• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN SISTEM PENDUGAAN NILAI HASIL HUTAN KAYU DAN NON KAYU

Model Dinamika Tegakan dan Hasil Hutan Dinamika Tegakan Hutan Alam

Hutan alam primer yang ada di lokasi penelitian ini telah melalui proses suksesi alam dalam kurun waktu panjang, dan dapat dianggap telah mencapai tahap klimak yang stabil (steady state) dengan kondisi keseimbangan keseluruhan unsur dalam ekosistem hutan ini. Kondisi hutan saat kini sebagian besar sudah berupa hutan bekas tebangan dengan sistem TPTI dari 1979/1980 – 1997. Sejak 1998, dikelola dengan sistem silvikultur intensif, yang merupakan pengembangan dari pola Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), direalisasikan di lapangan mulai tahun 1999/2000.

Dinamika tegakan hutan alam menggambarkan perubahan struktur tegakan menurut waktu setelah penebangan. Hal ini menyangkut pertumbuhan semai, pancang tiang dan pohon dari waktu ke waktu melalui suksesi sekunder, dengan atau tanpa disertai tindakan silvikultur tertentu. Model dinamika tegakan bekas tebangan yang digunakan disini menggambarkan pertumbuhan alami, tidak memasukan pengaruh tindakan silvikultur. Model tegakan dibangun dari tingkat pancang sampai pohon, semai tidak dimasukkan karena tidak cukup tersedia data tentang ingrowth semai. Pada hutan sekunder fertilitas pohon berdiameter >10 cm sebesar 19,86% dan yang berdiameter >50 cm sebesar 66,02% (Nguyen & Sist, 1998 dalam Indrawan,2000). Data produksi biji setiap pohon fertil belum ada, data produksi S. contorta di Philipina sebesar 185.000 buah/musim buah puncak, sekitar 4-5 tahun sekali (Prosea,1994) sehingga belum cukup untuk data ingrowth semai. Model Subsistem Tegakan disajikan pada Lampiran 1.

Kewajaran model dievaluasi melalui validasi struktural sedangkan keteradalan model melalui validasi empiris. Secara struktural model dinamika tegakan mencakup variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bersih tegakan dari waktu ke waktu. Variabel ini adalah ingrowth, upgrowth, kematian alami dan akibat penebangan, serta hasil panen. Tegakan (state variable) berupa kerapatan tegakan dikelompokkan menurut kelas diameter dan jenis

(komersial dan non komersial) untuk memberikan gambaran perilaku individu pohon dan memudahkan pengaturan hasil menurut jumlah pohon (Vanclay, 1994; Suhendang, 1999).

Kerapatan pancang, tiang dan pohon mengalami penambahan dan pengurangan selama perjalanan waktu. Penambahan dari upgrowth pancang ke tingkat tiang dan dari tiang ke pohon. Perpindahan ke tingkat pertumbuhan di atasnya berarti juga pengurangan kerapatan pada tingkat pertumbuhan semula yang ditinggalkannya. Data dinamika tegakan yang digunakan pada model adalah hasil pengukuran pada plot ukur permanen di areal hutan alam PT Inhutani II Kalsel (Indrawan,2000). Upgrowth rate tiang dan pohon diameter 20-40 cm masing-masing sebesar 0,0481 (4,81%/thn) dan, pohon diameter 50 cm sebesar 0,0219. Tiang memiliki laju kematian alami 0,032, pohon diameter 20-40 cm sebesar 0,00263 dan pohon 50 cm sebesar 0,00219.

