PENGGAMBARAN LAKI-LAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa
Timur
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
DESAK GDE KALPIKA ADITAMA NPM. 0643010128
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada 9 Juni 2010
Menyetujui, Pembimbing Utama
Juwito, S.sos, MSi NIP. 3 6704 95 0036 1
Tim Penguji : 1. Ketua
Juwito, S.sos, MSi NIP. 3 6704 95 0036 1
2. Sekretaris
Drs. Kusnarto, MSi NIP. 19580801 198402 1 00 1
3. Anggota
Dra. Catur Suratnoaji, MSi NIP. 3 6804 94 0028 1
Mengetahui, D E K A N
Segala puji syukur dan Astungkara atas Waranugraha Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena berkat rahmat dan sinar suci-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi dengan judul PENGGAMBARAN LAKI-LAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band T.R.I.A.D. dalam album T.R.I.A.D.).
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan laporan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, hal ini disebabkan karena sangat terbatasnya ilmu dan pengalaman yang dimiliki penulis dalam menyusun tugas akhir atau skripsi ini. Meskipun demikian, dalam menyusun laporan skripsi penulis telah banyak mendapat bantu dalam memberikan petunjuk, koreksi, dan saran yang bersifat membangun pola pikir, daya kritis, dan memperluas ilmu pengetahuan serta wawasan untuk penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Laporan Skripsi ini, diantaranya adalah :
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati Msi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito, S.Sos, Msi, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Sekaligus
v
serta pinjaman buku untuk menambah literatur penulis.
5. Ajik, Ibu, dan Mama, terima kasih karena selalu memberikan dukungan moral, materiil, saran dan kritik membangun serta doa yang tak henti-hentinya demi keberhasilan penulis dan selalu memberikan kasih sayang yang tak terbatas dan tak bisa dibayar dengan apapun.
6. Kakak dan adikku, Bde, Bli Wira, dan Nanda tersayang atas semangat dan motivasinya.
6. Wi Sidiarta, yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan perhatiannya.
7. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan penulis, TEDDY, DEDE’, MOMO, ICA, makasi karena telah banyak membantu penulis dari mulai kuliah sampai akhirnya bisa menyelesaikan Laporan ini.
8. Teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan semangat, maaf ga bisa nyebutin satu-satu tapi thank’s atas semuanya.
kekurangan dalam menyusun proposal skripsi ini, untuk itu kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan Proposal Skripsi ini.
Surabaya, Mei 2010
Penulis
vii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii
KATA PENGANTAR………...………... iv
DAFTAR ISI ……….………... vii
DAFTAR LAMPIRAN………..….………... x
ABSTRAKSI... xi
BAB I PENDAHULUAN………..….………... 1
1.1. Latar Belakang Masalah………...……….…… 1
1.2. Perumusan Masalah...……...……….. 9
1.3. Tujuan Penelitian...………....……...….. 9
1.4. Manfaat Penelitian...………... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………...……….………... 11
2.1. Landasan Teori...….…….……...……. 11
2.1.1. Komunikasi Sebagai Produksi dan Pertukaran Makna... 11
2.1.2. Musik dan Lagu...……...………..………... 14
2.1.3. Jenis-jenis Musik...…...…………... 15
2.1.4. Lirik Lagu... 17
2.1.5. Penggambaran ... 19
2.1.6. Konsep Gender... 21
2.1.7. Pendekatan Gender... 24
viii
2.1.10.2. Dampak Poligami ... 34
2.1.10.3. Poligami Berseri ... 36
2.1.11. Poliandri ... 36
2.1.12. Laki-laki Lemah dalam Percintaan... 36
2.1.13. Musik Sebagai Media Komunikasi... 37
2.1.14. Pendekatan Semiotik ... 38
2.1.14.1. Model Semiotika Saussure... 39
2.1.14.2. Signifier dan Signified... 40
2.1.14.3. Langue dan Parole... 42
2.1.14.4. Associative dan Syntagmatic... 43
2.2. Kerangka Berpikir... 44
BAB III METODE PENELITIAN... 46
3.1. Metode Penelitian...……...………….... 46
3.2. Definisi Operasional...……….…...………. 47
3.2.1. Penggambaran Laki-Laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati”... 47
3.3. Kerangka Konseptual... 48
3.3.1. Unit Analisis...……...……...……….……….... 48
3.3.2. Corpus... 48
3.4. Teknik Pengumpulan Data... 50
3.5 Teknik Analisis Data... 51
ix
4.2. Penyajian Data... 57
4.3. Pemaknaan Lirik Lagu “Selir Hati” Menurut Teori Tanda Saussure... 59
4.4. Penggambaran Laki-laki... 97
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100
5.1. Kesimpulan... 100
5.2. Saran... 101
DAFTAR PUSTAKA………...………... 103
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Lirik Lagu... 106 Lampiran 2. Profile personil dan Album T.R.I.A.D... 107
Penelitian ini didasarkan pada fenomena munculnya perubahan stereotype laki-laki terhadap perempuan dalam percintaan. Perubahan ini berupaya memperjuangkan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Beberapa media sudah mulai digunakan sebagai sarana sosialisasi kesetaraan gender dan salah satunya melalui lagu. Penelitian didasarkan pada ketertarikan peneliti pada stereotype yang melekat pada diri laki-laki maupun perempuan.
Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana penggambaran laki-laki yang terdapat dalam lirik lagu “Selir Hati”, dengan menggunakan kajian pustaka yaitu komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, musik dan lagu, penggambaran, konsep gender, pendekatan gender, konstruksi sosial gender, budaya patriarki, laki-laki lemah dalam percintaan, musik sebagai media komunikasi dan pendekatan semiotika Saussure.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan semiotik yang dikemukakan oleh Saussure. Unit analisisnya adalah tanda-tanda berupa tulisan terdiri atas kata-kata yang membentuk kalimat yang ada pada lirik lagu “Selir Hati”. Corpus penelitian ini adalah lirik lagu dengan judul “Selir Hati” yang terdapat dalam album TRIAD. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data yaitu lirik lagu “Selir Hati” penggambaran terhadap lirik lagu ini menggunakan dikotomi-dikotomi dari Saussure tentang signifier (penanda) dan signified
(petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); serta syntagmatic (sintagmatik) dan
associative (paradigmatik) untuk mencari tahu penggambaran laki-laki yang terkandung dalam lirik lagu “Selir Hati” berdasarkan konsep gender.
Penelitian ini dilakukan dengan cara memaknai setiap kata yang terdapat dalam baris kalimat, dan setiap baris kalimat yang terdapat dalam bait, serta setiap bait dalam keseluruhan lirik lagu “Selir Hati”, sehingga menghasilkan penggambaran terhadap laki-laki dalam lirik lagu tersebut berupa pesan yang ingin disampaikan yaitu laki-laki dalam menjalin hubungan dalam percintaan ternyata tidak menggunakan rasionya akan tetapi lebih dominan melankolis.
