP)

Inspeksi kualitas ikan dan laboratorium. Berhubungan dengan ekspor ikan.

Berhubungan dengan direktorat peternakan.

Lembaga pengembangan perikanan skala kecil (IDPPE)

Mengembangkan aturan yang lebih berpengaruh terhadap proses manajemen kerjasama

Melakukan kerjasama dengan SPAPs

Institut Riset Perikanan

Memberikan saran tentang stok perikanan laut. Menerima dan menginter- prestasikan data penangkap- an yang diterima dari kapal

Peranannya terbatas dalam MCS.

Perencanaan sektor perikanan (Plano Economico e Social, PES) merupakan bagian dari rencana lima tahunan pemerintah, yang mempunyai tugas merestrukturisasi dan menyusun institusi MP pada tingkat pusat dan daerah sebagai berikut:

(1) Implementasi sistem VMS

(2) Pengembangan perencanaan dan monitoring investasi

(3) Peningkatan lisensi perikanan dan biaya lainnya.

(4) Mengembangkan komite co-management

(5) Memperkuat dukungan organisasi dan sistem informasi terhadap perikanan skala kecil.

Perencanaan pengembangan untuk MCS meliputi:

(1) Revisi dan pengembangan legislasi (hukum dan regulasi)

(2) Peningkatan modal sumberdaya manusia SPAPs (DPAPs) dan kapasitas operasionalnya.

(3) Memperkenalkan prosedur auditing internal.

Dalam melakukan pengawasan dibutuhkan kemampuan patroli maritim (kapal patroli) di laut dan di udara. Beberapa kapal dibutuhkan dalam hal sebagai berikut:

(1) Pengawasan dan kontrol sumberdaya kelautan

(2) Proteksi

(3) Penelitian dan penyelamatan

(4) Logistik untuk mendukung situasi darurat

(5) Memerangi polusi laut dari kapal

(6) Mendukung keimigrasian

Tujuan pengawasan kelautan di Mozambiq ue adalah memproteksi perikanan tuna dan udang, mengontrol perbatasan di Utara dan Selatan, pencarian dan penyelamatan di laut dan memerangi polusi di laut. Pengawasan udara membantu operasional kapal patroli sehingga menjadi lebih efisien. Kontrol pelabuhan juga dilakukan secara terus menerus. Kapal patroli dengan tipe yang berbeda digunakan untuk keperluan yang berbeda di pantai dan di laut dalam sesuai dengan karakteristik geografis perikanan. Penggunaan radar juga dapat ditambahkan sebagai peralatan yang dapat membantu memudahkan pengawasan. Kapal patroli pantai dibutuhkan sehubungan dengan strategi regulasi dan operasional perikanan. Regulasi difokuskan pada kontrol aktivitas perikanan sehingga kebutuhan terhadap kapal patroli di laut merupakan hal yang sangat vital. Karena biaya pengadaan kapal cukup mahal, maka Mozambique berusaha menggunakan sistem sewa sebelum melakukan investasi untuk pengadaan kapal patroli pantai.

Departemen Kelautan Mozambique tidak mempunyai kemampuan mengoperasikan kapal patroli besar dan memerlukan dukungan untuk mengoperasikan kapal patroli kecil dengan bantuan dari angkatan lautnya. Untuk patroli pantai dibutuhkan kapal patroli cepat yang ditempatkan secara strategis di sepanjang pantai khususnya di daerah perbatasan. Untuk melengkapi pengawasan di pesisir laut juga diperlukan patroli udara dengan menggunakan pesawat yang diperoleh dengan sistem sewa.

Kontrol pelabuhan yang dioperasikan secara manual cukup efektif dari segi biaya. Kontrol pra-pelayaran juga membantu untuk kegiatan inspeksi di pelabuhan. Mozambique juga tidak mempunyai radar pantai (kecuali radar pelabuhan), sehingga dibutuhkan pemasangan radar dengan kisaran 50-80 mil laut yang meliputi perbatasan dari utara dan selatan.

4.2.12 NorthwestAfrica

Menurut Steele (2000), The Subregional Fisheries of Northwest Africa

(SRFC) dibentuk dengan suatu konvensi pada tahun 1985 dan terdiri dari enam negara (Cape Verde, Gambia, Guinea-Bissau, Mauritania, Senegal) ditambah dengan Sierra Leone. Komisi ini bertanggung jawab terhadap sejumlah protokol dan keselarasan dengan legislasi. Selain itu juga memasang peralatan untuk kerjasama dalam aktivitas pengawasan di udara dan di laut di antara negara-negara tersebut, meskipun terdapat kekurangan dari segi pembiayaan, sehingga mengurangi efektivitas kegiatan. FAO, melalui kantornya di Dakar, memiliki fungsi memperkuat SRFC sehingga lebih memiliki otoritas dan dirasakan kehadirannya oleh negara- negara anggota.

Selat benua meliputi 100 mil laut garis pantai di barat daya, yang berkembang ke tempat lain di pantai barat selain Namibia. Garis pantai masing- masing negara mempunyai panjang yang bervariasi dari 70 kilometer (Gambia) sampai 718 kilometer (Senegal). Panjangnya garis pantai dan selat berpengaruh terhadap keperluan pengawasan.

Mekanisme pengawasan dilakukan dengan memberikan lisensi kepada kapal-

Dokumen terkait