• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Sistem dan Soft System Methodology

Dalam dokumen 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Taman Nasional (Halaman 32-40)

Teori sistem dipelopori oleh Bertalanffy yang memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori yang dapat diterapkan pada berbagai bidang ilmu.

Kerangka tersebut dikenal sebagai General System Theory yang didasari oleh pemikiran perlunya generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien. Sistem merupakan suatu agregasi atau kumpulan objek-objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan saling tergantung.

Konsep sistem merupakan awal dari studi sistem yang selanjutnya akan didesain dan dievaluasi (Dubrowsky 2004; Eriyatno & Sofyar 2007; Drack 2009).

Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan komponen-komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan. Pengertian komponen atau unsur adalah benda, baik kongkrit atau abstrak yang menyusun suatu sistem. Tujuan sistem merupakan unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur dan keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan sistem.

Gangguan salah satu unsur akan mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi unjuk kerja sistem secara keseluruhan. Interaksi antar komponen atau unsur merupakan ikatan atau hubungan antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada suatu sistem sehingga dapat dibedakan dari sistem lainnya dan interaksi ini mempengaruhi perilaku sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem memiliki dua sifat utama yang berkaitan dengan aspek struktur dan aspek perilaku. Struktur sistem

berkaitan dengan susunan dan rangkaian diantara elemen-elemen penyusunnya dan perilaku sistem yang berkaitan dengan input dan output sistem (Eriyatno, 2003; Muhammadi et al. 2001).

Lebih lanjut Marimin (2005) menyebutkan bahwa sebuah sistem pada umumnya mempunyai beberapa sifat mendasar, antara lain:

1) berorientasi kepada tujuan dan dalam proses pencapaian tujuan akan terjadi perubahan yang terus menerus sehingga bersifat dinamis,

2) satu kesatuan usaha dimana hasil kerja sistem secara keseluruhan melebihi dari jumlah hasil kerja dari masing-masing bagian sistem secara sendiri-sendiri atau bersifat sinergis,

3) terbuka terhadap lingkungan, yang berarti bahwa lingkungan merupakan sumber kesempatan ataupun hambatan unjuk kerja sistem,

4) adanya transformasi, yang merupakan proses perubahan input menjadi output yang dilakukan oleh sistem,

5) interaksi antara bagian maupun subsistem, dan

6) adanya mekanisme pengendalian, yang menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberikan informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan masalah yang dihadapi.

Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan cara penyelesaian persoalan yang sangat berbeda dari pendekatan konvensional. Pendekatan konvensional menekankan pada aspek analisis elemen-elemen secara parsial atau tereduksi.

Sedangkan pendekatan sistem menekankan pada aspek analisis interaksi elemen dan perilaku sistem secara keseluruhan atau holistik. Pendekatan sistem dimulai dengan dilakukannya identifikasi kebutuhan-kebutuhan pemangku kepentingan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari suatu sistem yang dianggap efektif.

Pendekatan sistem memiliki dua hal utama, yaitu pencarian semua faktor penting yang terdapat dalam sistem untuk mendapatkan solusi penyelesaian masalah yang baik serta pembuatan suatu model konseptual dan kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional (Eriyatno 2003).

Pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan dan penyelesaian persoalan yang kompleks terfokus pada pemahaman proses interaksi yang terjadi dalam sistem (Richardson & Pugh 1983). Hal ini dilandasi oleh filosofi bahwa struktur sistem bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan dalam sistem dengan berjalannya waktu. Premisnya adalah perilaku dinamik merupakan konsekuensi dari struktur sistem. Pendekatan sistem cenderung untuk melihat sebab dan konsekuensi dari perilaku di dalam sistem. Persoalan atau output yang tidak dikehendaki dari sistem tidak dipandang sebagai akibat dari agen atau komponen di luar sistem. Sedangkan tahapan pendekatan sistem dalam penyelesaian persoalan yang kompleks meliputi: 1) definisi dan identifikasi masalah, 2) konseptualisasi sistem, 3) formulasi model, 4) analisis perilaku model, 5) evaluasi model, 6) analisis kebijakan dan 7) implementasi atau penggunaan model. Secara skematis, proses pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan atau penyelesaian persoalan ditunjukkan pada Gambar 4.

Analisis kebijakan

Simulasi

Formulasi model

Konseptualisasi sistem Definisi masalah Pemahaman sistem

Implementasi kebijakan

Gambar 4 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983)

Menurut Jackson (2000) pendekatan sistem dalam aplikasi system thinking untuk penelitian dan intervensi kebijakan dapat dibedakan menjadi pendekatan sistem: 1) fungsionalis, 2) interpretasi, 3) emansipatori, dan 4) postmodern.

