• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGGAMBARAN LAKILAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” ( Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD)."

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGAMBARAN LAKI-LAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD Dalam Album TRIAD)

 

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa

Timur

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

DESAK GDE KALPIKA ADITAMA NPM. 0643010128

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada 9 Juni 2010

Menyetujui, Pembimbing Utama

Juwito, S.sos, MSi NIP. 3 6704 95 0036 1

Tim Penguji : 1. Ketua

Juwito, S.sos, MSi NIP. 3 6704 95 0036 1

2. Sekretaris

Drs. Kusnarto, MSi NIP. 19580801 198402 1 00 1

3. Anggota

Dra. Catur Suratnoaji, MSi NIP. 3 6804 94 0028 1

Mengetahui, D E K A N

(3)

Segala puji syukur dan Astungkara atas Waranugraha Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa penulis panjatkan karena berkat rahmat dan sinar suci-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Skripsi dengan judul PENGGAMBARAN LAKI-LAKI DALAM LIRIK LAGU “SELIR HATI” (Studi Semiotik Tentang Penggambaran Laki-laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band T.R.I.A.D. dalam album T.R.I.A.D.).

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan laporan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, hal ini disebabkan karena sangat terbatasnya ilmu dan pengalaman yang dimiliki penulis dalam menyusun tugas akhir atau skripsi ini. Meskipun demikian, dalam menyusun laporan skripsi penulis telah banyak mendapat bantu dalam memberikan petunjuk, koreksi, dan saran yang bersifat membangun pola pikir, daya kritis, dan memperluas ilmu pengetahuan serta wawasan untuk penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Laporan Skripsi ini, diantaranya adalah :

1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati Msi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S.Sos, Msi, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Sekaligus

(4)

v

serta pinjaman buku untuk menambah literatur penulis.

5. Ajik, Ibu, dan Mama, terima kasih karena selalu memberikan dukungan moral, materiil, saran dan kritik membangun serta doa yang tak henti-hentinya demi keberhasilan penulis dan selalu memberikan kasih sayang yang tak terbatas dan tak bisa dibayar dengan apapun.

6. Kakak dan adikku, Bde, Bli Wira, dan Nanda tersayang atas semangat dan motivasinya.

6. Wi Sidiarta, yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan perhatiannya.

7. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan penulis, TEDDY, DEDE’, MOMO, ICA, makasi karena telah banyak membantu penulis dari mulai kuliah sampai akhirnya bisa menyelesaikan Laporan ini.

8. Teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan semangat, maaf ga bisa nyebutin satu-satu tapi thank’s atas semuanya.

(5)

kekurangan dalam menyusun proposal skripsi ini, untuk itu kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan Proposal Skripsi ini.

 

Surabaya, Mei 2010

Penulis

(6)

vii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii

KATA PENGANTAR………...………... iv

DAFTAR ISI ……….………... vii

DAFTAR LAMPIRAN………..….………... x

ABSTRAKSI... xi

BAB I PENDAHULUAN………..….………... 1

1.1. Latar Belakang Masalah………...……….…… 1

1.2. Perumusan Masalah...……...……….. 9

1.3. Tujuan Penelitian...………....……...….. 9

1.4. Manfaat Penelitian...………... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………...……….………... 11

2.1. Landasan Teori...….…….……...……. 11

2.1.1. Komunikasi Sebagai Produksi dan Pertukaran Makna... 11

2.1.2. Musik dan Lagu...……...………..………... 14

2.1.3. Jenis-jenis Musik...…...…………... 15

2.1.4. Lirik Lagu... 17

2.1.5. Penggambaran ... 19

2.1.6. Konsep Gender... 21

2.1.7. Pendekatan Gender... 24

(7)

viii

2.1.10.2. Dampak Poligami ... 34

2.1.10.3. Poligami Berseri ... 36

2.1.11. Poliandri ... 36

2.1.12. Laki-laki Lemah dalam Percintaan... 36

2.1.13. Musik Sebagai Media Komunikasi... 37

2.1.14. Pendekatan Semiotik ... 38

2.1.14.1. Model Semiotika Saussure... 39

2.1.14.2. Signifier dan Signified... 40

2.1.14.3. Langue dan Parole... 42

2.1.14.4. Associative dan Syntagmatic... 43

2.2. Kerangka Berpikir... 44

BAB III METODE PENELITIAN... 46

3.1. Metode Penelitian...……...………….... 46

3.2. Definisi Operasional...……….…...………. 47

3.2.1. Penggambaran Laki-Laki Dalam Lirik Lagu “Selir Hati”... 47

3.3. Kerangka Konseptual... 48

3.3.1. Unit Analisis...……...……...……….……….... 48

3.3.2. Corpus... 48

3.4. Teknik Pengumpulan Data... 50

3.5 Teknik Analisis Data... 51

(8)

ix

4.2. Penyajian Data... 57

4.3. Pemaknaan Lirik Lagu “Selir Hati” Menurut Teori Tanda Saussure... 59

4.4. Penggambaran Laki-laki... 97

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100

5.1. Kesimpulan... 100

5.2. Saran... 101

DAFTAR PUSTAKA………...………... 103

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Lirik Lagu... 106 Lampiran 2. Profile personil dan Album T.R.I.A.D... 107

(10)

   

Penelitian ini didasarkan pada fenomena munculnya perubahan stereotype laki-laki terhadap perempuan dalam percintaan. Perubahan ini berupaya memperjuangkan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Beberapa media sudah mulai digunakan sebagai sarana sosialisasi kesetaraan gender dan salah satunya melalui lagu. Penelitian didasarkan pada ketertarikan peneliti pada stereotype yang melekat pada diri laki-laki maupun perempuan.

Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana penggambaran laki-laki yang terdapat dalam lirik lagu “Selir Hati”, dengan menggunakan kajian pustaka yaitu komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, musik dan lagu, penggambaran, konsep gender, pendekatan gender, konstruksi sosial gender, budaya patriarki, laki-laki lemah dalam percintaan, musik sebagai media komunikasi dan pendekatan semiotika Saussure.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan semiotik yang dikemukakan oleh Saussure. Unit analisisnya adalah tanda-tanda berupa tulisan terdiri atas kata-kata yang membentuk kalimat yang ada pada lirik lagu “Selir Hati”. Corpus penelitian ini adalah lirik lagu dengan judul “Selir Hati” yang terdapat dalam album TRIAD. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data yaitu lirik lagu “Selir Hati” penggambaran terhadap lirik lagu ini menggunakan dikotomi-dikotomi dari Saussure tentang signifier (penanda) dan signified

(petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); serta syntagmatic (sintagmatik) dan

associative (paradigmatik) untuk mencari tahu penggambaran laki-laki yang terkandung dalam lirik lagu “Selir Hati” berdasarkan konsep gender.

Penelitian ini dilakukan dengan cara memaknai setiap kata yang terdapat dalam baris kalimat, dan setiap baris kalimat yang terdapat dalam bait, serta setiap bait dalam keseluruhan lirik lagu “Selir Hati”, sehingga menghasilkan penggambaran terhadap laki-laki dalam lirik lagu tersebut berupa pesan yang ingin disampaikan yaitu laki-laki dalam menjalin hubungan dalam percintaan ternyata tidak menggunakan rasionya akan tetapi lebih dominan melankolis.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

l.1 Latar Belakang Masalah

Dunia musik di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat yang tidak pernah surut, ini ditandai dengan banyaknya sebuah hasil karya musik yang dilahirkan dari para pencipta musik atau musisi karya seni. Bagi para penikmat musik ini adalah sebuah konsumsi publik yang secara psikologis merupakan kebutuhan untuk hiburan atau entertainment, bahkan bisa merupakan semangat kehidupan. Sedangkan bagi pencipta musik ini adalah ungkapan yang berkaitan dengan komunikasi ekspresif artinya harus diakui bahwa musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideology) manusia. 

