• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI KEMISKINAN (Studi Semiologi Representasi Kemiskinan dalam Novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” KaryaWiwid Prasetyo).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPRESENTASI KEMISKINAN (Studi Semiologi Representasi Kemiskinan dalam Novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” KaryaWiwid Prasetyo)."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI KEMISKINAN

(Studi Semiologi Representasi Kemiskinan dalam Novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” Karya Wiwid Prasetyo)

SKRIPSI

Oleh :

FIRMANSYAH ADHI YUDHA K NPM. 0743010206

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

ii

REPRESENTASI KEMISKINAN

(Studi Semiologi Representasi Kemiskinan dalam Novel “Orang

Miskin Dilarang Sekolah” Karya Wiwid Prasetyo)

Oleh :

FIRMANSYAH ADHI YUDHA K NPM. 0743010206

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada 14 Juni 2011

Pembimbing Tim Penguji:

1. Ketua

Drs. Saifuddin Zuhri, M.SI Ir. H. Didiek Tranggono, M.Si NPT. 370069400351 NIP. 19581225 199001 1001

2. Sekretaris

Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si NPT. 370069400351

3. Anggota

Drs. Kusnarto, M.Si

NIP. 19580801 198402 1 00 1

Mengetahui,

Dekan

Dra. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 19550718 198302 2 00 1

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis pada Allah SWT atas hidayahnya sehingga peneliti mampu menyelesaikan dan menyusun penulisan penelitian yang berjudul

REPRESENTASI KEMISKINAN DALAM NOVEL ORANG MISKIN

DILARANG SEKOLAH” tepat pada waktunya.

Penelitian ini tidak dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof.Dr.Ir. Teguh Soedarto Mp, selaku Rektor Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa timur

2. Ibu Dra.Hj. Suparwati, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 3. Bapak Juwito S.Sos, Msi selaku ketua Progdi jurusan ilmu komunikasi UPN

“Veteran” Jawa timur

4. Bapak Drs.Saifuddin Zuhri . MSI selaku dosen pembimbing penulis selama

menyusun penelitian ini.

5. Orang tua ku, Terima kasih dukungannya.

6. Teman-teman angkatan 07 yang sama berjuang setiap hari nunggu di depan

(4)

7. Buat SNSD yang sudah memberi semangat untuk bisa menyelesaikan laporan ini terutama yoona

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna pada saat penyusun penelitian ini. Oleh sebab itu bila terdapat kesalahan-kesalahan dan hal yang kurang berkenan, Penulis tidak menutup kemungkinan adanya kritik maupun saran dari semua pihak yang membaca penelitian ini. Penulis berharap semoga bermanfaat bagi para pembaca.

Surabaya, 4 juni 2011

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL PENELITIAN ...i

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ...ii

KATA PENGANTAR ………iii

DAFTAR ISI ………...iv

ABSTRAKSI ...v

DAFTAR PUSTAKA ... vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... ...1

1.2. Rumusan Masalah ... ...12

1.3. Tujuan Penelitian ... ...12

1.4. Manfaat penelitian ...12

1.4.1. Manfaat Teoritis ...12

1.4.2. Manfaat Praktis ...13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14

2.1 Landasan Teori ... ...14

2.1.1.Buku Sebagai Media Cetak ...14

2.1.2. Pengertian Novel.………....14

(6)

2.3.1. Setting ...16

2.3.2 Tema ...17

2.3.3 Karaterisasi ...18

2.4. Konflik ...19

2.5. Karya Satra Sebagai Suatu Proses Komunikasi ...20

2.6. Asal Mula Kemiskinan ...21

2.7. Pendekatan Semiologi ...24

2.8. Metode Semiologi Roland Barthes ...26

2.9. Kerangka Berfikir ...29

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1. Metode Penelitian ...32

3.2. Subyek Penelitan ...33

3.3. Unit Analisis ...34

3.4. Corpus Penelitian ...34

3.5. Tehnik Pengumpulan Data ...36

3.6. Tehnik Analisis Data ...37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Obyek Penelitian ...39

4.2 Penyajian dan Analisis Data ...40

4.2.1 Penyajian Data ...40

4.2.2 Hasil Analisis Data ...42

(7)

4.3 Sistem Mitos ...59

4.4 Penggambaran Kemiskinan pada novel “Orang Miskin Dilrang

Sekolah”...61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ...67

5.2 Saran ...69

(8)

ABSTRAKSI

FIRMANSYAH ADHI YUDHA K, REPRESENTASI KEMISKINAN (Studi Semiologi Representasi Kemiskinan dalam Novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” KaryaWiwid Prasetyo)

Dalam penelitian ini peneliti menaruh perhatian terhadap adanya kemiskinan dalam novel Orang Miskin Dilrang Sekolah karya Wiwid Prasetyo. Pengarang merupakan redaktur maupun reporter dari Majalah FURQON, PESANTrend, Si Dul (majalah anak-anak), serta tabloid Info Plus Semarang. Penelitian ini menunjukkan tentang kehidupan kemiskinan dan pahitnya memperoleh pendidikan sekolah. Seakan-akan sekolah hanya untuk orang-orang yang mampu dan kaya saja, dimana orang-orang miskin tidak dikehendaki untuk bersekolah hanya karna faktor ekonomi. Dari sisi Faktor ekonomi inilah sosok tokoh utama Faisal dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah serasa tidak sepaham akan adanya alasan-alasan tersebut, oleh karena itu Faisal akan membuktikan bahwa untuk meraih pendidikan sekolah tidak hanya memprioritaskan materi (biaya) saja namun sesungguhnya yang diprioritaskan ialah niat berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam mengejar cita-cita. Sebagai landasan teori, Metode penelitian yang digunakan adalah teori semiologi Roland Barthes membagi sebuah area pembaca yang disebut petanda Roland Barthes.

Penelitian ini menggunkan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis semiologi Roland Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua dua tahap, yaitu pemaknaan tingkat pertama sytem linguistik beruap pemaknaan denotatif dan pemaknaan berupa konotatif.

Data yang terdapat dalam obyek penelitian dibagi menjadi dua sysytem pemaknaan dan diuraikan menjadi 28 leksia (kode pembacaan) yang terdiri dari lima kode yaitu Kode hermeneutik atau kode teka-teki,kode semik, kode simbolik, kode proaretik atau kode tindakan, kode gnomik atau kode kultural. Pada tahap kedua yaitu system mitos yang berupa pemaknaan konotatif tanda-tanda akan dimaknai secara subyektif berdasarkan konsep dari kemiskinan.

Hasil penelitian berdasarkan analisis data yang didapat dari teks kalimat dalam novel “Orang Miskin Dilrang Sekolah” merupakan konotoasi-konotasi yang sengaja dibuat pengarang untuk membuat pembaca menemukan kode-kode tersembunyi di dalam teks novel ini.

In this study the researcher to pay attention to the existence of poverty in the novel of the Poor School Dilrang Wiwid work of Prasad. The author is an editor and reporter from the magazine FURQON, PESANTrend, Si Dul (children's magazine), and the tabloid Info Plus Hyderabad. Life is complex and complicated society he poured in writing in simple language. This research shows about the life of poverty and bitterness obtain school education. As if school is only for people who are capable and the rich only, in which poor people do not want to go to school just because of economic factors. From the economic factor is the figure of the main character in the novel of the Poor Faisal School Prohibited seemed not agree that there are reasons, therefore Faisal will prove that to achieve school education not only prioritize the material (cost) alone, but the real priority is the intention tried hard and sincere in the pursuit of ideals. As a basis for theory, research method used is the theory of Roland Barthes semiology divide an area called the alert reader Roland Barthes.

This study using qualitative research methods with Roland Barthes semiology analysis approach is more oriented towards the idea of the significance of two two stages, namely first level of meaning sytem steamy linguistic meanings in the form of denotative and connotative meanings. The data contained in the objects were divided into two sysytem meanings and elaborated to 28 leksia (code reading), which consists of five codes of hermeneutic code or code puzzles, codes semik, symbolic codes, proaretik code or action code, the code or code gnomik cultural. In the second phase of the system connotative meaning of myth in the form of signs will be interpreted subjectively based on the concept of poverty.

The results based on analysis of data obtained from the text of the sentence in the novel "Poor People Dilrang School" is a connotation that konotoasi-author deliberately made to make the reader discover hidden codes in the text of this novel.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya,sumber daya alam, dan intelektual masyarakat. Sebuah Negara multi kultur yang menjunjung tinggi norma dan tradisi leluhurnya yang memiliki nilai ketimuran. Dengan perkembangan zaman yang terus menerus, telah banyak perubahan di segala bidang.Perubahan zaman dari era pra-sejarah, era sejarah, hingga era modern ini telah menimbulkan banyak perubahan gaya hidup dan cara bersosialisasi masyarakat yang hidup pada zamannya.

