DALAM PEMBUKTIAN KASUS KARTEL
DI INDONESIA (ANALISIS UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1999)
IDA AYU PUTU WIDYA INDAH SARI
NIM. 1203005051
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
DI INDONESIA (ANALISIS UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1999)
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
IDA AYU PUTU WIDYA INDAH SARI
NIM. 1203005051
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
v
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, skripsi yang berjudul
“KEDUDUKAN HUKUM CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE DALAM
PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA (ANALISIS
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999)” dapat diselesaikan sebagai tugas akhir mahasiswa sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
Melalui kesempatan ini tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih kepada
berbagai pihak yang berperan dalam proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya:
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H., Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H.,M.H., Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
3. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Made Dedy Priyanto, S. H., M.kn., selaku Sekretaris Bagian Hukum
Perdata.
5. Dr. I Gede Artha, S.H.,M.H, sebagai Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas
vi
dan masukan yang telah diberikan selama penyelesaian skripsi.
8. Bapak dan Ibu Dosen lain di lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang telah sangat berjasa dalam memberikan ilmu pengetahuan
selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
9. Seluruh Staf Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
10.Untuk orang tua penulis, Ida Bagus Surya Wedanta, Cokorda Istri Agung
Nilam Kencana Dewi, Ida Ayu Resi Sudewi, S.T., dan Bobby Setyo Nugroho
atas dukungan semangat, materi dan doa selama penulis menempuh studi di
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
11.Untuk kakak Muhammad Zainal Abidin Koa, S.H. dan I Wayan Arya
Kurniawan, S.H., yang telah memberikan arahan serta dukungan kepada
penulis dari awal menjadi mahasiswa Fakultas Hukum sampai pada tahap
penyelesaian skripsi ini.
12.Untuk sahabat, Nik Mirah Mahardani, Ni Made Asri Mas Lestari, Gede
Angga Prawirayuda, Made Mas Maha Wihardana, I Gst Ngr Satria Wibawa,
Zhafran Raihan Zaky, Zhanniza Elrian Angelita, S.H., Ayu Lahuru,
teman-teman ALSA serta teman-teman-teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu
vii
Made Diah Ayuni Karang, Komang Pramana Putra, Desak Putu Kurnia Dewi,
Yogi Ari Dwipayana serta rekan-rekan lainnya di Programa 2 RRI Denpasar
yang telah membantu penulis untuk mengatur jadwal siaran dan selalu
memotivasi penulis dalam menyusun skripsi ini.
14.Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang selalu
memberi doa, dukungan, bantuan, atau pun semangat yang tiada
henti-hentinya kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan
hasil penelitian ini, meskipun demikian penulis tetap bertanggung jawab terhadap isi
skripsi ini dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat.
Denpasar, Februari 2016
viii
Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
manapun dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan
duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah
tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, 4 Februari 2016
Yang menyatakan,
(Ida Ayu Putu Widya Indah Sari)
ix HALAMAN SAMPUL DALAM
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENETAPAN PENGUJI SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii
x
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE, PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA, DAN KARTEL 2.1Pengertian Tentang Circumstantial Evidence………. 19
2.1.1 Jenis-jenis Circumstantial Evidence……….. 22
2.2Pengertian Tentang Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha 22 2.2.1 Teori Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha…….. 26
2.2.2 Pendekatan Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha 28 2.2.3 Alat Bukti Dalam Hukum Persaingan Usaha……….. 31
2.3Pengertian Tentang Kartel……… 40
2.3.1 Landasan Hukum Kartel………. 45
2.3.2 Jenis-Jenis Kartel……… 47
2.3.3 Dampak Kartel……….. 47
BAB III PENGATURAN CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE
DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DALAM RANGKA PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA
3.1Circumstantial Evidence Dalam Pembuktian Kasus Kartel 50
xi
BAB IV KEDUDUKAN HUKUM CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE
DALAM PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA
4.1Perkembangan Circumstantial Evidence Dalam Pembuktian Kasus
Kartel di Indonesia ……….. 65
4.2Analisis Circumstantial Evidence Dalam Putusan KPPU
Nomor 25/KPPU-I/2009 Tentang Kasus Kartel Fuel Surcharge 67
4.3Kedudukan Hukum Circumstantial Evidence Dalam Putusan KPPU
Nomor 25/KPPU-I/2009 Tentang Kasus Kartel Fuel Surcharge 71
BAB V PENUTUP
5.1Kesimpulan……….. 73
5.2Saran……….... 73
DAFTAR PUSTAKA
xii
dalam hukum persaingan usaha karena berdampak buruk bagi perekonomian negara. Dalam mengungkap kasus kartel, KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha
di Indonesia menggunakan alat bukti circumstantial evidence, yaitu berupa bukti
ekonomi dan bukti komunikasi. Circumstantial evidence digunakan dalam
pembuktian kasus kartel sebagai implikasi dari penerapan prinsip rule of reason
dalam Pasal 11 UU No. 5/1999, yaitu adanya penilaian dampak yang ditimbulkan dari perjanjian pelaku usaha yang bersengkongkol untuk melakukan praktik kartel. Namun, dalam pasal 42 UU No. 5/1999 tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai
kedudukan hukum circumstantial evidence ke dalam jenis alat-alat bukti yang
digunakan dalam penanganan kasus persaingan usaha. Dari uraian tersebut, permasalahan yang dapat diangkat ialah bagaimana pengaturan hukum serta
kedudukan hukum dari circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel di
Indonesia.
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini ialah penelitian hukum normatif, karena pembahasan karya ilmiah ini menganalisis undang-undang dan beberapa literatur terkait. Adapun pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, pendekatan fakta, dan pendekatan konseptual analisis.
Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah, Pengaturan circumstantial evidence dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di Indonesia tidak diatur secara jelas dan tidak termasuk ke dalam jenis alat bukti yang dalam pasal 42 UU No. 5/1999 jo. pasal 72 ayat (1)
Peraturan KPPU No. 1/2010. Circumstantial evidence merupakan fakta- fakta yang
mampu memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap alat bukti yang termuat dalam pasal 42 UU No. 5/1999 jo. pasal 72 ayat (1) Peraturan KPPU No. 1/2010 dan hal ini
telah digunakan dalam salah satu kasus kartel di Indonesia, yaitu kasus fuel
surcharge. Kedudukan hukum dari circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel adalah sebagai alat bukti pendukung dari jenis alat bukti lainnya yang tertera dalam Pasal 42 UU No. 5/1999.
xiii
business competition controller uses circumstantial evidence, in the form of economic analysis and communications evidence. Circumstantial evidence used in proving the cartel case, as the implications of the rule of reason principle in Article 11 Act No. 5/1999, namely the impact assessment of the businesses agreement between parties for cartel practices. However, in article 42 of Act Number 5 of 1999 do not explicitly clarify legal position of circumstantial evidence to the types of evidence used in handling business competition cases. Thus, from description above, the problem that can be raised is how the rule of law and legal position of circumstantial evidence applied as proof of cartel cases in Indonesia.