Musik dan lagu merupakan suatu karya seni (budaya) yang mengekspresikan jiwa si pencipta dan lingkungannya. Sebuah karya seni memerlukan sebuah media dalam menyampaikan pesannya, salah satunya adalah musik dan lagu. Berbicara masalah musik dan lagu tidak terlepas dari musik pop dan industri musik. Musik pop disini diartikan sebagai musik populer, bukan hanya genre musik pop. Musik pop dalam komoditasnya sekarang telah dijadikan sebagai sebuah industri yang dapat menghasilkan banyak uang serta mengesampingkan nilai seninya itu sendiri. John Storey dalam bukunya mempunyai asumsi yang dibuat bahwa musik sebagai sebuah industri, industri

(12)

musik menentukan nilai guna produk–produk yang dihasilkan. Paling jauh, khalayak secara pasif mengonsumsi apa yang ditawarkan oleh industri musik. Paling buruk, mereka menjadi korban budaya, yang secara ideologis dimanipulasi melalui musik yang mereka konsumsi.

Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah keberadaan lirik lagunya, karena melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di dunia sekitar, dimana dia berinteraksi didalamnya. Lirik lagu adalah sebuah media komunikasi verbal yang memiliki makna pesan didalamnya, sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu untuk memikat perhatian.

Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003:7-8).

(13)

Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam Rahmawati (2000:1) yang menyatakan :

“Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.”

Berdasarkan kutipan di atas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.

(14)

sendiri dan tidak harus menuruti perintah laki dan sudah saatnya kaum laki-laki tunduk dibawah kaum perempuan. (www.yahoo.com diakses pada tanggal 3 April pukul 20:49 WIB).

Karena itulah dalam penelitian ini penulis menaruh perhatian pada masalah penggambaran laki atau mengenai bagaimana sosok seorang laki-laki yang digambarkan dalam konteks percintaan oleh Ahmad Dhani, seorang penulis lirik lagu sekaligus pentolan band Dewa. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap lirik lagu “Selir Hati”, karena lirik dalam lagu ini menggambarkan seorang laki-laki yang sedang dilanda asmara cinta, dimana posisi laki-laki itu pada lirik lagu “Selir Hati” tersebut menggambarkan sosok laki-laki sabar menanti, penuh perasaan dan lemah dalam percintaan karena bersedia dijadikan pihak ke dua atau selir hati. Hal ini dipertegas dalam reff lirik lagu “Selir Hati” yang berbunyi:

“Aku rela oh aku rela Bila aku hanya menjadi Selir hatimu untuk selamanya Oh aku rela ku rela”.

(15)

memiliki ikatan persaudaraan sedarah dan mereka tidak segan untuk tinggal dalam satu atap, walapaun demikian mereka tidak pernah mengalami konflik sedikit pun. Sehingga berbeda dengan laki-laki pada umumnya yang lebih berkuasa dalam segala hal. Padahal dalam sistem patriarki yang berlaku hampir di seluruh Indonesia, telah menganggap sebuah asumsi bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya daripada laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis (Mustaqim, 2003:1). Menurut Ahmad Dhani selaku pencipta lagu, menyatakan bahwa laki-laki tidak selalu berkuasa dalam berbagai hal apa lagi dalam masalah percintaan. Laki-laki pun dapat tunduk tak berdaya bila berurusan dengan cinta. Maka dari itu Ahmad Dhani menciptakan lagu “Selir Hati” untuk mengungkapkan bahwa tidak selamanya laki-laki itu kuat terutama menyangkut masalah percintaan, ini terlihat dari kenyataan yang terjadi di kehidupan nyata. Walaupun dalam kenyataannya Ahmad Dhani sendiri belum pernah mengalami hal seperti ini. (www.kapanlagi.com diakses pada tanggal 9 Juni 2010 pukul 20:10 WIB)

(16)

kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah orde baru. (www.balai desa.or.id/gender.htm diakses pada tanggal 27 Maret 2010 pada pukul 13:15 WIB).

Begitu banyak teori yang mengkaji tentang gender dan telah menjadi pembahasan di berbagai pembicaraan maupun diskusi dalam upayanya memperjuangkan kesetaraan gender. (Fakih,1996:159). Meski gender sering dijadikan pembicaraan, tetapi tidak semua orang memahami makna gender itu sendiri bahkan masih banyak terjadi ketidak jelaan dan kesalah pahaman tentang apa yang dimaksud konsep gender. (Fakih,1996:7).

(17)

Stereotipe laki-laki sebagai kaum yang kuat dan sebagai makhluk yang gigih di berbagai kegiatan seperti dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kenyataan hidup merupakan sebuah konstruksi sosial budaya yang menghasilkan peran dan tugas yang berbeda sehingga menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan laki-laki selalu terdepan. Stereotipe itu sendiri secara umum memiliki pengertian pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu dan celakanya pelabelan atau penandaan tersebut selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Seperti pendapat Mansour Fakih (1996:16) yang menyatakan :

“Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang diletakkan kepada mereka”.

Kelas sosial telah menempatkan status perempuan dalam posisi sub ordinasi terhadap laki-laki. Tatanan kelas sosial yang demikian antara lain dengan ditandai dengan kesenjangan kekuasaan dibidang ekonomi (perbedaan akses memperoleh sumber-sumber ekonomi), sosial (pengakuan atas peran yang di emban), kesenjangan politik (perbedaan akses memperoleh peran politik). Apabila dibandingkan dengan perempuan, laki-laki cenderung memperoleh akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi, sosial dan politik karena mereka berada pada puncak hierarki dalam sebuah kelas sosial di masyarakat (Bainar,1998:41).

(18)

mereka saling membutuhkan dan saling melengkapi. Analogi ini muncul bertolak dari hubungan antara kelas sosial buruh dan kapitalis, perempuan diasumsikan sama dengan kelas buruh (proletar the working class) dan laki-laki sebagai kelas sosial pemilik alat-alat produksi (the bourgeois class) (Fakih,1999:86)

Namun tidak selalu kaum laki-laki mendominasi kaum perempuan, seperti pengamatan penulis terhadap kaum laki-laki disekitar penulis, adanya kesetaraan gender yang mendasari sehingga mengakibatkan laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang sama. Hal ini dapat dilihat dari adanya kaum perempuan banyak yang bekerja (melakukan aktifitas di luar rumah), adanya kebebasan untuk kaum perempuan dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya, dalam masalah percintaan perempuan tidak terlalu menomor satukan dibuktikan dengan banyaknya kaum perempuan yang tidak mau menikah pada usia muda karena perempuan masih mau mencapai cita-citanya.

Fenomena diatas, menurut penulis ditengarai karena pengaruh konstruksi gender secara sosial dan cultural dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, yang membedakan peran gender perempuan dan laki-laki secara tegas. Di sisi lain, budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat kita ini memiliki peranan sentral. Sebagaimana pendapat Mansour Fakih yang menyatakan bahwa posisi sub ordinasi, steriotipe ini secara tidak sadar juga dijalankan oleh ideologi dan kultur patriarki, yakni ideologi kelelakian (Fakih,1996:151)

(19)

perempuan yang dikonstruksikan secara social maupun cultural. Misalnya: bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, tradisional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan keibuan, sementara itu ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri-ciri dan sifat itu dapat dipertukarkan. Dan sedangkan semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki seiring waktu dan dari tempat ke tempat.