Saat ini masyarakat diseluruh dunia menginjak pada era modern atau lebih dikenal dengan era globalisasi yang hamper keseluruhan berbasis pada teknologi atau kemajuan dunia barat. Era yang begitu mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dari seluruh belahan dunia manapun secara cepat. Tentu saja, perkembangan zaman memiliki efek positif dan negatif.Hal ini tidak terkecuali di era globalisas iini. Globalisasi juga berdampak pada perubahan Ekonomi dunia yang yang mengakibatkan kimiskinan dimana-mana yang kini mempengaruhi dunia.

(10)

2

untuk membeli dan akan menghancurkan negara itu sendiri, yang berakibat pada terjebaknya seseorang pada Kemiskinan yang akan melanda negara itu sendiri.

Kemisikinan merupakan masalah sosial yang bersifat global, artinya kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian banyak orang di dunia ini. Kemisikinan bukan hanya di jumpai di Indonesia saja,tetapi juga banyak di temukan di belahan dunia manapun termasuk Amerika Serikat yang merupakan negara yang sudah maju. Semua negara di dunia ini sepakat bahwa kemiskinan merupakan problema kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan dan peradaban.semua manusia di dunia ini setuju bahwa kemiskinan harus dan bisa di tanggulangi.

Kemiskinan merupakan masalah utama yang dihadapi oleh setiap negara khususnya Indonesia. Kemiskinan di Indonesia secara klasifikasi tersebar di tiga wilayah, yaitu perkotaan, perdesaan dan pesisir. Kemiskinan di Indonesia dari data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru tahun 2006, mencapai 60 juta jiwa dari total penduduk atau sekitar 25 persen. Dengan asumsi pendapatan perbulan hanya RP 150 ribu perbulan. Padahal standar Bank Dunia orang miskin memiliki pendapatan US$2 perkapita per hari. Maka jika standar ini digunakan maka jumlah keluarga miskin di Indonesia lebih fantastik lagi.

(11)

3

Kemiskinan sebuah kondisi kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran.

Walaupun kemiskinan dapat dikategorikan sebagai persoalan klasik, tetapi sampai saat ini belum ditemukan strategi yang tepat untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan merumuskan kebijakan anti kemiskinan, sementara jumlah penduduk miskin tiap tahunnya meningkat. Ketidakberhasilan itu kiranya bersumber dari cara pemahaman dan penanggulangan kemiskinan yang selalu diartikan sebagai sebuah kondisi ekonomi semata-mata.

Kemiskinan disebabkan banyak faktor. Jarang ditemukan kemiskinan yang hanya disebabkan oleh faktor tunggal. Seseorang atau keluarga miskin bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang saling terkait satu sama lain, seperti mengalami kecacatan, memiliki pendidikan rendah, tidak memiliki modal dan keterampilan untuk berusaha, tidak tersedianya kesempatan kerja, terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tidak adanya jaminan sosial (pensiun, kesehatan, kematian) atau hidup di lokasi terpencil dengan sumber daya alam dan infrastruktur yang terbatas. ( Suharto, 2009).

Berdasarkan hasil Studi Smeru (Suharto, 2009), menunjukan sembilan kriteria yang menandai kemiskinan, yaitu :

(12)

4

2. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental

3. Ketidakmampuan atau ketidakberuntungan sosial ( anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil )

4. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ( buta huruf, rendahnya pendidikan dan keterampilan, sakit-sakitan) dan keterbatasan sumber alam ( tanah tidak subur, lokasi terpencil, ketiadaan infrastruktur jalan, listrik, air )

5. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual ( rendahnya pendapatan dan aset) maupun massal ( rendahnya modal sosial, ketiadaan fasilitas umum )

6. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkesinambungan.

7. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya ( kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi )

8. Ketiadaan jaminan masa depan ( karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga atau tidak adanya perlindungan sosial dari negara dan masyarakat)

9. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

(13)

5

Dari kesembilan faktor di atas yang mempengaruhi manusia ke dalam kemiskinan. Dan untuk mengatasi kemiskinan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan orang miskin untuk dapat mandiri, baik dalam pengertian ekonomi, budaya dan politik. Penanggulangan kemiskinan tidak hanya dengan pemberdayaan ekonomi, akan tetapi juga dengan pemberdayaan politik bagi lapisan miskin merupakan sesuatu yang tidak dapat terelakkan kalau pemerataan ekonomi dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial seperti yang dikehendaki.

Jumlah penduduk miskin, atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan di Indonesia hingga Maret 2010, mencapai angka 31,02 juta jiwa, atau 13,33 persen. Angka pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2008 mencapai 9,39 juta jiwa atau 8,39 persen dari total angkatan kerja. Angka pengangguran turun dibandingkan posisi Februari 2008 sebesar 9,43 juta jiwa(8,46 persen). Badan Pusat Statistik melakukan survei tenaga kerja setiap Februari dan Agustus setiap tahunnya. (http://www.tribunnews.com) 

(14)

6

menunjukkan, per Agustus terdapat 71,35 juta jiwa pekerja yang bekerja di sektor informal, dari total 102,55 juta jiwa angkatan kerja.

Presiden SBY pernah menegaskan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan dari 17,7 persen pada 2006, menjadi 15,4 persen dari total jumlah penduduk Indonesia pada Maret 2008. Angka kemiskinan tahun 2008 ini merupakan yang terendah, baik besaran maupun prosentasenya, selama 10 tahun terakhir.Pemerintah membanggakan angka kemiskinan turun dari 14,2 persen pada 2009 menjadi 13,3 persen pada 2010. Atau penduduk miskin Indonesia turun dari 32 juta jiwa menjadi 31,02 juta pada 2010. (http://www.gaulislam.com).

Berdasarkan data di Dinas Pendidikan (Diknas) Surabaya, angka partisipasi murni (APM) pendidikan untuk tingkat SD di kota ini mencapai 90, 99 persen. APM ini merupakan perbandingan antara jumlah siswa dengan jumlah penduduk usia sekolah. Itu berarti, 90 persen penduduk usia SD di Surabaya sudah bisa bersekolah. Angka 90 persen memang terkesan tinggi dan lebih bernuansa keunggulan. Tapi tidak untuk masalah partisipasi pendidikan di kota sekelas Surabaya. Akan lebih terasa kalau kesimpulannya berbunyi, masih ada 9,01 persen anak usia sekolah SD di Surabaya yang tidak bisa sekolah.

Demikian juga dengan APM untuk tingkat SMP yang mencapai 79,18 persen. Dengan kata lain masih ada 21,82 persen anak usia sekolah SMP yang tidak bisa mengenyam pendidikan SMP. Ini masih belum pada jenjang

(15)

7

SMA/sederajat yang tingkat APM-nya masih 79,79 persen. Memang, hingga saat ini belum ada data valid yang menyebutkan angka pasti, berapa jumlah anak yang belum bisa mengenyam pendidikan minimal sembilan tahun di Surabaya. Tapi dari data ini, setidaknya sudah bisa diprediksi berapa kisarannya.

Maka dari itu sekarang ini Kemiskinan menjadi salah satu hal yang paling banyak menjadi topik pembicaraan. Baik dari segi pendidikan, dari segi ekonomi, maupun tentang dampak banyaknya penganguran yang semakin hari semakin bertambah. Pembicaraan-pembicaraan seperti ini bisa ditemukan mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, sampai wacana di media massa.

Media massa sebagai hasil konstruksi sosial cenderung menjadi fungsi dari kekuasaan.Media massa mencakup pencarian pesan dan makna-makna, seperti halnya studi komunikasi, adalah proses mempelajari media adalah mempelajari makna. Dalam konteks media massa, khususnya media cetak. (Sobur,2004:110)

(16)

8

menitik beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut. Novel merupakan salah satu jenis buku dalam bentuk sastra, sama seperti media cetak lainnya, novel juga memberikan informasi pada pembacanya. Selain itu novel juga berfungsi sebagai media hiburan dan juga menghibur dan persuasi atau mampu mempengaruhi pembacanya. (http://id.wikipedia.org/wiki/novel)

Sastra ialah karya tulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti orisinalitas, artistic, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Dalam dunia sastra, kosakata yang digunakan seringkali tidak dapat dibedakan dari kosakata bahasa sehari-hari. Bahkan banyak sastrawan yang memanfaatkan kosakata sehari-hari dalam karya ciptanya. Tetapi dengan memberinya makna yang lebih luas. Dalam sastra, bahasa tidak hanya digunakan untuk mengungkapkan, baik pengalaman sastrawan itu sendiri maupun orang lain, tetapi juga dipakai untuk menyatakan hasil rekamannya. Kata-kata atau idiom seperti yang biasanya kita jumpai dalam bahasa di luar sastra, ternyata mampu memberikan kenikmatan dan keharuan, disamping adanya makna ganda, selain ada makna yang tersurat juga terkandung makna tersirat. Makna yang tersirat itu sering berfungsi sebagai pesan utama pengarang.