Pengurangan pada masing-masing tingkat pertumbuhan, diakibatkan oleh kematian secara alami dan kegiatan penebangan tegakan. Kematian alami tegakan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal tegakan. Secara umum tegakan pada hutan alam hujan tropis yang didominasi oleh famili dipterocarpaceae merupakan jenis semi toleran terhadap cahaya. Peningkatan kerapatan tegakan meningkatkan persaingan hara dan ruang serta memerlukan adaptasi terhadap cahaya. Faktor ini bersama dengan faktor biologis hama penyakit mengakibatkan kematian alami (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974; Soerianegara dan Indrawan, 1983). Laju kematian pengaruh penebangan diolah dari data Elias et.al., (1993), diperoleh Ymt(%)=0,3597/[1+5,68Exp(−0,348X)], dengan R2=1 dan p=0,000; dimana Ymt adalah prosentase kematian dan, X adalah jumlah pohon ditebang.

Pengaruh variabel-variabel tersebut diasumsikan konstan, sehingga pertumbuhan akan linier seiring pertambahan jangka waktu setelah penebangan. Dinamika tegakan setelah penebangan akan menuju kondisi klimaks,dengan kapasitas (daya dukung) tertentu. Pada model dinamika tegakan kondisi hutan klimaks ini dianggap direpresentasikan oleh hutan primer semula. Pertumbuhan (kerapatan) tegakan bersih akan mendekati nol (grafik pertumbuhan relatif mendatar) setelah mencapai kapasitas pertumbuhan ini.

Kewajaran model secara grafis ditunjukkan oleh pola pertumbuhan biologis yang sigmoid (logistik) yang diharapkan dapat dipenuhi di dalam model ini dengan adanya kapasitas maksimum pertumbuhan tersebut. Hal ini disajikan pada Gambar 3, pada kondisi tanpa penebangan kerapatan tegakan diameter > 20 cm kelompok komersial dan non komersial menunjukkan laju pertumbuhan mula- mula semakin meningkat kemudian melambat dan relatif datar. Jenis komersial mengalami perlambatan laju pertumbuhan sekitar tahun ke 15 dan sekitar tahun 34-38 mulai mencapai kondisi relatif stabil (steady state) dengan kerapatan 125- 141 btg/ha. Pada jenis non komersial laju pertumbuhan melambat sekitar tahun ke 10 dan relatif stabil mulai tahun ke 28 dengan kerapatan 69-75 btg/ha.

Evaluasi keterandalan model divalidasi secara empiris dengan membandingkan hasil pendugaan oleh model dengan data aktual di PT SBK. Kerapatan tegakan diameter > 20 cm seluruh jenis hasil pendugaan oleh model-1 menggunakan data PUP PT Inhutani II (Indrawan, 2000) pada waktu 6 dan 10 tahun setelah penebangan lebih kecil 15-20,4% dari kerapatan tegakan aktual. Untuk tahun ke 3, 5, 15 dan 35 setelah penebangan, kerapatan tegakan dihasil oleh

11:55 AM Tue, Jan 15, 2008

Waktu setelah penebangan (thn)

Page 3 1. 27 54 80 106 1: 2: 1: 2: 1: 2:

2: teg tot [non kom] 1: teg tot [kom]

200 80 Kerapatan te g akan (bt g /h a ) 56 100 2 2 2 1 1 1 60 2 1 40

Gambar 4 Kurva pertumbuhan tegakan komersial dan non komersial diameter > 20 cm tanpa penebangan

model-1 dan aktual relatif sama masing-masing 4%, 0,3%, 8% dan 4,9%. Secara keseluruhan selisih kerapatan tegakan hasil pendugaan dan aktual rata-rata 7,5% . Ini menunjukkan pertumbuhan bersih pada pendugaan lebih kecil dari aktual. Hal ini karena pengaruh laju pertumbuhan yang kecil, atau laju kematian alami yang terlalu besar, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.