The method used in writing this study is a normative legal research, due to its discussion analyzing the legislation and some related literature. This study use several approaches, they are statutory approach, cases approach, and analytical conceptual approach.
The finding shows that although, the role of circumstantial evidence in handling Indonesia’s cartelis not clearly regulated and does not belong to the kind of evidence based in legislation as mentioned on the article 42 Act No. 5/1999 jo. Article 72 paragraph (1) Commision Regulation No. 1/2010. Circumstantial evidence are facts that provide further explanation of the evidence contained in article 42 of Act No. 5/1999 jo. Article 72 paragraph (1) Commision Regulation No. 1/2010, it has been used in handling a cartel case in Indonesia, namely the case of the fuel surcharge. The legal position of circumstantial evidence in cartel cases is used as supporting evidence of other types evidence listed in Article 42 Act Number 5/1999. Keywords: Circumstantial Evidence, Evidence, Cartel
1
1.1Latar Belakang Masalah
Dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilakukan
dengan berbagai cara, salah satunya dengan menjalankan kegiatan usaha yang
bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat secara individu, baik kebutuhan primer,
sekunder maupun tersier. Sebagaimana tujuan dari kegiatan usaha tersebut,
banyak orang ingin pula menjalankan berbagai jenis kegiatan usaha karena
kebutuhan hidup harus selalu terpenuhi. Tumbuhnya berbagai macam jenis
kegiatan usaha inilah yang sesungguhnya melahirkan persaingan usaha antara
pelaku usaha, berupa persaingan usaha yang sehat (fair competition) dan
persaingan usaha yang tidak sehat (unfair competition)1. Persaingan usaha yang
tidak sehat tentunya tidak diinginkan oleh masyarakat karena akan mengakibatkan
hilangnya kesejahteraan serta keadilan secara ekonomi. Salah satu jenis
persaingan usaha tidak sehat yang sering terjadi di Indonesia adalah kartel.
Berbagai kasus kartel terjadi di Indonesia, seperti kasus kartel penetapan
harga fuel surcharge oleh 9 maskapai penerbangan di Indonesia yaitu PT. Garuda
Indonesia, PT. Sriwijaya Air, PT. Mandala Airlines, PT. Travel Express Aviation,
PT. Lion Mentari Airlines, PT. Wings Abadi Airlines, PT. Metro Batavia, PT.
Merpati Nusantara Airlines dan PT. Kartika Airlines yang telah diputus bersalah
dengan Putusan KPPU No. 25/KPPU-I/2009. Kasus ini bermula ketika terjadi
peningkatan harga avtur pada pertengahan tahun 2006, sehingga 9 maskapai
penerbangan secara sepakat menetapkan harga fuel surcharge yang dibebankan
kepada masing-masing penumpang angkutan udara sebesar Rp 20.000,- dengan
kondisi harga avtur rata-rata Rp 5.600,-/liter sejak 1 Mei 2006. Dalam menilai
kasus tersebut, KPPU beranggapan bahwa unsur penetapan harga dan adanya
dugaan kartel telah terpenuhi dikarenakan harga yang ditetapkan kepada suatu
barang dan/atau jasa dimana dalam hal ini ialah fuel surcharge harus dibayar oleh
konsumen dengan kondisi bahwa harga yang ditetapkan sejalan dengan
melambungnya harga avtur pada saat itu. Ketika terjadi penurunan harga avtur,
fuel surcharge tidak mengalami penurunan, sehingga dalam hal ini KPPU menduga telah terjadi prakik kartel dengan melanggar ketentuan pasal 5 UU No.
5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(selanjutnya disebut UU No. 5/1999).
Kasus kartel lainnya yang pernah terjadi ialah kartel SMS oleh 6
perusahaan telekomunikasi yang melanggar pasal 5 UU No. 5/1999. KPPU
menemukan pelanggaran dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) interkoneksi antar
mengakibatkan terjadinya kartel harga SMS off-net pada periode 2004-20082.
Pada tahun 2013, praktik kartel tidak hanya terjadi dibidang jasa penerbangan dan
telekomunikasi. Indikasi praktik kartel terjadi pada produsen daging sapi di
sejumlah wilayah Indonesia dan sebanyak 32 terlapor yang merupakan pelaku
usaha yang saling bersaing ini diduga melakukan pelanggaran terhadap Pasal 11
dan Pasal 19 huruf c UU No. 5/1999. Dalam pertemuan-pertemuan di asosiasi,
pelaku usaha diduga melakukan pembicaraan mengenai harga jual sapi dan
pembahasan harga melalui asosiasi merupakan perilaku yang saling mengikatkan
diri satu sama lain yang merupakan bentuk perjanjian3. Bentuk perjanjian yang
dilakukan oleh pelaku usaha secara sendiri dan atau bersama-sama untuk
melakukan tindakan mengatur pasokan sapi dengan cara membatasi penjualan
sapi ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dengan alasan untuk menjaga
keberlangsungan persediaan ini telah mengakibatkan peningkatan harga sapi yang
berdampak pada peningkatan harga daging sapi4. Walaupun tidak diketahui
berapa besar kerugian konsumen sebagai akibat adanya kartel, namun
kecenderungan yang terjadi memperlihatkan, bahwa kelebihan harga karena kartel
cukup besar. Hal ini karena harga dari kesepakatan perjanjian kartel merupakan
karenanya tidak mengherankan bahwa kerugian akibat kartel dapat mencapai
miliaran bahkan triliunan rupiah.
Ketiga kasus diatas menunjukan bahwa unsur perjanjian merupakan unsur
terpenting dalam pembuktian kasus kartel. Perjanjian yang di bentuk oleh para
pelaku usaha/organisasi yang terdiri atas pelaku usaha ini dapat dibentuk dalam
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Pada praktiknya, perjanjian yang memuat
klausul-klausul antara pelaku usaha untuk melakukan praktik kartel ini dibentuk
secara tidak tertulis, dengan tujuan agar kolusi para pelaku usaha yang tergabung
dalam suatu organisasi/asosiasi ini tidak serta merta diketahui, sehingga
menyebabkan sulitnya pembuktian kasus kartel oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU). Ketiadaan wewenang KPPU
untuk melakukan penggeledahan dan menyita surat-surat atau dokumen
perusahaan juga menjadi salah satu penyebab sulitnya pembuktian5, oleh karena
itu penggunaan bukti tidak langsung/circumstantial evidence tidak dapat
dihindari. Circumstantial evidence terdiri atas bukti ekonomi dan bukti
komunikasi ini hanya digunakan pada pemeriksaan di tingkat KPPU, sedangkan
lembaga peradilan seperti Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, tidak
menggunakan alat bukti tersebut6.
