• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.14. Pendekatan Semiotik

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti “tanda” atau seme yang berarti penafsir tanda (Sobur, 2003:16). Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco dalam Sobur, 2004:95).

Menurut Siegers dalam Sobur (2003:16), semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign “tanda-tanda” dan berdasarkan pada sign system (code) “sistem tanda”. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri dan makna meaning ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Little John dalam Sobur 2003:15).

Pokok perhatiannya di sini adalah tanda. Studi tentang, tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi. Semiotika, mempunyai tiga bidang studi utama (Fiske, 2006:60) :

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda

adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini rnencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.

Karena itu semiotika memfokuskan perhatian terutama pada teks. Model-model proses yang linear tidak banyak memberi perhatian terhadap teks karena memperhatikan juga tahapan lain dalam proses komunikasi (Fiske, 2006:61).

2.1.14.1 Model Semiotika Saussure

“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure,” kata John Lyons (1995:3 dalam Sobur, 2004:44). Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistics sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.” (Saussure, 1990:15 dalam Piliang, 2003:256). Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip, bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif (Piliang, 2003:256).

Menurut pandangan Saussure, segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi statik dari suatu ilmu adalah sinkronik. Linguistik, dengan perspektif sinkroniknya, secara khusus memperhatikan relasi-relasi logis dan psikologis yang memadukan terma-terma secara berbarengan dan membentuk suatu sistem dalam pikiran kolektif. Analisis bahasa secara sinkronik adalah analisis bahasa sebagai sistem yang eksis pada suatu titik waktu tertentu (yang seringkali berarti “saat ini” atau kontemporer) dengan mengabaikan route yang telah dilaluinya sehingga dapat berwujud seperti sekarang. Sebaliknya, segala sesuatu yang bersangkutan dengan evolusi adalah diakronik. Linguistik yang diakronik dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yaitu prospektif dan retrospektif. Sudut pandang yang pertama mengikuti majunya arus waktu, sedangkan yang kedua berjalan mundur. Linguistik diakronik mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif mengikat terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat saling bersubtitusi tanpa membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh pikiran kolektif. Meskipun Saussure sendiri dididik dalam tradisi lingusitik diakronik yang sangat kental, preferensinya secara khusus tertuju kepada lingusitik sinkronik. Segala konsep yang dikembangkan di dalam linguistik sinkronik Saussurean ini berkisar pada dikotomi-dikotomi tertentu, yakni penanda dan petanda, langue dan parole, serta sintagmatik dan paradigmatik (Budiman, 2004:38).

2.1.14.2 Signifier dan Signified

Pemikiran Saussure yang paling penting adalah pandangannya tentang tanda. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau

petanda (Sobur, 2004:44). Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan antara signifiant (penanda atau signifier) dan Signifie (petanda atau Signified). Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signifie adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Bertens, 1985:382 dalam Kurniawan 2001:14). Kedua unsur ini seperti dua sisi keping mata uang atau selembar kertas.

Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan desain sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan oleh karena luasnya pengertian tanda itu sendiri. Saussure misalnya menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang–seperti halnya selembar mata uang kertas – yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna (seperti penjelasan sebelumnya).

Penanda + Petanda = Tanda

Berkaitan dengan ini (tanda/penanda/petanda), Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan kesepakatan sosial di antara pengguna bahasa ( Saussure, Culler, 1976:19 dalam Piliang, 2003:258).

Meskipun demikian, di dalam masyarakat informasi dewasa ini terjadi perubahan mendasar tentang bagaiamana tanda dan objek sebagai tanda dipandang dan digunakan. Perubahan ini disebabkan bahwa arus pertukaran tanda atau objek dewasa ini tidak lagi berpusat pada komunitas tertutup akan tetapi melibatkan persinggungan di antara berbagai persinggungan komunitas, kebudayaan dan ideologi (Piliang, 2003:258).

2.1.14.3 Langue dan Parole

Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis: langange, langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran). Langange adalah suatu kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya, langange adalah bahasa pada umumnya. Orang bisu pun sama memiliki langange ini, namun disebabkan, umpamanya, gangguan fisiologis pada bagian tertentu maka dia tidak bisa berbicara secara normal. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa tertentu. Apa yang dinamakan langue

itu menurut Saussure, harus dianggap sebagai sistem. Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah ”living speech”, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya ”tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat (Sobur, 2003:50-51).

Pada saat yang sama, Saussure menyatakan bahwa tinjauan terhadap langue (bahasa sebagai sistem) harus didahulukan dari pada parole (bahasa sebagai tindak penuturan / ujaran). Artinya, posisi sistem bahasa secara umum mendahului dan lebih penting daripada seluruh ujaran nyata yang pernah benar-benar dituturkan. Ini merupakan argumen paling mengejutkan yang lahir dari sudut pandang ilmu-ilmu alam, ilmu di mana bukti fisik positif menjadi satu-satunya bukti yang dapat diterima. Namun demikian, menurut Saussure, bukti fisik positif tidaklah cukup untuk menjelaskan bahasa sebagai bahasa yang menandakan sekaligus memuat informasi (Harland, 2006:15).

2.1.14.4 Associative dan Syntagmatic

Menurut Saussure terdapat dua bentuk di dalam hubungan dan perbedaan antara unsur-unsur bahasa berdasarkan kegiatan mental manusia, yaitu :

1. Hubungan Associative (paradigmatik)

Hubungan eksternal dalam suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu

sistem. Contoh : gambar ‘ketupat mempunyai hubungan paradigmatik dengan peci, sarung dalam iklan Ramadhan.

2. Hubungan Syntagmatic (Sintagmatik)

Menunjuk hubungan suatu tanda dengan tanda-tanda lainnya, baik yang mendahului atau mengikutinya. Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas atau sebab akibat. Dalam kaitannya dengan produksi makna (penciptaan signified), kesadaran sintagmatik mengandaikan bahwa signified suatu tanda tergantung juga pada hubungan logis atau kausalitas.

Dokumen terkait