Banyak sekali novel yang muncul saat ini memperkenalkan tema yang sama, namun dengan kemasan dan permasalahan yang lebih menarik dan bervariasi. Salah satu permasalahan yang cukup menyita perhatian masyarakat khususnya penulis novel adalah permasalahan kehidupan orang miskin. Memang tidak semua penulis berani untuk mengangkat tentang fenomena kemiskinan khususnya kehidupan orang miskin.

(17)

9

Penulis yang kreatif di bidang sastra seperti fiksi, drama, puisi, dan biografi memiliki sejumlah pengalaman yang disampaikan kepada para pembaca. Sastrawan atau pengarang ingin agar pembaca dapat merasakan apa yang telah dirasakannya. Ia ingin pembaca dapat memahami dan menghayati kekuatan fakta dan visi kebenaran seperti yang telah dilihat dan dirasakannya. Ia mengundang pembaca memasuki pengalaman nyata dan dunia imajinatifnya, yang diperoleh melalui pengalaman inderanya yang paling dalam.Pengalaman batin seorang pengarang dapat dikatakan suatu karya sastra jika didalamnya tercermin keserasian antara keindahan bentuk dan isi. Dalam karya ini terungkap norma estetik, norma sastra, dan norma moral. Upaya apa yang harus kita lakukan dalam memahami karya sastra itu dengan membaca karya sastra berarti berusaha menyelami “diri” pengarangnya.(http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra).

(18)

10

pembaca. Melalui novel penulis mempunyai gagasan, ide, pengaruh, dan mempertukarkan makna. Sedangkan persepsi, pikiran, atau perasaan yang dialami oleh seseorang yang pada gilirannya akan dikomunikasikan kepada orang lain (Liliwerti, 2005:5).

Dalam novel yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo ini, merupakan suatu novel yang mengisahkan tentang kemiskina dan pahitnya memperoleh pendidikan sekolah. Seakan-akan sekolah hanya untuk orang yang mampu dan kaya saja, dimana orang-orang miskin tidak dikehendaki untuk bersekolah hanya karna faktor ekonomi.

Dari sisi Faktor ekonomi inilah sosok tokoh utama Faisal dalam novel

Orang Miskin Dilarang Sekolah serasa tidak sepaham akan adanya

alasan-alasan tersebut, oleh karena itu Faisal akan membuktikan bahwa untuk meraih pendidikan sekolah tidak hanya memprioritaskan materi (biaya) saja namun sesungguhnya yang diprioritaskan ialah niat berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam mengejar cita-cita.

Seperti halnya Pambudi, Pepeng, dan Yudi, mereka tidak bisa sekolah karena terhalang oleh faktor ekonomi. Pambudi, Pepeng, dan Yudi adalah teman bermain Faisal di kampung Genteng. Mereka sangat sering menghabiskan waktu untuk bermain seperti halnya bermain layang-layang dan beragam permainan lainnya sampai-sampai Faisal paham dan sedikit banyak mengetahui karakter atau sifat-sifat, serta latar belakang mereka.

(19)

11

Dari peristiwa itu Faisal menemukan kejanggalan dalam diri ketiga temannya itu yakni, dari awal sampai sekarang Pambudi, Pepeng, dan Yudi belum bisa merasakan fasilitas duduk di bangku sekolah, bermain dihalaman sekolah serta mendapatkan ilmu pengetahuan dari sekolah. mereka hanya bisa memagut dagu ketika melihat anak-anak pergi bersekolah.

Kejadian itu membuat munculnya suatu kecemasan dalam diri tokoh utama, ialah tokoh utama Faisal dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah

karya Wiwid Prasetyo. Orang yang merasa terancam umumnya adalah orang yang penakut, kalau Ego mengontrol soal ini, maka orang lalu menjadi dikejar oleh kecemasan atau ketakutan. Oleh sebab itu fungsi kecemasan itu sendiri ialah sebagai tanda adanya bahaya yang akan terjadi, suatu ancaman terhadap ego yang harus dihindari atau dilawan.

Dalam novel ini peneliti tertarik untuk meneliti novel “Orang miskin dilarang sekolah”. Karena dianggap cukup menarik jika dibahas dengan menggunakan perspektif ilmu komunikasi, karena komunikasi pada dasarnya merupakan interaksi antar pribadi yang menggunakan system simbolik linguistic, misalnya meliputi verbal, kata-kata paraverbal, dan non verbal. Sistem itu dapat disosialisasikan secara langsung atau tatap muka atau melalui media lain, lisan, tulisan, dan virtual.

(20)

12

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Bagaimanakah representasi kemiskinan dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi kehidupan kemiskinan dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi seseorang. Bahwa sebenarnya kemiskinan bukan menjadi alasan bagi rasa putus asa yang pada akhirnya akan teramat sangat merugikan dirinya di masa depan membuat peneliti merasa penting untuk mengetahui penggambaran efek kemiskinan yang di representasikan dalam novel Wiwid Prasetyoberjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah.

(21)

13

1.4.2 Manfaat Praktis

(22)

 

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Buku Sebagai Media Cetak

Dalam sejarahnya, buku termasuk media massa cetak yang dianggap mampu menyampaikan pesan secara lebih mendalam. Terlebih lagi dengan banyaknya kelebihan yang dimilikinya seperti mudah dibawa kemana saja, dan yang paling penting terterdokumentasi permanen, namun sayangnya hanya bisa dinikmati oleh mereka yang melek huruf (Cangara, 2005:128). Buku sebagai media massa juga merupakan transmisi warisan sosial dari generasi ke generasi berikunya. Media ceta seperti buku mempu memberi pemahaman yang lebih kepada pembacanya. Melalui sebuah buku, penulis atau penyusunannya bisa berbagi banyak hal, seperti ilmu pengetahuan, pengalaman, bahkan imajinasi kepada pembacanya, sehingga buku banyak digunakan untuk keperluan studi, pengetahuan, hobi atau media hiburan dengan penyajian mendalam.

2.1.2. Pengertian Novel

Menurut kamus besar indonesia novel merupakan hasil karya naratif dan fiksi yang bukan menyajikan kenyataan di dunia ini tetapi perlambangan atau model dari kenyataan itu, wujud dari perlambangan itu berupa kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi sekaligus untuk merasakan dan berfikir tentang realitas tentang realitas yang tergantikan oleh kata-kata tersebut. Novel merupakan salah satu jenis buku dalam bentuk sastra sama seperti media cetak

(23)

15   

lainnya. Novel juga memberikan informasi pada pembacanya, selain itu novel juga berfungsi menghibur dan mempersuasi para pembacanya (Keraf, 1993:187-188).

Dalam karya sastra, pengarang menampilkan bagaimana para tokoh menyikapi serta keluar dari konflik yang ada. Karena itu, harga karya sastra terletak pada cara pengarang menyampaikan tindak-tanduk, sikap, penilaian tokoh cerita atas konflik yang menghadapi melalui berbagai tinjauan. Melalui tinjauan tersebut pembaca memperoleh perbandingan atau pelajaran berharga untuk menyikapi kehidupan sehari-hari, maka pembaca perlu memperoleh pemahaman

tentang bagaimana membaca karya sastra. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Sastra).

2.2 Representasi

(24)

16   

Level kedua, ketika memandang sesuatu sebagai realitas, penyataan berikutnya adalah bagaimana realiats itu digambarkan. Disini menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa tulis yang disebut alat teknis adalah kata, kalimat atau prososisi, grafik dan sebagainya. Pemakaian kata, kalimat atau proposisi tertentu, misalnya membawa makna tertentu ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan menggunakan ideologi tersebut (Eriyanto, 2005:114).