BAB I
PENDAHULUAN
l.1 Latar Belakang Masalah
Dunia musik di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat yang tidak pernah surut, ini ditandai dengan banyaknya sebuah hasil karya musik yang dilahirkan dari para pencipta musik atau musisi karya seni. Bagi para penikmat musik ini adalah sebuah konsumsi publik yang secara psikologis merupakan kebutuhan untuk hiburan atau entertainment, bahkan bisa merupakan semangat kehidupan. Sedangkan bagi pencipta musik ini adalah ungkapan yang berkaitan dengan komunikasi ekspresif artinya harus diakui bahwa musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideology) manusia.
Musik dan lagu merupakan suatu karya seni (budaya) yang mengekspresikan jiwa si pencipta dan lingkungannya. Sebuah karya seni memerlukan sebuah media dalam menyampaikan pesannya, salah satunya adalah musik dan lagu. Berbicara masalah musik dan lagu tidak terlepas dari musik pop dan industri musik. Musik pop disini diartikan sebagai musik populer, bukan hanya genre musik pop. Musik pop dalam komoditasnya sekarang telah dijadikan sebagai sebuah industri yang dapat menghasilkan banyak uang serta mengesampingkan nilai seninya itu sendiri. John Storey dalam bukunya mempunyai asumsi yang dibuat bahwa musik sebagai sebuah industri, industri
musik menentukan nilai guna produk–produk yang dihasilkan. Paling jauh, khalayak secara pasif mengonsumsi apa yang ditawarkan oleh industri musik. Paling buruk, mereka menjadi korban budaya, yang secara ideologis dimanipulasi melalui musik yang mereka konsumsi.
Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah keberadaan lirik lagunya, karena melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di dunia sekitar, dimana dia berinteraksi didalamnya. Lirik lagu adalah sebuah media komunikasi verbal yang memiliki makna pesan didalamnya, sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu untuk memikat perhatian.
Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003:7-8).
Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam Rahmawati (2000:1) yang menyatakan :
“Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.”
Berdasarkan kutipan di atas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.
sendiri dan tidak harus menuruti perintah laki dan sudah saatnya kaum laki-laki tunduk dibawah kaum perempuan. (www.yahoo.com diakses pada tanggal 3 April pukul 20:49 WIB).
Karena itulah dalam penelitian ini penulis menaruh perhatian pada masalah penggambaran laki atau mengenai bagaimana sosok seorang laki-laki yang digambarkan dalam konteks percintaan oleh Ahmad Dhani, seorang penulis lirik lagu sekaligus pentolan band Dewa. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap lirik lagu “Selir Hati”, karena lirik dalam lagu ini menggambarkan seorang laki-laki yang sedang dilanda asmara cinta, dimana posisi laki-laki itu pada lirik lagu “Selir Hati” tersebut menggambarkan sosok laki-laki sabar menanti, penuh perasaan dan lemah dalam percintaan karena bersedia dijadikan pihak ke dua atau selir hati. Hal ini dipertegas dalam reff lirik lagu “Selir Hati” yang berbunyi:
“Aku rela oh aku rela Bila aku hanya menjadi Selir hatimu untuk selamanya Oh aku rela ku rela”.
memiliki ikatan persaudaraan sedarah dan mereka tidak segan untuk tinggal dalam satu atap, walapaun demikian mereka tidak pernah mengalami konflik sedikit pun. Sehingga berbeda dengan laki-laki pada umumnya yang lebih berkuasa dalam segala hal. Padahal dalam sistem patriarki yang berlaku hampir di seluruh Indonesia, telah menganggap sebuah asumsi bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya daripada laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis (Mustaqim, 2003:1). Menurut Ahmad Dhani selaku pencipta lagu, menyatakan bahwa laki-laki tidak selalu berkuasa dalam berbagai hal apa lagi dalam masalah percintaan. Laki-laki pun dapat tunduk tak berdaya bila berurusan dengan cinta. Maka dari itu Ahmad Dhani menciptakan lagu “Selir Hati” untuk mengungkapkan bahwa tidak selamanya laki-laki itu kuat terutama menyangkut masalah percintaan, ini terlihat dari kenyataan yang terjadi di kehidupan nyata. Walaupun dalam kenyataannya Ahmad Dhani sendiri belum pernah mengalami hal seperti ini. (www.kapanlagi.com diakses pada tanggal 9 Juni 2010 pukul 20:10 WIB)
kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah orde baru. (www.balai desa.or.id/gender.htm diakses pada tanggal 27 Maret 2010 pada pukul 13:15 WIB).
Begitu banyak teori yang mengkaji tentang gender dan telah menjadi pembahasan di berbagai pembicaraan maupun diskusi dalam upayanya memperjuangkan kesetaraan gender. (Fakih,1996:159). Meski gender sering dijadikan pembicaraan, tetapi tidak semua orang memahami makna gender itu sendiri bahkan masih banyak terjadi ketidak jelaan dan kesalah pahaman tentang apa yang dimaksud konsep gender. (Fakih,1996:7).
Stereotipe laki-laki sebagai kaum yang kuat dan sebagai makhluk yang gigih di berbagai kegiatan seperti dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kenyataan hidup merupakan sebuah konstruksi sosial budaya yang menghasilkan peran dan tugas yang berbeda sehingga menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan laki-laki selalu terdepan. Stereotipe itu sendiri secara umum memiliki pengertian pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu dan celakanya pelabelan atau penandaan tersebut selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Seperti pendapat Mansour Fakih (1996:16) yang menyatakan :
“Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang diletakkan kepada mereka”.
Kelas sosial telah menempatkan status perempuan dalam posisi sub ordinasi terhadap laki-laki. Tatanan kelas sosial yang demikian antara lain dengan ditandai dengan kesenjangan kekuasaan dibidang ekonomi (perbedaan akses memperoleh sumber-sumber ekonomi), sosial (pengakuan atas peran yang di emban), kesenjangan politik (perbedaan akses memperoleh peran politik). Apabila dibandingkan dengan perempuan, laki-laki cenderung memperoleh akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi, sosial dan politik karena mereka berada pada puncak hierarki dalam sebuah kelas sosial di masyarakat (Bainar,1998:41).
mereka saling membutuhkan dan saling melengkapi. Analogi ini muncul bertolak dari hubungan antara kelas sosial buruh dan kapitalis, perempuan diasumsikan sama dengan kelas buruh (proletar the working class) dan laki-laki sebagai kelas sosial pemilik alat-alat produksi (the bourgeois class) (Fakih,1999:86)
Namun tidak selalu kaum laki-laki mendominasi kaum perempuan, seperti pengamatan penulis terhadap kaum laki-laki disekitar penulis, adanya kesetaraan gender yang mendasari sehingga mengakibatkan laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang sama. Hal ini dapat dilihat dari adanya kaum perempuan banyak yang bekerja (melakukan aktifitas di luar rumah), adanya kebebasan untuk kaum perempuan dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya, dalam masalah percintaan perempuan tidak terlalu menomor satukan dibuktikan dengan banyaknya kaum perempuan yang tidak mau menikah pada usia muda karena perempuan masih mau mencapai cita-citanya.