Selain ketertarikan terhadap lagu yang bertemakan tentang laki-laki dalam lagu “Selir Hati”, terdapat pula ciri khas dalam gaya bahasa yang digunakan dalam lirik lagunya. Gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa yang lugas atau direct (langsung), sebuah gaya bahasa yang biasa dianggap gaya bahasa yang “terus terang”. Gaya bahasa yang terus terang ini dapat mengetahui bahwa di balik kekuatan dan keberanian seorang laki-laki, ternyata juga bisa mengalami hal yang sama seperti apa yang dirasakan oleh kaum perempuan. Jarang sekali penyair lagu laki-laki menuliskan tentang kelemahannya, apabila ditulis oleh penulis lirik lagu laki-laki. Beberapa penelitian bidang sosiolinguistik menemukan bahwa bahasa tak langsung (indirect) biasanya lebih banyak digunakan oleh perempuan, sedangkan bahasa yang langsung (direct) lebih banyak digunakan oleh laki-laki, jika obyek dari lirik tersebut adalah orang lain atau lawan jenisnya. (Rahmawati,2000:10).

(20)

bidang kajian semiotik adalah mempelajari fungsi tanda dalam teks, yaitu bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks yang berperan membimbing agar bisa menangkap pesan yang terkandung didalamnya (Hidayat, 1996:163-164 dalam Sobur, 2006:106-107).

Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Signifiant adalah bunyi yang bermakna (aspek material), yakni apa yang ditulis atau dibaca. Signifie adalah gambaran mental yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Bertens, 1985:382 dalam Kurniawan, 2001:14). Penelitian ini secara khusus untuk mengetahui bagaimana laki-laki digambarkan dalam lirik lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan grup band TRIAD dalam album TRIAD.

l.2 Perumusan Masalah

Beradasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana penggambaran laki-laki dalam lirik lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD dalam album TRIAD.

l.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui Bagaimana laki-laki digambarkan dalam lirik lagu “Selir Hati” yang dipopulerkan oleh grup band TRIAD.

l.4 Manfaat Penelitian

(21)

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Komunikasi Sebagai Produksi dan Pertukaran Makna

Komunikasi adalah salah satu aktivitas manusia yang diakui setiap orang, namun hanya sedikit yang bisa mendefinisikannya secara memuaskan. Komunikasi adalah berbicara satu sama lain; ia bisa televisi; ia bisa juga penyebaran informasi; ia pun bisa gaya rambut kita; atau pun kritik sastra. Komunikasi bukanlah, suatu subjek, dalam pengertian akademik yang normal mengenai kata itu, melainkan merupakan suatu area studi multidisipliner (Fiske, 2006:7).

Fiske menyatakan pula bahwa semua komunikasi melibatkan tanda (sign) dan kode (codes). Tanda adalah artefak atau tindakan yang merujuk pada sesuatu yang lain di luar tanda itu sendiri; yakni, tanda menandakan konstruk. Kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan yang menentukan bagaiamana tanda-tanda itu mungkin berhubungan satu sama lain. Tanda-tanda dan kode itu ditransmisikan atau dibuat tersedia pada yang lain: dan bahwa pentransmisian atau penerimaan tanda atau kode atau komunikasi adalah praktik hubungan sosial (Fiske, 2006:8).

Ada dua mazhab dalam komunikasi menurut Fiske (2006:8). Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan 

(22)

menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter menggunakan

saluran dan media komunikasi. Fiske melihat komunikasi sebagai suatu proses

yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind

pribadi yang lain. Mazhab ini disebut mazhab “proses”.

Mazhab kedua melihat komunikasi, sebagai produksi dan pertukaran

makna. Berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan

orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, ia berkenaan dengan peran teks,

dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan

(signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting

dari kegagalan komunikasi–hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara

pengirim dan penerima. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang

teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang

tanda dan makna), dan itu adalah label yang digunakan Fiske untuk

mengidentifikasi pendekatan ini (Fiske, 2006:9).

Mazhab Proses cenderung mempergunakan ilmu-iImu sosial, terutama

psikologi dan sosiologi, dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan

komunikasi. Sedangkan Mazhab Semiotika cenderung mempergunakan linguistik

dan subjek seni, dan cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi.

Masing-masing mazhab menafsirkan definisi kita tentang komunikasi

sebagai interaksi sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama

rnendefinisikan interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi

(23)

respons emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Hal ini lebih dekat

dengan akal sehat (common sense), penggunaan sehari-hari dari frase tersebut.

Sementara Mazhab Semiotika rnendefinisikan interaksi sosial sebagai yang

membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.

Bagi semiotika, pada sisi yang lain, pesan merupakan suatu konstruksi

tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Pengirim

yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan

bergeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca" dan membaca adalah proses

menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegosiasi

dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek

pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang

menyusun teks. la juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa

sebenarnya teks tersebut. Kita hanya harus melihat bagaimana koran-koran yang

berbeda melaporkan peristiwa yang sama secara berbeda untuk merealisasikan

betapa pentingnya pemahaman ini, pandangan dunia ini, yang tiap-tiap koran

bagikan kepada para pembacanya. Maka pembaca dengan pengalaman sosial yang

berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang

berbeda pada teks yang sama. Ini bukanlah, seperti yang telah kami katakan, bukti

yang penting dari kegagalan komunikasi.

Lantas, pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu

elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk

realitas eksternal dan produser atau pembaca. Memproduksi dan membaca teks

(24)

menduduki tempat yang sama dalam hubungan terstruktur ini. Kita bisa

menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah

yang menunjukkan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis,

melainkan suatu praktik yang dinamis (Fiske, 2006:11).

pesan teks

makna

referent produser pembaca

Gambar 2.1 Pesan dan makna

2.1.2 Musik dan Lagu

Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya,

penggubah musik mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain musik

dalam bentuk sistem tanda perantara tertulis. Bagi semiotikus musik, adanya

tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini

sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah

sebabnya mengapa penelitian musik terarah pada sintaksis.

Meski demikian, semiotik tidak dapat hidup hanya dengan sintaksis: tidak

(25)

semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan, harus senantiasa membuktikan

hak kehadirannya (Van Zoest, 1993:120-121).

Peranan dan kedudukan lagu adalah penting dalam rangka sosialisasi ide

dan gagasan dalam tradisi kebudayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, seorang

ahli psikologi Indonesia, Dra. Yaumil A. Akhir (Savitri, 1991:3) menyatakan

bahwa musik, lagu dan senandung adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

seluruh hidup manusia, sejak dari buaian sampai akhir hayat, secara universal di

hampir semua lapisan sosial dan di berbagai kebudayaan, manusia mengenal

musik dan lagu menurut caranya masing-masing.