Data pengukuran selama delapan tahun pada plot permanen di lokasi penelitian menunjukkan riap diameter seluruh jenis untuk tiang 0,7159 cm/thn, untuk pohon diameter 20-29 cm, 30-39 cm, 40-49 cm dan >50 cm masing-masing sebesar 0,8400 cm/thn; 0,8935 cm/thn; 0,8463 cm/thn; dan 0,7485 cm/thn. Berdasarkan data riap diameter dan asumsi pohon tersebar merata di setiap kelas diameter diduga upgrowth dari tiang sampai pohon diameter >50 cm berturut- turut adalah 0,0716; 0,0840; 0,0894; 0,0864; 0,0749. Jika digunakan data riap pada lokasi penelitian PT SBK (model-2), menghasilkan kerapatan tegakan yang lebih besar dari aktual berkisar antara 11,9-23,2% pada waktu 3, 5, 15 dan 35 tahun, serta kerapatan pada waktu 6 dan 10 tahun lebih kecil berkisar 2,3-6,4% atau rata-rata keseluruhan lebih besar 9,9%. Disimpulkan meskipun melalui uji χ2 kedua model tidak berbeda nyata, model tegakan yang dibangun (model-1) cukup handal, lebih mendekati kondisi aktual,.

250 T e g akan 20-u p cm (bt g /h a ) 200 150 100 50 0 15 35 3 5 6 10

Waktu setelah penebangan (thn)

Model-2

Model-1 Aktual

Gambar 5 Perbandingan kerapatan tegakan seluruh jenis diameter > 20 cm hasil pendugaan oleh model dan aktual di areal hutan alam PT SBK Unit Seruyan

Pertumbuhan menghasilkan peningkatan kerapatan tegakan diameter > 20 seiring dengan jangka waktu setelah penebangan. Struktur tegakan menunjukkan perkembangan tegakan menurut kelas diameter, pada hutan primer maupun hutan

bekas tebangan. Data seluruh jenis hasil inventarisasi tegakan hutan primer digunakan untuk menduga struktur hutan primer rata-rata seluruh areal (saat kini hampir seluruh areal berupa hutan bekas penebangan), diperoleh model eksponensial negatif, yaitu Y = 253,43302 exp(-0,047X), dimana R2= 0,747 dan p=0,057. Hasil pendugaan struktur tegakan dengan model ini dianggap menggambarkan kondisi klimaks yang dapat dicapai di areal hutan ini, atau menggambarkan hutan primer rata-rata pada awal masa pengelolaan hutan alam produksi di areal ini. Kerapatan tegakan rata-rata sebagai kondisi awal hutan bekas tebangan pada model didasarkan atas hasil inventarisasi tegakan tinggal (ITT) setelah penebangan di lokasi penelitian tahun 1989/1990-1998/1999. Berdasarkan hasil ITT setelah penebangan diperoleh struktur tegakan setelah penebangan dengan model Y = 38,9945 eks(-0,0238X), dimana R2= 0,903 dan p= 0,013. Pendugaan struktur tegakan hutan alam klimaks dan bekas tebangan disajikan pada Gambar 5, dan data inventarisasi hutan alam primer dan bekas tebangan pada Lampiran 2.

Hutan alam primer Hutan alam setelah penebangan

Gambar 6 Struktur tegakan hutan di areal penelitian (a) hutan alam primer, (b) hutan alam setelah penebangan

Dinamika Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu

Model hasil hutan kayu dan non kayu dari tumbuhan dan satwaliar menggambarkan perkembangan hasil hutan kayu dan non kayu setelah

Diameter tegakan (cm) (b) 20 30 40 50 60 70 5 15 25 35 45 55 65 75 Diameter tegakan (cm) (a) Kerap ata n te gaka n (bt g/h a) 65 55 45 35 25 15 75 5 20 30 40 50 60 70

penebangan sampai siklus tebang tegakan berikutnya. Premis sifat hubungan saling meniadakan (trade off) antara hasil hutan kayu dan non kayu, akan dibuktikan melalui simulasi intensitas penebangan tegakan (panen hasil kayu). Model Subsistem Hasil Hutan (hasil dari tumbuhan dan satwaliar) dibangun dari tegakan penghasil kayu dan non kayu, tumbuhan rotan dan bambu serta satwaliar. Variabel-variabel yang digunakan dikelompokan sebagai variabel keadaan seperti akumulasi hasil kayu dan non kayu, variabel penggerak seperti laju panen, produktivitas getah dan buah, yang secara lengkap telah disajikan pada Tabel 3 di atas, dan konstruksi model pada program stella disajikan pada Lampiran 3.