5 Susanti Adi Nugroho, 2012, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia : Dalam Teori dan Praktik
serta Penerapan Hukumnya, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta h. 607
Pembuktian dengan menghadirkan alat-alat bukti dalam persidangan
merupakan tahap terpenting, agar dicapai suatu putusan yang objektif. Alat-alat
bukti yang digunakan dalam pembuktian kasus persaingan usaha di Indonesia
telah diatur dalam pasal 42 UU No. 5/1999 jo. Pasal 72 ayat (1) Peraturan KPPU
No. 1/2010, namun circumstantial evidence tidak tercantum secara eksplisit
dalam rumusan pasal tersebut. Dalam ketentuan lainnya seperti peraturan KPPU
No. 4/2010 yang dibentuk KPPU sebagai pedoman untuk penanganan kasus
kartel, hanya menerangkan bahwa circumstantial evidence/bukti tidak langsung
ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk membuktikan kasus kartel.
Belum terdapat ketentuan undang-undang maupun peraturan KPPU yang
menerangkan secara jelas kedudukan circumstantial evidence dalam kasus kartel
ini sebagai suatu alat bukti. Selain itu, circumstantial evidence menghadirkan
bukti non hukum/bukti dari bidang ilmu lain juga menyebabkan banyak pihak
mempertanyakan apakah circumstantial evidence ini sebagai alat bukti yang sah
atau tidak digunakan guna pembuktian kasus kartel di Indonesia. Sehubungan
dengan latar belakang di atas maka mendorong penulis untuk membahas dan
memilih usulan penelitian dengan judul “KEDUDUKAN HUKUM
CIRCUMSTANTIAL EVIDENCE DALAM PEMBUKTIAN KASUS KARTEL
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka penulis akan
mengemukakan beberapa pokok permasalahan yaitu sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana pengaturan circumstantial evidence dalam peraturan
perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di
Indonesia?
1.2.2 Bagaimana kedudukan hukum circumstantial evidence dalam
pembuktian kasus kartel di Indonesia?
1.3Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari
permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup
masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan dari circumstantial evidence dalam
peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus kartel di
Indonesia
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum dari circumstantial evidence dalam
pembuktian kasus kartel di Indonesia
1.4Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian ini, penulis menampilkan
dua judul karya tulis dengan pembahasan yang hampir mirip dengan penelitian
penulis. Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia
menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan
menampilkan beberapa judul penelitian yang terdahulu sebagai pembanding.
No Judul Penelitian Penulis
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan
1.5Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain:
1.5.1Tujuan Umum
1. Untuk menganalisis mengenai kedudukan hukum circumstantial
evidence dalam pembuktian kasus kartel di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
1.5.2Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaturan circumstantial evidence dalam
peraturan perundang-undangan dalam rangka pembuktian kasus
kartel di Indonesia
2. Untuk mengetahui kedudukan hukum circumstantial evidence
dalam pembuktian kasus kartel di Indonesia
1.6Manfaat Penelitian
1.6.1Manfaat Teoritis
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum di
bidang hukum bisnis khususnya pemahaman teoritis mengenai
kedudukan hukum circumstantial evidence dalam pembuktian
1.6.2Manfaat Praktis
1. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi praktisi hukum
2. Dapat memberikan kontribusi bagi lembaga penegak hukum
terkhusus bagi KPPU yang memiliki kewenangan penuh dalam
penanganan kasus-kasus persaingan usaha seperti kartel yang
ada di Indonesia dengan tetap memperhatikan perkembangan
dari hukum yang ada dalam masyarakat.
1.7Landasan Teoritis
1.7.1Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari
hukum, terutama untuk norma hukum tertulis7. Keteraturan yang terjadi
dalam masyarakat berkaitan dengan kepastian yang tertera dalam hukum.
Sudikno Mertokusumo memberikan definisi kepastian hukum yang
merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan
cara yang baik, yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan
putusan harus dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat
kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan.
Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan8.
7 M. Sulaeman Jajuli, 2015, Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Islam—Ed.1, Cet. 1, Deepublish, Yogyakarta, h. 51
8 Sudikno Mertokusumo, 2011, Kapita Selekta Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, h.160, dalam
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang, sehingga
aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus
ditaati. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam
hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari
keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam
melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan
masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati
serta bertindak main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini menjadikan
kehidupan berada dalam suasana kekacauan sosial9. Berkaitan dengan
penelitian ini, penulis menganggap bahwa circumstantial evidence atau
bukti tidak langsung berupa bukti ekonomi dan bukti komunikasi dalam
hukum persaingan usaha merupakan hal yang sangat penting dalam
pembuktian kasus kartel, namun circumstantial evidence belum memiliki
kedudukan hukum yang jelas, apakah dapat dikatakan sebagai alat bukti
atau tidak, serta berkedudukan sebagai apakah circumctantial evidence ini
dalam pembuktian kasus kartel.
1.7.2 Teori Welfare State
Lahirnya konsep Welfare ini tidak lain dikarenakan munculnya
pemikiran ekonomi Keynesian yang menekankan keterlibatan aktif
pemerintah dalam perekonomian suatu Negara. Konsep welfare state
menggambarkan suatu negara mengambil tanggung jawab penuh terhadap
kesejahteraan masyarakatnya, seperti penyediaan asuransi kesehatan,
tunjangan hari tua, sakses pelayanan kesehatan, serta dibidang perekonomian.
Terdapat pula definisi welfare state lainnya seperti “The welfare state often
refers to an ideal model of provision, where the state accepts responsibility
for the provision of comprehensive and universal welfare for its citizens”10
(Negara kesejahteraan sering mengacu pada model penyediaan, dimana
negara menerima tanggung jawab untuk penyediaan kesejahteraan yang
komprehensif dan universal bagi warganya (terjemahan bebas)).
Pemerintah dalam hal ini memiliki berbagai cara dengan tujuan untuk
menjamin kesejahteraan untuk menghadapi kemungkinan yang akan dihadapi
dengan adanya masyarakat yang cenderung modernitas serta berperilaku
individual. Welfarestate sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan peran
negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian yang di
dalamnya mencakup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan
pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya. Dalam
kaitannya dengan penelitian ini, pembuktian kasus kartel yang menggunakan
bukti tidak langsung/circumstantial evidence semata-mata ingin mengetahui apakah praktik kartel yang dilakukan pelaku usaha berimplikasi pada
kesejahteraan ekonomi dalam masyarakat. Sehingga penggunaan bukti ini
dapat membantu perealisasian dari tujuan dibentuknya UU No. 5/1999, yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembuktian yang dilakukan dengan
menggunakan analisa non hukum sebagai konsekuensi dari penanganan kasus
persaingan usaha yang berkenaan ilmu ekonomi11, sehingga penerapannya
berpengaruh positif terhadap persaingan usaha dan mendukung kegiatan
ekonomi negara.
