BAB II KAJIAN TEORI
A. Landasan Teoritis
2. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) Teknik Scaffolding
Pembelajaran berbasis masalah merupakan terjemahan dari istilah problem-based learning. Rangkuman dari pendapat para penulis, merumuskan pengertian pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah yang dirancang dalam konteks yang relevan dengan materi yang akan dipelajari untuk mendorong siswa memperoleh pengetahuan dan pemahaman konsep, mencapai berpikir kritis, memiliki kemandirian belajar, keterampilan berpartisipasi dalam kerja kelompok, dan kemampuan pemecahan masalah.19
Dilihat dari aspek psikologi belajar, pembelajaran berbasis masalah bersandarkan kepada psikologi kognitif yang berangkat dari asumsi belajar bahwa belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman. Belajar bukan semata-mata proses menghafal sejumlah fakta, tetapi suatu proses interaksi secara sadar anatara individu dengan lingkungannya.20 Sebagaimana tercantum dalan kurikulum Matematika Sekolah bahwa tujuan diberikannya matematika antara lain agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan di dunia yang
19Utari Sumarmo, “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa
SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”, Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas dan manajemen pendidikan, Vol 1. No.2, 2007, h. 150.
20 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 8, h. 112.
selalu berkembang, melalui latihan dapat bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, kreatif, dan efektif. Untuk menjawab tuntutan tujuan yang demikian tinggi, maka perlu dikembangkan materi serta proses pembelajarannya yang sesuai.
Boud dan Feletti mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah inovasi yang paling signifikan dalam pendidikan. Untuk meningkatkan perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. Kurikulum pembelajaran berbasis masalah memfasilitasi keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok dan keterampilan interpersonal dengan lebih baik dibanding pendekatan yang lain.21 Tujuan yang ingin dicapai oleh pembelajaran berbasis masalah adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analitis, sistematis, dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah.22
Perbedaan penting antara PBM dan pembelajaran konvensional terletak pada tahap penyajian masalah. Dalam pembelajaran konvensional, penyajian masalah diletakkan pada akhir pembelajaran sebagai latihan dan penerapan konsep yang dipelajari. Pada PBM, masalah disajikan pada awal pembelajaran, berfungsi untuk mendorong pencapaian konsep melalui investigasi, inkuiri, pemecahan masalah, dan mendorong kemandirian belajar.23 Terdapat 3 ciri utama dari pembelajaran berbasis masalah, yaitu:24
1) Pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi pembelajaran berbasis masalah ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa.
2) Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Pembelajaran berbasis masalah menempatkan masalah sebagai kata kunci dari
21 Rusman, Model-model Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 5, h.230. 22 Wina Sanjaya, op.cit, h. 216.
23Utari Sumarmo, “Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”, Jurnal kajian filosofi, teori, kualitas dan manajemen pendidikan, Vol 1. No.2, 2007, h. 151.
proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran.
3) Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif, proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris.
Pemberian masalah pada proses pembelajaran merupakan ciri utama yang ada pada pembelajaran berbasis masalah ini, karena siswa dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah. Untuk itu, banyak keunggulan dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah ini, yaitu:25
a. Pembelajaran berbasis masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
b. Dapat menantang kemampuan siswa, sehingga memberikan keleluasaan untuk menentukan pengetahuan baru bagi siswa.
c. Meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa, membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
d. Membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata. Di samping itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
e. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
f. Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
g. Mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
25 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), Cet. 1, h. 142.
Disamping keunggulan, pembelajaran berbasis masalah juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:26
a. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
b. Keberhasilan pembelajaran melalui berbasis masalah membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari. Artinya, perlu dijelaskan manfaat menyelesaikan masalah yang dibahas pada siswa.
Pembelajaran berbasis masalah ini masih terdapat beberapa kelemahan, oleh karena itu pada penelitian yang akan dilakukan pendekatan berbasis masalah dengan teknik scaffolding yang akan menutupi kekurangan pada pendekatan berbasis masalah. Agar tidak menghabiskan waktu yang cukup lama karena kebingungan siswa yang langsung diberikan masalah tanpa mendapatkan materi sebelumnya. Teknik scaffolding juga membimbing siswa untuk memahami tujuan serta masalah yang dihadapi, mengarahkan mereka hingga mampu untuk menyelesaikan masalah sendiri dan mencapai kemampuan berpikir tingkat tingginya.
Berdasarkan teori belajar konstruktivisme oleh Lev Semenovich Vygotsky mengatakan bahwa proses konstruksi pengetahuan dilakukan secara bersama-sama dengan bantuan yang diistilahkan dengan scaffolding, misalnya dengan memberikan petunjuk, pedoman, bagan/gambar, prosedur, atau balikan. Oleh sebab itu, dibutuhkan contoh, demonstrasi, atau praktik dari yang lebih dewasa. Teori ini melandasi munculnya pembelajaran kolaboratif/koperatif, PBM, dan pembelajaran kontekstual.27 Menurut teori ini, pengetahuan ada dalam pikiran manusia dan merupakan interpretasi manusia terhadap pengalamannya tentang dunia, bersifat perspektif, konvensional, tentatif, dan evolusioner.
26 Ibid, h. 143
Pengetahuan/konsep baru dibangun secara bertahap dari waktu ke waktu dalam konteks sosial. Scaffolding yaitu peserta didik diberikan tugas-tugas kompleks, sulit dan realistis untuk kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut.28
Teknik adalah salah satu cara yang ditempuh guru untuk mengimplementasikan metode pembelajaran tertentu, dengan kata lain teknik adalah cara penerapan metode agar proses pembelajaran dapat berjalan efektif dan efisien.29 Pengertian istilah scaffolding berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bamboo, kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung. Sebagian pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif.30 Bimbingan ini diberikan agar tidak menyita waktu dan menjadi efisien dalam belajar, seperti yang dipaparkan pada kelemahan pendekatan pembelajaran berbasis masalah.