Pengklasifikasian ini didasarkan atas metodologi yang digunakan. Sedangkan Checkland (2000) dengan berdasarkan atas keterkaitan antara systems thinking dan systems practice membedakan pendekatan sistem menjadi hard system dan soft system. Hard system thinking dengan landasan paradigma optimasi sangat tepat digunakan pada pemecahan masalah teknis yang tersturktur dan tujuannya telah diketahui sebelumnya, sedangkan soft system thinking dengan paradigma pembelajaran lebih tepat digunakan pada situasi pemecahan persoalan yang tidak terstruktur dan melibatkan aspek manusia dan sosial budaya. Pendekatan sistem lunak dapat dilakukan dengan menggunakan Soft System Methodology (SSM) yang bersifat interpretasi jika situasi permasalahan yang dihadapi bersifat kompleks dan messy atau ill-defined (Christis 2005).

Metodologi SSM dikembangkan oleh Checkland (1999) dengan landasan pemikiran bahwa dalam rangka perbaikan sistem di dunia nyata, setiap tindakan oleh manusia pasti memiliki makna bagi dirinya sehingga pemodelan sistem aktifitas manusia akan menggambarkan karakteristik tujuan tertentu yang diinginkannya. Selanjutnya, dalam pemodelan sistem aktifitas manusia dalam rangka mengeksplorasi tindakan manusia di dunia nyata memungkinkan munculnya beragam interpretasi terhadap suatu tujuan tertentu sehingga dapat dibangun banyak model. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemodelan perlu dipilih pandangan (world view) yang paling relevan sebagai landasan dalam pemodelan untuk mengekplorasi situasi masalah sehingga dapat diperoleh konsep yang dapat digunakan (usable concept). SSM digunakan pada situasi dimana karena berbagai alasan merupakan situasi yang problematik bagi pihak yang berkepentingan dan melalui pemodelan konseptual yang relevan akan dapat teridentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan situasi problematik tersebut (Checkland & Scholes 1999). Metodologi SSM mencakup 7 langkah atau tahapan proses (Gambar 5) dimana dapat dibedakan antara aktifitas

di dunia nyata yang melibatkan para pihak terkait situasi problematik dan aktifitas system thinking yang dapat berkaitan maupun tidak dengan situasi problematik.

Tahapan proses tersebut meliputi:

1) Situasi permasalahan tidak terstruktur.

2) Situasi permasalahan terekspresikan.

3) Definisi mendasar sistem yang relevan.

4) Model konseptual.

5) Perbandingan model dengan dunia nyata.

6) Perubahan yang diharapkan dan layak.

7) Tindakan untuk memperbaiki situasi problematik.

Tahapan 1 dan 2 merupakan fase pengungkapan situasi yang dipersepsikan sebagai masalah. Analisis yang dilakukan dalam fase ini menyangkut identifikasi elemen kunci dari struktur dan proses, serta interaksi antar elemen dan proses dari situasi masalah. Tahap 3 merupakan tahapan pendefinisian sistem yang relevan untuk memperbaiki situasi masalah. Formulasi ini dapat dimodifikasi kembali dalam proses iterasi dan pendalaman. Selanjutnya berdasarkan definisi sistem yang telah terbentuk maka dilakukan tahap 4, yaitu membangun model konseptual dari sistem aktifitas manusia yang memuat sekumpulan aktifitas minimal yang diperlukan. Jika dijumpai kekurangan dan diperlukan transformasi untuk pembentukan model konseptual maka dapat digunakan konsep sistem formal dan pemikiran sistem yang lain. Pada tahap 5 dilakukan pembandingan model konseptual dengan persepsi yang ada di dunia nyata. Pembandingan ini sebagai tahapan 6, dilakukan melalui perdebatan diantara para pihak yang berkepentingan sehingga dapat diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua pihak. Tahap 7 menyangkut pengambilan tindakan untuk memperbaiki situasi masalah.

Gambar 5 Proses soft system methodology (Checkland 1999) 2.7 Strategic Assumption Surfacing and Testing

Metode Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST), menurut Flood and Jackson (2000) menggunakan pendekatan sistem yang terfokus pada para pihak yang terkait dengan konteks permasalahan dan tidak pada karakteristik elemen sistem yang menyebabkan permasalahan. Aspek manusia dan politik dari organisasi menjadi perhatian utama dalam metode SAST sedangkan struktur organisasi tidak menjadi fokus meskipun aspek ini akan diperhatikan setelah isu pluralisme terselesaikan. Metode SAST di rancang sebagai sebuah pendekatan sistem yang sesuai untuk menyelesaikan persoalan yang rumit (messes atau ill-structured problem context) dan merupakan metode yang digunakan dalam menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi (Dewar 2004).

Persoalan yang rumit dicirikan oleh adanya ketergantungan yang kuat dalam komponen persoalan. Ciri yang menonjol dari metode SAST sebagai metode pemecahan persoalan adalah asumsi bahwa suatu persoalan pluralisme yang telah dapat diselesaikan melalui metode SAST selanjutnya penyelesaian persoalan akan dapat diteruskan dengan menggunakan metode manajemen konvensional.