1.8Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Dipilihnya jenis penelitian hukum normatif karena penelitian
ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya
dibahas dengan kajian berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dalam praktik hukum12.
Penelitian hukum normatif terdiri dari beberapa norma yaitu norma kabur,
norma kosong dan norma konflik dan didalam penelitian ini, penulis mengkaji
mengenai kedudukan circumstantial evidence dalam pembuktian kasus kartel
11 I Made Sarjana, op.cit., h.177
12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
di Indonesia dengan menganalisis UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu mengenai pengaturan
circumstantial evidence dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pembuktian kasus kartel serta kedudukannya dalam pembuktian kasus kartel.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Penelitian ini ingin melihat pengaturan circumstantial evidence dalam
peraturan perundang-undangan serta kedudukannya dalam pembuktian kasus
kartel, sehingga metode pendekatan yang relevan dipergunakan dalam
penelitian penelitian ini adalah pendekatan perundang undangan (statutory
approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual
analisis (analytical conceptual approach).
1. Pendekatan Perundang undangan
Dalam metode pendekatan perundang–undangan peneliti perlu
memahami hierarki, dan asas–asas dalam peraturan perundang – undangan.
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang–
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara
atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang – undangan. Dari pengertian tersebut, secara singkat
regulasi13. Jadi demikian pendekatan perundang – undangan adalah pendekatan dengan menggunakan produk legislasi dan regulasi. Produk
yang merupakan beschikking/decree, yaitu suatu keputusan yang
diterbitkan oleh pejabat administrasi yang bersifat konkret dan khusus,
misalnya keputusan presiden, keputusan menteri, keputusan bupati, dan
keputusan suatu badan tertentu, tidak dapat digunakan dalam pendekatan
perundang – undangan14. Pendekatan ini digunakan in case terhadap UU
No. 5/1999 dan penulis bukan saja melihat pada bentuk peraturan,
melainkan menelaah pula dasar ontologis atau alasan dibentuknya
peraturan perundang-undangan tersebut sehingga dalam penggunaan
pendekatan ini, penulis dapat menggali sumber bahan penelitian yang lebih
terperinci.
2. Pendekatan Kasus
Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh
peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan–alasan hukum yang digunakan
oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Menurut Goodheart, ratio
decidendi dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta – fakta
menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya16 yang merupakan dasar
dari dibangunnya suatu argumentasi hukum.
Pemahaman mengenai ratio decidendi ini menunjukkan bahwa ilmu
hukum merupakan ilmu yang bersifat preskriptif, bukan deskriptif17.
Sehingga ketika dilakukan penelitian terhadap suatu kasus hukum, yang
harus diteliti oleh peneliti bukan diktum putusan pengadilan, melainkan
alasan-alasan hukum yang digunakan hakim sehingga sampai pada putusan
pengadilan tersebut yang termuat dalam bagian menimbang pada putusan
perkara.
3. Pendekatan Konseptual Analisis
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari
aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum terdapat
hukum atau tidak ada aturan hukum yang mengatur untuk masalah yang
sedang dihadapi. Seperti contohnya seorang peneliti dalam topik
penelitiannya akan meneliti tentang makna kepentingan umum dalam
Perpres No. 35 Tahun 2005. Apabila peneliti mengacu kepada peraturan
itu, ia tidak akan menemukan pengertian yang ia cari, hanya saja yang ia
temukan ialah makna bersifat umum yang tentunya tidak tepat untuk
membangun argumentasi hukum. Sehingga, ia harus membangun suatu
16Ibid
konsep untuk dijadikan acuan di dalam penelitiannya18. Dari apa yang
dikemukakan, sebenarnya dalam melakukan pendekatan konseptual,
peneliti perlu merujuk prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam
pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Walaupun tidak secara
eksplisit, konsep hukum dapat ditemukan di dalam undang-undang. Hanya
saja, dalam mengidentifikasi prinsip tersebut, peneliti terlebih dahulu
memahami konsep tersebut melalui pandangan dan doktrin yang ada19.
1.8.3 Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari :
1. Sumber bahan hukum primer20
Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang
bersifat mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang
berkaitan. Bahan hukum ini merupakan bahan yang bersifat autoritatif,
yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri dari
perundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
undang-undang dan putusan-putusan hakim21.
18Ibid., h. 177
19Ibid., h.178
2. Sumber bahan hukum sekunder
Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan22.
3. Sumber bahan hukum tersier
Sumber bahan hukum tertier merupakan bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder, seperti Ensiklopedi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI
Online) dan kamus hukum.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).
Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara
mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh
dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan, kemudian
dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas
dalam penelitian penelitian ini.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknis interpretasi, teknik evaluasi,
teknik argumentasi dan teknik sistematisasi.
1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari
penggunaannya, deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu
kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum.
2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam
ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis,
penafsiran teleologis, penafsiran historis, dan lain sebagainya.
3. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju
atau tidak setuju oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi,
pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan
primer maupun dalam bahan hukum sekunder.
4. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran
hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum, semakin banyak
argumentasi yang dibangun, semakin menunjukkan kedalaman
penalaran hukum23.
19
2.1Pengertian Tentang Circumstantial Evidence
Doktrin res ipsa loquitur dalam bahasa Inggris berarti the thing speaks for
itself (benda tersebut yang berbicara (terjemahan bebas)). Doktrin ini dalam hukum perdata hanya relevan dan berlaku untuk kasus perbuatan melawan hukum
dalam bentuk kelalaian (negligence) dan tidak berlaku untuk perbuatan melawan
hukum dalam bentuk kesengajaan atau tanggung jawab mutlak.
Doktrin ini merupakan doktrin pembuktian dalam hukum perdata yang membantu
pihak penggugat untuk membuktikan kasusnya. Pihak yang mengajukan gugatan
harus membuktikan kesalahan dari pelaku, jika merupakan kelalaian maupun
kesengajaan. Pembuktian ini seringkali sangat menyulitkan korban untuk
membuktikan bahwa terdapat kelalaian pelaku sehingga terjadi perbuatan
melawan hukum yang merugikan korban. Pihak korban dari suatu perbuatan
melawan hukum dalam bentuk kelalaian dalam kasus-kasus tertentu tidak perlu
membuktikan adanya unsur kelalaian dari pihak pelaku, akan tetapi cukup dengan
menunjukkan fakta yang terjadi dan menarik sendiri kesimpulan bahwa pihak
pelaku kemungkinan besar melakukan perbuatan melawan hukum tersebut,
bahkan tanpa perlu menununjukkan bagaimana pihak pelakunya berbuat sehingga
sirkumstansial/circumstantial evidence merupakan suatu bukti tentang fakta dari
fakta-fakta mana suatu kesimpulan yang masuk akal ditarik1. Circumstantial
evidence/indirect evidence/bukti tidak langsung merupakan jenis bukti yang dilihat dari segi kedekatan antara alat bukti dan fakta yang akan dibuktikan. Jenis
lainnya ialah direct evidence/bukti langsung, dimana saksi melihat langsung fakta
yang akan dibuktikan, sehingga fakta tersebut terbukti langsung (dalam satu tahap
saja) dengan adanya alat bukti tersebut2.