2.1.3 Jenis-jenis Musik

Pada masa ini, masyarakat telah memberi arti bahwa musik populer adalah

musik yang mudah diterima oleh kebanyakan orang dan oleh karenanya

masyarakat banyak yang menyukainya (Sumaryo, 1978:88). Beberapa jenis musik

yang didasarkan pada manfaat agar diketahui lebih dalam adalah :

1. Musik Klasik : terdapat sedikit pergeseran semantik atau pergeseran makna,

seperti terjadi pula pada nama atau istilah lain. Ada tiga tafsiran mengenai musik

klasik yang sering digunakan, yaitu :

a. Pertama : musik klasik adalah jenis musik terkenal yang dibuat atau

diciptakan jauh di masa lalu, tetapi tetap disukai, dimainkan dan diminati

orang sepanjang masa sampai sekarang.

b. Kedua : musik klasik ialah jenis musik yang lahir atau diciptakan oleh

komponis-komponis pada masa klasik, yaitu masa sekitar tahun

(26)

c. Ketiga : musik klasik ialah jenis musik yang dibuat pada masa sekarang,

tetapi mengambil gaya, corak, ataupun tehnik yang terdapat pada musik

klasik dari pengertian pertama dan kedua.

2. Musik Jazz : jenis musik yang dianggap lahir dari New Orleans, Amerika

Serikat, pada abad ini merupakan perpaduan antara tehnik dan peralatan musik

Eropa, khususnya Perancis dengan irama bangsa Negro asal Afrika Barat, di

perkebunan-perkebunan kapas New Orleans Selatan.

3. Musik Keroncong : dalam musik ini dipergunakan peralatan dan pernadaan

musik barat, yang dimainkan dan dinyanyikan dengan gaya musik tradisi kita

yang sudah ada sebelumnya misal, permainan alat penumbuk padi, kentongan,

angklung, dan lain-lain.

4. Musik Populer : jenis musik yang selalu memasukkan unsur-unsur ataupun

cara-cara baru yang sedang disukai, atau diharapkan akan disukai oleh pendengar

dewasa ini. Tujuannya adalah memperoleh ledakan popularitas sebesar mungkin

dan secepat mungkin. Walaupun dua atau tiga tahun kemudian tidak ada lagi yang

mendengarkannya.

Ciri musik populer menurut Suka Hardjana yang dilansir Kompas tanggal

19 Mei 2002, merupakan musik orang kebanyakan (common people), komersil,

merupakan hiburan, dan salah satu bentuk dari pengaruh kebudayaan barat.

(Sobur, 2003:145)

Meski disebut musik populer, dari pemain-pemainnya tetap diminta

syarat-syarat musikal. Makin tinggi nilai musikalnya, makin baik. Pemain musik

populer tidak begitu merasa ”tegang” seperti pemain musik seriosa. Yang

(27)

disebabkan antara lain adanya kosentrasi yang penuh agar dapat memainkan

musiknya sebaik-baiknya (Sumaryo, 1978 :89).

Band musik populer, disingkat band musik pop, bentuknya berganti-ganti

terus menurut jamannya, apabila dalam tahun 1930-an yang dinamakan band

populer ini berbentuk jazz band atau orkes hawaian, pada waktu sekarang band

yang paling populer sebagian besar alat-alatnya dari gitar elektris, lengkap dengan

pengeras suaranya. (Sumaryo, 1978:90).

2.1.4 Lirik Lagu

Perkembangan lirik lagu di Indonesia sudah mulai muncul sejak setelah

merebut kemerdekaan. Pada paruhan pertama dasawarsa 1950-an. Pada waktu itu

masih dilakukan yang dinamakan ”musikalisasi syair” yaitu menggarap

komposisi-komposisi lagu terhadap puisi-puisi yang telah terlebih dahulu

diciptakan oleh penyair terpandang (Rahmawati, 2002:42).

Musikalisasi syair yang dilakukan oleh para komponis lagu tahun 1950-an

itu salah satunya disebabkan oleh keadaan niaga musik yang tidak bisa menunggu

lama. Pada saat itu para komponis diharapkan mampu menciptakan sebuah lagu

yang diibaratkan seperti kue, dapat dibeli dengan harga murah dan dapat

dinikmati selagi hangat, ini membuat kerja para pemusik pun terpaksa

tergesa-gesa sehingga menyebabkan pula keterbatasan para pencipta lagu untuk

mempersembahkan sebuah karya yang murni dan melodis.

Sebuah lagu tidak bisa direduksi sebatas kata-kata di halaman kertas.

(28)

rasakan lebih dahulu sebelum menjadi pernyataan-pernyataan untuk dipahami’

(Frith 1983:14 dalam Storey 2007:134). Lirik lagu ditulis untuk dimainkan dan

hanya akan benar-benar hidup dalam penampilan seorang penyanyi.

”Dalam lagu, kata-kata merupakan tanda dari suara. Sebuah lagu selalu merupakan performa, dan kata-kata dalam lagu senantiasa diucapkan─sarana bagi suara....struktur bunyi yang merupakan tanda langsung dari emosi serta ciri dari karakter....lagu-lagu pop tidak merayakan sesuatu yang diartikulasikan melainkan sesuatu yang tidak terartikulasikan, dan penilaian terhadap penyanyi pop tidak tergantung pada kata-kata melainkan pada bunyi─pada bunyi yang timbul di sekitar kata-kata.” (Frith 1983:35 dalam Storey 2007:135).

Lirik lagu Indonesia pada perkembangannya mulai meninggalkan

kebiasaan mengadaptasi lirik lagu luar negeri, walaupun tidak benar-benar

meninggalkannya. Para lirikus Indonesia sudah mulai menciptakan lirik-lirik lagu

populer berdasarkan fenomena sosial yang sedang terjadi disekitarnya, walaupun

sebagian besar masih bertemakan cinta dengan segala suka dukanya.

Lirik lagu dalam musik pop tidak dimaksudkan sebagai sajak (dan

berupaya mengklaimnya sebagai demikian adalah salah adanya). Musik pop

meminjam bahasa sehari-hari─klise, kata-kata yang basi, kejadian

sehari-hari─dan mementaskannya dalam sebuah permainan suara dan performa yang

efektif. Lirik lagu dalam musik pop adalah membuat kata-kata sederhana menjadi

enak didengar membuat bahasa yang biasa menjadi hidup dan bertenaga;

kata-kata selanjutnya beresonansi─kata-kata itu membawa sentuhan fantasi ke dalam

penggunaan biasa kita atas kata-kata itu (Frith 1983:37 dalam Storey 2007:137).

Salah satu lirik lagu yang sedang populer adalah lagu “Selir Hati” yang

(29)

seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan. Dan secara sadar laki-laki

tersebut mau menerima posisinya untuk menjadi selir hati atau kekasih kedua

walaupun dia tahu bahwa perempuan tersebut tidak akan pernah menjadi

miliknya.

2.1.5 Penggambaran

Penggambaran menunjuk baik pada proses maupun produk dari

pemaknaan suatu tanda. Penggambaran juga bisa berarti proses perubahan

konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret.

Penggambaran adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan

melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan

sebagainya. Secara ringkas, penggambaran adalah produksi makna melalui

bahasa. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakases pada tanggal 3

April 2010 pada pukul 21:01 WIB)

Menurut Stuart Hall (1997), penggambaran adalah salah satu praktek

penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang

sangat luas, kebudayaan menyangkut 'pengalaman berbagi'. Seseorang dikatakan

berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu

membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama,

berbicara dalam 'bahasa' yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama

(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakases pada tanggal 3 April

2010 pada pukul 21:01 WIB).