2.3 Elemen-elemen Literatur Fiksi

2.3.1 Setting

“...the physical, and sometimes spiritual background aganist which the

action of narrative takes place”, salah satu definisi setting tersebut berasal dari

Hugh H. Holman. Hal penting dari definisi Holman tersebut adalah adanya dua

keywords, latar belakang fisik dan spritual. Latar belakang fisik adalh segala

benda-benda material yang digambarkan dalam cerita, misalnya sebuah rumah, gedung, tempat, lingkungan dan lain-lain. Sedangkan latar belakang spritual adalah kondisi moral atau spritual dari karakter yang berkaitan dengan jalannya cerita. Holman juga berpendapat bahwa terdapat empat elemen untuk membangun sebuah setting cerita:

a. Lokasi geografis, misal : topografi, pemandangan dan pengaturan letak benda-benda dalam suatu ruangan.

b. Pekerjaan dan kelakuan sehari-hari dalam kehidupan karakter cerita.

(25)

17   

c. Periode masa yang dipilih sebagai latar belakang dalam cerita, misal: film laskar pelangi yang dibuat dengan latar belakang alam bebas.

d. Lingkungan umum dan karakter, misal: agama yang dianut, kondisi mental, moral, sosial dan emosional.

2.3.2 Tema

Komentar pengarang tentang kehidupan sedikit banyak tergambar dalam cerita yang dibuatnya. Meskipun kadang-kadang tema cerita hanya singkat, tetapi tema tersebut membawa pengertian yang lebih jauh tentang kehidupan. Tema cerita mengandung ringkasan cerita mengenai sifat dasar dan hubungan antar manusia, yang dibuat berdasarkan sudut pandang pengarang. Setiap pengarang mempunyai kecenderungan untuk memilih tema cerita yang sesuai dengan pandangannya tentang kehidupan, yang diformulasikan sesuai dengan pemikiran, pengalaman, dan sudut pandang pengarang tersebut.

(26)

18   

nilai literature terhadap suatu karya fiksi.selain itu, tema memberikan suatu tujuan dalam membuat suatu cerita.

Tujuan tersebut bisa hanya berupa untuk menyampaikan kebenaran umum tentang kehidupan atau hanya untuk mengenalkan konsep baru tentang kehidupan kepada pembacanya. Lebih jauh lagi, dengan adanya sebuah tema maka pengarang lebih terfokus pada pembangunan cerita dan pengembangan plot-plot yang dibuat. Fungsi penting yang lain adalah sebuah tema memberikan suatu nilai kesatuan dalam literature. Tema mengontrol ide-ide yang timul dari karya fiksi. Dengan adanya tema, jalan cerita yang timbul dapat tersusun secara sistematis sesuai dengan maksud yang ingin ditampilkan pengarang (Perrine, 1974:102 dalam Gayyu, 2005:22).

2.3.3 Karakterisasi

Untuk dapat mengerti sebuah cerita, seseorang selalu berhadapan dengan bab atau setting, plot, karakter. James L. Potter mengajukan sebuah definisi mengenai karakter, “...when critics spaek of character, they mean any person who

figure in literary work” (Potter, 1967:1 dalam Gayyu, 2005:23). Melihat

pernyataan di atas, definisi karakter dalam suatu cerita adalah setiap orang yang diciptakan oleh pengarang dalam menulis cerita. Seringkali orang tersebut hanya ada dalam rekaan pengarang tetapi hidup dalam cerita. Dalam menciptakan karakter, pengarang mengesprisikan ide-idenya yang tergambar pada tindakan, pikira, perasaan, dan perilaku karakter dalam cerita.

(27)

19   

Karakter dapat digambarkan sebagai sebagai tokoh-tokoh dalam novel, dan tiap-tiap karakter membangun berbagai ciri personalitas yang juga saling berhubungan (Fowler, 1957:182 dalam Gayyu, 2005:23). Tiap karakter memiliki ciri-ciri yang berbeda yang satu dengan yang lainya. Tetapi dari tokoh-tokoh cerita tersebut bisa telihat ide-ide pengarang dalam memberikan nilai-nilai kehidupan. Cleanth Brooks menjelaskan bahwa, “characteris, inone sense, an embodiment of an ideas, and a character in action implies a shift in values and

ideas,”. Karakter merupakan perwujudan ide-ide pengarang, dan aksi karakter

merupakan perubahan dalam nilai-nilai dan ide-ide (Brooks, 1970:60 dalam Gayyu, 2005:23).

2.4 Konflik

Terdapat banyak macam konflik dalam karya literature, dan salah satunya adalah inner conflict (konflik emosional, moral, atau internal). Perngertian umum mengenai konflik internal adalh yang terjadi dalam diri individu, timbul karena adanya kontradiksi antara nilai moral. Di dunia seringkali terdapat perbedaan untuk menilai sesuatu itu baik atau buruk karena adanya perbedaan nilai moralitas yang dianut. Penilaian (jugment) sangat sulit untuk ditentukan dan penentuan pilihan-pilihan sangat bervariasi. Oleh sebab itu konflik-konflik internal lebih banyak muncul daripada konflik eksternal. Dengan menyelami konflik internal, seorang tokoh cerita memiliki proses pendewasaan dalam hiupnya.

(28)

20   

karena hal tersebut menggambarkan nilai kemanusiaan mencapai batas tertinggi yang dapat dicapai. Sebuah cerita tidak akan menarik apabila tidak ada konflik didalamnya. Brooks menyatakan bahwa fakta penting tentang kejadian fiksi akan timbul suatu cerita (Brooks, 1964:11 dalam Gayyu, 2005:24). Konflik dalam suatu cerita memberi kontribusi kepada suatu cerita menjadi menarik dan memilki kekuatan. Konflik merupakan bahan dasar dalam membangun sebuah plot cerita.

2.5 Karya Sastra Sebagai Suatu Proses Komunikasi

Dalam suatu karya sastra, hubungan antara pengarang dan pembaca mesti dipahami dengan hubungan yang bermakana, sebagai pola-pola hubungan yang terbuka dan produktif dengan implikasi sosial, bukan sebagai kualitas yang tunggal san linear. Di satu pihak, pengarang menciptakan bentuk-bentuk yang memungkinkan untuk mengadakan komunikasi timbal balik. Pengarang menelusuri secara terus-menerus signifikasi fungsi-fungsi sosial interaksi simbolis dalam aktivitas kehidupan manusia. Di pihak lain, sesuai dengan hakekat rekaan, pengarang menghubungkannya dengan kualitas imajinatif dan kreatif, yang dengan sendirinya berfungsi untuk menomang kehidupan sastra secara keseluruhan. Komunikasi sastra merupakan komunikasi tertinggi sebab melibatkan mekanisme unsur-unsur yang paling luas.

Karya sastra sebagai salah satu bentuk kreatifitas kultural, sebagai representasi super struktural ideologis, dipandang sebagai gejala-gejala sosial yang terdiri dari system informasi yang sangat rumit. Di satu pihak karya sastra merupakan respon-respon interaksi sosial sebagai akibat antara hubungan

(29)

21   

pengarang dan masyarakat. Di pihak lain, karya sastra menyediakan dunia rekaan bagi pembacanya. Dalam pengertian yang terakhir inilah sesungguhnya terletak gagasan-gagasan mengenai komunikasi sastra. Analisis strukur karya sastra selalu dalam kaitanya dengan struktur sosial. Artinya, semesta tokoh dan peristiwa dipahami dalam kerangka pemahaman bersama. Pemahaman tersebut bukan menemukan makna tunggal, bukan juga untuk menemukan makna yang sesuai dengan subjek kreator. Sebaliknya, pemahaman justru mengarahkan pada keragaman interprestasi, mosaik makna, yang diperboleh dengan cara mengungkapkan totalitas isi yang terkandung di dalamnya. Interaksi simbolik dalam karya sastra merupakan representasi kehidupan sehari-hari dengan cara yang sangat halus, tidak langsung, mengacu pada kualitas transcendental, konotatif, dan metaforis (Ratna, 2003: 132-133).

2.6 Asal Mula Kemiskinan

Terdapat bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan), seperti (1) kemiskinan natural, (2) kemiskinan kultural, dan (3) kemiskinan struktural (Kartasasmita, 1997:235).

(30)

22   

seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1997:235) disebut sebagai “Persisten Poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumber daya alamnya atau daerah yang terisolir.

Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya dimana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros, dan lain sebagainya.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997:21). Munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena adanya upaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kartasasmita (1997:236) hal ini

(31)

23   

disebut “accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Lain halnya dengan pendapat Chambers yang mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, dimana “deprivation trap” atau jebakan kemiskinan ini terdiri dari lima unsur yaitu : kemiskinan, kelemahan jasmani, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut saling kait mengkait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi.