Fenomena diatas, menurut penulis ditengarai karena pengaruh konstruksi gender secara sosial dan cultural dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, yang membedakan peran gender perempuan dan laki-laki secara tegas. Di sisi lain, budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat kita ini memiliki peranan sentral. Sebagaimana pendapat Mansour Fakih yang menyatakan bahwa posisi sub ordinasi, steriotipe ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh ideologi dan kultur patriarki, yakni ideologi kelelakian (Fakih,1996:151)
perempuan yang dikonstruksikan secara social maupun cultural. Misalnya: bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, tradisional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan, sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri-ciri dan sifat itu dapat dipertukarkan. Dan sedangkan semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki seiring waktu dan dari tempat ke tempat.
Selain ketertarikan terhadap lagu yang bertemakan tentang laki-laki dalam lagu “Selir Hati”, terdapat pula ciri khas dalam gaya bahasa yang digunakan dalam lirik lagunya. Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa yang lugas atau direct (langsung), sebuah gaya bahasa yang biasa dianggap gaya bahasa yang “terus terang”. Gaya bahasa yang terus terang ini dapat mengetahui bahwa di balik kekuatan dan keberanian seorang laki-laki, ternyata juga bisa mengalami hal yang sama seperti apa yang dirasakan oleh kaum perempuan. Jarang sekali penyair lagu laki-laki menuliskan tentang kelemahannya, apabila ditulis oleh penulis lirik lagu laki-laki. Beberapa penelitian bidang sosiolinguistik menemukan bahwa bahasa tak langsung (indirect) biasanya lebih banyak digunakan oleh perempuan, sedangkan bahasa yang langsung (direct) lebih banyak digunakan oleh laki-laki, jika obyek dari lirik tersebut adalah orang lain atau lawan jenisnya. (Rahmawati,2000:10).
bidang kajian semiotik adalah mempelajari fungsi tanda dalam teks, yaitu bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks yang berperan membimbing agar bisa menangkap pesan yang terkandung didalamnya (Hidayat, 1996:163-164 dalam Sobur, 2006:106-107).
Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Signifiant adalah bunyi yang bermakna (aspek material), yakni apa yang ditulis atau dibaca. Signifie adalah gambaran mental yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Bertens, 1985:382 dalam Kurniawan, 2001:14). Penelitian ini secara khusus untuk mengetahui bagaimana laki-laki digambarkan dalam lirik lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan grup band TRIAD dalam album TRIAD.
l.2 Perumusan Masalah
Beradasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana penggambaran laki-laki dalam lirik lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD dalam album TRIAD.
l.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui Bagaimana laki-laki digambarkan dalam lirik lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD.
l.4 Manfaat Penelitian
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Komunikasi Sebagai Produksi dan Pertukaran Makna
Komunikasi adalah salah satu aktivitas manusia yang diakui setiap orang, namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan. Komunikasi adalah berbicara satu sama lain; ia bisa televisi; ia bisa juga penyebaran informasi; ia pun bisa gaya rambut kita; atau pun kritik sastra. Komunikasi bukanlah, suatu subjek, dalam pengertian akademik yang normal mengenai kata itu, melainkan merupakan suatu area studi multidisipliner (Fiske, 2006:7).
Fiske menyatakan pula bahwa semua komunikasi melibatkan tanda (sign) dan kode (codes). Tanda adalah artefak atau tindakan yang merujuk pada sesuatu yang lain di luar tanda itu sendiri; yakni, tanda menandakan konstruk. Kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan yang menentukan bagaiamana tanda-tanda itu mungkin berhubungan satu sama lain. Tanda-tanda dan kode itu ditransmisikan atau dibuat tersedia pada yang lain: dan bahwa pentransmisian atau penerimaan tanda atau kode atau komunikasi adalah praktik hubungan sosial (Fiske, 2006:8).
Ada dua mazhab dalam komunikasi menurut Fiske (2006:8). Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan
menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter menggunakan
saluran dan media komunikasi. Fiske melihat komunikasi sebagai suatu proses
yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind
pribadi yang lain. Mazhab ini disebut mazhab “proses”.
Mazhab kedua melihat komunikasi, sebagai produksi dan pertukaran
makna. Berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan
orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, ia berkenaan dengan peran teks,
dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan
(signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting
dari kegagalan komunikasi–hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara
pengirim dan penerima. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang
teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang
tanda dan makna), dan itu adalah label yang digunakan Fiske untuk
mengidentifikasi pendekatan ini (Fiske, 2006:9).
Mazhab Proses cenderung mempergunakan ilmu-iImu sosial, terutama
psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan
komunikasi. Sedangkan Mazhab Semiotika cenderung mempergunakan linguistik
dan subjek seni, dan cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi.
Masing-masing mazhab menafsirkan definisi kita tentang komunikasi
sebagai interaksi sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama
rnendefinisikan interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi
respons emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini lebih dekat
dengan akal sehat (common sense), penggunaan sehari-hari dari frase tersebut.
Sementara Mazhab Semiotika rnendefinisikan interaksi sosial sebagai yang
membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.
Bagi semiotika, pada sisi yang lain, pesan merupakan suatu konstruksi
tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Pengirim
yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan
bergeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca" dan membaca adalah proses
menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegosiasi
dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek
pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang
menyusun teks. la juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa
sebenarnya teks tersebut. Kita hanya harus melihat bagaimana koran-koran yang
berbeda melaporkan peristiwa yang sama secara berbeda untuk merealisasikan
betapa pentingnya pemahaman ini, pandangan dunia ini, yang tiap-tiap koran
bagikan kepada para pembacanya. Maka pembaca dengan pengalaman sosial yang
berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang
berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan, bukti
yang penting dari kegagalan komunikasi.
Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu
elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk
realitas eksternal dan produser atau pembaca. Memproduksi dan membaca teks
menduduki tempat yang sama dalam hubungan terstruktur ini. Kita bisa
menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah
yang menunjukkan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis,
melainkan suatu praktik yang dinamis (Fiske, 2006:11).
pesan teks
makna
referent produser pembaca
Gambar 2.1 Pesan dan makna
2.1.2 Musik dan Lagu
Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya,
penggubah musik mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain musik
dalam bentuk sistem tanda perantara tertulis. Bagi semiotikus musik, adanya
tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini
sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah
sebabnya mengapa penelitian musik terarah pada sintaksis.
Meski demikian, semiotik tidak dapat hidup hanya dengan sintaksis: tidak
semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan, harus senantiasa membuktikan
hak kehadirannya (Van Zoest, 1993:120-121).
Peranan dan kedudukan lagu adalah penting dalam rangka sosialisasi ide
dan gagasan dalam tradisi kebudayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, seorang
ahli psikologi Indonesia, Dra. Yaumil A. Akhir (Savitri, 1991:3) menyatakan
bahwa musik, lagu dan senandung adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
seluruh hidup manusia, sejak dari buaian sampai akhir hayat, secara universal di
hampir semua lapisan sosial dan di berbagai kebudayaan, manusia mengenal
musik dan lagu menurut caranya masing-masing.