Dalam hukum perdata, yang tergolong dalam alat bukti langsung adalah alat
bukti surat dan alat bukti saksi. Pihak yang berkepentingan membawa dan
menyerahkan alat bukti surat yang diperlukan dipersidangan. Apabila tidak
terdapat alat bukti atau alat bukti itu belum mencukupi untuk mencapai batas
minimal, pihak yang berkepentingan dapat menyempurnakannya dengan cara
menghadirkan saksi secara fisik disidang, untuk memberikan keterangan yang
diperlukan tentang hal yang dialami, dilihat, dan didengan oleh saksi sendiri
tentang suatu perkara. Secara teoritis, hanya jenis atau bentuk ini yang
benar-benar disebut sebagai alat bukti, karena memiliki fisik/wujud yang nyata,
1 Miftakhul Huda, Res Ipsa Loquitur, http://www.miftakhulhuda.com/2010/08/res-ipsa-loquitur_29.html, diakses pada 18 April 2016
mempunyai bentuk dan dapat disamaikan didepan persidangan, nyata, serta
konkret3.
Berbeda dengan direct evidence, circumstantial evidence/bukti tidak langsung
yang disebut juga bukti sirkumstansial adalah suatu alat bukti dimana antara fakta
yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah
ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu4. Pengertian lainnya menyebutkan bahwa
circumstantial evidence merupakan
“Evidence of a fact that is not itself a fact in issue, but is a fact from which the existence or non-existence of a fact is issue can be inferrer. Circumstantial evidence operates indirectly by tending to prove a fact relevant to the issue5” (circumstantial evidence merupakan suatu fakta yang bukan menjadi satu-satunya fakta yang berkaitan dengan suatu perkara, namun fakta tersebut berasal dari fakta-fakta yang berkaitan ataupun tidak dengan kasus tersebut, yg kemudian dapat diambil kesimpulan (terjemahan bebas))
Dari beberapa pengertian circumstantial evidence, dapat diketahui bahwa
bukti tersebut merupakan bukti yang melihat adanya hubungan antara fakta yang
ditemukan dengan alat bukti yang di peroleh sehingga dapat ditarik kesimpulan
tertentu dalam hal pembuktian suatu kasus. Sejalan dengan hal tersebut, menurut
Munir Fuady, bukti circumstantial evidence haruslah memiliki relevansi yang
rasional yang dapat menunjukkan bahwa penggunaan bukti tersebut dalam proses
3 Ingrid Gratsya Zega, 2012, Thesis dengan judul : Tinjauan Mengenai Indirect Evidence (Bukti Tidak Langsung) Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Dugaan Kartel Fuel Surcharge Maskapai
Penerbangan Di Indonesia, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, h.80
4 Ibid
pengadilan, lebih besar kemungkinan dapat membuat fakta yang dibuktikan
tersebut menjadi lebih jelas dari pada jika tidak digunakan alat bukti tersebut6.
2.1.1 Jenis-jenis Circumstantial Evidence
Sebagai alat bukti yang digunakan dalam pembuktian kasus kartel,
circumstantial evidence memiliki 2 jenis alat bukti, yaitu bukti ekonomi dan bukti komunikasi yang menggambarkan ucapan suatu perjanjian atau para
pihaknya, data-data terkait tindakan pelaku usaha dari segi ilmu ekonomi
namun dapat menunjukkan bahwa terjadi praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat melalui fakta-fakta tersebut. Adapun pengertian
dari masing-masing bentuk Circumstantial evidence dalam pembuktian kasus
persaingan usaha, yaitu7:
a. One type is evidence that cartel operators met otherwise communicated, but does not describe the substance of their communications. It can be called “communications” evidence; (salah satu jenis bukti bahwa operator-operator kartel bertemu melalui komunikasi, namun tidak menggambarkan substansi dari komunikasi mereka. Hal ini dapat disebut
sebagai bukti “komunikasi”)
b. The economic evidence, whereby there are two types of economic evidence, which are: evidence of conduct by firms in a market and of the industry as a whole as well as “structural” evidence8
. (Bukti ekonomi,
dimana ada 2 jenis bukti ekonomi yaitu: bukti dari tindakan yang dilakukan oleh perusahaan di suatu pasar dan industri secara keseluruhan
sebagaimana halnya bukti “struktural”)
Without Direct Evidence Of Agreement (policy grief, June 2007, p. 1-3), dalam M Udin Silalahi Dian
Indonesia sebagai negara hukum selalu mencita-citakan agar tercapainya
kekuasaan yang berkaitan erat dengan kedaulatan hukum atau prinsip hukum
sebagai kekuasaan tertinggi. A.V Dicey mengaitkan prinsip negara hukum dengan
rule of law, dimana hukum menjadi pedoman, pengendali, pengontrol, dan pengatur dari segala aktifitas berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui pula
ciri-ciri negara hukum adalah supremacy of law, equalitiy before the law, due process
of law, prinsip pembagian kekuasaan, peradilan yang bebas tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi
manusia, demokrasi, welfare state, transparansi, serta kontrol sosial9. Sehingga,
tidak dapat dipungkiri dalam suatu negara hukum akan terjadi proses peradilan,
dimana hal yang harus tercermin ialah proses peradilan yang transparan, wajar,
dan tidak berbasiskan kekuasaan.
Sebelum membahas mengenai pembuktian serta teori-teori pembuktian, perlu
diketahui mengenai hukum pembuktian. Hukum pembuktian adalah seperangkat
kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Menurut Munir Fuady, yang
dimaksud pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara
perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan
alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk
mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan
yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah
9 Mokhammad Najih, 2008, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi Implementasi Hukum Pidana
satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan
itu10. Pembuktian merupakan masalah penting dalam suatu proses peradilan
karena terdapat proses pembuktian dalam rangka penanganan kasus tertentu, baik
pidana maupun perdata, untuk menghindari atau setidaknya meminimalkan
putusan-putusan pengadilan yang tersesat dengan mengandalkan kecermatan
dalam menilai alat bukti di pengadilan. Selain hal diatas, proses pembuktian
dikatakan penting dalam penangan suatu perkara apapun karena akan menentukan
seseorang dalam posisi benar atau salah, melanggar hukum atau tidak, yang akan
berakibat dijatuhkan sanksi atau tidak11.