Filosofi metode SAST menurut Flood and Jackson (2000) didasarkan atas 4 argumentasi tentang sifat persoalan dan upaya pemecahannya. Argumentasi pertama dinyatakan bahwa sebagian besar persoalan strategik yang dihadapi organisasi merupakan persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, sedangkan sebagian besar teknik-teknik pemecahan masalah konvensional hanya cocok untuk pemecahan masalah yang tidak kompleks dan terstruktur. Kedua, sebagian besar organisasi gagal memecahkan persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur karena kegagalan dalam mengubah pola pikir dan melakukan pekerjaan. Pemilihan kebijakan alternatif yang tidak didasari oleh praktek yang selama ini dilakukan kurang mendapatkan perhatian. Metode SAST memastikan alternatif kebijakan tersebut akan tetap dipertimbangkan. Ketiga, menantang kebijakan yang lebih disukai akan mengharuskan pembangkitan kebijakan yang berbeda. Organisasi akan mulai belajar ketika asumsi-asumsi yang ada sebagai dasar pengembangan kebijakan ditantang oleh asumsi-asumsi tandingan. Proses ini akan mendorong berkembangnya organisasi melalui proses pembelajaran karena asumsi yang digunakan selalu akan dihadapkan pada perihal baru.

Keempat, disadari akan muncul friksi dalam proses pengembangan alternatif strategi dan kebijakan. Berdasarkan filosofi tersebut, metode SAST memiliki empat prinsip, yaitu:

1) adversarial atau berlawanan, dengan keyakinan bahwa upaya penilaian masalah yang tidak terstruktur dengan baik melalui pertimbangan perspektif yang bertentangan.

2) partisipatif, sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan beragam melalui pelibatan berbagai individu atau kelompok yang terkait atau organisasi yang berbeda untuk memecahkan masalah yang kompleks dan kemudian mendistribuasikan pelaksanaan hasil pemecahan pada pihak yang berkepentingan.

3) Integratif, berdasarkan asumsi perlu dilakukan satu sintesis dari berbagai sudut pandang untuk dapat merumuskan rencana tindak yang dapat dioperasionalkan.

4) Mendukung gagasan manajerial, dimana orang yakin bahwa dengan melibatkan para manajer yang selalu dihadapkan pada berbagai asumsi yang membuatnya memahami lebih mendalam organisasi, kebijakan maupun masalah-masalah yang dihadapinya.

Proses pengedepanan asumsi dapat dilakukan melalui tiga teknik (Mason &

Mitroff 1981). Teknik pertama adalah analisis stakeholder yang dilakukan melalui identifikasi komponen stakeholder yang terkena dengan kebijakan, yang tertarik maupun berada pada posisi mempengaruhi penerapan suatu kebijakan atau yang menolak serta memberikan dukungannya. Dalam upaya mengangkat asumsi digunakan cara dengan memberikan pertanyaan terbalik yang optimal, sebagai contoh “dengan diberlakukannya kebijakan yang dirumuskan, apakah yang harus diasumsikan tentang sikap stakeholder sehingga asumsi yang ada tersebut secara logis dapat mengoptimalkan penerapan strategi kebijakan yang dimaksud. Teknik kedua adalah spesifikasi asumsi. Masing-masing stakeholder yang telah teridentifikasi dikelompokkan dan membuat daftar asumsi yang diyakini akan dapat menjadi landasan keberhasilan implementasi strategi kebijakan. Teknik ketiga adalah pemeringkatan asumsi. Masing-masing kelompok stakeholder menilai masing-masing asumsi berdasarkan kriteria tingkat kepentingan dan kepastian. Tingkat kepentingan dari asumsi menunjukkan derajat pengaruh asumsi terhadap keberhasilan atau kegagalan strategi kebijakan. Sedangkan tingkat kepastian menunjukkan tingkat keyakinan bahwa suatu asumsi benar adanya. Hasil analisis menggunakan teknik pemeringkatan asumsi selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik peringkat asumsi (assumption rating). Gambar 6 menunjukkan kuadran rencana yang pasti mendukung keberhasilan strategi kebijakan dan kuadran rencana yang bermasalah. Asumsi-asumsi yang memiliki tingkat kepentingan rendah pada kuadran bagian kiri secara nyata tidak akan mempengaruhi efektifitas perencanaan atau pemecahan masalah. Asumsi-asumsi yang berada pada kuadran paling pasti dan penting merupakan asumsi yang akan dapat digunakan sebagai pijakan strategi kebijakan.

PalingPenting

Paling Tidak Pasti Paling Pasti

PalingTidakPenting

Kuadran Rencana yang bermasalah Kuadran Rencana

yang pasti

Gambar 6 Grafik peringkat asumsi (Flood & Jackson 2000)

Dalam dokumen 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Taman Nasional (Halaman 32-40)

Dokumen terkait