Menurut Stuart Hall, ada dua proses penggambaran. Pertama,

(30)

masing-masing (peta konseptual). Penggamabaran mental ini masih berbentuk

sesuatu yang abstrak. Kedua, 'bahasa', yang berperan penting dalam proses

konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus

diterjemahkan dalam 'bahasa' yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan

konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan

mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem

'peta konseptual' kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat

rantai korespondensi antara 'peta konseptual' dengan bahasa atau simbol yang

berfungsi menggambarkan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara

'sesuatu', ‘peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi

makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara

bersama-sama itulah yang kita namakan penggambaran.

Konsep penggambaran bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan

pandangan baru dalam konsep penggambaran yang sudah pernah ada. Intinya

adalah: makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan,

diproduksi, lewat proses penggambaran. Ia adalah hasil dari praktek penandaan.

Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu

(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm diakses pada tanggal 3 April 2010

pada pukul 21:06 WIB).

Dalam penelitian ini, penggambaran menunjuk pada pemaknaan

tanda-tanda yang terdapat pada lirik lagu “Selir Hati” dengan mengacu pada konsep

(31)

dan lemah dalam percintaan karena bersedia dijadikan pihak ke dua atau selir hati.

Hal ini menunjukkan sebagai gambaran realitas kebudayaan yang ada di

masyarakat.

2.1.6 Konsep Gender

Selama ini orang menganggap bahwa perbedaan antara laki-laki dan

perempuan didasarkan pada jenis kelamin (seks) saja. Jenis kelamin (seks) adalah

persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara

biologis pada jenis kelamin tertentu.

Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti “jenis kelamin”)

lebih berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi

hormone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik tubuh seseorang

(www.media.isnet/diakses pada tanggal 7 April 2010 pada pukul 20:57).

Konsep laki-laki dan perempuan tidak hanya dibagi berdasarkan

perbedaan biologis saja. Pada masyarakat ternyata berkembang suatu sistem yang

membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan stereotype dan

nilai-nilai yang ditanamkan (disosialisasikan) sejak kecil, konsep ini dikenal dengan

nama gender.

Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti “jenis kelamin”.

Dalam kamus Webster’s New Dictionary, gender diartikan sebagai pendekatan

yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan

tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa peran

(32)

(distinction) dalam peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara

laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal “Sex and Gender: An

Introdution” mengartikan gender sebagai suatu harapan budaya terhadap laki-laki

dan perempuan (cultural expectation for women and men). Pendapat ini sejalan

dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua

ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau

perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what a given society defines as

masculine or feminine is a component of gender).

Kata gender belum masuk dalam pembendaharaan kamus besar Bahasa

Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di kantor

Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dengan istilah “jender”. Jender diartikan

sebagai interpretasi mental dan cultural terhadap perbedaan kelamin yakni

laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan

pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Studi gender

lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (feminity)

seseorang. (www.media.isnet.org/diakses pada tanggal 7 April 2010 pada pukul

21:17).

Kemudian muncul bias jender yang berkembang dimana-mana, antara lain:

1. Perbedaan laki-laki dan perempuan, apa yang sesuai untuk laki-laki dan

perempuan meliputi pekerjaan/kegiatan, pendidikan, penampilan, sikap

(33)

2. Perbedaan antara apa yang ideal untuk perempuan dan laki-laki, bahkan

minat mereka pun berbeda.

3. Perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan.

Akibatnya, muncul beberapa stereotype antara lain laki-laki adalah pencari

nafkah, dan perempuan mengasuh anak, dan lain-lain. (Harijani, 2001:2).

Menurut Kreitner dan Kinicki (2003:218) stereotype adalah keyakinan

yang membedakan sifat dan kemampuan antara peran perempuan dan laki-laki

untuk peran-peran yang berbeda. Misalnya stereotype gender menganggap bahwa

perempuan sebagai sosok yang ekspresif, kurang independent, lebih emosional,

kurang logis, secara kuantitatif kurang terorientasi dan lebih sering dianggap

menentukan, orientasinya kuantitatif, dan lebih otokrasi serta terarah daripada

perempuan.

Pandangan stereotype mengamburkan pandangan terhadap manusia secara

pribadi, karena memasukkan setiap jenis manusia kotak stereotype. Oleh karena

itu seorang pribadi, baik perempuan dan laki-laki merasa tidak pantas apabila

“keluar dari kotak” tersebut. Ia akan merasa bersalah apabila tidak memenuhi

kehendak sosial, memenuhi label yang telah diciptakan untuk mereka. Pandangan

ini telah dibakukan melalui tradisi selama berabad-abad sehingga kodrat yang

tidak dapat dirubah, seolah ciri-ciri perempuan dan laki-laki sudah terkunci mati.

(Murniati, 2004:XVIII).

Konstruksi sosial bahwa perempuan itu lemah lembut, emosional, keibuan,

(34)

tempat tinggal, seperti melakukan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, serta

tergantung pada laki-laki. Sedangkan laki-laki dikonstruksikan sebagai seorang

yang kuat, rasional, jantan dan perkasa sehingga laki-laki mendapat tugas untuk

bekerja diluar rumah. Sebenarnya sifat tersebut dapat dipertukarkan antara

laki-laki dan perempuan untuk berada dilingkungan luar atau dalam rumah (Fakih,

1996:9).

2.1.7 Pendekatan Gender

Masyarakat Indonesia menerapkan standar ganda terhadap norma

maskulinitas dan feminitas, menjadi penting untuk lebih memahami relasi gender

antara laki-laki dan perempuan, dan juga relasi gender di antara laki-laki sendiri

dalam area sosial tertentu (social setting).

Gender sering dipandang sebagai masalah ketimpangan hubungan laki-laki

dan perempuan, tetapi ketimpangan hubungan itu perlu dikaji lebih dalam karena

ketimpangan gender yang diukur semata-mata oleh pandangan luar, bisa jadi bias

makna, sebab memahami persoalan gender (dan hubungan tidak seimbang itu)

harus dengan memahami kebudayaan (jaringan makna) masyarakat

pendukungnya. Teori Blau sendiri menyatakan bahwa:

1. Selama seorang individu secara nyata memperoleh ganjaran yang

menguntungkan dirinya, baik secara ekstrinsik dan instrinsik, maka

hubungan yang oleh orang luar dianggap tidak seimbang manjadi tidak

(35)

2. Selama ketimpangan seksual dan gender itu merupakan sistem norma dan

nilai yang didukung masyarakatnya, maka pengalaman dalam hubungan

seksual akan senantiasa tidak seimbang.

3. Kelanggengan hubungan yang bercorak penguasa dan yang dikuasai

ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak (Hidayana, 2004:61)

Dalam membahas kaum laki-laki dan perempuan konsep penting yang

perlu dipahami adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dan konsep

gender. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan konsep gender

sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami

persoalan-persoalan ketidak adilan sosial baik yang menimpa kaum laki-laki maupun

perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan

gender (gender differences) dan ketidakadilan (gender inequalities) dengan

struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman

dan pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam

membahas masalah ketidakadilan sosial. Maka sesungguhnya terjadi keterkaitan

antara persoalan gender dengan persoalan ketidakadilan sosial lainnya.

Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender

dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin adalah pembedaan

terhadap manusia yang didasarkan pada alat-alat biologis yang melekat padanya.

Sebagaimana menurut Mansour Fakih (1996:8) sebagai berikut:

(36)

Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender yaitu: sifat yang melekat

pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksikan secara sosial

cultural, dimana sifat-sifat ini dapat dipertukarkan. Masih menurut Mansour Fakih

(1996:8), diberikan beberapa contoh:

“Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembuh, keibuan. Sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa.”

Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis

laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di

antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial

maupun kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Fakih, 1996:6).

Secara langsung maupun tidak langsung proses sosialisasi gender itu pada

akhirnya dianggap sebagai ketentuan tuhan. Dimana jenis kelamin laki-laki harus

bersikap maskulin dan jenis kelamin perempuan harus bersikap feminim,

sebagaimana streotype yang telah dikonstruksikan. Setiap penyimpangan akan di

tolak dalam peran struktural masyarakat.

2.1.8 Konstruksi Sosial Gender

Mansour Fakih menegaskan bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin

tertentu dan sepanjang sifat itu bias dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil

konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat. (Fakih, 1996:10).

Menurut Wijaya (1991:156) keberadaan konstruksi gender yang

(37)

“1. Adat kebiasaan. 2. Kultur.

3. Lingkungan dan pranata membesarkan dan mendidik anak. 4. Lingkungan dan pranata gender, differensiasi (perbedaan gender). 5. Struktur yang berlaku.

6. Kekuasaan.”

Dari beberapa hal diatas, kemudian terjadi pembentukan streotype yaitu

pelabelan atau penandaan yang dilekatkan pada jenis kelamin, antara lain

stereotype laki-laki (maskulinitas) dan stereotype perempuan (feminitas) secara

obyektif, terdapat butir-butir stereotipe maskulin yang bernilai positif, yaitu:

mandiri, sangat agresif, tidak emosional, sangat obyektif, tidak mudah

dipengaruhi, aktif, logis, lugas, tahu bagaimana bertindak, tegar, pandai membuat

keputusan, percaya diri, ambisius, dan sebagainya (Wijaya, 1991:157).

Disamping terdapat butir-butir stereotipe maskulinitas yang positif,

terdapat pula butir-butir stereotipe feminine yang bernilai positif seperti: tidak

suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan,

mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya. (Wijaya, 1991:156)

Mansour Fakih (1991:17) juga menegaskan bahwa masyarakat memiliki

anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe

ini berakibat wajar sekali jika pendidikan perempuan di nomorduakan. Stereotipe

terhadap perempuan ini terjadi dimana-mana dan gender merupakan akar dari

ketidakadilan akibat stereotipe tersebut. Hal ini semakin dilanggengkan oleh

kultur masyarakat yang menganggap stereotipe gender yang dilakukan tersebut

(38)

Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil rekayasa

manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat tuhan karena

sifat-sifat yang ada di dalamnya bisa dipertukarkan. Sebagai pendapat Caplan

dalam Fakih (1996:72) yaitu:

“perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.”

Seperti uraian diatas, struktur patriarki memiliki peran yang penting dalam

melanggengkan keberadaan gender. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari

sejarahnya dimana pengaruh ideologi patriarki dalam tatanan hidup sehari-hari

kemasyarakatan kita yang meletakkan secara tegas peran antara laki-laki dan

perempuan, seperti yang dikemukakan oleh Mosse (1996:65):

“pada awalnya, patriarki memang untuk menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai kekuasaan, namun pada akhirnya, istilah patriarki mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya.”

Dari pendapat Julia Claves Mosse diatas dapat disimpulkan bahwa

konstruksi sosial gender yang berasal dari patriarki mengakibatkan struktur social

yang tidak adil bersifat tidak setara antara mayoritas dan minoritas. Minoritas

disini tidak di dasarkan pada jumlah melainkan posisi dalam konstruksi social di

mana perempuan berada pada posisi subordinasi terhadap laki-laki akibat nilai

yang mendasari peran-peran sosial, karenanya berada pada posisi minoritas.

Sehingga timbulnya ketidakadilan gender adalah implikasi dari konstruksi sosial

(39)

2.1.9 Budaya Patriarki

Superioritas laki-laki atas perempuan bisa diurut mulai dari jaman

penciptaan adam dan hawa, jaman filosofi yunani kuno sampai zaman modern.

Laki-laki dan perempuan tidak hanya dianggap sebagai makhluk yang berbeda,

tetapi juga sebagai seks yang berlawanan. Sebuah pertemuan antara dunia

laki-laki dan perempuan adalah “pertempuran seks” (the battle of the sexes). Laki-laki

dan perempuan dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai “berlawanan” dan

“tidak sama”. (www.kunci.or.id/diakses pada tanggal 8 April 2010 pada pukul

1:50).

Phytagoras, seperti dikisahkan oleh Aristoteles, menyatakan bahwa

laki-laki dan perempuan tidak hanya di tempatkan sebagai “berbeda” tapi juga

“berlawanan”. Laki-laki dan perempuan tidak hanya diasosiasikan dari perbedaan

fisik saja tapi juga persoalan lain. Misalnya laki-laki diasosiasikan dengan segala

sesuatu yang bermakna light, good, right, dan one, sementara perempuan misalnya

diidentifikasi dengan sesuatu yang bad, left, oblong, dan darkness. Seperti halnya

phytagoras, Aristoteles juga beranggapan bahwa laki-laki lebih tinggi

kedudukannya dari perempuan. Aristoteles mengatakan bahwa, secara natural

laki-laki itu superior, dan perempuan itu inferior. Yang superior mengatur yang

inferior, yang inferior harus rela untuk diatur. Secara natural laki-laki dan

perempuan adalah bermakna superior dan inferior, pangaturan dan yang diatur,

jiwa dan tubuh, akal dan nafsu, manusia dan binatang, atau makhluk bebas dan

(40)

yang terdingin dan terlemah di alam. (www.kunci.or.id diakses pada tanggal 8

April 2010 pada pukul 02.09 WIB).

Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua

peranan penting adalam masyarakat, dalam pemerintahan, pendidikan, industri,

bisnis, perawatan kesehatan, agama. Dan pada dasarnya perempuan tercerabut

dari akses terhadap kekuasaan itu. Pada awalnya patirarki memang untuk

menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai

kekuasaan umum pada akhirnya, istilah patriarki ini mulai digunakan diseluruh

dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak

didalam keluarga, dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua

lingkup kemasyarakatan lainnya. (Mosse, 1996:65).

Juliet Mitchell (1994) mendeskripsikan patriarki dalam suatu team

psikoanalisis yaitu the law of the father yang masuk kedalam kebudayaan lewat

bahasa atau proses simbolik lainnya. Menurut Heidi Hartmann (1992), patriarki

adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki lebih

dominan dan perempuan menempati posisi subordinate. Patriarki adalah suatu

relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antara laki-laki yang mempunyai

landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan.

Konsekuensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan.

(www.kunci.or.id/diakses pada tanggal 8 April 2010 pada pukul 10:55).

Sylvia Walby (1993), membedakan patriarki menjadi dua yaitu patriarki

(41)

wujud patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat, seperti keluarga dan agama

ke wilayah yang lebih luas yaitu Negara. Patriarki privat bermuara pada wilayah

rumah tangga, wilayah ini dikatakan sebagai daerah awal kekuasaan laki-laki atas

perempuan. Sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik

seperti lapangan pekerjaan dan Negara. Dalam wilayah privat, misalnya dalam

rumah tangga yang memegang kekuasaan berada ditangan individu (laki-laki),

tapi di wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan berada ditangan kolektif

(manajemen negara dan pabrik berada ditangan banyak orang).

Rumah adalah tempat dimana sosialisasi awal konstruksi patriarki terjadi.