2.1.3 Jenis-jenis Musik
Pada masa ini, masyarakat telah memberi arti bahwa musik populer adalah
musik yang mudah diterima oleh kebanyakan orang dan oleh karenanya
masyarakat banyak yang menyukainya (Sumaryo, 1978:88). Beberapa jenis musik
yang didasarkan pada manfaat agar diketahui lebih dalam adalah :
1. Musik Klasik : terdapat sedikit pergeseran semantik atau pergeseran makna,
seperti terjadi pula pada nama atau istilah lain. Ada tiga tafsiran mengenai musik
klasik yang sering digunakan, yaitu :
a. Pertama : musik klasik adalah jenis musik terkenal yang dibuat atau
diciptakan jauh di masa lalu, tetapi tetap disukai, dimainkan dan diminati
orang sepanjang masa sampai sekarang.
b. Kedua : musik klasik ialah jenis musik yang lahir atau diciptakan oleh
komponis-komponis pada masa klasik, yaitu masa sekitar tahun
c. Ketiga : musik klasik ialah jenis musik yang dibuat pada masa sekarang,
tetapi mengambil gaya, corak, ataupun tehnik yang terdapat pada musik
klasik dari pengertian pertama dan kedua.
2. Musik Jazz : jenis musik yang dianggap lahir dari New Orleans, Amerika
Serikat, pada abad ini merupakan perpaduan antara tehnik dan peralatan musik
Eropa, khususnya Perancis dengan irama bangsa Negro asal Afrika Barat, di
perkebunan-perkebunan kapas New Orleans Selatan.
3. Musik Keroncong : dalam musik ini dipergunakan peralatan dan pernadaan
musik barat, yang dimainkan dan dinyanyikan dengan gaya musik tradisi kita
yang sudah ada sebelumnya misal, permainan alat penumbuk padi, kentongan,
angklung, dan lain-lain.
4. Musik Populer : jenis musik yang selalu memasukkan unsur-unsur ataupun
cara-cara baru yang sedang disukai, atau diharapkan akan disukai oleh pendengar
dewasa ini. Tujuannya adalah memperoleh ledakan popularitas sebesar mungkin
dan secepat mungkin. Walaupun dua atau tiga tahun kemudian tidak ada lagi yang
mendengarkannya.
Ciri musik populer menurut Suka Hardjana yang dilansir Kompas tanggal
19 Mei 2002, merupakan musik orang kebanyakan (common people), komersil,
merupakan hiburan, dan salah satu bentuk dari pengaruh kebudayaan barat.
(Sobur, 2003:145)
Meski disebut musik populer, dari pemain-pemainnya tetap diminta
syarat-syarat musikal. Makin tinggi nilai musikalnya, makin baik. Pemain musik
populer tidak begitu merasa ”tegang” seperti pemain musik seriosa. Yang
disebabkan antara lain adanya kosentrasi yang penuh agar dapat memainkan
musiknya sebaik-baiknya (Sumaryo, 1978 :89).
Band musik populer, disingkat band musik pop, bentuknya berganti-ganti
terus menurut jamannya, apabila dalam tahun 1930-an yang dinamakan band
populer ini berbentuk jazz band atau orkes hawaian, pada waktu sekarang band
yang paling populer sebagian besar alat-alatnya dari gitar elektris, lengkap dengan
pengeras suaranya. (Sumaryo, 1978:90).
2.1.4 Lirik Lagu
Perkembangan lirik lagu di Indonesia sudah mulai muncul sejak setelah
merebut kemerdekaan. Pada paruhan pertama dasawarsa 1950-an. Pada waktu itu
masih dilakukan yang dinamakan ”musikalisasi syair” yaitu menggarap
komposisi-komposisi lagu terhadap puisi-puisi yang telah terlebih dahulu
diciptakan oleh penyair terpandang (Rahmawati, 2002:42).
Musikalisasi syair yang dilakukan oleh para komponis lagu tahun 1950-an
itu salah satunya disebabkan oleh keadaan niaga musik yang tidak bisa menunggu
lama. Pada saat itu para komponis diharapkan mampu menciptakan sebuah lagu
yang diibaratkan seperti kue, dapat dibeli dengan harga murah dan dapat
dinikmati selagi hangat, ini membuat kerja para pemusik pun terpaksa
tergesa-gesa sehingga menyebabkan pula keterbatasan para pencipta lagu untuk
mempersembahkan sebuah karya yang murni dan melodis.
Sebuah lagu tidak bisa direduksi sebatas kata-kata di halaman kertas.
rasakan lebih dahulu sebelum menjadi pernyataan-pernyataan untuk dipahami’
(Frith 1983:14 dalam Storey 2007:134). Lirik lagu ditulis untuk dimainkan dan
hanya akan benar-benar hidup dalam penampilan seorang penyanyi.
”Dalam lagu, kata-kata merupakan tanda dari suara. Sebuah lagu selalu merupakan performa, dan kata-kata dalam lagu senantiasa diucapkan─sarana bagi suara....struktur bunyi yang merupakan tanda langsung dari emosi serta ciri dari karakter....lagu-lagu pop tidak merayakan sesuatu yang diartikulasikan melainkan sesuatu yang tidak terartikulasikan, dan penilaian terhadap penyanyi pop tidak tergantung pada kata-kata melainkan pada bunyi─pada bunyi yang timbul di sekitar kata-kata.” (Frith 1983:35 dalam Storey 2007:135).
Lirik lagu Indonesia pada perkembangannya mulai meninggalkan
kebiasaan mengadaptasi lirik lagu luar negeri, walaupun tidak benar-benar
meninggalkannya. Para lirikus Indonesia sudah mulai menciptakan lirik-lirik lagu
populer berdasarkan fenomena sosial yang sedang terjadi disekitarnya, walaupun
sebagian besar masih bertemakan cinta dengan segala suka dukanya.
Lirik lagu dalam musik pop tidak dimaksudkan sebagai sajak (dan
berupaya mengklaimnya sebagai demikian adalah salah adanya). Musik pop
meminjam bahasa sehari-hari─klise, kata-kata yang basi, kejadian
sehari-hari─dan mementaskannya dalam sebuah permainan suara dan performa yang
efektif. Lirik lagu dalam musik pop adalah membuat kata-kata sederhana menjadi
enak didengar membuat bahasa yang biasa menjadi hidup dan bertenaga;
kata-kata selanjutnya beresonansi─kata-kata itu membawa sentuhan fantasi ke dalam
penggunaan biasa kita atas kata-kata itu (Frith 1983:37 dalam Storey 2007:137).
Salah satu lirik lagu yang sedang populer adalah lagu “Selir Hati” yang
seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan. Dan secara sadar laki-laki
tersebut mau menerima posisinya untuk menjadi selir hati atau kekasih kedua
walaupun dia tahu bahwa perempuan tersebut tidak akan pernah menjadi
miliknya.