Kriteria kemiskinan ada 14 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) :

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah atau tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

(32)

24   

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu.

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10.Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.

11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : Petani dengan luas lahan 0, 5 ha — Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000 per bulan (2005) — atau pendapatan perkapita Rp.166.697 per kapita per bulan (2007).

13.Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah atau tidak tamat SD atau hanya SD.

14.Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti:sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

(http://www.bps.go.id/)

2.7 Pendekatan Semiologi

(33)

25   

Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retrotika, dan poetika. Pada dasarnya isitilah semiotika atau semiologi itu mengandung arti yang sama. Yang membedakan kedua isitilah itu hanyalah para penggunanya. Mereka yang tergabung dalam kubu yang berbeda akan senantiasa menggunakan kata semiotika. Sedangkan mereka yang berkabung dalam kubu Saussure, maka akan dengan setia menggunakan istilah semiologi, termasuk Roland Barthes. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu pada ilmu tentang tanda. Hanya saja ada kecenderungan, istilah semiotika lebih popular daripada istilah semiologi, sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya (Tomy Christomy, 2001:7). Semiotika secara hakiki adalah sebuah pendekatan teoritis kepada komunikasi dalam tujuannya untuk mempertahankan prinsip-prinsip secara luas hal semacam ini sangat peka terhadap munculnya kritik bahwa semiotika itu terlalu teoritis dan terlalu spekulatif dan bahwa para semiotikawan tidak membuat upaya untuk membuktikan teori-teorinya sebagai jalan obyektif dan ilmiah (Kurniawan, 2001:52). Satu-satunya perbedaan antara keduanya, menurut Hawkes adalah bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa inggris (Sobur, 2003:12).

(34)

26   

ini berupa proses komunikatif yang tampak lebih alamiah dan spontan sampai pada sisitem budaya yang lebih komplek. Selama semiotik diterapkan untuk menganalisa gejala baru, tanda baru akan terbentuk bidang baru (Sobur, 2004:109).

2.8 Metode Semiologi Roland Barthes

Menurut Roland barhtes, bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004:63). Dalam konsep Barthes, makna bersifat sekunder, terhalang oleh kekosongan tanda, ketidak-mampuannya untuk berada di luar system representasi konvensional dan karena itu bersifat arbiter yang memproduksi makna-makana itu berdasarkan logika kulturalnya sendiri. Bagi Barthes membaca adalah jalan untuk menyikirkan kekuasaan teks atas pembaca, mempertanyakan motivasinya, dan akhirnya menyelami maknanya. Dengan kata lain Barthes ingin menentang ideologi bentuk-bentuk representational yang dipaksakan pembaca yang terjerat di dalam struktur-struktur semiologi teks.

Barhtes memfokuskan ulang lensa arsenal teoritisnya pada konsep-konsep yang berkaitan dengan pengolahan hasrat manusia. Jadi penekanan pembacaan diarahkan pada representasi tubuh, kenikmatan, cinta, nafsu, keterasingan, interobjektivitas, budaya perbedaan, memori, dan tulisan (Trifonas, 2003:12). Lima kode yang ditinjau Barthes adalah:

(35)

27   

1. Kode Hermeneutic atau kode teka-teki adalah satuan-satuan dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu persoalan, penyelesaiannya, serta aneka peristiwa yang dapat menformulasi persoalan tersebut, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalah, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban (Budiman, 2004:55).

2. Kode Semikatau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi.

Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Barthes melihat bahwa dikelompokkan dengan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas, karena bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan bak dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses ataupun pada taraf pemisahan dunia secara cultural dan primitive menjadi kekuatan dan mitologis dapat dikodekan (Sobur, 2004:66).

4. Kode Proaretik atau kode tindakan. Kode ini didasarkan pada konsep

(36)

28   

suatu tindakan secara rasional, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia: tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak dan masing-masing dampak memiliki tema generik tersendiri, semacam “judul” bagi sekuens yang bersangkutan.

5. Kode Gnomic atau kode cultural banyak jumlahnya. Kode ini terwujud sebagai suara kolektif yang anonim dan otoritatif : bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkanya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang “diterima secara umum”. Kode ini yang bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas dan ilmiah bagi suatu wacana (Budiman, 2004:56).

Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte (2001 : 196) bukan hanya untuk membangun suatu system klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca agar dapat berfungsi. Seperti yang digambarkan pada table di bawah ini:

1.Signifier 2. Signified (penanda) (Petanda)

(37)

29   

3. Denotative sign (tandaDenotatif)

4. Conotative signifier 5.Conotative signified (Penandakonotatif) (petandakonotatif) 6. Conotative sign (Tandakonotatif)

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes (Sobur, 2003: 69)

Dari Barthes di atas terlihat bahwa tanda Denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2) akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi dalam konsep Barhtes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makan tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatitve yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2004 : 66-69).

2.9 Kerangka Berpikir

(38)

30   

Dalam penelitian, peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan pada novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Wiwid Prasetyo. Dalam hubungannya dengan representasi kemiskinan dengan menggunakan metode semiologi Roland Barthes, dengan menggunakan leksia dan lima kode pembacaan. Representasi kemiskinan yang terdapat dalam novel ini akan diinterpresentasikan melalui dua tahap pemaknaan. Langkah pertama, novel “Orang Miskin Dilrang Sekolah” akan dipilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan berurutan yang disebut leksia, yaitu kesatuan pembacaan (units of reading) dengan menggunakan kode-kode pembacaan yang terdiri dari lima kode. Kelima kode tersebut meliputi kode hermeutik, kode semik, kode simbolik, kode proetik dan kode cultural.

Pada tahap kedua novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” sebagai sebuah bahasa dalam tataran signifikasi akan dianalisa secara mitologi pada tataran bahasa atau system semiologi tingkat pertama sebagai landasannya. Dengan cara sebagai berikut:

a. Dalam tataran linguistik, yaitu system semiologi tingkat pertama penanda-penanda hubungan dengan penanda-penanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda.

b. Selanjutnya, didalam tataran mitos, yakni semiologi lapis kedua tanda-tanda pada tataran pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan pula pada penanda-penanda pada tataran kedua.

(39)

31   

Dengan demikian pada akhirnya peneliti akan menghasilkan interpretasi yang mendalam dan tidak dangkal disertai dengan bukti-bukti dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara ilmiah. Seperti yang tertera dalam gambar berikut ini.

Novel “Orang Miskin Analisis menggunakan Hasil Interpresentasi

Dilrang Sekolah” Semiologi data

Karya Wiwid Prasetyo Roland Barhtes

(40)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 MetodePenelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes. Barthes adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi yang menganut aliran semiotika komunikasi strukturalisme Ferdinad de Saussure. Semiotika stukturalisSaussure lebih menekankan pada linguistik. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui penggambaran kemiskinan dalam novel”Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Wiwid Praesetyo.

Barthes bersama dengan Levi-strauss adalah tokoh awal yang mencetuskan paham struktural dan meneliti sistem tanda dalam budaya (Putranto,2005 :117). Sastra adalah salah satu bentuk budaya yang ada dalam masyarakat yang dapat diteliti. Analisis teks berarti menganalisis tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem simbolik dan semantik dari peradapan manusia seluruhnya (Purwanto, 2003 :239). Sedangkan Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah system tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004 :63). Bahasa merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda. Sistem tanda kedua terbangun dengan menjadikan penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru pada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya dengan istilah denotasi atau sistem retoris atau metologi (Kurniawan, 2001 :115)

(41)

33

Untuk memberikan ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi makna dan pruralitas teks, Roland Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif kedalam serangkaian fragmen ringkas dan berutun yang disebutnya sebagai leksia-leksia (lesxias) yaitu unit pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek bervariasi.

3.2 Subyek Penelitian

Subyek dari penelitian yaitu leksia dari teks novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Wiwid Prasetyo yang menunjukkan adanya unsur kemiskinan.

Penelitian ini menggunakan obyek sebuah novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Wiwid Prasetyo yang pada teksnya terdapat leksia. Berdasarkan sifat representatifnya tanda pada teks novel tersebut diterjemahkan ke dalam struktur dasar elemen literature fisik. Elemen tersebut adalah elemen yang digunakan mengindentifikasi hal yang akan dicari, sebelum melangkah ke tahap interpretasi. Elemen-elemen dasar itu adalah latar belakang novel ini yaitu kemiskinan yang didapat oleh masyarakat yang kurang mampu dalam kebutuhan sosial yang semakin berkuasa. Sedangkan tema dari novel ini adalah seorang anak sd yang ingin membantu teman-temannya untuk bersekolah karna tidak adanya biaya untuk sekolah.