Secara struktural model subsistem hasil hutan dikembangkan berdasarkan sifat multifungsi dalam satu wujud tegakan dan sifat agregatif dari hutan (Gregory, 1972; Soerianegara dan Indrawan, 1985). Sifat multifungsi dalam satu wujud tegakan ini membawa konsekuensi di saat pengambilan hasil kayu dilakukan maka sekaligus juga menghilangkan pabrik penghasil kayu dan pabrik hasil non kayu tersebut. Pengaruh pengambilan hasil kayu terhadap hasil damar, getah dan buah ditentukan oleh besar perubahan kerapatan tegakan akibat kegiatan penebangan tegakan tersebut. Sifat agregatif hutan melekat sebagai ekosistem hutan, keberadaan dan kondisi tegakan mempengaruhi bentuk dan kualitas hutan yang menjadi habitat bagi komponen biotis lainnya. Kualitas habitat ini mempengaruhi potensi tumbuhan penghasil non kayu lainnya, di dalam penelitian ini mencakup berbagai jenis rotan dan bambu serta populasi satwaliar.

Sifat multifungsi dimiliki oleh berbagai jenis pohon yang mampu menghasilkan kayu, damar, getah dan buah. Hasil kayu diperoleh dari potensi tegakan komersial yang dibagi atas Kelompok Meranti dan Non Meranti (rimba campuran). Jenis-jenis pada famili Dipterocarpaceae di lokasi ini mencakup Shorea leprosula, S.hopeifolia, Hopea sp dan Vatica sp potensial menghasilkan damar. Di lokasi penelitian ini jenis S. stenoptera merupakan potensi penghasil buah tengkawang, sedangkan Dyera costulata mampu menghasilkan getah jelutung dan getah nyatoh dihasilkan oleh Palaquium gutta. Hasil damar, getah dan buah tengkawang ini berasal dari jenis kayu komersial, berbeda dengan potensi hasil buah berasal dari jenis non komersial. Potensi buah ini mencakup berbagai jenis buah seperti Ubai atau Ubah (Eugenia sp), Durian cakau (Durio

dulcis), Rambutan hutan (Nephelium sp), Manggis hutan (Garcinia sp), Pihing (Artocarpus sp) Embak atau Kapul (Baccaurea sp). Pada penelitian ini sifat agregatif hutan dikaitkan dengan komponen biotis penghasil non kayu lainnya. Hasil hutan non kayu lainnya dari tumbuhan berupa rotan umumnya rotan sega (Calamus caesius) dan bambu serta berbagai jenis satwaliar yang meliputi Rusa sambar (Cervus unicolor), Kijang (Muntiacus muntjak), Kancil (Tragulus javanicus), Babi jenggot (Sus barbatus) dan berbagai jenis burung.

Pada model subsistem hasil hutan kayu, damar, getah dan buah terkait langsung dengan model subsistem dinamika tegakan, karena potensi hasil kayu maupun damar, getah dan buah secara bersama-sama dipengaruhi oleh stok (kerapatan) setiap kelas diameter tegakan. Pada model hasil hutan kayu digunakan konstanta volume pohon setiap kelas diameter pohon yang ditebang untuk mendapatkan volume kayu hasil penebangan. Berdasarkan pengolahan data hasil inventarisasi tegakan bekas tebangan pada Blok Rencana karya Lima Tahun (RKL) I-V (PT SBK, 2004) diperoleh volume rata-rata pohon diameter 40-49 cm sebesar 1,62 m3/btg, diameter 50-59 cm sebesar 2,76 m3/btg, dan diameter > 60 cm sebesar 5,63 m3/btg. Hasil kayu diperoleh dari penebangan tegakan komersial, dengan pengaturan intensitas penebangan pada setiap kelas diameter tegakan. Pada model disediakan pilihan penebangan pada kelas diameter 40-60 cm, sehingga memungkinkan dilakukan simulasi penebangan yang lebih intensif. Pada penelitian ini simulasi penebangan hanya untuk kelas diameter > 50 cm, sebagai sistem tebang pilih di hutan alam (TPTI).