J.C.T Simorangkir, dkk.12 menyatakan bahwa pembuktian adalah usaha dari
yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal
yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan supaya dapat dipakai oleh
hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut.
Yahya Harahap, S.H., menyatakan dalam pengertian luas, pembuktian untuk
mendukung dan membenarkan hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan
dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang
dibantah atau hal-hal yang masih disengketakan atau hanya sepanjang yang
menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang berperkara13.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara pembuktian dalam hukum acara
pidana dan hukum acara perdata. Selain perbedaan alat bukti, terdapat perbedaan
tentang sistem pembuktian, Dalam hukum acara pidana, dikenal dengan sistem
pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijsleer), dimana hal yang dicari oleh
hakim adalah kebenaran yang materiil. Sistem pembuktian negatif merupakan
sistem pembuktian di depan pengadilan agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh
hakim, harus memenuhi dua syarat mutlak, yakni alat bukti yang cukup dan
keyakinan hakim. Dengan demikian, tersedianya alat bukti saja belum cukup
untuk menjatuhkan hukuman pada seorang tersangka14. Sistem pembuktian
negatif diakui secara eksplisit oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP), melalui pasal 183 yang menyatakan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”
Sistem pembuktian negatif dalam sistem pembuktian pidana diberlakukan
karena yang dicari oleh hakim pidana adalah kebenaran materil (materiele
waarheid). Lain halnya dengan sistem pembuktian perdata, system yang diberlakukan adalah system positif. Hakim mencari suatu kebenaran formal,
sehingga apabila alat bukti sudah terpenuhi secara hukum, hakim harus
mempercayainya sehingga unsur keyakinan dalam system pembuktian perdata
tidak berperan15. Dalam hukum persaingan usaha, kebenaran yang dicari ialah
kebenaran materiil dalam pembuktian hukum acara pidana maupun kebenaran
formil sebagaimana halnya dalam hukum perdata.
2.2.1 Teori Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha
- Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif
(Negatieve Wettelijk Bewijstheorie)
Pada sistem pembuktian ini, hakim dapat memutuskan seseorang
bersalah berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan
secara limitatif oleh undang-undang. Namun hal ini tidak cukup, harus
ditambah dengan adanya unsur keyakinan hakim, atau dengan kata lain,
alat-alat bukti yang diakui sah oleh undang-undang saja belum cukup,
namun harus disertai dengan keyakinan hakim yang merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri. Teori
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif ini menekankan
pada sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah, sebagaimana
dikemukakan pada pasal 183 KUHAP. Dari adanya alat bukti tersebut,
hakim memperoleh keyakinan terjadinya suatu perkara hukum dan pelaku
bersalah melakukannya. Kebenaran yang diwujudkan harus berdasarkan
bukti yang tidak diragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai
sebagai kebenaran yang hakiki16.
15Ibid, h.3
- Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang
Logis (La Conviction Raisonnee)
Teori ini muncul sebagai suatu pembuktian yang bebas, karena hakim
bebas menyebutkan alasan-alasan dalam menjatuhkan putusan. Teori ini
tidak diatur secara limitatif oleh undang-undang. Pokok ajaran sistem
pembuktian ini ialah sebagai berikut:
a. Keyakinan hakim, dimana harus termuat,
b. Alasan-alasan ada yang menyebabkan hakim yakin dan dasar
alasan-alasan yang tidak terikat kepada alat pembuktian yang
diakui oleh undang-undang saja, tetapi dapat juga dipergunakan
alat pembuktian di luar undang-undang.
Keyakinan hakim harus didasarkan pada suatu kesimpulan yang logis, yang
tidak didasarkan pada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut
ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang
pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan17. Hakim dapat
memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang
didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan kesimpulan
(conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu, sehingga putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.
2.2.2 Pendekatan Pembuktian Dalam Hukum Persaingan Usaha
Ciri khas dari penegakan hukum persaingan usaha dalam sistem
hukum acaranya adalah dengan menerapkan pendekatan per se illegal dan
rule of reason. Pendekatan rule of reason dan per se illegal telah lama diterapkan dalam bidang hukum persaingan usaha untuk menilai apakah suatu
kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha berpotensi atau
telah melanggar UU No. 5/1999.
Kedua pendekatan ini pertama kali tercantum dalam Sherman Act
1980 (UU Antimonopoli Amerika Serikat), pertama kali diimplementasikan
oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1899 (untuk per se
illegal) dan pada tahun 1911 (untuk rule of reason) dalam putusan atas
beberapa kasus antitrust/persaingan usaha. Sebagai pioneer dalam bidang
persaingan usaha, maka pendekatan-pendekatan yang diimplementasikan di
Amerika Serikat juga turut diimplementasikan oleh negara-negara lainnya
sebagai praktik kebiasaan (customary practice) dalam bidang persaingan
usaha18.
a. Prinsip Per se illegal
Prinsip Per se illegal merupakan prinsip yang menekankan pada
kemudahan dan sifatnya sederhana dalam arti apabila terdapat dugaan
pelaku usaha melanggar hukum persaingan, maka peraturan
perundang-undangan langsung diterapkan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan
18 ---, Pentingnya Prinsip “Per Se” dan “Rule of reason” di UU Persaingan Usaha, URL :
oleh pelaku usaha. Dengan melihat apakah tindakan pelaku usaha telah
memenuhi unsur-unsur dari peraturan perundang-undangan yang berlaku,
penggunaan pendekatan ini memiliki kekuatan mengikat terhadap
perundang-undangan daripada larangan-larangan yang tergantung pada
evaluasi mengenai pengaruh kondisi pasar yang kompleks. Hal tersebut
terjadi pada prinsip ini karena ketika terjadi suatu pelanggaran pada
undang-undang, hakim cukup menilai apakah tindakan pelaku usaha
tersebut telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut atau tidak,
sehingga prinsip ini dianggap relatif mudah dan sederhana19. Penerapan
pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang
menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…”.
Per se illegal dianggap lebih memberikan kepastian hukum karena prinsip ini menekankan adanya larangan yang tegas dapat memberikan
kepastian bagi pengusaha untuk mengetahui keabsahan suatu perbuatan.