(42)

34

3.3 Unit Analisis

Peneliti ini menggunakan leksia Roland Barthes sebagai unit analisis.Leksia merupakan satuan bacaan.Leksia ini dapat berupa beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, sebuah paragraph, atau beberapa paragraph dari teks novel Wiwid Prasetyo berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah yang menyiratkan kehidupan Orang miskin sesuai dengan subyek penelitian. Penelitian ini tidak menggunakan sintagmata paradigma sebagai unit analisis karena naratif structural yang ditawarkan roland barthes lebih mempermudah untuk menganalisis teks.

3.4 Corpus Penelitian

Corpus merupakan sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangan oleh analisis dengan semacam kesemenaan, Corpus haruslah cukup luas untuk memberi tanggapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya akan memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan lengkap. Corpus juga bersifat semohomogen mungkin (Kurniawan, 201:70). Corpus pada penelitian ini adalah teks novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Wiwid Prasetyo berupa leksia-leksia yang mengandung unsur kemiskinan.

Kemiskinan disini mengacu pada miskinnya ilmu pendidikan yang diterima oleh masyarakat dan tidak mau untuk belajar betapa pentingnya membaca dan menulis di kehidupan mereka. Dalam penelitian kualitatif ini diperlukan suatu batasan masalah yang disebut corpus dalam novel berkaitan dengan kemiskinan. Corpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas atau berbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisa kesamaan. Menurut Barthes

(43)

35

haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya akan memelihara sebuah system kemiripan dan perbedaan yang lengkap (Kurniawan, 2001:70). Corpus pada penelitian ini adalah teks pada novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Wiwid Prasetyo yang menunjukkan suatu bentuk kemiskinan.

Dalam teks novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Wiwid Prasetyo, terdapat 8 leksia yang menujukkan adanya unsur kemiskinan (orang miskin dilarang sekolah) yaitu :

1. Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.(hal 97)

2. Tetapi meskipun begitu, penampilan mereka lain dari biasanya.

Mereka memakai celana pendek sepaha berwarna merah, tanpa sabuk, dan baju putih yang telah kusam, di pundaknya melingkar tas cangklong berwarna putih, rupanya tas karung gandum itulah penanda kalau mereka kini telah sekolah. (hal 86)

3. Kok, kelasnya cuma seperti ini, aku kira mewah, kata Yudi

memandang ruang sekolah dari luar. Huss, yang penting belajarnya, bukan ruangannya, Aku mencoba menyadarkan mereka dengan tujuan semula. (hal 87)

(44)

36

5. Tabungan kami tak cukup untuk membeli sepatu , sepatu paling

rombeng sekalipun harganya diatas dua puluh ribu, itu uangku menyambit rumput selama sepuluh hari, kata Pambudi dengan raut muka memelas. (hal 91)

6. Meskipun satu dua orang murid-murid di I-2 adalah anak orang kaya, tetapi mereka tak dapat mempengaruhi murid-murid lainnya yang berekonomi sedang, mereka tenggelam dalam alam demokrasi yang tanpa sadar mereka lakukan, hanya saja untuk menguji mental anak baru, agaknya satu pelajaran untuk menguji mereka harus mereka lalui. (hal 95)

7. Rata-rata murid di SD Kartini berasal dari golongan ekonomi

menegah, satu dua murid justru berasal dari golongan high class. (hal 95)

8. Aku tahu, sekolah ini punya banyak keringanan biaya untuk murid berprestasi termasuk untuk orang yang tidak mampu. Kepala sekolah yang memberitahukannya sendiri melalui sosialisasi di kelas atau ditempel di papan pengumuman. Aku tak ingin hanya gara-gara biaya, semangat mereka pupus di tengah jalan. (hal 83)

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

(45)

37

1. Data Primer, yaitu teks novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah”,

penelitian-penelitian sebelumnya, buku-buku, website internet yang berkaitan dengan semiologi dan penggambaran kemiskinan. Data primer ini membantu peneliti dalam menjawab penelitian ini.

2. Data Sekunder, yaitu pernyataan dari penulis novel serta berbagai pengertian mengenai semiotik dan penggambaran kemiskinan yang di dapat dari berbagai sumber. Data sekunder tersebut membantu peneliti dalam memahami latar belakang penulisan novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” dalam permasalahannya.

3.6 Teknik Analisis Data

Seluruh temuan data yang terdapat dalam teks novel “Orang Miskin Dilrang Sekolah” telah dibagi oleh peneliti dalam beberapa langkah teknis. Langkah ini bertujuan untuk memudahkan penganalisaan secara semiotik dan merupakan pengembangan dari Barthes dalam membaca semiotik teks tertulis.

1. Menggunakan semiologi Barthes, dengan mengumpulkan seluruh unit

analisis yang berupa leksia-leksia, yaitu satuan bacaan tertentu berdasarkan pemilihan atas teks “Orang Miskin Dilarang Sekolah” yang sesuai untuk dijadikan subyek penelitian.

(46)

38

konseptual adalah gambaran yang muncul pada peneliti ketika membaca aspek material pada leksia tersebut.

3. Setelah itu peneliti telah menganalisa secara semiologi teks Roland Barthes dengan menemukan kode-kode pokok (Kode hermuetik, semik,

simbolik, proaretik dan kultural) di dalam leksia tersebut. Melalui

kode-kode pembacaan ini kita akan menemukan tanda-tanda dan kode-kode-kode-kode yang menghasilkan makana.

4. Langkah-langkah diatas telah memberikan kesimpulan akhir bagaimana representasi kemiskinan dalam “Orang Miskin Dilarang Sekolah”

(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Obyek Penelitian

Wiwid Prasetyo adalah seorang redaktur maupun reporter di salah satu Majalah FURQON, Pesantrend, Si Dul (majalah anak-anak), serta tabloid Info Plus Semarang. Di kesibukannya menjalani rutinitas sehari-hari Wiwid Prasetyo juga menyempatkan menulis sebuah buku berjudul “Orang Miskin Dilarang Sekolah” yang menceritakan tentang kemiskinan dan pahitnya memperoleh pendidikan sekolah, Seakan-akan sekolah hanya untuk orang-orang yang mampu dan kaya saja, dimana orang-orang miskin tidak dikehendaki untuk bersekolah hanya karna faktor ekonomi.

Inti dari novel dan tokoh yaitu sosok tokoh utama Faisal dalam novel

Orang Miskin Dilarang Sekolah serasa tidak sepaham akan adanya alasan-alasan

tersebut, oleh karena itu Faisal akan membuktikan bahwa untuk meraih pendidikan sekolah tidak hanya memprioritaskan materi (biaya) saja namun sesungguhnya yang diprioritaskan ialah niat berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam mengejar cita-cita.

(48)

40   

lainnya sampai-sampai Faisal paham dan sedikit banyak mengetahui karakter atau sifat-sifat, serta latar belakang mereka.

Dari peristiwa itu Faisal menemukan kejanggalan dalam diri ketiga temannya itu yakni, dari awal sampai sekarang Pambudi, Pepeng, dan Yudi belum bisa merasakan fasilitas duduk di bangku sekolah, bermain dihalaman sekolah serta mendapatkan ilmu pengetahuan dari sekolah. mereka hanya bisa memagut dagu ketika melihat anak-anak pergi bersekolah.

Kejadian itu membuat munculnya suatu kecemasan dalam diri tokoh utama, ialah tokoh utama Faisal dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah

karya Wiwid Prasetyo. Orang yang merasa terancam umumnya adalah orang yang penakut, kalau das Ich (id) atau ego mengontrol soal ini, maka orang lalu menjadi dikejar oleh kecemasan atau ketakutan. Oleh sebab itu fungsi kecemasan itu sendiri ialah sebagai tanda adanya bahaya yang akan terjadi, suatu ancaman terhadap ego yang harus dihindari atau dilawan.

4.2 Penyajian dan Analisis Data

4.2.1 Penyajian Data

Penelitian ini menggunakan obyek sebuah novel “Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Wiwid Prasetyo, pada teksnya terhadap leksia. Berdasarkan sifat representatifnya tanda pada teks novel tersebut diterjemahkan ke dalam struktur dasar elemen literature fisik. Elemen tersebut adalah elemen yang digunakan mengindetifikasi hal yang akan dicari, sebelum melangkah ke tahap interpretasi. Elemen-elemen dasar itu adalah latar belakang novel Orang Miskin Dilarang

(49)

41   

Sekolah yaitu kemiskinan dan kecemasan yang dialami oleh tokoh utama dalam novel ini.