Pada orang tua melakukan gender pertama-tama pada saat memberi nama

anak-anak mereka. Anak laki-laki umumnya diberi nama Joko, Andi, Budi dan

seterusnya. Anak laki-laki belajar untuk maskulin dari hadiah yang dibelikan oleh

oarang tua dan teman dekat, seperti mobil-mobilan dan robot-robotan untuk anak

laki-laki. Hal ini berlanjut juga untuk persoalan perlakuan ayah-ibu terhadap

anaknya, anak laki-laki diajari untuk bisa membetulkan genteng yang bocor atau

perangkat listrik yang rusak. Orang tua akan cemas dan gelisah jika anak mereka

tidak bertingkah laku sesuai dengan garis kostruksi sosial yang telah menetapkan

bagaimana anak laki-laki dan perempuan bertingkah. (www.kunci.or.id/diakses

pada tanggal 8 April pada pukul 11:13).

2.1.10 Poligami

Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada

(42)

sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang

memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).

Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki

beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami

sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu

kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan

dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.

Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang

oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena

mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.

2.1.10.1 Poligami dan Agama 1. Hindu

Baik poligini maupun poliandri dilakukan oleh sekalangan

masyarakat Hindu pada zaman dulu. Hinduisme tidak melarang maupun

menyarankan poligami. Pada prakteknya dalam sejarah, hanya raja dan kasta

tertentu yang melakukan poligami.

2. Yudaisme

Walaupun kitab-kitab kuna agama Yahudi menandakan bahwa poligami

diizinkan, berbagai kalangan Yahudi kini melarang poligami.

3.Kristen

Gereja-gereja Kristen umumnya, (Protestan, Katolik, Ortodoks, dan

lain-lain) menentang praktek poligami. Namun beberapa gereja memperbolehkan

(43)

pandangannya sejak masa Paus Leo XIII pada tahun 1866 yakni dengan melarang

poligami yang berlaku hingga sekarang.

4.Mormonisme

Penganut Mormonisme pimpinan Joseph Smith di Amerika Serikat sejak

tahun 1840-an hingga sekarang mempraktikkan, bahkan hampir mewajibkan

poligami. Tahun 1882 penganut Mormon memprotes keras undang-undang

anti-poligami yang dibuat pemerintah Amerika Serikat.Namun praktik ini resmi

dihapuskan ketika Utah memilih untuk bergabung dengan Amerika Serikat.

Sejumlah gerakan sempalan Mormon sampai kini masih mempraktekkan poligini.

5.Islam

Islam pada dasarnya 'memperbolehkan' seorang pria beristri lebih dari satu

(poligami). Islam 'memperbolehkan' seorang pria beristri hingga empat orang istri

dengan syarat sang suami harus dapat berbuat 'adil' terhadap seluruh istrinya

(Surat an-Nisa ayat 3 4:3). Poligini dalam Islam baik dalam hukum maupun

praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap negara dengan mayoritas

penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang

memperketat aturan poligini untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana

untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia adalah contoh negara

arab dimana poligami tidak diperbolehkan.

2.1.10.2 Dampak Poligami

Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya

(44)

1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena

merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari

ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.

2. Dampak ekonomi: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami.

Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap

istri-istrinya, tetapi dalam praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami

lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya

terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat

kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.

3. Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah

tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan

Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak

sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak

perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu perkawinan

dianggap tidak ada, sepertihak waris dan sebagainya.

4. Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan

suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS),

bahkan rentan terjangkit virusHIV/AIDS.

5. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual

maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami,

walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang

(45)

Efek psikologis bagi anak-anak hasil pernikahan poligami sangat buruk: merasa

tersisih, tak diperhatikan, kurang kasih sayang, dan dididik dalam suasana

kebencian karena konflik itu. Suami menjadi suka berbohong dan menipu karena

sifat manusia yang tidak mungkin berbuat adil.

2.1.10.3 Poligami Berseri

Poligami berseri dalam sosiologi adalah sejenis poligami, namun tidak

dilakukan pada saat yang bersamaan (paralel) melainkan melalui proses

perceraian (perceraian secara hukum, bukan cerai mati). Ketika seorang suami

atau seorang istri bercerai lalu menikah lagi, maka hal itu disebut sebagai

poligami berseri.

2.1.11 Poliandri

Poliandri adalah satu orang perempuan memiliki banyak suami.

Disebut poliandri fraternal jika si suami beradik kakak dan disebut non-fraternal

bila suami-suami tidak ada hubungan kakak adik kandung.

Poliandri berdampak :

- kurangnya keharmonisan dalam hubungan rumah tangga.

- dampak psikologis bagi anak yang memiliki banyak bapak.

- mendapat celaan dari masyarakat sekitar.

Sehingga poliandri tidak boleh dilakukan.

2.1.12 Laki-laki Lemah dalam Percintaan

Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan, peran, fungsi

dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil

(46)

dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman. Sementara perbedaan organ

biologis antara laki-laki dan perempuan terutama dari segi fisik tentu berbeda.

Laki-laki dalam kehidupan percintaan lebih mendominasi, seperti lebih mudah

mengambil keputusan dalam segala hal, tetapi ada juga laki-laki yang lemah

dalam hal ini bukan lemah secara fisik tetapi, lemah secara sifat maksudnya

laki-laki juga bisa sedih, putus asa dalam percintaan, padahal selama ini yang identik

mempunyai sifat lemah adalah perempuan, ternyata laki-laki juga mempunyai

sifat itu, sebaliknya perempuan juga mempunyai sifat seperti laki-laki, seperti

perempuan juga bisa mengambil keputusan secara rasional tanpa mementingkan

perasaannya. (www.cybersastra.net/ diakses pada tanggal 8 April pada pukul

19:34).

2.1.13 Musik sebagai Media Komunikasi

Musik dan lagu merupakan salah satu budaya manusia yang menarik

diantara budaya-budaya manusia yang lain. Dari sisi psikologis humanistis, musik

atau lagu bisa menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam hasrat

akan seni dan kreasi. Dari sisi sosial, lagu bisa disebut sebagai cermin dari tatanan

sosial yang ada dalam masyarakat saat lagu tersebut diciptakan. Dari sisi ekonomi,

lagu merupakan sebuah komoditi yang sangat menguntungkan (Rakhmat,

1993:19).

Pada dasarnya musik dan lagu juga merupakan kegiatan komunikasi,

karena didalamnya terdapat proses penyampaian pesan dari si pencipta lagu

tersebut kepada khalayak pendengarnya. Pesan yang terkandung dalam sebuah

(47)

sebagai orang yang mengirim pesan. Pesan yang disampaikan biasanya bersumber

dari frame of reference dan field of experience. Sedangkan frame of reference dan

field of experience seseorang itu terbentuk dari hasil interaksinya dengan

lingkungan sosial disekitarnya.

2.1.14 Pendekatan Semiotik

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti “tanda”

atau seme yang berarti penafsir tanda (Sobur, 2003:16). Tanda itu sendiri

didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun

sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco dalam Sobur,

2004:95).

Menurut Siegers dalam Sobur (2003:16), semiotika adalah suatu disiplin

yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign

“tanda-tanda” dan berdasarkan pada sign system (code) “sistem tanda”. Suatu

tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri dan makna meaning ialah

hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Little John dalam Sobur

2003:15).

Pokok perhatiannya di sini adalah tanda. Studi tentang, tanda dan cara

tanda-tanda itu bekerja dinamakan semiotika atau semiologi. Semiotika,

mempunyai tiga bidang studi utama (Fiske, 2006:60) :

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang

berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan

(48)

adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia

yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini rnencakup cara

berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat

atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia

untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung

pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan

bentuknya sendiri.