Pendekatan ini juga menyatakan bahwa setiap perjanjian atau kegiatan
usaha tertentu ialah ilegal, tanpa harus dilakukan pembuktian lebih lanjut
atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha
tersebut. Namun demikian, tidak mudah untuk membuktikan adanya
perjanjian, terutama jika perjanjian tersebut dilakukan secara lisan.
b. Prinsip Rule of reason
Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan
untuk mengevaluasi akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang
dilakukan oleh pelaku usaha, guna menentukan apakah suatu perjanjian
atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan
usaha. Pendekatan ini merupakan kebalikan dan lebih luas cakupannya
jika dibandingkan dengan pendekatan per se illegal dan cenderung
berorientasi pada efisiensi. Rule of reason menentukan, meskipun suatu
perbuatan telah memenuhi rumusan unsur undang-undang, namun jika
terdapat alasan obyektif yang dapat membenarkan perbuatan, maka
perbuatan tersebut termasuk suatu pelanggaran. Penerapan hukumnya
tergantung pada akibat yang ditimbulkan, apakah perbuatan itu telah
menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Pendekatan rule of reason mempertimbangkan pula alasan-alasan
mengapa dilakukannya suatu tindakan/perbuatan oleh pelaku usaha20.
Ciri-ciri dari pendekatan rule of reason yang termuat dalam ketentuan
pasal-pasalnya, yakni pencantuman kata-kata “…yang dapat
mengakibatkan” dan/atau “…patut diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu
tindakan dapat menimbulkan praktik monopoli yang bersifat menghambat
persaingan.
2.2.3 Alat Bukti Dalam Hukum Persaingan Usaha
Dalam rangka pembuktian praktik kartel, KPPU sebagai lembaga
independen yang memiliki tugas untuk mengawasi persaingan usaha di
Indonesia, berupaya memperoleh alat-alat bukti sesuai dengan ketentuan UU
No. 5/1999, apabila adanya dugaan pelanggaran. Hal tersebut termuat dalam
Pasal 42 UU No. 5/1999 jo. Pasal 72 Peraturan KPPU No. 1/2010 yang terdiri
dari Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat dan/atau dokumen, Petunjuk,
dan Keterangan Pelaku Usaha.
1. Keterangan saksi
UU No. 5/1999 tidak memberikan definisi mengenai saksi. Saksi
menurut Pasal 1 Angka 14 Peraturan KPPU No. 1/2010 adalah setiap
orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan
memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 51 ayat (2)
peraturan tersebut menyatakan bahwa keterangan saksi dianggap sebagai
alat bukti apabila keterangan yang diberikan dalam Sidang Majelis Komisi
berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh
saksi. Saksi-saksi tersebut ada yang secara kebetulan melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka Majelis
suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan21. Masih minimnya tentang
keterangan saksi sebagai alat bukti dalam hukum persaingan usaha,
sehingga pembahasannya merujuk pada hukum acara pidana dan hukum
acara perdata karena terdapat beberapa persamaan. Pasal 1 Angka 27
KUHAP menentukan bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti
dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
periwtiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sedangkan yang
dimaksud dengan saksi dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 26 KUHAP,
yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Pada prinsipnya
keterangan yang harus diberikan saksi di ruang sidang pengadilan dalam
memberi keterangan yang sebenarnya meliputi apa yang dilihatnya, apa
yang didengarkannya, atau apa yang dialaminya sendiri dengan
menjelaskan secara terang sumber dan alasan pengetahuannya sehubungan
dengan peristiwa dan keadaan yang dilihatnya, didengarnya, atau
dialaminya, serta sejalan dengan berita acara penyidikan.
Alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana memiliki
persamaan dengan hukum acara perdata. Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh
orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di
persidangan22. Jadi pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berpikir
tidaklah merupakan kesaksian (Pasal 171 ayat 2 HIR, Pasal 308 ayat 2
Rbg, Pasal 1907 BW). Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi
bersifat bebas (Pasal 172 HIR, Pasal 1908 BW). Ketentuan tersebut
menyatakan bahwa hakim bebas mempertimbangkan atau menilai
keterangan saksi berdasarkan kesamaan atau saling berhubungan antara
saksi yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, kekuatan pembuktian
bebas yang melekat pada alat bukti saksi ialah bahwa kebenaran yang
terkandung dalam keterangan yang diberikan saksi di persidangan tidak
sempurna dan tidak mengikat, sehingga hakim tidak wajib terikat untuk
menerima atau menolak kebenarannya. Dari adanya hal tersebut, hakim
memiliki kebebasan untuk menerima atau pun menolak kebenaran
keterangan saksi.
2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang dikenal dalam hukum acara di
banyak Negara. Sebagai salah satu alat bukti petunjuk yang sah, hal ini
merupakan kemajuan dalam perkara di sidang pengadilan dan pembuat
undang-undang menyadari bahwa pentingnya mengelaborasi
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga keterangan ahli
sangatlah memegang peran penting. Dalam UU No.5/1999 tidak
menyatakan mengenai ahli dan keterangan ahli, sehingga mencari
pemahaman yang lebih luas dengan mencari sumber lain. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ahli adalah orang yang mahir, paham sekali di
suatu ilmu; mahir benar23. Peraturan KPPU No.1/2010 tidak memberi
batasan mengenai ahli, hanya saja dalam Pasal 56 ayat (2) peraturan
tersebut menyatakan bahwa seorang ahli dalam persidangan harus
memberi pendapat, baik tertulis maupun lisan, yang dikuatkan dengan
sumpah atau janji mengenai hal sebenarnya menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
Seseorang dapat dikatakan menjadi ahli apabila dapat memberikan
keterangan karena kemampuannya, kepakarannya secara akademis diakui
memiliki pengetahuan khusus yang berkaitan dengan perkara pada saat
seorang ahli dimintakan keterangannya. Adapun syarat sebagai seorang
ahli berdasarkan Pasal 75 ayat (1) peraturan ini ialah memiliki keahlian
khusus yang dibuktikan dengan sertifikat, atau memiliki pengalaman yang
sesuai dengan keahliannya. Penentuan lama pengalaman sesuai dengan
keyakinan Majelis Komisi (Pasal 75 ayat (3) Peraturan KPPU No.
1/2010). Sebagai perbandingan, yang diatur dalam KUHAP bahwa
keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1
Angka 28 KUHAP). Keterangan ahli bukan merupakan keterangan yang
final. Sebagai salah satu bukti dan perlu tidaknya digunakan sebagai dasar
memutus laporan dugaan mengenai pelanggaran terhadap UU 5/1999,
sepenuhnya menjadi kewenangan Majelis Komisi.
Walaupun keterangan ahli dengan keterangan saksi berbeda, tetapi
sulit untuk membedakan dengan tegas, karena terkadang seorang ahli
dapat merangkap sebagai saksi. Keterangan saksi ialah mengenai apa yang
didengar, dialami, dan dilihat, sedangkan keterangan ahli ialah bagaimana
seseorang mampu memberikan penilaian terhadap suatu hal yang nyata,
sesuai dengan kemampuan diri dalam bidang tertentu dan dapat
mengambil kesimpulan terhadap hal tersebut.