Corpus pada penelitian ini adalh teks novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo berupa leksia-leksia yang mengandung unsur kemiskinan. Dalam teks novel Orang Miskin Dilarang Sekolah terdapat 8 leksia yang menunjukkan adanya unsur kemiskinan :

1. Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.(hal 97)

2. Tetapi meskipun begitu, penampilan mereka lain dari biasanya.

Mereka memakai celana pendek sepaha berwarna merah, tanpa sabuk, dan baju putih yang telah kusam, di pundaknya melingkar tas cangklong berwarna putih, rupanya tas karung gandum itulah penanda kalau mereka kini telah sekolah. (hal 86)

3. Kok, kelasnya cuma seperti ini, aku kira mewah, kata Yudi

memandang ruang sekolah dari luar. Huss, yang penting belajarnya, bukan ruangannya, Aku mencoba menyadarkan mereka dengan tujuan semula. (hal 87)

(50)

42   

5. Tabungan kami tak cukup untuk membeli sepatu , sepatu paling

rombeng sekalipun harganya diatas dua puluh ribu, itu uangku menyambit rumput selama sepuluh hari, kata Pambudi dengan raut muka memelas. (hal 91)

6. Meskipun satu dua orang murid-murid di I-2 adalah anak orang kaya, tetapi mereka tak dapat mempengaruhi murid-murid lainnya yang berekonomi sedang, mereka tenggelam dalam alam demokrasi yang tanpa sadar mereka lakukan, hanya saja untuk menguji mental anak baru, agaknya satu pelajaran untuk menguji mereka harus mereka lalui. (hal 95)

7. Rata-rata murid di SD Kartini berasal dari golongan ekonomi

menegah, satu dua murid justru berasal dari golongan high class. (hal 95)

8. Aku tahu, sekolah ini punya banyak keringanan biaya untuk murid berprestasi termasuk untuk orang yang tidak mampu. Kepala sekolah yang memberitahukannya sendiri melalui sosialisasi di kelas atau ditempel di papan pengumuman. Aku tak ingin hanya gara-gara biaya, semangat mereka pupus di tengah jalan. (hal 83)

2.2 Hasil Analisis Data

Berikut ini adalah kolom yang menjelaskan kalimat dalam leksia yang menunjukkan adanya kemiskinan, selengkapnya sebagai berikut :

(51)

43   

Leksia Kalimat Yang menunjukkan Adanya Kemiskinan

Leksia 1 Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya kesempatan yang sama

untuk memperoleh pendidikan.

Leksia 2 Tetapi meskipun begitu, penampilan mereka lain dari biasanya. Mereka memakai celana pendek sepaha berwarna merah, tanpa sabuk, dan baju putih yang telah kusam, di pundaknya melingkar tas cangklong berwarna putih, rupanya tas karung gandum itulah penanda kalau mereka kini telah sekolah

Leksia 3 Kok, kelasnya cuma seperti ini, aku kira mewah, kata Yudi

memandang ruang sekolah dari luar. Huss, yang penting belajarnya, bukan ruangannya, Aku mencoba menyadarkan mereka dengan tujuan semula

Leksia 4 Iya Pak, maaf Pak kalau pakaian kami seperti ini, karena kami memang tak punya uang untuk membeli seragam baru dan tas seperti murid-murid disini

Leksia 5 Tabungan kami tak cukup untuk membeli sepatu , sepatu paling

rombeng sekalipun harganya diatas dua puluh ribu, itu uangku menyambit rumput selama sepuluh hari, kata Pambudi dengan raut muka memelas

Leksia 6 Meskipun satu dua orang murid-murid di I-2 adalah anak orang

(52)

44   

anak baru, agaknya satu pelajaran untuk menguji mereka harus mereka lalui.

Leksia 7 Rata-rata murid di SD Kartini berasal dari golongan ekonomi

menegah, satu dua murid justru berasal dari golongan high class. Leksia 8 Aku tahu, sekolah ini punya banyak keringanan biaya untuk murid

berprestasi termasuk untuk orang yang tidak mampu. Kepala sekolah yang memberitahukannya sendiri melalui sosialisasi di kelas atau ditempel di papan pengumuman. Aku tak ingin hanya gara-gara biaya, semangat mereka pupus di tengah jalan

Berikut ini adalah kolom yang menjelaskan penggolongan leksia kedalam kode pemmbacaan menurut Roland Barthes beserta kalimat mana dalam leksia tersebut yang menunjukkan salah satu kode pemmbacaan, yaitu:

Kode Pembacaan Leksia Kalimat yang menunjukkan Kode Pembacaan

Pada Leksia

Hermeneutik Leksia 4 Iya Pak, maaf Pak kalau pakaian kami seperti

ini, karena kami memang tak punya uang untuk membeli seragam baru dan tas seperti murid-murid disini

Leksia 5 Tabungan kami tak cukup untuk membeli sepatu , sepatu paling rombeng sekalipun harganya diatas dua puluh ribu, itu uangku menyambit

(53)

45   

rumput selama sepuluh hari, kata Pambudi dengan raut muka memelas

Leksia 2 Tetapi meskipun begitu, penampilan mereka lain dari biasanya. Mereka memakai celana pendek sepaha berwarna merah, tanpa sabuk, dan baju putih yang telah kusam, di pundaknya melingkar tas cangklong berwarna putih, rupanya tas karung gandum itulah penanda kalau mereka kini telah sekolah

Leksia 8 Aku tahu, sekolah ini punya banyak keringanan biaya untuk murid berprestasi termasuk untuk orang yang tidak mampu. Kepala sekolah yang memberitahukannya sendiri melalui sosialisasi di kelas atau ditempel di papan pengumuman. Aku tak ingin hanya gara-gara biaya, semangat mereka pupus di tengah jalan

Semik Leskia 1 Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya

kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan

Simbolik Leksia 6 Meskipun satu dua orang murid-murid di I-2

(54)

46   

alam demokrasi yang tanpa sadar mereka lakukan, hanya saja untuk menguji mental anak baru, agaknya satu pelajaran untuk menguji mereka harus mereka lalui.

Proaretik Leksia 3 Kok, kelasnya cuma seperti ini, aku kira mewah,

kata Yudi memandang ruang sekolah dari luar. Huss, yang penting belajarnya, bukan ruangannya, Aku mencoba menyadarkan mereka dengan tujuan semula

Gnomic Leksia 7 Rata-rata murid di SD Kartini berasal dari

golongan ekonomi menegah, satu dua murid justru berasal dari golongan high class.

(55)

47   

1. Kode Hermeneutik

Leksia 4 (Hal 91)

Iya Pak, maaf Pak kalau pakaian kami seperti ini, karena kami memang tak punya uang untuk membeli seragam baru dan tas seperti murid-murid disini

Leksia di atas digolongkan dalam kode pembacaan Hermeneutik (Kode teka-teki) karena terdapat sebuah narasi yang dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan sebelum memberikan pemecahan atau jawaban. Dari leksia ini terdapat kalimat berkelit dari kemiskinan yang terdapat pada kata, “Iya Pak, maaf Pak kalau pakaian kami seperti ini, karena kami memang tak punya uang untuk membeli seragam baru dan tas seperti murid-murid disini” dapat diartikan faktor ekonomi yang membuat mereka tidak punya yang di punyai oleh orang lain.

Bahwa adanya kemiskinan dalam keadaan yang mereka punya sekarang serba kekurangan, sama sekali berbeda dengan kebanyakan orang yang mempunyai segalanya.

Penanda : Iya Pak, maaf Pak kalau pakaian kami seperti ini, karena kami memang tak punya uang untuk membeli seragam baru dan tas seperti murid-murid disini

Petanda : Menjelaskan kata uang yaitu mata rupiah

(56)

48   

dipunyai oleh orang lain tidak dipunyai oleh diri mereka Penanda Konotatif : karena kami

memang tak punya uang untuk membeli seragam baru dan tas seperti murid-murid disini

Petanda Konotatif : Pada penggunaan kata uang memiliki makna semua yang ada di dunia berhubungan uang

Tanda Konotatif : Dari leksia ini adanya unsur kemiskinan yaitu ketidakpunyaan barang atau sesuatu, dikarenakan faktor ekonomi yang kurang, dan keadaan yang tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkannya.