Karena itu semiotika memfokuskan perhatian terutama pada teks.

Model-model proses yang linear tidak banyak memberi perhatian terhadap teks karena

memperhatikan juga tahapan lain dalam proses komunikasi (Fiske, 2006:61).

2.1.14.1 Model Semiotika Saussure

“Jika ada seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern

dialah sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure,” kata John

Lyons (1995:3 dalam Sobur, 2004:44). Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de

Saussure di dalam Course in General Linguistics sebagai “ilmu yang mengkaji

tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.” (Saussure, 1990:15 dalam

Piliang, 2003:256). Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip, bahwa

semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial

(social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami

(49)

Menurut pandangan Saussure, segala sesuatu yang berhubungan dengan

sisi statik dari suatu ilmu adalah sinkronik. Linguistik, dengan perspektif

sinkroniknya, secara khusus memperhatikan relasi-relasi logis dan psikologis

yang memadukan terma-terma secara berbarengan dan membentuk suatu sistem

dalam pikiran kolektif. Analisis bahasa secara sinkronik adalah analisis bahasa

sebagai sistem yang eksis pada suatu titik waktu tertentu (yang seringkali berarti

“saat ini” atau kontemporer) dengan mengabaikan route yang telah dilaluinya

sehingga dapat berwujud seperti sekarang. Sebaliknya, segala sesuatu yang

bersangkutan dengan evolusi adalah diakronik. Linguistik yang diakronik dapat

dibedakan menjadi dua sudut pandang, yaitu prospektif dan retrospektif. Sudut

pandang yang pertama mengikuti majunya arus waktu, sedangkan yang kedua

berjalan mundur. Linguistik diakronik mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif

mengikat terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat saling

bersubtitusi tanpa membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh

pikiran kolektif. Meskipun Saussure sendiri dididik dalam tradisi lingusitik

diakronik yang sangat kental, preferensinya secara khusus tertuju kepada

lingusitik sinkronik. Segala konsep yang dikembangkan di dalam linguistik

sinkronik Saussurean ini berkisar pada dikotomi-dikotomi tertentu, yakni penanda

dan petanda, langue dan parole, serta sintagmatik dan paradigmatik (Budiman,

2004:38).

2.1.14.2 Signifier dan Signified

Pemikiran Saussure yang paling penting adalah pandangannya tentang

(50)

petanda (Sobur, 2004:44). Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi

manusia dengan pemilahan antara signifiant (penanda atau signifier) dan Signifie

(petanda atau Signified). Signifiant adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang

bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau

dibaca. Signifie adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek

mental) dari bahasa (Bertens, 1985:382 dalam Kurniawan 2001:14). Kedua unsur

ini seperti dua sisi keping mata uang atau selembar kertas.

Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai

cabang keilmuan dimungkinkan oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk

memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni dan desain

sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik

sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa maka ia dapat pula dipandang

sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan oleh karena luasnya pengertian tanda itu

sendiri. Saussure misalnya menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat

dipisahkan dari dua bidang–seperti halnya selembar mata uang kertas – yaitu

bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi; dan bidang

petanda (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna (seperti penjelasan

sebelumnya).

Penanda + Petanda = Tanda

(51)

Berkaitan dengan ini (tanda/penanda/petanda), Saussure menekankan

perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas

bahasa yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu

disebabkan kesepakatan sosial di antara pengguna bahasa ( Saussure, Culler,

1976:19 dalam Piliang, 2003:258).

Meskipun demikian, di dalam masyarakat informasi dewasa ini terjadi

perubahan mendasar tentang bagaiamana tanda dan objek sebagai tanda

dipandang dan digunakan. Perubahan ini disebabkan bahwa arus pertukaran tanda

atau objek dewasa ini tidak lagi berpusat pada komunitas tertutup akan tetapi

melibatkan persinggungan di antara berbagai persinggungan komunitas,

kebudayaan dan ideologi (Piliang, 2003:258).

2.1.14.3 Langue dan Parole

Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis: langange, langue

(sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran). Langange adalah suatu kemampuan

berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun

pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dan stimulus yang

menunjang. Singkatnya, langange adalah bahasa pada umumnya. Orang bisu pun

sama memiliki langange ini, namun disebabkan, umpamanya, gangguan fisiologis

pada bagian tertentu maka dia tidak bisa berbicara secara normal. Dalam

pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat

sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat

individu. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh merupakan

(52)

itu menurut Saussure, harus dianggap sebagai sistem. Jika langue mempunyai

objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah ”living speech”,

yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya.

Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya ”tidak disadari” oleh pengguna

bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi

pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar parole

adalah kalimat (Sobur, 2003:50-51).

Pada saat yang sama, Saussure menyatakan bahwa tinjauan terhadap

langue (bahasa sebagai sistem) harus didahulukan dari pada parole (bahasa

sebagai tindak penuturan / ujaran). Artinya, posisi sistem bahasa secara umum

mendahului dan lebih penting daripada seluruh ujaran nyata yang pernah

benar-benar dituturkan. Ini merupakan argumen paling mengejutkan yang lahir dari

sudut pandang ilmu-ilmu alam, ilmu di mana bukti fisik positif menjadi

satu-satunya bukti yang dapat diterima. Namun demikian, menurut Saussure, bukti

fisik positif tidaklah cukup untuk menjelaskan bahasa sebagai bahasa yang

menandakan sekaligus memuat informasi (Harland, 2006:15).

2.1.14.4 Associative dan Syntagmatic

Menurut Saussure terdapat dua bentuk di dalam hubungan dan perbedaan

antara unsur-unsur bahasa berdasarkan kegiatan mental manusia, yaitu :

1. Hubungan Associative (paradigmatik)

Hubungan eksternal dalam suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang

Gambar

Gambar  2.1   Pesan dan makna
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Langue-nya merupakan sekumpulan tanda yang terletak pada setiap kata yang tersusun dari baris kalimat ”Dan kau mata keranjang” yaitu ’Dan’; ’kau’;.

Demikian kemudian pada pemaknaan tingkat kedua, frasa kiasan lanange jagat yang bermakna denotasi menjadi tanda pada pemaknaan tingkat kedua yang bermakna

Dari hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa pesan dakwah yang terdapat dalam lirik lagu album Kuatkan Aku grup musik Vagetoz yaitu pesan akidah, pesan akhlak,

Ku tak bisa sembunyi Gaya bahasa repetisi yang terdapat pada contoh epistrofa adalah perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan seperti yang dituliskan

Dari data yang dianalisis peneliti mengenai penggambaran kesetaraan gender dalam lirik lagu “Rahasiaku” yang dibawakan Gigi, peneliti dapat menyimpulkan, bahwa kesetaraan

Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana penggambaran laki-laki yang terdapat dalam lirik lagu “Selir Hati”, dengan menggunakan kajian pustaka yaitu komunikasi

Dari data yang dianalisis peneliti mengenai penggambaran kesetaraan gender dalam lirik lagu “Rahasiaku” yang dibawakan Gigi, peneliti dapat menyimpulkan, bahwa kesetaraan

Lirik sebuah lagu yang dibawakan oleh grup band D’Masiv yang berjudul “Jangan Menyerah” adalah sebuah proses komunikasi yang mewakili seni karena terdapat informasi atau pesan