Dinamika potensi tegakan penghasil damar, getah dan buah adalah fungsi dari perkembangan kerapatan tegakan diameter 30-60 cm (damar dan getah dari tegakan komersial, sedangkan buah dari tegakan non komersial) dan proporsi (komposisi) tegakan penghasil non kayu terhadap tegakan total. Pada model perkembangan potensi rotan, bambu dan berbagai jenis satwaliar terkait dengan perkembangan kualitas habitat. Perkembangan kualitas habitat dipengaruhi oleh perkembangan tegakan menurut jangka waktu setelah penebangan, yang mempunyai kedudukan sebagai komponen penciri utama suatu ekosistem hutan. Oleh karena itu formulasi perkembangan komposisi jenis tegakan penghasil damar, getah, buah dan dinamika potensi tumbuhan rotan, bambu serta populasi

satwaliar direpresentasikan melalui pendekatan jangka waktu setelah penebangan sebagai variabel yang menjelaskan dinamika potensi sumberdaya penghasil non kayu tersebut, yang saling terkait dengan perkembangan tegakan setelah penebangan. Komposisi potensi hasil non kayu dari tegakan tersebut dianggap mencapai kondisi stabil pada saat siklus tebang berikutnya (35 tahun), yang jika tidak ada penebangan tegakan kondisi ini akan terus stabil (konstan). Kondisi stabil pada hutan primer, berdasarkan hasil inventarisasi di lokasi penelitian, diperoleh komposisi tegakan penghasil damar 43,7% tengkawang 2,6% jelutung 0,3% nyatoh 2,3% dan buah-buahan 0,5%.

Tabel 4 Model penduga potensi sumber hasil hutan non kayu hutan alam produksi di lokasi penelitian

Komponen Model penduga Fhit R2 (%)

Damar Yp = 0,0530 + 0,0116 X 20,81** 73,9 Tengkawang Yp = 0,0048 + 0,000697 X 109,47** 93,1 Jelutung Yp = 0,003/35 X - a) - Nyatoh Yp = 0,0131 + 0,000317 X 8,14 * 47,2 Buah Yp = 0,358 - 0,0108 X 48,78** 92,3 Rotan Yrb = 76,9 + 203/35 X - a) - Bambu Yrb = 186/35 X - a) - Rusa Ys = 0,136 + 0,0564 X – 0,0013 X2 14,73* 74,7 Kijang Ys = 1,639 - 0,1858X + 0,0092 X2 – 0,00013 X3 9,62 * 70,6 Kancil Ys = 0,003 + 0,0535 X – 0,0014 X2 19,47** 79,6 Babi Ys = 2,52 – 0,213X + 0,00781X2 4,71 * 48,2 Burung Ys = (15,387x1,8 1016 + 139,8X15,426) /( 1,8 1016+X15,426) 8,60 * 80,0 ** hasil uji F sangat nyata (p<0,01), * hasil uji F nyata (p<0,05). a)pendekatan matematika, Yp=prosentase tegakan penghasil non kayu dari tegakan komersial diameter >30 cm (kecuali untuk buah dari tegakan non komersial), Yrb= jumlah rotan atau bambu (kg/ha) diasumsikan selama siklus (35 thn) kembali pada kondisi semula,Ys= populasi satwaliar (ekor/ha), X= jangka waktu setelah penebangan

