• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembudayaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Di Sekolah

KAJIAN LITERATUR DAN PEMBAHASAN 1. Hakekat TIK

4. Pendekatan Pembudayaan

Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendidikan merupakan suatu inovasi. Oleh karena itu untuk menjelaskan bagaimana pembudayaan teknologi informasi dan komunikasi di sekolah dapat menggunakan teori-teori difusi inovasi. Namun mempertimbangkan kritikan terhadap teori difusi inovasi yang cenderung top down, maka perlu dilengkapi dengan teori lain yaitu teori Penyadaran (Freire, 1973) yang cenderung bottom up. Kedua teori ini bisa saling melengkapi sehingga cocok untuk digunakan dalam

menjelaskan pendekatan pembudayaan teknologi informasi dan komunikasi di sekolah.

Difusi adalah suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui suatu saluran kepada anggota suatu sistem sosial pada suatu waktu tertentu (Rogers, 1995). Berdasarkan definisi tersebut difusi memiliki empat elemen kunci, yaitu: (1) suatu inovasi, (2) yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu, (3) berjalan dalam rentang waktu tertentu, dan (4) terjadi antar anggota dalam suatu sistem sosial.

Ini berarti teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu inovasi perlu dikomunikasikan secara bertahap dan kontinyu melalui berbagai saluran komunikasi, memerlukan proses waktu kepada sistem sosial yaitu seluruh personil sekolah dan pihak-pihak terkait lainnya.

Adanya inovasi merupakan komponen penting dalam proses difusi. Teori tentang persepsi terhadap atribut inovasi menyatakan bahwa calon adopter menilai inovasi atas dasar persepsinya tentang lima atribut, yaitu triliability, observability, relative advantage, complexity, dan compability (Rogers, 1995). Ada lima karakteristik inovasi yang dianggap mempengaruhi keragaman laju/kecepatan suatu inovasi diadopsi oleh anggota masyarakat tertentu. Karakteritik tersebut adalah: (1) relative edvantage (keunggulan relatif). Relatif di sini bisa unggul dalam aspek ekonomi, prestise, kenyamanan, kepuasan, dan lain-lain bergantung pada individu yang bersangkutan;

(2) compability atau konsistensi dengan nilai-nilai, pengalaman, atau kebutuhan. Makin compability suatu hasil inovasi, kemungkinan besar makin diterima individu; (3) complexity;

(4) trialability Setiap orang menerima informasi khususnya informasi baru selalu ada ketidakpastian, karena itu kalau ada inovasi, perlu dicobakan/diperaktekan dalam mengurangi ketidakpastian; dan (5) observability.

Implikasinya adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di sekolah apakah memiliki manfaat bagi pengguna, memiliki konsistensi dengan pengalaman dan kebutuhan di sekolah, bisa diujicobakan atau langsung dipraktekkan di sekolah, serta apakah bisa dilihat hasilnya atau manfaatnya bagi sekolah. Jika aspek-aspek tersebut dapat dijawab dengan baik maka menurut teori ini pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di sekolah dapat cepat diadopsi oleh siswa, guru, kepala sekolah, tenaga

kependidikan, dan juga tenaga administrasi di sekolah.

Dalam difusi terjadi penyampaian informasi tentang sesuatu yang baru melalui saluran komunikasi. “Proses komunikasi ini terdiri dari;

adanya ide baru, pihak yang memiliki pengetahuan tentang ide baru, pihak yang belum tahu tentang ide itu, dan saluran komunikasi yang menghubungkan pihak tersebut lainnya (Rogers dan Shoemaker, 1987). Saluran komunikasi dalam difusi inovasi adalah media massa dan komunikasi interpersonal. Komunikasi media massa berfungsi untuk membentuk awerness-knowlage suatu inovasi. Sedangkan komunikasi interpersonal lebih berfungsi untuk membentuk dan mengubah sikap dan perilaku.

Dalam lingkungan sekolah, komunikasi interpersonal terutama antar siswa dengan siswa dan siswa dengan personil sekolah lainnya (guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan tenaga administrasi) merupakan komunikasi yang efektif untuk membangun pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu untuk membudayakan teknologi ini perlu diciptakan komunikasi yang kondusif yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Difusi merupakan sebuah proses yang memerlukan rentang waktu. Rentang waktu yang dibutuhkan dalam proses difusi inovasi meliputi tiga hal, yaitu: the inovation-decition process, innovativeness, dan an innovation’s rate of adaption (Rogers, 1995). Teori tentang proses keputusan inovasi menyatakan bahwa proses difusi adalah proses yang terjadi pada suatu waktu dan memiliki lima tahapan dari mulai pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi. The inovation-decition process adalah proses mental yang dilalui oleh individu atau organisasi, mulai dari tahap (1) kesadaran adanya inovasi dan manfaatnya (pengetahuan), (2) persuasi atau proses pembentukan sikap yang mana individu memiliki suka atau tidak suka terhadap inovasi, (3) keputusan, individu memilih penerimaan atau penolakan inovasi, (4) mengimplemetasikan atau tahapan penggunaan inovasi, dan (5) tahap mengkorfirmasikan untuk mencari penguatan atas keputusan yang dibuatnya. Teori ini menunjukan bahwa pembudayaaan teknologi informasi dan komunikasi perlu dilakukan secara bertahap, dimulai dari yang sederhana menuju

Oos M. Anwas, Pembudayaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Di Sekolah

kepada yang kompleks. Proses pembudayaan juga perlu dilakukan secara kontinyu.

Innovativeness adalah derajat keinovatifan individu atau organisasi mengadopsi suatu inovasi dibandingkan dengan individu atau organisasi lain dalam suatu sistem sosial. Teori keinovatifan individu menyatakan bahwa individu yang cenderung inovatif akan mengadopsi suatu inovasi lebih awal daripada yang kurang memiliki kecederungan tersebut. Innovativeness ini dapat dirinci dengan urutan innovators, early adopters, late majority, dan laggard (tidak pernah mau menerima inovasi). Sedangkan An innovation’s rate of adaption adalah kecepatan relatif individu mengadopsi suatu inovasi. Teori kecepatan adopsi menjelaskan bahwa inovasi didifusikan melewati waktu dan dalam pola pertambahan secara kumulatif adopternya mengikuti kurva ketajaman S (s-shaped curve) (Rogers, 1995).

Teori ketajaman kurva S ini menyatakan bahwa suatu inovasi yang didifusikan jika dilihat dari pertumbuhan jumlah adopternya akan mengikuti suatu urutan: mula-mula lamban, kemudian tumbuh secara perlahan, cepat, selanjutnya perlahan kembali menuju stabil, dan akhirnya menurun.

Sistem sosial dalam pengertian difusi inovasi dapat diartikan sebagai seperangkat unit sosial (individu, organisasi, keluarga atau bangsa) yang saling berhubungan dan bekerjasama dalam memecahkan persoalan bersama untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem sosial dalam pembudayaan teknologi informasi dan komunikasi di sekolah meliputi: siswa, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, tenaga administrasi di sekolah. Begitu pula orangtua siswa, dinas pendidikan, pihak swasta, dan masyarakat turut mendukung dan mempengaruhi sistem sosial di sekolah dalam pembudayaan teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu semua unsur terkait dengan sekolah perlu dilibatkan sebagai suatu sistem sosial dalam pembudayaan teknologi informasi dan komunikasi di sekolah.

Teori penyadaran yang dinyatakan oleh Freire (1973) merupakan teori yang lebih cenderung bottom up sebagai jawaban atas ktirikan teori difusi inovasi yang cenderung top down. Kedua teori ini dapat saling melengkapi sehingga akan melahirkan sebuah joint planning dalam membangun pembudayaan teknologi informasi dan komunikasi di sekolah.

Teori penyadaran muncul sebagai upaya untuk membebaskan kaum tertindas dari kaum penindas. Menurut Freire (1984) perjuangan bagi pembebasan harus dapat dilakukan oleh kaum tertindas itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan penyadaran diri, mengenal dan memahami kemampuan dan potensi dirinya untuk maju, berubah ke arah kehidupan yang lebih baik. Teori penyadaran telah mengilhami lahirya model pembangunan yang berpusat pada manusia (people-centered development).

Penyadaran (conscientization) menurut Freire adalah suatu proses yang berkesinambungan dimana orang bergerak menuju kesadaran kritisnya. Metode pendidikan untuk mengubah kesadaran naif kepada kritis adalah dilakukan melalui metode pedagogi dialogis, pedagogi problematis dan pedagogi politik. Dalam pedagogi dialogis, proses pendidikan dilakukan secara dialogis untuk membahas dan mencari solusi tentang berbagai hal guna meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Dalam dialog ini terkandung empati antara dua kutub yang berkomunikasi, rendah hati, penuh harapan, kepercayaan, dan sikap kritis (Freire, 1984). Model komunikasi yang menunjukkan terjadinya dialog adalah model konvergen (Schramm, 1976). Begitupun proses pembudayaan TIK perlu dilakukan secara dialogis. Melalui proses dialogis semua personil sekolah dapat berbicara secara terbuka tentang berbagai hal yang terkait dengan pemanfaatan TIK, khususnya kebutuhan dan masalah yang mereka hadapi terkait dengan pemanfaatan TIK di sekolah. Dengan cara ini akan ditemuan solusi yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang mereka miliki, sehingga jenis TIK yang dikembangkan di sekolah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal.

Metode pedagogi problematis, bahwa dalam proses pendidikan peserta didik tidak menerima begitu saja apa yang diberikan. Peserta didik penting untuk bagaimana mempertanyakan, mempersoalkan dan kembali mengecek ulang hal-hal yang belum belum diketahui, sehingga tidak merugikannya. Dalam pembudayaan TIK sasaran (semua personil sekolah) tidak diberikan secara top down berbagai bentuk TIK diberikan kepada sekolah tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan potensi sasaran. Pihak sekolah perlu mempertanyakan atau mengkaji apa untung ruginya menggunakan jenis TIK di

sekolahnya. Pertimbangan ini tentu didasarkan pada kebutuhan, masalah, dan potensi di sekolah tersebut. Sedangkan metode pedagogi politik, bahwa tujuan pendidikan dapat diperjuangkan melalui jalur-jalur politik formal.

Namun dengan kedok kedermawanan atau humanitorisme palsu akan menimbulkan pendidikan yang tidak humanistis. Artinya pembudayaan TIK dapat dilakukan melalui jalur-jalur politik formal dengan pendekatan humanistis, mempertimbangkan berbagai aspek yang melekat pada karakteristik sasaran.