Leksia 5 (Hal 91)

Tabungan kami tak cukup untuk membeli sepatu , sepatu paling rombeng sekalipun harganya diatas dua puluh ribu, itu uangku menyambit rumput selama sepuluh hari, kata Pambudi dengan raut muka memelas

Leksia di atas digolongkan dalam kode pembacaan hermeneutik (Kode teka-teki), sebuah narasi yang dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan misteri dan misteri sebelum memberikan pemecahan atau jawaban. Dari leksia ini terdapat kalimat yang menggambarkan kemiskinan yang terdapat pada kata, “Tabungan kami tak cukup untuk membeli sepatu , sepatu paling rombeng sekalipun harganya diatas dua puluh ribu, itu uangku menyambit rumput selama sepuluh hari, kata Pambudi dengan raut muka memelas”, dapat diartikan keinginan untuk bersekolah memang ada, tetapi faktor ekomoni lah yang

(57)

49   

membuat ia tak bisa sekolah, untuk membeli sepatu pun ia harus menyabit rumput hingga 10 hari.

Bahwa adanya kemiskinan dalam leksia ini karna faktor ekonomi yang dialaminya, sampai membeli sebuah sepatu pun sebegitu susahnya.

Penanda : Tabungan kami tak cukup untuk membeli sepatu , sepatu paling rombeng sekalipun harganya diatas dua puluh ribu, itu uangku menyambit rumput selama sepuluh hari, kata Pambudi dengan raut muka memelas

Petanda : Menjelaskan kata muka memelas yaitu raut wajah yang meminta sesuatu

Tanda Konotatif : Pada leksia ini menjelaskan bahwa kemiskinan yang mereka alami semua karna faktor ekonomi yang kurang

Penanda Konotatif : Tabungan kami tak cukup untuk membeli sepatu , sepatu paling rombeng sekalipun harganya diatas dua puluh ribu

Petanda Konotatif : Pada penggunaan kata muka memelas memiliki makna mimik wajah seseorang yang perlu dikasihani

(58)

50   

Leksia 2 (Hal 86)

Tetapi meskipun begitu, penampilan mereka lain dari biasanya. Mereka memakai celana pendek sepaha berwarna merah, tanpa sabuk, dan baju putih yang telah kusam, di pundaknya melingkar tas cangklong berwarna putih, rupanya tas karung gandum itulah penanda kalau mereka kini telah sekolah

Leksia di atas digolongkan dalam kode pembacaan Hermeneutik (Kode teka-teki) karena terdapat pemanasan masalah (ketegangan) melalui kata, rupanya tas karung gandum itulah penanda kalau mereka kini telah sekolah, dapat diartikan bahwa mereka mulai bersekolah dengan apa adanya, tas karung gandum sebagai tanda mereka mulai berskolah.

Adanya kemiskinan disini dalam faktor ekonomi, faktor ekonomilah yang membuat mereka seperti itu, tas saja terbuat dari karung gandum.

Penanda : Tetapi meskipun begitu, penampilan mereka lain dari biasanya. Mereka memakai celana pendek sepaha berwarna merah, tanpa sabuk, dan baju putih yang telah kusam, di pundaknya melingkar tas cangklong berwarna putih, rupanya tas karung gandum itulah penanda kalau mereka kini telah sekolah

Petanda : Menjelaskan kata tas gandum yaitu karung yang dibuat menjadi tas

(59)

51   

Tanda Konotaif : Pada leksia ini menjelaskan bahwa ketidakmampuan orang tua karna faktor ekonomi yang kurang

Penanda Konotatif : di pundaknya melingkar tas cangklong berwarna putih, rupanya tas karung gandum itulah penanda kalau mereka kini telah sekolah

Petanda Konotatif : Pada penggunaan kata tas gandum memiliki makna karung gandum yang seharusnya untuk mengisi gandum, malah dibikin tas oleh mereka

Tanda Konotatif : sekali lagi faktor ekonomi yang membuat mereka tidak bisa merasakan apa yang tidak dipunyai oleh orang lain, sampai tas pun mereka menggunakan karung gandum sebagai tas.

Leksia 8 (hal 83)

Aku tahu, sekolah ini punya banyak keringanan biaya untuk murid berprestasi termasuk untuk orang yang tidak mampu. Kepala sekolah yang memberitahukannya sendiri melalui sosialisasi di kelas atau ditempel di papan pengumuman. Aku tak ingin hanya gara-gara biaya, semangat mereka pupus di tengah jalan

(60)

52   

Adanya kemiskinan disini dalam faktor ekonomi, faktor ekonomi yang membuat mereka tak bisa merasakan bangku sekolah, tetapi dengan adanya bantuan dari sekolah maka masalah pembayaran bisa ditangani oleh pihak sekolah.

Penanda : Aku tahu, sekolah ini punya banyak keringanan biaya untuk murid berprestasi termasuk untuk orang yang tidak mampu. Kepala sekolah yang memberitahukannya sendiri melalui sosialisasi di kelas atau ditempel di papan pengumuman. Aku tak ingin hanya gara-gara biaya, semangat mereka pupus di tengah jalan

Petanda : Menjelaskan kata keringanan biaya yaitu mempermudah dalam hal biaya

Tanda Konotaif : Pada leksia ini menjelaskan bahwa sekolah bisa memberikan keringanan pada orang yang kurang mampu

Penanda Konotatif : Aku tahu, sekolah ini punya banyak keringanan biaya untuk murid berprestasi termasuk untuk orang yang tidak mampu.

Petanda Konotatif : Pada penggunaan kata keringanan biaya memiliki makna mengurangi beban seseorang dalam hal biaya

Tanda Konotatif : sekali lagi faktor ekonomi yang membuat mereka tidak bisa merasakan enaknya sekolah, tapi dengan adanya program dari sekolah dalam hal peringanan biaya semua bisa teratasi.

(61)

53   

2. Kode Semik

Leksia 1 (halaman 97)

Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.

Leksia di atas digolongkan dalam kode pembacaan Semik atau kode konotatif karena kilasan makna dalam narasi ini. Terdapat pada “Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan”.

Kemiskinan pada leksia ini terlihat adanya petunjuk, isyarat dari kilasan makna tersebut. Dapat diartikan bahwa adanya stereotype yang melekat pada perbedaan ras. Untuk memperoleh pendidikan saja sulit, karna tiap orang selalu melihat dari golongan apa mereka.

Penanda : Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan

Petanda : Arti kata kesempatan adalah peluang

Tanda Denotatif : Pada leksia ini menunjukkan adanya kemiskinan yaitu pendidikan dimana-mana mahal, bagi orang miskin faktor ekonomi lah yang membuat mereka selalu dibeda-bedakan.

Penanda Konotatif : tiap orang punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.

Gambar

Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes (Sobur, 2003: 69)
Gambar 2.9 Kerangka berfikir

Referensi

Dokumen terkait

 Dari dalam negeri, pemerintah resmi menandatangani formulir B vaksin GAVI Covax Facilities pada 7 Jan-21 un- tuk memperoleh 108 juta dosis vaksin gratis..  Dari

1) Menimbulkan daya tarik bagi pembelajar. Gambar dengan berbagai warna akan lebih menarik dan membangkitkan minat serta perhatian belajar. Suatu penjelasan yang

KP : Emm ya karna satu hobi, satu selera musik, selera fashion, selera kendaraan itu faktor perangkat-perangkat yang bisa melekatkan temen-temen tapi selain itu kita

Data terakhir yang di dapat untuk tahun 2007 angka pengguna internet di Indonesia adalah 25 juta, dan menjelang akhir tahun 2008 ini diperkirakan mampu menyentuh angka 30 juta,

Pada Bab II, penulis akan menguraikan mengenai teori mitos yang terkait dengan objek yang diteliti, yaitu mengenai: Sejarah koinobori ( 鯉のぼり ); Mitos apa yang berhubungan

Untuk tahap kedua siswa melakukan kegiatan selama 1 jam pelajaran yaitu siswa mempelajari materi sistem penilaian persediaan kemudian siswa menjawab soal- soal yang

bhâsa enjâ‟ iyâ [bhâsa enjâ? iyâ] ; yaitu tingkatan berbahasa terendah yang digunakan oleh orang Madura yang menunjukkan keakraban antara penutur dan mitra

Gardu induk merupakan lokasi dimana sistem transmisi harus menyalurkan daya sebesar total beban pada semua feeder yang terhubung dengan gardu induk tersebut ( level