Tabel 4 di atas menunjukkan perkembangan komposisi tegakan penghasil damar, tengkawang, jelutung, nyatoh dan berbagai jenis buah dapat diduga dengan baik (secara statistik pada tingkat sangat nyata dan nyata) oleh variabel jangka waktu setelah penebangan (X). Model penduga berbentuk linier, dengan pengaruh X positif, kecuali untuk model pada buah pengaruh X negatif. Kondisi ini menjelaskan bahwa komposisi jenis tegakan komersial semakin dominan

seiring dengan perkembangan waktu, sebaliknya proses suksesi pada tegakan ini menjadikan komposisi jenis non komersial semakin berkurang. Implikasinya potensi tegakan penghasil damar, tengkawang, jelutung dan nyatoh semakin besar dengan semakin lama waktu setelah penebangan sampai saat siklus tebang berikutnya. Kondisi sebaliknya semakin lama setelah penebangan potensi tegakan penghasil berbagai buah-buahan semakin kecil.

Model penduga potensi hasil non kayu rotan dan bambu didekati secara matematika, karena keterbatasan data. Potensi rotan didekati dari potensi rotan di hutan alam di daerah Kalimantan Timur, yaitu potensi berbagai jenis rotan pada hutan primer sebesar 281 kg/ha, sedangkan pada hutan bekas penebangan sebesar 82,8 kg/ha (Kim, 2001). Diasumsikan selama satu siklus penebangan hutan alam potensi rotan akan kembali seperti pada kondisi hutan primer, sehingga diformulasikan potensi bambu dan rotan mempunyai hubungan linier positif dengan perkembangan waktu setelah penebangan (Tabel 4).

Potensi rotan pada model relatif lebih kecil dari potensi rotan di hutan alam produksi lainnya maupun potensi di kebun rotan rakyat. Pertimbangan menggunakan data potensi rotan di hutan alam Kalimantan Timur yang relatif rendah, adalah kesamaan ekosistem hutan dengan lokasi penelitian, dan lokasi penelitian memiliki tanah Podsolik Merah Kuning serta pada ketinggian sekitar 500 m dpl yang menurut Fakultas Kehutanan IPB (1991) termasuk klasifikasi tapak potensi rotan sedang. Di samping itu didukung oleh data statistik kehutanan (Baplan Kehutanan Dephut, 2001) potensi rotan di Kalbar 253 kg/ha, di Kalteng 83 kg/ha dan Kaltim 231 kg/ha.

Potensi rotan di beberapa lokasi dapat dijadikan komparasi mengenai perbedaan potensi rotan karena lokasi dan bentuk penggunaan lahannya. Potensi rotan di hutan alam produksi Sulawesi Tenggara yang mencakup semai sampai rotan masak panen adalah 2.476 btg/ha (1.968 kg/ha). Adapun rotan masak panen sebanyak 210 btg/ha (1.667 kg/ha), dan semai sebanyak 2.070 btg/ha (Burhanuddin, 1997). Menurut Baplan Kehutanan Dephut (2001) potensi rotan di Sultra 1.579 kg/ha, di Sulteng 591 kg/ha dan Kalsel 1.456 kg/ha, merupakan daerah penghasil rotan potensial. Potensi kebun rotan rakyat (didominasi rotan sega atau taman Calamus caesius) di desa Tb Samba Katung Kecamatan

Katingan, produksi rata-rata 2,15 ton/ha dengan rotasi panen 3-4 tahun, sehingga rata-rata produksi 537,5 kg/ha/thn (Bahruni, 2001). Dransfield & Manokaran (1994) melaporkan informasi dari beberapa peneliti tentang hasil kebun rotan rakyat berupa Rotan irit (C. trachycoleus) di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu sebesar 1-3,5 ton/ha (Godoy & Tan,1989); 2,2-3,9 ton/ha (Priasukmana, 1989); 7 ton/ha (Menon, 1980). Sedangkan, potensi C. caesius juga bervariasi yaitu berkisar 3,5 ton/ha (Menon, 1980); 5-7,5 ton/ha (Tardjo, 1986) dan 2,3-3,1 ton/ha (Priasukmana, 1986).