2. Surat dan/atau dokumen
Surat merupakan secarik kertas yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian24. Dokumen
adalah surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti
keterangan (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian)25.
Alat bukti surat memiliki kekuatan yang sama dengan alat bukti surat
dalam hukum acara perdata yang termuat dalam Pasal 165-167 HIR, yang
menyatakan 3 (tiga) macam surat sebagai alat bukti, yaitu:
a) Akta autentik, merupakan surat yang dibuat oleh atau dihadapan
seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat
surat tersebut, dengan maksu untuk menjadikan surat tersebut sebagai
alat bukti. Pejabat umum yang di maksud ialah Notaris, Pegawai
Catatan Sipil, Juru Sita, Panitera Pengadilan, dan sebagainya. Akta
autentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak
yang berperkara. Dengan demikian, ini berarti isi akta tersebut oleh
hakim dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat
dibuktikan. Akta autentik mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan
pembuktian, yaitu26:
- Kekuatan pembuktian formil, guna membuktikan antara para
pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam
akta tersebut
25 Kamus Besar Bahasa Indonesia, URL : http://kamusbahasaindonesia.org/dokumen, diakses pada 20 Desember 2015
- Kekuatan pembuktian materiil, guna membuktikan bahwa antara
para pihak terdapat peristiwa yang termuat dalam akta
benar-benar terjadi
- Kekuatan mengikat, guna membuktikan bahwa antara para pihak
dan pihak ketiga, pada tanggal yang termuat dalam akta, telah
menghadap kepada pejabat umum tadi dan menerangkan apa
yang ditulis dalam akta tersebut
b)Akta dibawah tangan, merupakan surat yang ditandang tangani dan
dibuat dengan maksud mempunyai kekuatan bukti suatu perbuatan
hukum. Akta ini akan memiliki kekuatan bukti yang sempurna seperti
akta autentik, apabila isi dan tanda tangan dari akta tersebut diakui
oleh orang yang bersangkutan
c) Surat biasa/surat bukan akta, tidak termuat secara jelas dalam HIR
maupun kitab undang-undang hukum perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata). Walaupun surat-surat yang bukan akta ini sengaja
dibuat oleh yang bersangkutan, namun pada asasnya tidak
dimaksudkan sebagai alat pembuktian dikemudian hari. Oleh karena
itu, suart-surat yang demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke
arah pembuktian. Berdasarkan pasal 1881 ayat (2) KUHPerdata,
maka surat bukan akta agar dapat mempunyai kekuatan pembuktian,
Pasal 76 Peraturan KPPU No.1/2010 telah menentukan pula secara
umum yang dimaksud dengan alat bukti surat atau dokumen, yang
mencakup:
(1) Surat atau dokumen sebagai alat bukti terdiri dari:
a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang
pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya
c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat
yang berwenang
d. Data yang memuat mengenai kegiatan usaha terlapor antara lain data
produksi, data penjualan, data pembelian, dan laporan keuangan;
e. Surat-surat lain atau dokumen yang tidak termasuk sebagaimana
dimaksud dalam huruf (a), huruf (b), dan huruf (c) yang ada kaitannya dengan perkara;
f. Atas permintaan, majelis komisi dapat menyatakan data sebagaimana
dimaksud dalam angka 5 sebagai rahasia dan tidak diperlihatkan dalam pemeriksaan
(2) Surat atau dokumen yang diajukan sebagai alat bukti merupakan surat
atau dokumen asli atau bukan foto copy.
(3) Foto copy surat atau dokumen harus dinyatakan sesuai aslinya, diparaf
oleh petugas yang berwenang, dengan dibubuhi materai cukup.
3. Petunjuk
UU No. 5/1999 maupun Peraturan KPPU No. 1/2010 tidak mengatur
serta tidak memberi penjelasan mengenai alat bukti petunjuk serta
bagaimana petunjuk tersebut dipergunakan dalam pembuktian di KPPU.
Sebagai acuan, dalam ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, dinyatakan
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya. Ayat (2) pasal ini menyatakan pula mengenai
perolehan suatu petunjuk hanya dari keterangan saksi, surat, keterangan
terlapor. Merujuk pada ketentuan KUHAP, petunjuk dalam perkara
persaingan usaha dapat diartikan sebagai isyarat akan adanya perbuatan,
kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu
dengan yang lain, maupun dengan laporan dugaan pelanggaran terhadap
UU No. 5/1999, menandakan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran UU
No. 5/1999 dan siapa pelakunya. Dalam persaingan usaha, petunjuk
sebagai salah satu alat bukti yang termuat dalam pasal 42 UU No. 5/1999
jo. Pasal 72 ayat (1) Peraturan KPPU No. 1/2010.
4. Keterangan Pelaku Usaha
Keterangan pelaku usaha yang dimaksud disini ialah keterangan
pelaku usaha terlapor yang disampaikan didepan sidang majelis komisi
tentang perjanjian, perbuatan yang ia lakukan sendiri. Keterangan terlapor
merupakan penjelasan segala hal yang disampaikan oleh terlapor yang
berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor
terhadap UU No. 5/1999 di hadapan majelis komisi. Berbeda halnya
dengan pengakuan yaitu diakuinya dugaan pelanggaran terhadap UU No.
Alat-alat bukti yang telah penulis jelaskan sama dengan alat-alat bukti
yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP (keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa) dengan hanya mengganti
keterangan terdakwa menjadi keterangan terlapor, sehingga dengan
demikian prinsip pembuktian tentang adanya pelanggaran dalam UU
No.5/1999 sama dengan prinsip pembuktian perkara pidana yang berlaku
dalam KUHAP, yaitu dengan berpedoman dengan Pasal 183 KUHAP,
yang menentukan bahwa untuk menentukan kesalahan seseorang harus
berdarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan diperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi.
2.3Pengertian Tentang Kartel
Dalam dunia usaha, persaingan bukanlah hal yang baru dilakukan. Pelaku
usaha dapat melakukan berbagai cara untuk merebut pasar, salah satunya dengan
menggunakan cara-cara yang mampu menghambat pesaingnya untuk masuk ke
dalam pasar yang bersangkutan. Biasanya, hambatan dilakukan untuk mencegah
terjadinya persaingan yang wajar, sehingga mengakibatkan kerugian dalam
kegiatan usaha, terutama bagi para pihak yang berkaitan langsung dengan bidang
usaha yang bersangkutan27.
Pada dasarnya terdapat dua jenis hambatan perdagangan, yakni hambatan
horizontal dan hambatan vertikal. Hambatan horizontal merupakan suatu tindakan