Jika siswa belum mampu mengembangkan kapasitas kognitifnya untuk beranjak dari tingkat kognitif yang lebih rendah, perlu scaffolding dari guru atau teman sebaya yang lebih cakap. Jika ia sudah mampu membangun struktur kognitifnya pada level yang lebih tinggi dengan bantuan scaffolding, scaffolding tersebut tidak lagi diperlukan.31 Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development (ZPD), yakni daerah tingkat pekembangan seseorang saat ini. Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian
28 Ibid, h. 20-21.
29 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2013), Cet. 1, h. 16.
30 Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), Cet. 1 , h. 165.
31 Warsono, Pembelajaran Aktif Teori dan Asesmen, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2012), Cet.1, h. 60-61.
diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan tugas-tugas itu.32Scaffolding adalah salah satu cara yang dapat memaksimalkan ZPD seseorang.
ZPD adalah jarak antara tingkat perkembangan actual dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan yang dimaksud terdiri atas empat tahap:33
1) More dependence to other stage, yakni tahapan di mana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain seperti teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli dan lain-lain. Dari sinilah muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan kognisi anak secara konstruktif.
2) Less dependence external assistance stage, dimana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tetapi lebih kepada asistensi diri, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri.
3) Internalization and automatization stage, dimana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kesadaran akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain, walaupun demikian, anak pada tahap ini belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang.
4) De-automatization stage, dimana kinerja anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, rekursi. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatization sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya.
Prinsip-prinsip konstruktivis sosial dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:34
1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
32 Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), Cet. 1, h. 27.
33 Martinis Yamin, Strategi & Metode dalam Model Pembelajaran, (Jakarta: GP Press Group, 2013), Cet. 1, h. 67.
2) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pembelajar ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar.
3) Siswa aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4) Pembelajar sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar proses kontruksi belajar lancar.
5) Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6) Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan. 7) Mencari dan menilai pendapat siswa.
8) Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi siswa.
Dapat di lihat prinsip dari scaffolding bahwa teknik ini tidak sepenuhnya melepas siswa untuk memecahkan masalahnya sendiri, namun tidak pula di bimbing sepenuhnya. Terdapat variasi tahapan PBM yang dikembangkan oleh Moust dan kawan-kawan adalah:35
1) Mengklarifikasi konsep yang belum jelas. 2) Mendefinisikan permasalahan.
3) Menganalisis permasalahan. 4) Diskusi.
5) Merumuskan tujuan belajar. 6) Belajar mandiri.
7) Evaluasi.
Selain tahapan yang dikemukakan oleh Moust dan kawan-kawan, adapula menurut Fogarty. Tahap-tahap pendekatan belajar berbasis masalah menurut Fogarty adalah sebagai berikut:36
1) Menemukan masalah. 2) Mendefinisikan masalah. 3) Mengumpulkan fakta.
4) Menyusun hipotesis (dugaan sementara). 5) Melakukan penyelidikan.
35 Ridwan Abdullah Sani, Inovasi Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), Cet. 1, h. 142 36 Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. 1, h. 92.
6) Menyempurnakan permasalahan yang telah didefinisikan. 7) Menyimpulkan alternatif pemecahan secara kolaboratif. 8) Melakukan pengujian hasil (solusi) pemecahan masalah.
Selanjutnya untuk teknik scaffolding, Lange menyatakan bahwa ada dua langkah utama yang terlibat dalam scaffolding pembelajaran:37
1. Pengembangan rencana pembelajaran untuk membimbing siswa dalam memahami materi baru.
2. Pelaksanaan rencana, pembelajar memberikan bantuan kepada siswa di setiap langkah dari proses pembelajaran.
Mengacu pada teori yang telah diuraikan sebelumnya, secara umum langkah pembelajaran berbasis masalah teknik scaffolding yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Orientasi siswa pada masalah.
Guru memberikan permasalahan yang diangkat dari latar kehidupan sehari-hari siswa berkaitan dengan materi dalam bentuk LKS yang dikerjakan bersama teman sekelompok.
2. Mengorganisasikan siswa belajar.
Siswa secara bertahap untuk mendefinisikan masalah dengan bimbingan guru. 3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok.
- Siswa dibimbing untuk melakukan pengumpulan fakta, pencarian informasi dengan berbagai cara/metode, lalu mengelola informasi.
- Siswa menyusun jawaban/hipotesis (dugaan sementara) terhadap permasalahan yang dihadapi.
- Pada proses menyusun jawaban, siswa di berikan kata kunci untuk memahami materi, dan pertanyaan yang dapat mengantarkan pada materi selanjutnya.
- Siswa melakukan penyelidikan terhadap informasi dan data yang telah diperoleh bersama teman sekelompoknya dengan pengawasan guru.
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
37 Martinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), Cet. 1 , h. 167.
- Siswa menyimpulkan alternatif pemecahan masalah secara kolaboratif. - Siswa melakukan pengujian hasil (solusi) pemecahan masalah bersama
teman kelompoknya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
- Guru menguji siswa dengan beberapa pertanyaan untuk mengetahui kemampuan berpikir logis matematis siswa telah sampai pada kemampuan berpikir logis matematis yang lebih tinggi.
- Guru dan siswa bersama membuat kesimpulan mengenai solusi dari sebuah permasalahan yang diberikan dan materi yang dipelajari.