Secara statistik populasi satwaliar dapat dijelaskan dengan baik (hasil uji F nyata dan sangat nyata) oleh variabel jangka waktu setelah penebangan. Di hutan bekas tebangan dengan berbagai jangka waktu setelah penebangan menunjukkan jumlah populasi satwaliar yang berbeda-beda untuk setiap jenis satwaliar yang diteliti. Perkembangan populasi satwaliar terkait dengan perkembangan tegakan hutan bekas tebangan. Jangka waktu setelah penebangan diasumsikan mewakili perkembangan kualitas hutan bekas tebangan yang sekaligus menjelaskan kondisi habitat satwaliar, yang antara lain menyediakan sumber pakan maupun ruang untuk berbagai aktivitas kehidupan satwaliar tersebut.

Pola perkembangan populasi rusa, kijang dan kancil sebagai respon terhadap jangka waktu setelah penebangan berbeda-beda. Secara umum pertumbuhan digambarkan dengan pola logistik. Semula teori pertumbuhan menurut Malthus bahwa populasi akan bertumbuh eksponensial. Proses pertumbuhan deterministik dengan asumsi organisme mampu bereproduksi secara pasti dan mutlak. Jika populasi awal No, populasi pada waktu t adalah Nt, dan laju pertumbuhan intriksik per individu adalah r yang berpengaruh seketika itu juga dan kontinu selama t; maka model populasi eksponensial Nt = No exp (rt), dengan laju pertumbuhan dN/dt = rN. Model logistik atau sigmoid menunjukkan pertumbuhan populasi terpaut kerapatan atau density dependent model sebagai modifikasi dari model eksponensial Malthus yang tidak memperhitungkan pengaruh kerapatan, persaingan dan lain-lain (Tarumingkeng, 1994; Alikodra, 2002). Model pertumbuhan logistik adalah dN/dt = N(r-aN), adalah faktor

penurunan proporsional; persamaan ini dipecahkan dengan integral dan substitusi

diperoleh model kontinu

} / ) 1 ( { 1 exp . K e No No Nt rt rt − + = (Tarumingkeng, 1994).

Model pertumbuhan satwaliar pada Tabel 4 menunjukkan untuk rusa, kancil dan babi model kuadratik, kijang model polinomial dan aneka burung dengan model sigmoid. Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tidak selalu mengikuti model logistik tersebut. Model pertumbuhan populasi yang lebih realistik adalah model logistik diperluas atau model logistik Berryman didasarkan atas model polinomial tingkat 4, yaitu r = ao + a1N + a2N2 + a3N3 ,dimana ao adalah laju pertumbuhan spesifik maksimum, a1 adalah efek negatif terpaut kerapatan mempengaruhi populasi pada kerapatan rendah, a2 efek positif yang terpaut kerapatan mempengaruhi populasi pada kerapatan sedang, a3 efek negatif terpaut kerapatan mendominasi populasi pada kerapatan sangat tinggi (Tarumingkeng, 1994). Model kuadratik pada rusa, kancil dan babi diduga akibat pengaruh signifikansi dari parameter ai pada model polinomial itu. Semua parameter a dipengaruhi oleh faktor genetik dan kondisi lingkungan serta faktor migrasi. Pola pertumbuhan satwaliar ini akan dijelaskan berdasarkan dugaan faktor kondisi lingkungan dan migrasi, karena diduga tidak terjadi perubahan faktor genetik pada satwaliar tersebut.

Jenis rusa dan kancil secara umum populasinya semakin meningkat seiring dengan perkembangan hutan setelah penebangan. Kedua jenis satwaliar ini lebih menyukai hutan yang terbuka, yang memungkinkan ketersediaan pakan rumput serta tumbuhan bawah lainnya cukup banyak. Populasi rusa meningkat dan mencapai puncak kepadatan populasi sebesar 0,77 ekor/ha pada hutan 23 tahun setelah penebangan. Sedangkan, kancil mencapai puncak sebesar 0,51 ekor/ha pada hutan sekitar 19 tahun setelah penebangan. Pada kondisi hutan mulai tertutup dengan kerapatan tegakan yang semakin besar, populasi rusa mulai agak berkurang hingga pada hutan klimaks sekitar 0,58 ekor/ha dan populasi kancil berkurang cukup signifikan pada hutan klimaks yaitu 0,16 ekor/ha (model kuadratik). Penurunan populasi rusa dan kancil ini diduga terkait dengan persaingan pakan maupun ruang untuk beraktivitas lainnya dengan satwaliar lain,

antara lain kijang dan babi. Secara visual pola perkembangan populasi satwaliar yang diteliti ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Pola hubungan populasi satwaliar dan jangka waktu setelah penebangan (a) populasi rusa (b) populasi kancil, (c) populasi kijang (d) populasi babi, (e) populasi aneka burung

(a) Rusa di hutan alam PT SBK (b) Kancil hutan alam PT SBK

0.83 0.52

Empiris di lapangan menunjukkan populasi kijang pada berbagai kondisi hutan setelah penebangan berbeda dengan rusa dan kancil, meskipun mereka sama-sama satwa herbivora. Secara hipotetis populasi satwa herbivora meningkat pada hutan setelah penebangan, karena keterbukaan areal akan merangsang

Jangka waktu setelah penebangan (thn)

K e padatan (e kor /h a ) 0.1 6.5 12.9 19.2 25.6 32.0 38.4 0.00 0.09 0.18 0.26 0.35 0.44

Jangka waktu setelah penebangan (thn)

K e padatan (e kor /h a ) 0.1 6.5 12.9 19.2 25.6 32.0 38.4 0.02 0.14 0.25 0.37 0.49 0.60 0.72

(d) Babi di hutan alam PT SBK (c) Kijang hutan alam PT SBK

Jangka waktu setelah penebangan (thn)

Kepadatan (ekor/ ha) 0.1 6.5 12.9 19.2 25.6 32.0 38.4 0.36 0.56 0.77 0.98 1.19 1.40 IP 100

Jangka waktu setelah penebangan (thn)

Kepadatan (ekor/ ha) 1.0 5.0 9.0 13.0 17.0 21.0 25.0 29.0 33.0 37.0 0.56 1.28 1.99 2.71 3.43 4.86 4.14

(e) Aneka burung di hutan alam PT SBK

167

Jangka waktu setelah penebangan (thn)

K e padatan (e kor /h a ) 134 101 67 34 0.5 0.1 201 7 13 20 26 32 38

pertumbuhan rumput dan tumbuhan bawah lainnya yang menjadi sumber pakan herbivora. Kasus pada kijang tidak demikian, karena diduga kijang cukup sensitif terhadap kebisingan dari kegiatan penebangan, sehingga berpindah menghindari kebisingan cukup jauh dari lokasi hutan tebangan. Populasi terendah sebesar 0,46 ekor/ha pada hutan sekitar 15 tahun setelah penebangan, kemudian secara perlahan populasinya meningkat dan mencapai 0,73-0,77 ekor/ha pada hutan klimaks. Pada waktu peningkatan populasi kijang di hutan bekas tebangan, populasi rusa dan kancil menurun, khususnya penurunan populasi kancil yang merupakan satwa kecil cukup besar. Selain kijang, untuk babi populasinya juga berkurang pada hutan yang baru saja ditebang, kedua satwaliar ini lebih menyukai hutan yang relatif lebih tertutup oleh tajuk tegakan.