• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.7. Pendekatan Semiologi

 

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu.

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10.Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.

11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : Petani dengan luas lahan 0, 5 ha — Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan (2005) — atau pendapatan perkapita Rp.166.697 per kapita per bulan (2007).

13.Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah atau tidak tamat SD atau hanya SD.

14.Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti:sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

(http://www.bps.go.id/)

2.7 Pendekatan Semiologi

25   

Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retrotika, dan poetika. Pada dasarnya isitilah semiotika atau semiologi itu mengandung arti yang sama. Yang membedakan kedua isitilah itu hanyalah para penggunanya. Mereka yang tergabung dalam kubu yang berbeda akan senantiasa menggunakan kata semiotika. Sedangkan mereka yang berkabung dalam kubu Saussure, maka akan dengan setia menggunakan istilah semiologi, termasuk Roland Barthes. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu pada ilmu tentang tanda. Hanya saja ada kecenderungan, istilah semiotika lebih popular daripada istilah semiologi, sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya (Tomy Christomy, 2001:7). Semiotika secara hakiki adalah sebuah pendekatan teoritis kepada komunikasi dalam tujuannya untuk mempertahankan prinsip-prinsip secara luas hal semacam ini sangat peka terhadap munculnya kritik bahwa semiotika itu terlalu teoritis dan terlalu spekulatif dan bahwa para semiotikawan tidak membuat upaya untuk membuktikan teori-teorinya sebagai jalan obyektif dan ilmiah (Kurniawan, 2001:52). Satu-satunya perbedaan antara keduanya, menurut Hawkes adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa inggris (Sobur, 2003:12).

Semiotik tidak dapat disebut sebagai bidang ilmu karena fungsingya adalah sebagai alat analisis, cara mengurai suatu gejala. Oleh karena itu sebagian mengganggap semiotik sebagai rancangan, sementara yang lain menggunakan sebagai metode. Berikut ini penggunaan semiotik dalam berbagai bidang. Bidang

26   

ini berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan sampai pada sisitem budaya yang lebih komplek. Selama semiotik diterapkan untuk menganalisa gejala baru, tanda baru akan terbentuk bidang baru (Sobur, 2004:109).

2.8 Metode Semiologi Roland Barthes

Menurut Roland barhtes, bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004:63). Dalam konsep Barthes, makna bersifat sekunder, terhalang oleh kekosongan tanda, ketidak-mampuannya untuk berada di luar system representasi konvensional dan karena itu bersifat arbiter yang memproduksi makna-makana itu berdasarkan logika kulturalnya sendiri. Bagi Barthes membaca adalah jalan untuk menyikirkan kekuasaan teks atas pembaca, mempertanyakan motivasinya, dan akhirnya menyelami maknanya. Dengan kata lain Barthes ingin menentang ideologi bentuk-bentuk representational yang dipaksakan pembaca yang terjerat di dalam struktur-struktur semiologi teks.

Barhtes memfokuskan ulang lensa arsenal teoritisnya pada konsep-konsep yang berkaitan dengan pengolahan hasrat manusia. Jadi penekanan pembacaan diarahkan pada representasi tubuh, kenikmatan, cinta, nafsu, keterasingan, interobjektivitas, budaya perbedaan, memori, dan tulisan (Trifonas, 2003:12). Lima kode yang ditinjau Barthes adalah:

27   

1. Kode Hermeneutic atau kode teka-teki adalah satuan-satuan dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat menformulasi persoalan tersebut, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalah, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban (Budiman, 2004:55).

2. Kode Semikatau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi.

Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Barthes melihat bahwa dikelompokkan dengan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas, karena bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan bak dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses ataupun pada taraf pemisahan dunia secara cultural dan primitive menjadi kekuatan dan mitologis dapat dikodekan (Sobur, 2004:66).

4. Kode Proaretik atau kode tindakan. Kode ini didasarkan pada konsep

28   

suatu tindakan secara rasional, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak dan masing-masing dampak memiliki tema generik tersendiri, semacam “judul” bagi sekuens yang bersangkutan.

5. Kode Gnomic atau kode cultural banyak jumlahnya. Kode ini terwujud sebagai suara kolektif yang anonim dan otoritatif : bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkanya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang “diterima secara umum”. Kode ini yang bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas dan ilmiah bagi suatu wacana (Budiman, 2004:56).

Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte (2001 : 196) bukan hanya untuk membangun suatu system klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca agar dapat berfungsi. Seperti yang digambarkan pada table di bawah ini:

1.Signifier 2. Signified (penanda) (Petanda)

29   

3. Denotative sign (tandaDenotatif)

4. Conotative signifier 5.Conotative signified (Penandakonotatif) (petandakonotatif) 6. Conotative sign (Tandakonotatif)

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes (Sobur, 2003: 69)

Dari Barthes di atas terlihat bahwa tanda Denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2) akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi dalam konsep Barhtes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makan tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatitve yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2004 : 66-69).

2.9 Kerangka Berpikir

Terpaan media massa terhadap definisi keindahan masa kini, bisa dibilang merupakan suatu momok yang tak terlihat di dalam kehidupan kaum perempuan, khususnya bagi mereka yang tinggal di kota besar. Meskipun pada dasarnya setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu peristiwa atau objek (tergantung latar belakang serta pengetahuannya), namun tidak bisa dipungkiri bahwa peran media massa dalam menciptakan sebuah persepsi sangatlah hebat. Terutama dengan adanya teori hiper-realitas media yang dengan kata lain menjadi peletak fondasi diciptakannya budaya populer seperti saat ini, termasuk jalnya dalam pencitraan keindahan perempuan masa kini. Hal ini lah yang kemudian mempegaruhi peneliti dalam memaknai pesan yang terdapat dalam teks novel yang akan dibahas.

30   

Dalam penelitian, peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan pada novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Wiwid Prasetyo. Dalam hubungannya dengan representasi kemiskinan dengan menggunakan metode semiologi Roland Barthes, dengan menggunakan leksia dan lima kode pembacaan. Representasi kemiskinan yang terdapat dalam novel ini akan diinterpresentasikan melalui dua tahap pemaknaan. Langkah pertama, novel “Orang Miskin Dilrang Sekolah” akan dipilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan berurutan yang disebut leksia, yaitu kesatuan pembacaan (units of reading) dengan menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut meliputi kode hermeutik, kode semik, kode simbolik, kode proetik dan kode cultural.

Pada tahap kedua novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” sebagai sebuah bahasa dalam tataran signifikasi akan dianalisa secara mitologi pada tataran bahasa atau system semiologi tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan cara sebagai berikut:

a. Dalam tataran linguistik, yaitu system semiologi tingkat pertama penanda-penanda hubungan dengan penanda-penanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda.

b. Selanjutnya, didalam tataran mitos, yakni semiologi lapis kedua tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula pada penanda-penanda pada tataran kedua.

31   

Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal disertai dengan bukti-bukti dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara ilmiah. Seperti yang tertera dalam gambar berikut ini.

Novel “Orang Miskin Analisis menggunakan Hasil Interpresentasi

Dilrang Sekolah” Semiologi data

Karya Wiwid Prasetyo Roland Barhtes

32

Dokumen terkait