2.1.5 Penggambaran
Penggambaran menunjuk baik pada proses maupun produk dari
pemaknaan suatu tanda. Penggambaran juga bisa berarti proses perubahan
konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret.
Penggambaran adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan
melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan
sebagainya. Secara ringkas, penggambaran adalah produksi makna melalui
bahasa. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakases pada tanggal 3
April 2010 pada pukul 21:01 WIB)
Menurut Stuart Hall (1997), penggambaran adalah salah satu praktek
penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang
sangat luas, kebudayaan menyangkut 'pengalaman berbagi'. Seseorang dikatakan
berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu
membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama,
berbicara dalam 'bahasa' yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama
(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakases pada tanggal 3 April
2010 pada pukul 21:01 WIB).
Menurut Stuart Hall, ada dua proses penggambaran. Pertama,
masing-masing (peta konseptual). Penggamabaran mental ini masih berbentuk
sesuatu yang abstrak. Kedua, 'bahasa', yang berperan penting dalam proses
konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus
diterjemahkan dalam 'bahasa' yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan
konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem
'peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat
rantai korespondensi antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang
berfungsi menggambarkan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara
'sesuatu', ‘peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi
makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara
bersama-sama itulah yang kita namakan penggambaran.
Konsep penggambaran bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan
pandangan baru dalam konsep penggambaran yang sudah pernah ada. Intinya
adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan,
diproduksi, lewat proses penggambaran. Ia adalah hasil dari praktek penandaan.
Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu
(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses pada tanggal 3 April 2010
pada pukul 21:06 WIB).
Dalam penelitian ini, penggambaran menunjuk pada pemaknaan
tanda-tanda yang terdapat pada lirik lagu “Selir Hati” dengan mengacu pada konsep
dan lemah dalam percintaan karena bersedia dijadikan pihak ke dua atau selir hati.
Hal ini menunjukkan sebagai gambaran realitas kebudayaan yang ada di
masyarakat.
2.1.6 Konsep Gender
Selama ini orang menganggap bahwa perbedaan antara laki-laki dan
perempuan didasarkan pada jenis kelamin (seks) saja. Jenis kelamin (seks) adalah
persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis pada jenis kelamin tertentu.
Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti “jenis kelamin”)
lebih berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi
hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik tubuh seseorang
(www.media.isnet/diakses pada tanggal 7 April 2010 pada pukul 20:57).
Konsep laki-laki dan perempuan tidak hanya dibagi berdasarkan
perbedaan biologis saja. Pada masyarakat ternyata berkembang suatu sistem yang
membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan stereotype dan
nilai-nilai yang ditanamkan (disosialisasikan) sejak kecil, konsep ini dikenal dengan
nama gender.
Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”.
Dalam kamus Webster’s New Dictionary, gender diartikan sebagai pendekatan
yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa peran
(distinction) dalam peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal “Sex and Gender: An
Introdution” mengartikan gender sebagai suatu harapan budaya terhadap laki-laki
dan perempuan (cultural expectation for women and men). Pendapat ini sejalan
dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua
ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau
perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what a given society defines as
masculine or feminine is a component of gender).
Kata gender belum masuk dalam pembendaharaan kamus besar Bahasa
Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di kantor
Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dengan istilah “jender”. Jender diartikan
sebagai interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yakni
laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan
pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Studi gender
lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (feminity)
seseorang. (www.media.isnet.org/diakses pada tanggal 7 April 2010 pada pukul
21:17).
Kemudian muncul bias jender yang berkembang dimana-mana, antara lain:
1. Perbedaan laki-laki dan perempuan, apa yang sesuai untuk laki-laki dan
perempuan meliputi pekerjaan/kegiatan, pendidikan, penampilan, sikap
2. Perbedaan antara apa yang ideal untuk perempuan dan laki-laki, bahkan
minat mereka pun berbeda.
3. Perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan.
Akibatnya, muncul beberapa stereotype antara lain laki-laki adalah pencari
nafkah, dan perempuan mengasuh anak, dan lain-lain. (Harijani, 2001:2).
Menurut Kreitner dan Kinicki (2003:218) stereotype adalah keyakinan
yang membedakan sifat dan kemampuan antara peran perempuan dan laki-laki
untuk peran-peran yang berbeda. Misalnya stereotype gender menganggap bahwa
perempuan sebagai sosok yang ekspresif, kurang independent, lebih emosional,
kurang logis, secara kuantitatif kurang terorientasi dan lebih sering dianggap
menentukan, orientasinya kuantitatif, dan lebih otokrasi serta terarah daripada
perempuan.
Pandangan stereotype mengamburkan pandangan terhadap manusia secara
pribadi, karena memasukkan setiap jenis manusia kotak stereotype. Oleh karena
itu seorang pribadi, baik perempuan dan laki-laki merasa tidak pantas apabila
“keluar dari kotak” tersebut. Ia akan merasa bersalah apabila tidak memenuhi
kehendak sosial, memenuhi label yang telah diciptakan untuk mereka. Pandangan
ini telah dibakukan melalui tradisi selama berabad-abad sehingga kodrat yang
tidak dapat dirubah, seolah ciri-ciri perempuan dan laki-laki sudah terkunci mati.
(Murniati, 2004:XVIII).
Konstruksi sosial bahwa perempuan itu lemah lembut, emosional, keibuan,
tempat tinggal, seperti melakukan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, serta
tergantung pada laki-laki. Sedangkan laki-laki dikonstruksikan sebagai seorang
yang kuat, rasional, jantan dan perkasa sehingga laki-laki mendapat tugas untuk
bekerja diluar rumah. Sebenarnya sifat tersebut dapat dipertukarkan antara
laki-laki dan perempuan untuk berada dilingkungan luar atau dalam rumah (Fakih,
1996:9).
2.1.7 Pendekatan Gender
Masyarakat Indonesia menerapkan standar ganda terhadap norma
maskulinitas dan feminitas, menjadi penting untuk lebih memahami relasi gender
antara laki-laki dan perempuan, dan juga relasi gender di antara laki-laki sendiri
dalam area sosial tertentu (social setting).
Gender sering dipandang sebagai masalah ketimpangan hubungan laki-laki
dan perempuan, tetapi ketimpangan hubungan itu perlu dikaji lebih dalam karena
ketimpangan gender yang diukur semata-mata oleh pandangan luar, bisa jadi bias
makna, sebab memahami persoalan gender (dan hubungan tidak seimbang itu)
harus dengan memahami kebudayaan (jaringan makna) masyarakat
pendukungnya. Teori Blau sendiri menyatakan bahwa:
1. Selama seorang individu secara nyata memperoleh ganjaran yang
menguntungkan dirinya, baik secara ekstrinsik dan instrinsik, maka
hubungan yang oleh orang luar dianggap tidak seimbang manjadi tidak
2. Selama ketimpangan seksual dan gender itu merupakan sistem norma dan
nilai yang didukung masyarakatnya, maka pengalaman dalam hubungan
seksual akan senantiasa tidak seimbang.
