• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE ,

2.2 Pengertian Tentang Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha 22

2.2.2 Pendekatan Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha 28

17 Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, h.254 dalam I Made Sarjana, op.cit., h. 136

Ciri khas dari penegakan hukum persaingan usaha dalam sistem

hukum acaranya adalah dengan menerapkan pendekatan per se illegal dan

rule of reason. Pendekatan rule of reason dan per se illegal telah lama diterapkan dalam bidang hukum persaingan usaha untuk menilai apakah suatu kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha berpotensi atau telah melanggar UU No. 5/1999.

Kedua pendekatan ini pertama kali tercantum dalam Sherman Act

1980 (UU Antimonopoli Amerika Serikat), pertama kali diimplementasikan

oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1899 (untuk per se

illegal) dan pada tahun 1911 (untuk rule of reason) dalam putusan atas

beberapa kasus antitrust/persaingan usaha. Sebagai pioneer dalam bidang

persaingan usaha, maka pendekatan-pendekatan yang diimplementasikan di Amerika Serikat juga turut diimplementasikan oleh negara-negara lainnya

sebagai praktik kebiasaan (customary practice) dalam bidang persaingan

usaha18.

a. Prinsip Per se illegal

Prinsip Per se illegal merupakan prinsip yang menekankan pada

kemudahan dan sifatnya sederhana dalam arti apabila terdapat dugaan pelaku usaha melanggar hukum persaingan, maka peraturan perundang-undangan langsung diterapkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan

18 ---, Pentingnya Prinsip “Per Se” dan “Rule of reason” di UU Persaingan Usaha, URL :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b94e6b8746a9/pentingnya-prinsip-per-se-dan-rule-of-reason-di-uu-persaingan-usaha, diakses pada 11 Desember 2015

oleh pelaku usaha. Dengan melihat apakah tindakan pelaku usaha telah memenuhi unsur-unsur dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, penggunaan pendekatan ini memiliki kekuatan mengikat terhadap perundang-undangan daripada larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai pengaruh kondisi pasar yang kompleks. Hal tersebut terjadi pada prinsip ini karena ketika terjadi suatu pelanggaran pada undang-undang, hakim cukup menilai apakah tindakan pelaku usaha tersebut telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut atau tidak,

sehingga prinsip ini dianggap relatif mudah dan sederhana19. Penerapan

pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang

menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…”.

Per se illegal dianggap lebih memberikan kepastian hukum karena prinsip ini menekankan adanya larangan yang tegas dapat memberikan kepastian bagi pengusaha untuk mengetahui keabsahan suatu perbuatan. Pendekatan ini juga menyatakan bahwa setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu ialah ilegal, tanpa harus dilakukan pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Namun demikian, tidak mudah untuk membuktikan adanya perjanjian, terutama jika perjanjian tersebut dilakukan secara lisan.

19 Andi Fahmi Lubis et. al., 2009, Hukum Persaingan Usaha : Antara Teks dan Konteks, http://www.kppu.go.id/docs/buku_ajar.pdf. Diunduh tanggal 20 Desember 2015, h. 61

b. Prinsip Rule of reason

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan

untuk mengevaluasi akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilakukan oleh pelaku usaha, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan usaha. Pendekatan ini merupakan kebalikan dan lebih luas cakupannya

jika dibandingkan dengan pendekatan per se illegal dan cenderung

berorientasi pada efisiensi. Rule of reason menentukan, meskipun suatu

perbuatan telah memenuhi rumusan unsur undang-undang, namun jika terdapat alasan obyektif yang dapat membenarkan perbuatan, maka perbuatan tersebut termasuk suatu pelanggaran. Penerapan hukumnya tergantung pada akibat yang ditimbulkan, apakah perbuatan itu telah menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Pendekatan rule of reason mempertimbangkan pula alasan-alasan

mengapa dilakukannya suatu tindakan/perbuatan oleh pelaku usaha20.

Ciri-ciri dari pendekatan rule of reason yang termuat dalam ketentuan

pasal-pasalnya, yakni pencantuman kata-kata “…yang dapat

mengakibatkan” dan/atau “…patut diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktik monopoli yang bersifat menghambat persaingan.

20 Susanti Adi Nugroho, Op.cit., h. 711

2.2.3 Alat Bukti Dalam Hukum Persaingan Usaha

Dalam rangka pembuktian praktik kartel, KPPU sebagai lembaga independen yang memiliki tugas untuk mengawasi persaingan usaha di Indonesia, berupaya memperoleh alat-alat bukti sesuai dengan ketentuan UU No. 5/1999, apabila adanya dugaan pelanggaran. Hal tersebut termuat dalam Pasal 42 UU No. 5/1999 jo. Pasal 72 Peraturan KPPU No. 1/2010 yang terdiri dari Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat dan/atau dokumen, Petunjuk, dan Keterangan Pelaku Usaha.

1. Keterangan saksi

UU No. 5/1999 tidak memberikan definisi mengenai saksi. Saksi menurut Pasal 1 Angka 14 Peraturan KPPU No. 1/2010 adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 51 ayat (2) peraturan tersebut menyatakan bahwa keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan yang diberikan dalam Sidang Majelis Komisi berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi. Saksi-saksi tersebut ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka Majelis Komisi, ada pula yang memang dengan sengaja diminta menyaksikan

suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan21. Masih minimnya tentang keterangan saksi sebagai alat bukti dalam hukum persaingan usaha, sehingga pembahasannya merujuk pada hukum acara pidana dan hukum acara perdata karena terdapat beberapa persamaan. Pasal 1 Angka 27 KUHAP menentukan bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu periwtiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan yang dimaksud dengan saksi dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 26 KUHAP, yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pada prinsipnya keterangan yang harus diberikan saksi di ruang sidang pengadilan dalam memberi keterangan yang sebenarnya meliputi apa yang dilihatnya, apa yang didengarkannya, atau apa yang dialaminya sendiri dengan menjelaskan secara terang sumber dan alasan pengetahuannya sehubungan dengan peristiwa dan keadaan yang dilihatnya, didengarnya, atau dialaminya, serta sejalan dengan berita acara penyidikan.

Alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana memiliki persamaan dengan hukum acara perdata. Kesaksian adalah kepastian yang

diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di

persidangan22. Jadi pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir

tidaklah merupakan kesaksian (Pasal 171 ayat 2 HIR, Pasal 308 ayat 2 Rbg, Pasal 1907 BW). Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi bersifat bebas (Pasal 172 HIR, Pasal 1908 BW). Ketentuan tersebut menyatakan bahwa hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan saksi berdasarkan kesamaan atau saling berhubungan antara saksi yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, kekuatan pembuktian bebas yang melekat pada alat bukti saksi ialah bahwa kebenaran yang terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di persidangan tidak sempurna dan tidak mengikat, sehingga hakim tidak wajib terikat untuk menerima atau menolak kebenarannya. Dari adanya hal tersebut, hakim memiliki kebebasan untuk menerima atau pun menolak kebenaran keterangan saksi.

2. Keterangan Ahli

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang dikenal dalam hukum acara di banyak Negara. Sebagai salah satu alat bukti petunjuk yang sah, hal ini merupakan kemajuan dalam perkara di sidang pengadilan dan pembuat

undang-undang menyadari bahwa pentingnya mengelaborasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga keterangan ahli sangatlah memegang peran penting. Dalam UU No.5/1999 tidak menyatakan mengenai ahli dan keterangan ahli, sehingga mencari pemahaman yang lebih luas dengan mencari sumber lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ahli adalah orang yang mahir, paham sekali di

suatu ilmu; mahir benar23. Peraturan KPPU No.1/2010 tidak memberi

batasan mengenai ahli, hanya saja dalam Pasal 56 ayat (2) peraturan tersebut menyatakan bahwa seorang ahli dalam persidangan harus memberi pendapat, baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.

Seseorang dapat dikatakan menjadi ahli apabila dapat memberikan keterangan karena kemampuannya, kepakarannya secara akademis diakui memiliki pengetahuan khusus yang berkaitan dengan perkara pada saat seorang ahli dimintakan keterangannya. Adapun syarat sebagai seorang ahli berdasarkan Pasal 75 ayat (1) peraturan ini ialah memiliki keahlian khusus yang dibuktikan dengan sertifikat, atau memiliki pengalaman yang sesuai dengan keahliannya. Penentuan lama pengalaman sesuai dengan keyakinan Majelis Komisi (Pasal 75 ayat (3) Peraturan KPPU No.

23 Kamus Besar Bahasa Indonesia, URL : http://kamusbahasaindonesia.org/ahli, di akses pada 20 Desember 2015

1/2010). Sebagai perbandingan, yang diatur dalam KUHAP bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 Angka 28 KUHAP). Keterangan ahli bukan merupakan keterangan yang final. Sebagai salah satu bukti dan perlu tidaknya digunakan sebagai dasar memutus laporan dugaan mengenai pelanggaran terhadap UU 5/1999, sepenuhnya menjadi kewenangan Majelis Komisi.

Walaupun keterangan ahli dengan keterangan saksi berbeda, tetapi sulit untuk membedakan dengan tegas, karena terkadang seorang ahli dapat merangkap sebagai saksi. Keterangan saksi ialah mengenai apa yang didengar, dialami, dan dilihat, sedangkan keterangan ahli ialah bagaimana seseorang mampu memberikan penilaian terhadap suatu hal yang nyata, sesuai dengan kemampuan diri dalam bidang tertentu dan dapat mengambil kesimpulan terhadap hal tersebut.

2. Surat dan/atau dokumen

Surat merupakan secarik kertas yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah

pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian24. Dokumen

24 I Made Sarjana, op.cit., h. 160

adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti

keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian)25.

Alat bukti surat memiliki kekuatan yang sama dengan alat bukti surat dalam hukum acara perdata yang termuat dalam Pasal 165-167 HIR, yang menyatakan 3 (tiga) macam surat sebagai alat bukti, yaitu:

a) Akta autentik, merupakan surat yang dibuat oleh atau dihadapan

seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat tersebut, dengan maksu untuk menjadikan surat tersebut sebagai alat bukti. Pejabat umum yang di maksud ialah Notaris, Pegawai Catatan Sipil, Juru Sita, Panitera Pengadilan, dan sebagainya. Akta autentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak yang berperkara. Dengan demikian, ini berarti isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Akta autentik mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan

pembuktian, yaitu26:

- Kekuatan pembuktian formil, guna membuktikan antara para

pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut

25 Kamus Besar Bahasa Indonesia, URL : http://kamusbahasaindonesia.org/dokumen, diakses pada 20 Desember 2015

- Kekuatan pembuktian materiil, guna membuktikan bahwa antara para pihak terdapat peristiwa yang termuat dalam akta benar-benar terjadi

- Kekuatan mengikat, guna membuktikan bahwa antara para pihak

dan pihak ketiga, pada tanggal yang termuat dalam akta, telah menghadap kepada pejabat umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut

b)Akta dibawah tangan, merupakan surat yang ditandang tangani dan

dibuat dengan maksud mempunyai kekuatan bukti suatu perbuatan hukum. Akta ini akan memiliki kekuatan bukti yang sempurna seperti akta autentik, apabila isi dan tanda tangan dari akta tersebut diakui oleh orang yang bersangkutan

c) Surat biasa/surat bukan akta, tidak termuat secara jelas dalam HIR

maupun kitab undang-undang hukum perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Walaupun surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, namun pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Oleh karena itu, suart-surat yang demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian. Berdasarkan pasal 1881 ayat (2) KUHPerdata, maka surat bukan akta agar dapat mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya bergantung pada keyakinan hakim.

Pasal 76 Peraturan KPPU No.1/2010 telah menentukan pula secara umum yang dimaksud dengan alat bukti surat atau dokumen, yang mencakup:

(1) Surat atau dokumen sebagai alat bukti terdiri dari:

a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang

pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;

b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh

pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya

c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat

yang berwenang

d. Data yang memuat mengenai kegiatan usaha terlapor antara lain data

produksi, data penjualan, data pembelian, dan laporan keuangan;

e. Surat-surat lain atau dokumen yang tidak termasuk sebagaimana

dimaksud dalam huruf (a), huruf (b), dan huruf (c) yang ada kaitannya dengan perkara;

f. Atas permintaan, majelis komisi dapat menyatakan data sebagaimana

dimaksud dalam angka 5 sebagai rahasia dan tidak diperlihatkan dalam pemeriksaan

(2) Surat atau dokumen yang diajukan sebagai alat bukti merupakan surat

atau dokumen asli atau bukan foto copy.

(3) Foto copy surat atau dokumen harus dinyatakan sesuai aslinya, diparaf

oleh petugas yang berwenang, dengan dibubuhi materai cukup.

3. Petunjuk

UU No. 5/1999 maupun Peraturan KPPU No. 1/2010 tidak mengatur serta tidak memberi penjelasan mengenai alat bukti petunjuk serta bagaimana petunjuk tersebut dipergunakan dalam pembuktian di KPPU. Sebagai acuan, dalam ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Ayat (2) pasal ini menyatakan pula mengenai perolehan suatu petunjuk hanya dari keterangan saksi, surat, keterangan terlapor. Merujuk pada ketentuan KUHAP, petunjuk dalam perkara persaingan usaha dapat diartikan sebagai isyarat akan adanya perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan laporan dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999, menandakan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran UU No. 5/1999 dan siapa pelakunya. Dalam persaingan usaha, petunjuk sebagai salah satu alat bukti yang termuat dalam pasal 42 UU No. 5/1999 jo. Pasal 72 ayat (1) Peraturan KPPU No. 1/2010.

4. Keterangan Pelaku Usaha

Keterangan pelaku usaha yang dimaksud disini ialah keterangan pelaku usaha terlapor yang disampaikan didepan sidang majelis komisi tentang perjanjian, perbuatan yang ia lakukan sendiri. Keterangan terlapor merupakan penjelasan segala hal yang disampaikan oleh terlapor yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor terhadap UU No. 5/1999 di hadapan majelis komisi. Berbeda halnya dengan pengakuan yaitu diakuinya dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 yang dilakukan oleh pelaku usaha terlapor.

Alat-alat bukti yang telah penulis jelaskan sama dengan alat-alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa) dengan hanya mengganti keterangan terdakwa menjadi keterangan terlapor, sehingga dengan demikian prinsip pembuktian tentang adanya pelanggaran dalam UU No.5/1999 sama dengan prinsip pembuktian perkara pidana yang berlaku dalam KUHAP, yaitu dengan berpedoman dengan Pasal 183 KUHAP, yang menentukan bahwa untuk menentukan kesalahan seseorang harus berdarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.

Dokumen terkait