3. Kelanggengan hubungan yang bercorak penguasa dan yang dikuasai
ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak (Hidayana, 2004:61)
Dalam membahas kaum laki-laki dan perempuan konsep penting yang
perlu dipahami adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dan konsep
gender. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan konsep gender
sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami
persoalan-persoalan ketidak adilan sosial baik yang menimpa kaum laki-laki maupun
perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan
gender (gender differences) dan ketidakadilan (gender inequalities) dengan
struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman
dan pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam
membahas masalah ketidakadilan sosial. Maka sesungguhnya terjadi keterkaitan
antara persoalan gender dengan persoalan ketidakadilan sosial lainnya.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender
dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin adalah pembedaan
terhadap manusia yang didasarkan pada alat-alat biologis yang melekat padanya.
Sebagaimana menurut Mansour Fakih (1996:8) sebagai berikut:
Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yaitu: sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksikan secara sosial
cultural, dimana sifat-sifat ini dapat dipertukarkan. Masih menurut Mansour Fakih
(1996:8), diberikan beberapa contoh:
“Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembuh, keibuan. Sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa.”
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis
laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu
terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di
antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial
maupun kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Fakih, 1996:6).
Secara langsung maupun tidak langsung proses sosialisasi gender itu pada
akhirnya dianggap sebagai ketentuan tuhan. Dimana jenis kelamin laki-laki harus
bersikap maskulin dan jenis kelamin perempuan harus bersikap feminim,
sebagaimana streotype yang telah dikonstruksikan. Setiap penyimpangan akan di
tolak dalam peran struktural masyarakat.
2.1.8 Konstruksi Sosial Gender
Mansour Fakih menegaskan bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin
tertentu dan sepanjang sifat itu bias dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil
konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat. (Fakih, 1996:10).
Menurut Wijaya (1991:156) keberadaan konstruksi gender yang
“1. Adat kebiasaan. 2. Kultur.
3. Lingkungan dan pranata membesarkan dan mendidik anak. 4. Lingkungan dan pranata gender, differensiasi (perbedaan gender). 5. Struktur yang berlaku.
6. Kekuasaan.”
Dari beberapa hal diatas, kemudian terjadi pembentukan streotype yaitu
pelabelan atau penandaan yang dilekatkan pada jenis kelamin, antara lain
stereotype laki-laki (maskulinitas) dan stereotype perempuan (feminitas) secara
obyektif, terdapat butir-butir stereotipe maskulin yang bernilai positif, yaitu:
mandiri, sangat agresif, tidak emosional, sangat obyektif, tidak mudah
dipengaruhi, aktif, logis, lugas, tahu bagaimana bertindak, tegar, pandai membuat
keputusan, percaya diri, ambisius, dan sebagainya (Wijaya, 1991:157).
Disamping terdapat butir-butir stereotipe maskulinitas yang positif,
terdapat pula butir-butir stereotipe feminine yang bernilai positif seperti: tidak
suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan,
mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya. (Wijaya, 1991:156)
Mansour Fakih (1991:17) juga menegaskan bahwa masyarakat memiliki
anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe
ini berakibat wajar sekali jika pendidikan perempuan di nomorduakan. Stereotipe
terhadap perempuan ini terjadi dimana-mana dan gender merupakan akar dari
ketidakadilan akibat stereotipe tersebut. Hal ini semakin dilanggengkan oleh
kultur masyarakat yang menganggap stereotipe gender yang dilakukan tersebut
Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil rekayasa
manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat tuhan karena
sifat-sifat yang ada di dalamnya bisa dipertukarkan. Sebagai pendapat Caplan
dalam Fakih (1996:72) yaitu:
“perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.”
Seperti uraian diatas, struktur patriarki memiliki peran yang penting dalam
melanggengkan keberadaan gender. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari
sejarahnya dimana pengaruh ideologi patriarki dalam tatanan hidup sehari-hari
kemasyarakatan kita yang meletakkan secara tegas peran antara laki-laki dan
perempuan, seperti yang dikemukakan oleh Mosse (1996:65):
“pada awalnya, patriarki memang untuk menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai kekuasaan, namun pada akhirnya, istilah patriarki mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.”
Dari pendapat Julia Claves Mosse diatas dapat disimpulkan bahwa
konstruksi sosial gender yang berasal dari patriarki mengakibatkan struktur social
yang tidak adil bersifat tidak setara antara mayoritas dan minoritas. Minoritas
disini tidak di dasarkan pada jumlah melainkan posisi dalam konstruksi social di
mana perempuan berada pada posisi subordinasi terhadap laki-laki akibat nilai
yang mendasari peran-peran sosial, karenanya berada pada posisi minoritas.
Sehingga timbulnya ketidakadilan gender adalah implikasi dari konstruksi sosial
2.1.9 Budaya Patriarki
Superioritas laki-laki atas perempuan bisa diurut mulai dari jaman
penciptaan adam dan hawa, jaman filosofi yunani kuno sampai zaman modern.
Laki-laki dan perempuan tidak hanya dianggap sebagai makhluk yang berbeda,
tetapi juga sebagai seks yang berlawanan. Sebuah pertemuan antara dunia
laki-laki dan perempuan adalah “pertempuran seks” (the battle of the sexes). Laki-laki
dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai “berlawanan” dan
“tidak sama”. (www.kunci.or.id/diakses pada tanggal 8 April 2010 pada pukul
1:50).
Phytagoras, seperti dikisahkan oleh Aristoteles, menyatakan bahwa
laki-laki dan perempuan tidak hanya di tempatkan sebagai “berbeda” tapi juga
“berlawanan”. Laki-laki dan perempuan tidak hanya diasosiasikan dari perbedaan
fisik saja tapi juga persoalan lain. Misalnya laki-laki diasosiasikan dengan segala
sesuatu yang bermakna light, good, right, dan one, sementara perempuan misalnya
diidentifikasi dengan sesuatu yang bad, left, oblong, dan darkness. Seperti halnya
phytagoras, Aristoteles juga beranggapan bahwa laki-laki lebih tinggi
kedudukannya dari perempuan. Aristoteles mengatakan bahwa, secara natural
laki-laki itu superior, dan perempuan itu inferior. Yang superior mengatur yang
inferior, yang inferior harus rela untuk diatur. Secara natural laki-laki dan
perempuan adalah bermakna superior dan inferior, pangaturan dan yang diatur,
jiwa dan tubuh, akal dan nafsu, manusia dan binatang, atau makhluk bebas dan
yang terdingin dan terlemah di alam. (www.kunci.or.id diakses pada tanggal 8
April 2010 pada pukul 02.09 WIB).
Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua
peranan penting adalam masyarakat, dalam pemerintahan, pendidikan, industri,
bisnis, perawatan kesehatan, agama. Dan pada dasarnya perempuan tercerabut
dari akses terhadap kekuasaan itu. Pada awalnya patirarki memang untuk
menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai
kekuasaan umum pada akhirnya, istilah patriarki ini mulai digunakan diseluruh
dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak
didalam keluarga, dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua
lingkup kemasyarakatan lainnya. (Mosse, 1996:65).
Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu team
psikoanalisis yaitu the law of the father yang masuk kedalam kebudayaan lewat
bahasa atau proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992), patriarki
adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki lebih
dominan dan perempuan menempati posisi subordinate. Patriarki adalah suatu
relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antara laki-laki yang mempunyai
landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan.
Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan.
(www.kunci.or.id/diakses pada tanggal 8 April 2010 pada pukul 10:55).
Sylvia Walby (1993), membedakan patriarki menjadi dua yaitu patriarki
wujud patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat, seperti keluarga dan agama
ke wilayah yang lebih luas yaitu Negara. Patriarki privat bermuara pada wilayah
rumah tangga, wilayah ini dikatakan sebagai daerah awal kekuasaan laki-laki atas
perempuan. Sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik
seperti lapangan pekerjaan dan Negara. Dalam wilayah privat, misalnya dalam
rumah tangga yang memegang kekuasaan berada ditangan individu (laki-laki),
tapi di wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan berada ditangan kolektif
(manajemen negara dan pabrik berada ditangan banyak orang).
Rumah adalah tempat dimana sosialisasi awal konstruksi patriarki terjadi.
Pada orang tua melakukan gender pertama-tama pada saat memberi nama
anak-anak mereka. Anak laki-laki umumnya diberi nama Joko, Andi, Budi dan
seterusnya. Anak laki-laki belajar untuk maskulin dari hadiah yang dibelikan oleh
oarang tua dan teman dekat, seperti mobil-mobilan dan robot-robotan untuk anak
laki-laki. Hal ini berlanjut juga untuk persoalan perlakuan ayah-ibu terhadap
anaknya, anak laki-laki diajari untuk bisa membetulkan genteng yang bocor atau
perangkat listrik yang rusak. Orang tua akan cemas dan gelisah jika anak mereka
tidak bertingkah laku sesuai dengan garis kostruksi sosial yang telah menetapkan
bagaimana anak laki-laki dan perempuan bertingkah. (www.kunci.or.id/diakses
pada tanggal 8 April pada pukul 11:13).
2.1.10 Poligami
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada
sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang
memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki
beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami
sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu
kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan
dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.
Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang
oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena
mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.
2.1.10.1 Poligami dan Agama 1. Hindu
Baik poligini maupun poliandri dilakukan oleh sekalangan
masyarakat Hindu pada zaman dulu. Hinduisme tidak melarang maupun
menyarankan poligami. Pada prakteknya dalam sejarah, hanya raja dan kasta
tertentu yang melakukan poligami.
2. Yudaisme
Walaupun kitab-kitab kuna agama Yahudi menandakan bahwa poligami
diizinkan, berbagai kalangan Yahudi kini melarang poligami.
3.Kristen
Gereja-gereja Kristen umumnya, (Protestan, Katolik, Ortodoks, dan
lain-lain) menentang praktek poligami. Namun beberapa gereja memperbolehkan
pandangannya sejak masa Paus Leo XIII pada tahun 1866 yakni dengan melarang
poligami yang berlaku hingga sekarang.
4.Mormonisme
Penganut Mormonisme pimpinan Joseph Smith di Amerika Serikat sejak
tahun 1840-an hingga sekarang mempraktikkan, bahkan hampir mewajibkan
poligami. Tahun 1882 penganut Mormon memprotes keras undang-undang
anti-poligami yang dibuat pemerintah Amerika Serikat.Namun praktik ini resmi
dihapuskan ketika Utah memilih untuk bergabung dengan Amerika Serikat.
Sejumlah gerakan sempalan Mormon sampai kini masih mempraktekkan poligini.
5.Islam
Islam pada dasarnya 'memperbolehkan' seorang pria beristri lebih dari satu
(poligami). Islam 'memperbolehkan' seorang pria beristri hingga empat orang istri
dengan syarat sang suami harus dapat berbuat 'adil' terhadap seluruh istrinya
(Surat an-Nisa ayat 3 4:3). Poligini dalam Islam baik dalam hukum maupun
praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap negara dengan mayoritas
penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang
memperketat aturan poligini untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana
untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia adalah contoh negara
arab dimana poligami tidak diperbolehkan.
2.1.10.2 Dampak Poligami
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya
1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena
merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari
ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2. Dampak ekonomi: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami.
Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap
istri-istrinya, tetapi dalam praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami
lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya
terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat
kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3. Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah
tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan
Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak
sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak
perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu perkawinan
dianggap tidak ada, sepertihak waris dan sebagainya.
4. Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan
suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS),
bahkan rentan terjangkit virusHIV/AIDS.
5. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual
maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami,
walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang
Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa
tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana
kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena
sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.
2.1.10.3 Poligami Berseri
Poligami berseri dalam sosiologi adalah sejenis poligami, namun tidak
dilakukan pada saat yang bersamaan (paralel) melainkan melalui proses
perceraian (perceraian secara hukum, bukan cerai mati). Ketika seorang suami
atau seorang istri bercerai lalu menikah lagi, maka hal itu disebut sebagai
poligami berseri.
2.1.11 Poliandri
Poliandri adalah satu orang perempuan memiliki banyak suami.
Disebut poliandri fraternal jika si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal
bila suami-suami tidak ada hubungan kakak adik kandung.
Poliandri berdampak :
- kurangnya keharmonisan dalam hubungan rumah tangga.
- dampak psikologis bagi anak yang memiliki banyak bapak.
- mendapat celaan dari masyarakat sekitar.
Sehingga poliandri tidak boleh dilakukan.
2.1.12 Laki-laki Lemah dalam Percintaan
Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan, peran, fungsi
dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil
dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman. Sementara perbedaan organ
biologis antara laki-laki dan perempuan terutama dari segi fisik tentu berbeda.
Laki-laki dalam kehidupan percintaan lebih mendominasi, seperti lebih mudah
mengambil keputusan dalam segala hal, tetapi ada juga laki-laki yang lemah
dalam hal ini bukan lemah secara fisik tetapi, lemah secara sifat maksudnya
laki-laki juga bisa sedih, putus asa dalam percintaan, padahal selama ini yang identik
mempunyai sifat lemah adalah perempuan, ternyata laki-laki juga mempunyai
sifat itu, sebaliknya perempuan juga mempunyai sifat seperti laki-laki, seperti
perempuan juga bisa mengambil keputusan secara rasional tanpa mementingkan
perasaannya. (www.cybersastra.net/ diakses pada tanggal 8 April pada pukul
19:34).
2.1.13 Musik sebagai Media Komunikasi
Musik dan lagu merupakan salah satu budaya manusia yang menarik
diantara budaya-budaya manusia yang lain. Dari sisi psikologis humanistis, musik
atau lagu bisa menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam hasrat
akan seni dan kreasi. Dari sisi sosial, lagu bisa disebut sebagai cermin dari tatanan
sosial yang ada dalam masyarakat saat lagu tersebut diciptakan. Dari sisi ekonomi,
lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat menguntungkan (Rakhmat,
1993:19).
Pada dasarnya musik dan lagu juga merupakan kegiatan komunikasi,
karena didalamnya terdapat proses penyampaian pesan dari si pencipta lagu
tersebut kepada khalayak pendengarnya. Pesan yang terkandung dalam sebuah
sebagai orang yang mengirim pesan. Pesan yang disampaikan biasanya bersumber
dari frame of reference dan field of experience. Sedangkan frame of reference dan
field of experience seseorang itu terbentuk dari hasil interaksinya dengan
lingkungan sosial disekitarnya.
2.1.14 Pendekatan Semiotik
Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti “tanda”
atau seme yang berarti penafsir tanda (Sobur, 2003:16). Tanda itu sendiri
didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun
sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco dalam Sobur,
2004:95).
Menurut Siegers dalam Sobur (2003:16), semiotika adalah suatu disiplin
yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign
“tanda-tanda” dan berdasarkan pada sign system (code) “sistem tanda”. Suatu
tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri dan makna meaning ialah
hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Little John dalam Sobur
2003:15).
Pokok perhatiannya di sini adalah tanda. Studi tentang, tanda dan cara
tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi. Semiotika,
mempunyai tiga bidang studi utama (Fiske, 2006:60) :
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan
adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia
yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini rnencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat
atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia
untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung
pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan
bentuknya sendiri.
Karena itu semiotika memfokuskan perhatian terutama pada teks.
Model-model proses yang linear tidak banyak memberi perhatian terhadap teks karena
memperhatikan juga tahapan lain dalam proses komunikasi (Fiske, 2006:61).
2.1.14.1 Model Semiotika Saussure
“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern
dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure,” kata John
Lyons (1995:3 dalam Sobur, 2004:44). Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de
Saussure di dalam Course in General Linguistics sebagai “ilmu yang mengkaji
tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.” (Saussure, 1990:15 dalam
Piliang, 2003:256). Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip, bahwa
semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial
(social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami
Menurut pandangan Saussure, segala sesuatu yang berhubungan dengan
sisi statik dari suatu ilmu adalah sinkronik. Linguistik, dengan perspektif
sinkroniknya, secara khusus memperhatikan relasi-relasi logis dan psikologis
yang memadukan terma-terma secara berbarengan dan membentuk suatu sistem
dalam pikiran kolektif. Analisis bahasa secara sinkronik adalah analisis bahasa
sebagai sistem yang eksis pada suatu titik waktu tertentu (yang seringkali berarti
“saat ini” atau kontemporer) dengan mengabaikan route yang telah dilaluinya
sehingga dapat berwujud seperti sekarang. Sebaliknya, segala sesuatu yang
bersangkutan dengan evolusi adalah diakronik. Linguistik yang diakronik dapat
dibedakan menjadi dua sudut pandang, yaitu prospektif dan retrospektif. Sudut
pandang yang pertama mengikuti majunya arus waktu, sedangkan yang kedua
berjalan mundur. Linguistik diakronik mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif
mengikat terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat saling
bersubtitusi tanpa membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh
pikiran kolektif. Meskipun Saussure sendiri dididik dalam tradisi lingusitik
diakronik yang sangat kental, preferensinya secara khusus tertuju kepada
lingusitik sinkronik. Segala konsep yang dikembangkan di dalam linguistik
sinkronik Saussurean ini berkisar pada dikotomi-dikotomi tertentu, yakni penanda
dan petanda, langue dan parole, serta sintagmatik dan paradigmatik (Budiman,
2004:38).
2.1.14.2 Signifier dan Signified
Pemikiran Saussure yang paling penting adalah pandangannya tentang
petanda (Sobur, 2004:44). Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi
manusia dengan pemilahan antara signifiant (penanda atau signifier) dan Signifie
(petanda atau Signified). Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. Signifie adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek
mental) dari bahasa (Bertens, 1985:382 dalam Kurniawan 2001:14). Kedua unsur
ini seperti dua sisi keping mata uang atau selembar kertas.
Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai
cabang keilmuan dimungkinkan oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk
memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan desain
sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik
sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa maka ia dapat pula dipandang
sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan oleh karena luasnya pengertian tanda itu
sendiri. Saussure misalnya menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat
dipisahkan dari dua bidang–seperti halnya selembar mata uang kertas – yaitu
bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi; dan bidang
petanda (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna (seperti penjelasan
sebelumnya).
Penanda + Petanda = Tanda
Berkaitan dengan ini (tanda/penanda/petanda), Saussure menekankan
perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas
bahasa yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu
disebabkan kesepakatan sosial di antara pengguna bahasa ( Saussure, Culler,
1976:19 dalam Piliang, 2003:258).
Meskipun demikian, di dalam masyarakat informasi dewasa ini terjadi
perubahan mendasar tentang bagaiamana tanda dan objek sebagai tanda
dipandang dan digunakan. Perubahan ini disebabkan bahwa arus pertukaran tanda
atau objek dewasa ini tidak lagi berpusat pada komunitas tertutup akan tetapi
melibatkan persinggungan di antara berbagai persinggungan komunitas,
kebudayaan dan ideologi (Piliang, 2003:258).
2.1.14.3 Langue dan Parole
Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis: langange, langue
(sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran). Langange adalah suatu kemampuan
berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun
pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dan stimulus yang
menunjang. Singkatnya, langange adalah bahasa pada umumnya. Orang bisu pun
sama memiliki langange ini, namun disebabkan, umpamanya, gangguan fisiologis
pada bagian tertentu maka dia tidak bisa berbicara secara normal. Dalam
pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat
sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat
individu. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh merupakan
itu menurut Saussure, harus dianggap sebagai sistem. Jika langue mempunyai
objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah ”living speech”,
yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya.
Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya ”tidak disadari” oleh pengguna
bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi
pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar parole
adalah kalimat (Sobur, 2003:50-51).
Pada saat yang sama, Saussure menyatakan bahwa tinjauan terhadap
langue (bahasa sebagai sistem) harus didahulukan dari pada parole (bahasa
sebagai tindak penuturan / ujaran). Artinya, posisi sistem bahasa secara umum
mendahului dan lebih penting daripada seluruh ujaran nyata yang pernah
benar-benar dituturkan. Ini merupakan argumen paling mengejutkan yang lahir dari
sudut pandang ilmu-ilmu alam, ilmu di mana bukti fisik positif menjadi
satu-satunya bukti yang dapat diterima. Namun demikian, menurut Saussure, bukti
fisik positif tidaklah cukup untuk menjelaskan bahasa sebagai bahasa yang
menandakan sekaligus memuat informasi (Harland, 2006:15).
2.1.14.4 Associative dan Syntagmatic
Menurut Saussure terdapat dua bentuk di dalam hubungan dan perbedaan
antara unsur-unsur bahasa berdasarkan kegiatan mental manusia, yaitu :
1. Hubungan Associative (paradigmatik)
Hubungan eksternal dalam suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang