• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Sistem Dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan : Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendekatan Sistem Dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan : Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan"

Copied!
307
0
0

Teks penuh

(1)

EKOSISTEM HUTAN :

STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI

BEKAS TEBANGAN

BAHRUNI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul “Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan” adalah karya saya, dengan arahan dari komisi pembimbing. Karya ilmiah ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain. Sumber informasi atau pernyataan yang dikutip dari karya penulis lain yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi.

Bogor, Maret 2008

(3)

ABSTRACT

BAHRUNI. A System Approach to Estimate Total Economic Value of Forest Ecosystem: Case Study on the Logged of Production Natural Forest.

Supervised by PROF. ENDANG SUHENDANG as chairman of the advisory committee, PROF. DUDUNG DARUSMAN and PROF. HADI S. ALIKODRA as members of the advisory committee.

Sustainable forest management needs the economic and ecological balance. The change of forest management with the strong sustainability paradigm should be supported by moral awareness which is predominated from the beginning by anthropocentric ethics and then shift to biocentric and ecocentric.

Total economic value (TEV) of forest ecosystem comes from various forest products such as timber, non timber forest products, and ecological function. TEV is based upon human preference and there are use value, option value and existence value. This research has following objectives : (1) to answer the question on how to measure the dynamics of total economic value of forest ecosystem, and (2) how to harmonize various values of stakeholders in forest management. The forest ecosystem values could be estimated using a system approach which is based on ecological and economic linkages. This system concerns on dependency nature of forest products and differences of stakeholders interest. System is constructed to evaluate impact of cutting intensity to TEV dynamics, which is consist of subsystem of forest stand, timber and non timber forest products, ecological function, TEV and it’s distribution among stakeholders.

Simulation result of harvesting intensity by 0%, 50%, 76% and 100% show that the relationship between use value of timber product and other values (use value of non timber forest products, erosion control and water regulatory functions, option and existence values of biodiversity) is trade off and non linier. Each component of TEV is influenced by forest stand condition, as the result of harvesting intensity. A harmonize stakeholders’ interest is measured by total economic value distribution and sustainability of forest resources. Result of simulation shows the harmonize will be achieved at 50% until 76% of harvesting intensity. To allow implementation of multiple use management, forest policy change is needed such as institutional setting, forestry planning system and facilitating of NTFP market.

(4)

RINGKASAN

BAHRUNI. Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan: Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan.

Dibimbing oleh PROF. ENDANG SUHENDANG sebagai ketua komisi pembimbing, PROF. DUDUNG DARUSMAN dan PROF. HADI S. ALIKODRA masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing.

Anomali pengelolaan hutan saat ini antara lain eksternalitas negatif berupa penurunan fungsi ekologis dan kerusakan habitat yang mengancam kelestarian ekosistem hutan tersebut. Oleh karena itu perlu perubahan pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian kuat. Perubahan ini memerlukan kesadaran moral yang semula didominasi oleh etika antroposentrisme harus bergeser kepada biosentrisme dan ekosentrisme (kesadaran ekologisme) dan pengembangan pengetahuan ekologis dan ekonomi ekosistem hutan. Salah satu informasi penting yang diperlukan dalam pengelolaan hutan adalah pengetahuan “Nilai Ekonomi Total” (NET) sebagai sarana pengambilan keputusan pengelolaan. Namun demikian saat ini ada gap informasi mengenai bagaimana pola hubungan antara kondisi ekosistem dengan NET. Oleh karena itu diperlukan pendugaan NET yang didasarkan atas dinamika ekosistem hutan melalui pendekatan sistem.

Tujuan umum penelitian adalah mendapatkan model pendugaan NET ekosistem hutan alam dengan pendekatan sistem, yang menjadi media proses pembelajaran terhadap berbagai bentuk interaksi diantara komponen-komponen yang diteliti. Tujuan khusus adalah 1) Mendapatkan pengetahuan dinamika NET pada berbagai intensitas penebangan tegakan; 2) Mendapatkan pengetahuan bagaimana harmonisasi kepentingan stakeholders di dalam pengelolaan hutan berdasarkan konsep NET. Manfaat penelitian 1) Pada aspek ilmu pengetahuan akan berkontribusi pada pengembangan metodologi penilaian ekosistem hutan; 2) Pada aspek pengelolaan hutan akan berkontribusi pada penguatan sistem pengelolaan ekosistem hutan berbasis ekosistem dengan dukungan kesadaran etika biosentrisme dan ekosentrisme. Hipotesis penelitian adalah (a) pendugaan NET dengan pendekatan sistem mampu menggambarkan interaksi berbagai hasil hutan yang saling meniadakan dan dinamikanya menurut jangka waktu setelah penebangan, (b) pendugaan NET dengan pendekatan sistem dapat mengarahkan keputusan tujuan pengelolaan hutan alam dengan harmonisasi kepentingan

(5)

Penelitian dilakukan di hutan alam produksi areal PT SBK Kalimantan Tengah. Unit penilaian adalah kesatuan ekosistem hutan alam tipe hutan hujan tropis dataran rendah dan bukit berupa asosiasi yang didominasi oleh famili dipterocarpaceae dengan komponen vegetasi, satwaliar, fungsi hidrologis dan masyarakat. Penelitian dilakukan dengan model ekologis dan ekonomi, untuk mengetahui pengaruh intensitas penebangan terhadap perkembangan komponen ekosistem, NET dan dampaknya terhadap kepentingan stakeholders. Variabel pada model ekologis meliputi variabel-variabel pertumbuhan tegakan dan keanekaragaman jenis tegakan dan satwaliar, populasi satwaliar, tata air dan erosi, sedangkan pada model ekonomi meliputi pemanfataan hasil hutan, kesediaan membayar (harga), biaya, serta suku bunga. Konstruksi model menggunakan bantuan Program Stella-8, meliputi subsistem tegakan, subsistem tumbuhan dan satwaliar, subsistem hasil kayu dan non kayu, subsistem fungsi tata air dan pengendalian erosi, subsistem NET ekosistem hutan dan distribusinya pada

stakeholders.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh perkembangan tegakan setelah penebangan terhadap dinamika potensi hasil hutan non kayu dari tumbuhan dan satwaliar, fungsi hidrologis (pengendalian erosi dan hasil air) dan keanekaragaman hayati, dapat dijelaskan secara baik oleh variabel jangka waktu setelah penebangan. Model dinamika tumbuhan penghasil kayu dan non kayu adalah linier, model dinamika satwaliar spesifik untuk setiap jenis yaitu rusa, kancil dan babi bentuk kuadratik, kijang bentuk polinomial dan aneka burung dengan bentuk sigmoid. Model perkembangan erosi dan kualitas air dengan bentuk eksponensial negatif, sedangkan dinamika keanekaragaman hayati berbentuk polinomial. Hasil simulasi dengan intensitas penebangan 0%, 50%, 76% dan 100% menunjukkan NET1 (nilai guna kayu dan non kayu) maksimum

dicapai pada intensitas penebangan 100% dengan nilai kiwari selama siklus 35 tahun sebesar Rp 3.619.000/ha. Hal sebaliknya terjadi pada NET3 (nilai kayu, non

kayu, fungsi hidrologis, pilihan dan keberadaan keanekaragaman hayati) maksimum pada kondisi tanpa penebangan, dengan nilai kiwari Rp 3.860.000/ha.

Hasil analisis distribusi NET bagi stakeholders menunjukkan adanya konvergensi manfaat yang diperoleh stakeholders (pemerintah, pengelola dan masyarakat lokal) pada intensitas penebangan sedang (intensitas penebangan antara 50% dan 76%). Jika alternatif keputusan bergerak dari tanpa penebangan menuju penebangan dengan intensitas yang semakin tinggi, maka hasil analisis distribusi NET1 menunjukkan masyarakat lokal yang berisiko tinggi mengalami

(6)

pemerintah dan pengelola hutan cenderung semakin naik kesejahteraannya (better off), pemerintah bergerak dari 10% menjadi 33% dan pengelola dari 0% menjadi 56%. Pada analisis distribusi NET3 yang mengandung komponen-komponen

NET yang lebih lengkap, menunjukkan fenomena yang berbeda, kebalikan dari distribusi NET1. Pemerintah beresiko mengalami worse off yang sangat tinggi

(dari 19% menjadi -7%), masyarakat lokal juga cenderung turun tetapi tidak sebesar pemerintah (dari 81% menjadi 30%). Sedangkan, pengelola hutan selalu akan lebih baik, dari pilihan tanpa penebangan menjadi dengan penebangan, yaitu memperoleh nilai manfaat kayu dari 0% menjadi 77% NET3.

Penelitian ini membuktikan bahwa: 1) Sifat hubungan antara nilai guna hasil hutan kayu dengan komponen-komponen NET lainnya bersifat trade off, sedangkan sifat hubungan di antara komponen NET selain nilai guna kayu tersebut saling sinergis; dan besar nilai setiap komponen NET dipengaruhi oleh intensitas penebangan tegakan. Pada alternatif tanpa penebangan menuju alternatif intensitas penebangan yang semakin tinggi, maka nilai guna kayu bergerak kearah positif (semakin besar), sedangkan nilai guna non kayu, nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan keanekaragaman hayati ke arah negatif (semakin kecil). Pola perubahan nilai setiap komponen NET dengan arah pergerakannya menurut intensitas penebangan tidak linier. 2) NET3 (nilai kayu,

non kayu, fungsi hidrologis, keanekaragaman hayati) maksimum pada alternatif tanpa penebangan (intensitas 0%) dan sekaligus memenuhi kriteria kelestarian. 3) Keputusan tujuan pengelolaan hutan alam produksi harus memperhatikan perspektifstakeholders. Berbagai pilihan pengelolaan yang mewakili kepentingan stakeholders dapat diharmoniskan melalui dialog stakeholders, dengan pengaturan tingkat pemanfaatan setiap jenis hasil hutan, yang didukung dengan pemenuhan kriteria kelestarian sumberdaya dan hasil hutan. Hasil simulasi pada penelitian ini menunjukkan intensitas penebangan sedang dengan kisaran antara 50-76% memberikan indikasi konvergensi manfaat ekosistem hutan diantara stakeholders.

Implikasi kebijakan dari hasil penelitian adalah perubahan sistem pengelolaan hutan alam dengan tujuan yang beragam (multiple-use), kelembagaan pengelolaan kearah manajemen kolaboratif (adaptif).

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(8)

PENDEKATAN SISTEM DALAM

PENDUGAAN NILAI EKONOMI TOTAL

EKOSISTEM HUTAN :

STUDI KASUS HUTAN ALAM PRODUKSI

BEKAS TEBANGAN

BAHRUNI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Departemen Manajemen Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, MSc.

(10)

Judul Disertasi : Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan : Studi Kasus Hutan Alam Produksi Bekas Tebangan

Nama : Bahruni

NIM : 995174

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS. Ketua

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman,MA. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra,MS.

Anggota Anggota

Disetujui

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi,M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,MS.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kehadhirat Allah SWT atas segala karunia-NYA, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah Penilaian Ekosistem Hutan, dengan judul : Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan.

Gagasan penelitian ini berawal dari perkuliahan ”Penilaian Sumberdaya Hutan dan Lingkungan” tahun 1999 pada program studi magister sain Program Studi IPK Pascasarjana IPB (dosen Prof Dudung Darusman dan Penulis). Di dalam perkuliahan ini sangat dirasakan perlunya pengetahuan hubungan kegiatan pengelolaan ataupun gangguan hutan terhadap kondisi ekologis dan ekonomis ekosistem hutan. Penelitian semula direncanakan menggunakan data sekunder dan mencakup banyak komponen ekosistem dan hasil hutan. Tetapi, berbagai data skripsi mahasiswa yang diarahkan melalui bimbingan sejak 1993 tentang penilaian hutan tidak banyak membantu, karena studi penilaian itu belum terstruktur atau parsial. Hal yang sama juga ditemui pada berbagai dokumen penelitian ilmiah tentang dinamika tegakan, satwaliar, hidrologis dan NET. Oleh karena berbagai kendala itu penelitian ini dibangun dengan data primer dan sebagian data sekunder yang relevan, sebagaimana telah dituliskan dalam metode penelitian dan daftar pustaka; dan hanya mencakup komponen hasil hutan kayu, non kayu dari tumbuhan dan satwaliar, fungsi hidrologis dan perlindungan keanekaragaman hayati.

Pada tahun 2002 topik penelitian ini didiskusikan dengan Bapak Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS; dan pada kesempatan itu beliau bersedia sebagai Pembimbing; dalam komisi pembimbing sebagai Ketua Komisi. Dengan pertimbangan kepentingan arahan aspek teori penilaian dan ekonomi, Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA; bersama dengan Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS untuk arahkan aspek konservasi sumberdaya hutan, masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS yang banyak memberikan arahan dalam pemodelan, falsafah ilmu dan semangat untuk mencapai kemajuan ilmu pengetahuan. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA atas diskusi menarik tentang

(12)

dalam kebijakan pengelolaan hutan. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. Ir Hadi S. Alikodra, MS atas masukan tentang deep ecology dan ekologi satwaliar, yang penting dalam bahasan penelitian ini. Sesungguhnya kepada beliau bertiga ucapan terima kasih saya bukan hanya hal spesifik tersebut di atas, tetapi yang lebih penting adalah dukungan semangat, kesabaran dalam proses penyelesaian studi, serta membangun tata nilai dan perilaku dalam kehidupan akademik maupun aspek kehidupan yang lebih luas.

Terima kasih kepada berbagai pihak untuk dukungan selama studi, khususnya beasiswa BPPS dari Dikti; izin dan dukungan dana serta teknis operasional selama pengumpulan data di lapangan dari bapak Ir. Nana Suparna selaku Direktur PT SBK, dan Ir. Fathrah D. Kusumah, Ir. Yudhi Hendro, Ir. Djoko Sambodo, serta Ir. Suprianto. Juga terima kasih kepada sdri Dini Rahmanita, SHut dan sdr Donal Ade Putra, SHut yang telah membantu pelaksanaan survei di lapangan. Kepada rekan-rekan di Bagian Kebijakan Kehutanan Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan terima kasih atas dukungan semangat dan keringanan tugas perkuliahan dan pembimbingan mahasiswa, agar saya dapat penyelesaian studi ini.

Kepada ibunda tercinta saya sampaikan terima kasih atas doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan anak-anaknya, juga kepada isteri dan anak-anak tercinta yang telah memberi dorongan semangat untuk keberhasilan studi program doktor ini. Kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu disini, saya mengucapkan terima kasih atas dukungannya.

Ayat qauniyah sangatlah luas untuk digali, tentunya karya ilmiah ini hanyalah sebagian kecil saja dari pengetahuan itu, masih banyak kekurangannya. Semoga informasi pada karya ilmiah ini dapat memberi sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan kehutanan dan bermanfaat di dalam perumusan kebijakan maupun praktik pengelolaan hutan alam Indonesia secara lestari.

Bogor, Maret 2008

(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Birayang, kota kecamatan yang ada di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dengan ibu kota Barabai di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan pada tanggal 1 Mei 1961 oleh ibu Hajjah Airmas dan bapak Haji Muhammad Said (alm).

Penulis menikah pada 31 Desember 1987 dengan Drh. Sutiastuti Wahyuwardani, MSi; dia bekerja di Balai Veteriner Badanlitbang Deptan. Kami telah dikarunia Allah SWT dua orang anak, pertama seorang putri bernama Fitrahani Puspita Dewi yang lahir 8 Agustus 1990, dan Insya Allah tahun ini memasuki perguruan tinggi. Yang kedua seorang putra bernama Arya Yudha Rakhman lahir 2 Februari 1993, yang juga akan memasuki SMA di pertengahan tahun 2008 ini.

Pada 17 Maret 1986, penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor di Bogor. Mulai September 1989-1993 mengikuti pendidikan program magister sain pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bogor. Penulis pada September 1999 mulai mengikuti kuliah program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sejak 1 Maret 1988 sampai sekarang penulis bekerja sebagai dosen di Laboratorium Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan (sejak 2006/2007 berubah menjadi Bagian Kebijakan Kehutanan), Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bidang keahlian adalah manajemen dan ekonomi sumberdaya hutan dengan pendalaman pada penilaian ekosistem hutan dan lingkungan. Sejak 1993 mulai melakukan studi penilaian hutan berupa tesis ”Penilaian Manfaat Wisata Alam Kawasan konservasi dan Peranannya terhadap Pembangunan Wilayah”, membimbing skripsi mahasiswa Fakultas Kehutanan tentang penilaian hutan seperti wisata alam hasil hutan non kayu, dan perdagangan karbon, kelayakan finansial ekonomi pengelolaan hutan serta industri pengolahan hasil hutan kayu dan non kayu skala kecil menengah.

(14)

kebakaran lahan dan hutan, manajemen keuangan usaha kehutanan skala kecil dan menengah, pelatihan tenaga asesor sertifikasi pengelolaan hutan produksi; serta selaku auditor atau panel pakar bidang produksi dalam sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari. Melakukan kerjasama penelitian dengan Departemen Kehutanan, Bappenas, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, beberapa LSM, antara lain studi sistem nilai hutan produksi, kajian kebijakan ekonomi kehutanan, neraca sumberdaya hutan dan perencanaan restorasi ekosistem hutan produksi.

Beberapa karya ilmiah atau paper yang dipublikasi maupun tidak, antara lain : Permintaan dan Nilai Wisata Alam Kawasan Konservasi (1994); Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter terhadap Usaha Kehutanan Masyarakat : Usaha Rotan di Samba Katung, Kecamatan Tumbang Samba, Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah (2001); Mewujudkan Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Melalui Rente Ekonomi dan Distribusinya yang Berkeadilan (2002); Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan dan Kontribusinya terhadap Pemda dan Masyarakat Lokal (2002);

Economic Analysis of Sustainable Forest Management at Unit Management Level in

Indonesia (2004); Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan : Nilai Guna Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu (2007).

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan dan Manfaat Penelitian .………... 4

Hipotesis Penelitian ………... 5

Ruang Lingkup Penelitian ……….…... 5

TINJAUAN PUSTAKA ………...………... 7

Paradigma Kelestarian ………..………... 7

Konsep Pengelolaan Hutan ... 9

Konsep Nilai dan Penilaian Ekosisten Hutan ... 13

Nilai Guna Langsung Ekosistem Hutan ... 16

Nilai Guna Tidak Langsung Ekosistem Hutan ... 19

Nilai Pilihan dan Keberadaan Ekosistem Hutan ... 21

METODE PENELITIAN ………... 23

Kerangka Pikir Penelitian ... 23

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29

Metode Pengumpulan Data ... 30

Metode Analisis Data ... 33

PENDEKATAN SISTEM PENDUGAAN NILAI HASIL HUTAN KAYU DAN NON KAYU ... 37

Model Dinamika Tegakan dan Hasil Hutan ... 37

Dinamika Tegakan Hutan ... 37

Dinamika Hasil Hutan Kayu dan Non Kayu ... 41

Model Pendugaan Nilai Guna Kayu dan Non Kayu Hutan Alam... 52

PENDEKATAAN SISTEM PENDUGAAN NILAI FUNGSI HIDRO- LOGIS ... 60

Model Pengendalian Erosi dan Hasil Air Hutan Alam Produksi ... 60

(16)

PENDEKATAN SISTEM PENDUGAAN NILAI KEANEKARAGAM-

AN HAYATI ... 81

Model Keanekaragaman Hayati Ekosistem Hutan Alam Produksi ... 81

Model Pendugaan Nilai Ekonomi Keanekaragaman Hayati ... 88

ANALISIS NILAI EKONOMI TOTAL DAN KEBIJAKAN PENGELO- LAAN HUTAN ALAM ... 93

Analisis Nilai Ekonomi Total Hutan Alam Produksi ... 93

Implikasi pada Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam ... 102

KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

Kesimpulan ... 109

Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Klasifikasi metode penilaian ekonomi ekosistem hutan... 15 2 Hubungan penutupan lahan dan erosi ... 20 3 Pengelompokkan variabel pada pendugaan NET ekosistem hutan alam

produksi ... 28 4 Model penduga potensi sumber hasil hutan non kayu hutan alam

pro-duksi di lokasi penelitian ... 44 5 Perbandingan kepadatan populasi satwaliar di lokasi penelitian dengan

lokasi lain ... 50 6 Hasil hutan kayu dan non kayu per hektar selama 35 tahun pada ber-

bagai simulasi intensitas penebangan ... 51 7 Harga dan nilai potensial stok hasil hutan non kayu di lokasi penelitian. 54 8 Perubahan nilai kiwari hasil hutan kayu dan non kayu pada simulasi

berbagai intensitas penebangan tegakan hutan alam produksi ………… 56 9 Rasio nilai kayu dan non kayu pada basis intensitas penebangan 100% . 58 10 Model penduga erosi di hutan alam produksi lokasi penelitian ... 61 11 Hasil simulasi intensitas penebangan terhadap debit ... 67 12 Pendugaan erosi, kehilangan unsur hara dan kebutuhan pupuk untuk

substitusi hara selama siklus tebang ... 73 13 Nilai kiwari erosi akibat perubahan intensitas penebangan tegakan hu-

tan alam produksi ... 75 14 Perubahan nilai kiwari hasil air pada simulasi berbagai intensitas

pene-bangan tegakan hutan alam produksi ... 77 15 Nilai kiwari pengendalian erosi dan hasil air pada berbagai simulasi

in-tensitas pene-bangan hutan alam produksi ... 79 16 Keanekaragaman jenis dan kerapatan tegakan hutan bekas tebangan dan

hutan primer di lokasi penelitian ... 82 17 Perkembangan kehati tegakan dan satwaliar di hutan alam produksi

menurut simulasi intensitas penebangan ... 87 18 Model penduga WtP nilai pilihan dan keberadaan ekosistem alam ... 88 19 Perubahan nilai pilihan dan keberadaan kehati pada berbagai intensitas

(18)

20 Perbedaan metode pendugaan NET ekosistem hutan dengan pendekatan sistem dan metode yang umum dipraktikkan saat ini ... 97 21 Perbandingan komponen-komponen NET untuk setiap alternatif

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pikir model pendugaan NET ekosistem hutan alam ... 26 2 Hubungan NET dan keputusan pengelolaan ekosistem hutan ... 29 3 Lokasi penelitian hutan alam produksi PT SBK Unit Seruyan Kalteng .. 30 4 Kurva pertumbuhan tegakan komersial dan non komersial diameter >

20 cm tanpa penebangan ... 39 5 Perbandingan kerapatan tegakan seluruh jenis diameter > 20 cm hasil

pendugaan oleh model dan aktual di areal hutan alam PT SBK Unit

Seruyan ... 40 6 Struktur tegakan hutan di areal penelitian (a) hutan alam primer (b)

hutan alam setelah penebangan ... 41 7 Pola hubungan populasi satwaliar dan jangka waktu setelah

pene-bangan (a) populasi rusa (b) populasi kancil, (c) populasi kijang, (d)

populasi babi, (e) populasi aneka burung ... 48 8 Komposisi nilai guna kayu dan non kayu menurut intensitas

pene-bangan hutan alam produksi ... 57 9 Perbandingan erosi oleh model dan data di lokasi penelitian ... 62 10 Perkembangan erosi menurut waktu setelah penebangan selama siklus

tebang ... 63 11 Proses siklus hidrologis yang mempengaruhi hasil air dari hutan ... 65 12 Perkembangan kualitas air pada berbagai intensitas penebangan

tegak-an selama siklus tebtegak-ang ... 69 13 Hubungan kesediaan membayar rata-rata dan kualitas air rata-rata

aki-bat penebangan hutan alam produksi ... 76 14 Nilai nominal fungsi pengendalian erosi dan hasil air menurut

intensi-tas penebangan selama siklus tebang ... 78 15 Respon nilai ekonomi hasil hutan kayu dan fungsi hidrologis terhadap

intensitas penebangan hutan alam produksi ... 80 16 Model dinamika keanekaragaman hayati tegakan setelah penebangan

hutan di lokasi penelitian ... 83 17 Model dinamika keanekaragaman hayati satwaliar setelah penebangan

hutan di lokasi penelitian ... 85 18 Perbandingan kehati aktual dan model: (a) dan (b) kehati tegakan pada

intensitas penebangan 76% dan 100%; (c) dan (d) kehati satwaliar pada intensitas penebangan 76% dan 100%... 86 19 Komposisi nilai guna kayu, pilihan dan keberadaan kehati menurut

(20)

20 NET ekosistem hutan alam produksi pada berbagai intensitas pene-bangan : (a) NET1 yang terdiri dari nilai guna kayu dan non kayu, (b)

NET3 yang terdiri dari nilai guna kayu dan non kayu, nilai guna tidak

langsung fungsi hidrologis, nilai pilihan dan keberadaan kehati ... 100 21 Distribusi NET untuk stakeholders menurut intensitas penebangan : (a)

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Model subsistem tegakan ekosistem hutan alam produksi ... 119 2 Data kerapatan tegakan: (2a) hutan alam primer dan (2b) hutan alam

bekas tebangan di lokasi penelitian ... 120 3 Model subsistem dinamika hasil hutan kayu non kayu ekosistem hutan

alam produksi ... 121 4 Subsistem nilai guna hasil hutan kayu dan non kayu dari tumbuhan &

satwaliar ekosistem hutan alam produksi ... 122 5 Nilai kiwari dari nilai guna kayu dan non kayu hutan alam produksi

pa-da berbagai intensitas penebangan tegakan ... 123 6 Model subsistem fungsi hidrologis hutan alam produksi ... 124 7 Subsistem nilai ekonomi fungsi hidrologis hutan alam produksi ... 125 8 Nilai fungsi hidrologis hutan alam produksi (a) nilai erosi akibat pene-

bangan (b) hasil air, dan nilai air... 126 9 Model subsistem nilai pilihan dan keberadaan keanekaragaman hayati

ekosistem hutan alam produksi ... 127 10 Dua puluh dua jenis yang memiliki indeks nilai penting tertinggi dan

indeks dominansi serta indeks keanekaragaman jenis hutan primer ... 128 11 Kehati satwaliar oleh model dan aktual hutan SBK dan hutan KTR

Kalimantan Tengah ... 129 12 WtP, nilai pilihan dan keberadaan kehati hutan alam produksi ... 129 13 Manfaat neto pengelolaan hutan produksi dan pengolahan kayu di

Pro-vinsi Riau (Rp 1.000) ... 130 14 Model subsistem pendugaan nilai ekonomi total ekosistem hutan alam

produksi dan distribusinya pada stakeholders ... 130

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena kerusakan sumberdaya hutan (deforestasi dan degradasi) terjadi

di Indonesia dan juga di negara-negara lain, yang menurut Sharma et al. (1995)

selama periode 1950-1980 terjadi deforestasi karena tekanan kegiatan manusia di

Afrika 20%, Asia Tenggara 43%, dan Amerika Utara 19%. Di Indonesia berbagai

kebijakan yang mendasari kegiatan pemanenan kayu, pertukaran kawasan hutan,

pengembangan hutan tanaman industri, perubahan penggunaan kawasan hutan

untuk pembangunan pertanian, perkebunan, transmigrasi dan lain-lain, maupun

berbagai kejadian kebakaran hutan, illegal logging, perladangan, dilihat dari

neraca sumberdaya hutan menunjukkan adanya penurunan luas kawasan hutan

maupun luas tutupan hutan. Berdasarkan data Neraca Sumberdaya Hutan Nasional

selama kurun 1998-2002 telah terjadi kerusakan hutan pada seluruh kawasan

hutan tetap 2,4 juta ha/thn, khusus pada kawasan hutan produksi sebesar 2,2 juta

ha/thn. Hal ini mengindikasikan praktek pengelolaan hutan secara umum belum

mencapai prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, sehingga dapat mengancam

kelangsungan manfaat ekonomi dan lingkungan.

Pengelolaan hutan secara umum potensial menimbulkan beberapa

persoalan yaitu :

1) Eksternalitas negatif pada lingkungan hidup berupa penurunan atau hilangnya

fungsi ekologis hutan dan kerusakan habitat menimbulkan biaya yang

ditanggung oleh masyarakat lokal maupun nasional.

2) Kerusakan hutan menimbulkan risiko dan ketidakpastian pulihnya kondisi

ekosistem hutan tersebut, karena peningkatan kerentanan ekosistem (resiliensi

dan stabilitas rendah) maupun biaya pemulihan yang sangat tinggi. Hal ini

berimplikasi pada dua hal a) kehilangan nilai guna hasil hutan kayu dan non

kayu dimasa akan datang, akibat pemanfaatan yang tidak lestari saat kini (user

cost), b) kehilangan nilai guna harapan dimasa akan datang dari

keanekaragaman hayati yang saat kini belum dimanfaatkan (option values).

Potensi berbagai hasil hutan berupa kayu, non kayu dan jasa ekologis tidak

(23)

stakeholders terhadap sumberdaya hutan. Oleh karena itu, diperlukan suatu

perubahan di dalam sistem pengelolaan hutan, dengan menggunakan paradigma

kelestarian kuat (strong sustainability paradigm) yang didukung dengan

implimentasi paradigma pengelolaan berbasis ekosistem guna mencapai

kelestarian ekosistem tersebut. Pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian

kuat menetapkan adanya stok konstan dari waktu ke waktu, dengan menggunakan

prinsip pencegahan (precautionary principle) penurunan sumberdaya hutan dan

kualitas lingkungan, untuk mencapai kondisi yang diinginkan dengan penekanan

kesehatan ekosistem (kelestarian ekologis, keanekaragaman, dan produktivitas)

yang mampu menyediakan beragam manfaat dan pilihan (option) bagi

masyarakat.

Analisis ekonomi konvensional tidak lagi memadai untuk pengambilan

keputusan di dalam pengelolaan ekosistem hutan, karena ketidak mampuan

ekonomi konvensional menjelaskan nilai fungsi ekologis dan jasa lingkungan.

Oleh karena itu perlu perluasan berupa pengintegrasian kondisi ekosistem dan

kualitas lingkungan, melalui pendekatan ekonomi ekologi. Salah satu informasi

penting yang diperlukan adalah pengetahuan hubungan kondisi atau mekanisme

ekosistem dengan “Nilai Ekonomi Total” (NET) yang diperlukan sebagai sarana

pengambilan keputusan di dalam pengelolaan ekosistem hutan.

Perumusan Masalah

Pengelolaan hutan lestari memerlukan keseimbangan ekologis dan

ekonomis bagi kebutuhan generasi sekarang, dan melakukan perlindungan

terhadap ekosistem agar terpelihara kemampuannya bagi generasi akan datang

untuk memenuhi kebutuhannya. Implimentasi pengelolaan hutan saat ini masih

memiliki berbagai kelemahan untuk mencapai pengelolaan hutan lestari, antara

lain karena belum lengkapnya informasi dampak nilai ekonomis dan ekologis dari

perubahan komponen ekosistem hutan bagi stakeholders (pengelola hutan,

pemerintah dan masyarakat lokal) di dalam pengelolaan hutan.

Perubahan pengelolaan hutan dengan paradigma kelestarian kuat

memerlukan kesadaran moral yang semula didominasi oleh etika

(24)

ekologisme) dan pengembangan pengetahuan ekologis dan ekonomi ekosistem

hutan. Etika sebagai sumber teori nilai tentang baik dan tidak baik, benar dan

salah, boleh dan tidak boleh dilakukan, tentunya sangat berperan di dalam

membentuk sikap dan tindakan manusia terhadap ekosistem hutan. Paham

antroposentrisme hanya mementingkan kepentingan manusia dan komponen

ekosistem lainnya (bukan manusia) hanya sebagai instrumen bagi kesejahteraan

manusia. Fakta berupa kerusakan ekosistem mengakibatkan kelestarian tidak

terjamin, sehingga memerlukan pergeseran paradigma pengelolaan ekosistem

hutan. Ekosentrisme menganut perluasan acuan moral, yang menjadikan

komponen bukan manusia juga sebagai subjek moral, sehingga menuntut

pengakuan terhadap hak keberadaan, kehidupan dan kebebasan komponen bukan

manusia tersebut.

Manusia sebagai pelaku moral sekaligus sebagai khalifah di muka bumi

mempunyai tanggungjawab bukan saja terhadap keberadaan dan kehidupan

manusia tetapi juga terhadap komponen ekosistem bukan manusia tersebut.

Di-dalam menjalankan tanggungjawabnya diperlukan dukungan ilmu pengetahuan

agar dapat memahami perubahan yang mungkin timbul dari setiap tindakan

pengelolaan terhadap kondisi ekosistem termasuk manusia. Oleh karena itu setiap

tindakan harus dipertimbangkan tidak menimbulkan ancaman, kerusakan,

kepunahan komponen-komponen ekosistem. Pemanfaatan masih dapat dilakukan

dengan memperhatikan integritas, kestabilan dan keindahan ekosistem (Leopold,

1966 dalam Brian, 1995).

Perkembangan pengetahuan tentang hubungan NET dengan perubahan

kondisi ekosistem sampai saat kini masih belum lengkap. Hal ini karena kajian

tentang kondisi ekosistem dan kajian NET masih parsial dan informasinya

terbatas. Hasil penelitian dinamika tegakan, satwaliar, fungsi ekologis dilakukan

terpisah belum dikaitkan satu dengan lainnya, atau dilakukan pada tipe hutan yang

berbeda. Hasil penelitian NET hutan yang telah dilakukan hanya menggambarkan

NET pada kondisi hutan tertentu, dan informasi mengenai kondisi hutan yang

dinilai sangat kurang. Oleh karena itu hasil-hasil penelitian NET hutan ini tidak

dapat diperbandingkan antara yang satu dengan dengan yang lain, dan belum

(25)

Ada gap informasi mengenai pola hubungan NET dengan kondisi ekosistem dan

sosial ekonomi masyarakat. Sehingga diperlukan pendugaan NET yang mampu

menggambarkan perubahan kondisi ekosistem hutan. Pendugaan NET ini dapat

dilakukan dengan Pendekatan Sistem.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka permasalahan penelitian dari

aspek teoritis adalah “Bagaimanakah perubahan NET jika kondisi ekosistem

hutan berubah”, yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut :

1) Bagaimanakah respon output (barang dan fungsi ekologis) ekosistem hutan

alam apabila kondisi tegakan berubah akibat tindakan penebangan ?

2) Apakah perubahan setiap komponen nilai pada NET searah atau saling

berlawanan ?

Adapun permasalahan penelitian dari aspek praktis dalam pengelolaan ekosistem

hutan adalah :

1) Apakah konsep NET dapat digunakan sebagai alat evaluasi pengelolaan hutan

alam dari aspek manfaat dan biaya bagi stakeholders ?

2) Apakah pendekatan sistem dalam pendugaan NET ekosistem hutan ini dapat

digunakan dalam penetapan keputusan tujuan pengelolaan hutan alam ?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum adalah mendapatkan model penilaian ekosistem hutan alam

dengan pendekatan sistem terhadap komponen ekosistem hutan dan komponen

nilai ekonomi total (NET), yang menjadi media proses pembelajaran terhadap

berbagai bentuk interaksi diantara komponen-komponen yang diteliti.

Tujuan khusus penelitian adalah :

1) Mendapatkan pengetahuan sifat atau dinamika NET pada berbagai intensitas

penebangan tegakan melalui model dinamika tegakan, potensi hasil dan nilai

ekosistem hutan berupa hasil hutan kayu, non kayu (dari tumbuhan dan

satwaliar) dan jasa fungsi ekologis berupa pengendalian erosi dan hasil air

untuk konsumsi masyarakat sekitar hutan, serta keanekaragaman hayati yang

menjadi suatu model pendugaan NET ekosistem hutan alam.

2) Mendapatkan pengetahuan bagaimana harmonisasi kepentingan stakeholders

(26)

Manfaat penelitian adalah :

1) Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berkontribusi pada pengembangan

metodologi penilaian ekosistem hutan.

2) Pada aspek pengelolaan hutan, akan berkontribusi pada penguatan sistem

pengelolaan ekosisten hutan dengan dukungan kesadaran etika ekosentrisme.

Hipotesis Penelitian

Penilaian ekonomis dan ekologis ekosistem hutan dengan pendekatan

sistem ini mencoba mengintegrasikan komponen ekosistem dan komponen NET

dalam model pendugaan NET untuk memperoleh informasi NET yang relevan

dengan perkembangan kondisi ekosistem hutan. Hipotesis dalam penelitian

adalah :

1) Interaksi diantara hasil kayu, non kayu dan jasa fungsi ekologis bersifat

negatif atau saling meniadakan, yang besarnya dipengaruhi oleh tindakan

pengelolaan hutan berupa intensitas penebangan tegakan. Model pendugaan

NET ekosistem hutan yang mengintegrasikan berbagai interaksi komponen

ekosistem ini memikili kemampuan menggambarkan perubahan komponen

NET sesuai dengan perubahan komponen ekosistem hutan khususnya tegakan

satwaliar dan fungsi hidrologis tersebut secara dinamis.

2) Hasil pendugaan NET ekosistem hutan dengan pendekatan sistem ini dapat

mengarahkan keputusan tujuan pengelolaan ekosistem hutan alam dengan

manfaat ekonomis dan ekologis secara harmonis bagi stakeholders, di setiap

unit pengelolaan ekosistem hutan alam, melalui penentuan intensitas dan

bentuk pengelolaannya.

Ruang Lingkup Penelitian

Kompleksitas ekosistem hutan sangat tinggi, ketersediaan informasi masih

terbatas, dan diperlukan pendekatan multidisiplin, sehingga dalam penelitian ini

perlu batasan sistem. Batasan sistem pada penelitian adalah kesatuan ekosistem

hutan alam pada tipe hutan hujan tropis dataran rendah (0-500 m dpl) dan bukit

(500-1.000 m dpl) dengan komponen tegakan, satwaliar, fungsi hidrologis dan

(27)

komponen utama ekosistem hutan, satwaliar sebagai satwa yang mempunyai nilai

ekonomis potensial bagi masyarakat sekitar hutan, tanah dan curah hujan sebagai

faktor terkait langsung dengan masalah erosi dan kualitas air yang terjadi dalam

kegiatan pengelolaan hutan. Secara rinci batasan ini adalah :

1) Komponen ekosistem hutan: meliputi tegakan, satwaliar, iklim (intensitas

curah hujan) tanah, dan masyarakat di sekitar hutan yang memiliki interaksi

dengan hutan.

2) Komponen hasil hutan: meliputi hasil hutan kayu, non kayu meliputi resin

atau getah, buah, rotan dan bambu, satwaliar, fungsi ekologis berupa

pengendalian erosi, kuantitas dan kualitas hasil air untuk konsumsi rumah

tangga masyarakat sekitar hutan.

3) Komponen NET: meliputi a) nilai guna langsung (direct use values) yang

mencakup kayu, non kayu termasuk satwaliar, b) nilai guna tidak langsung

(indirect use values) berupa nilai fungsi pengendalian erosi dan kualitas air, c)

nilai pilihan (option values) dan nilai keberadaan (existence value)

(28)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pikir Penelitian

Sistem merupakan kumpulan proses-proses yang saling terkait satu sama

lainnya melalui berbagai hubungan sebab akibat secara timbal balik (Grant et al.

(1997). Ekosistem hutan merupakan sistem alam yang terdiri dari

komponen-komponen jasad hidup (tumbuhan, hewan dan manusia) dan lingkungannya yang

diantaranya terjadi pertukaran zat dan energi, yang diperlukan untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya (Soerianegara, 1995).

Pada ekosistem hutan tegakan merupakan komponen penciri utama, yang

memiliki pengaruh besar terhadap komponen lainnya, yang membentuk sebagai

satu kesatuan ekologis. Dari dimensi manajemen, hutan memiliki ciri khas antara

lain kesatuan antara sumber (resource) dan hasil. Pada hasil hutan kayu sifat ini

dikenal dengan dua sifat dalam satu wujud, yang berarti hasil kayu dan sumber

atau pabrik penghasil kayu itu dalam wujud yang sama yaitu tegakan. Demikian

juga dengan satwa sebagai sumber dan sekaligus sebagai hasil berupa daging

satwa. Oleh karena ada saling keterkaitan secara ekologis (ecological linkages)

antara sumber dan hasil hutan itu. Pemanfaatan setiap jenis hasil hutan akan

berpengaruh terhadap kondisi sumber hasil hutan tersebut, dan terhadap sumber

serta hasil hutan yang lain.

Berdasarkan sifat khas hutan tersebut, maka untuk memperoleh hasil hutan

(manfaat) yang melekat dengan sumbernya, akan menimbulkan kerusakan atau

menghilangkan sumbernya. Dampak pemanfaatan itu dapat berupa kerusakan

sumber hasil hutan lainnya, yang berarti pula mengurangi atau menghilangkan

hasil hutan yang lain (trade off). Panayotou & Asthon (1992) menyatakan bahwa

ada empat kemungkinan interaksi ekologis di antara berbagai macam hasil hutan

itu 1) interaksi negatif sempurna, 2) interaksi positif, 3) interaksi fisik dan faktor

pembatas lainnya tidak ada, tetapi ada interaksi negatif dari sosial ekonomi, 4) ada

interaksi positif dan negatif.

Disisi lain, nilai atau persepsi individu dipengaruhi oleh kondisi hutan,

hasil hutan dan oleh faktor-faktor sosial ekonomi, yang akan memunculkan

(29)

ekosistem secara keseluruhan. Pada hasil hutan yang ketersediaannya sangat

terbatas maka kesediaan membayar akan lebih tinggi dibandingkan dengan barang

atau jasa hutan yang melimpah. Kesediaan membayar terhadap ekosistem hutan

yang non guna, maka kesediaan membayar semakin tinggi pada kualitas

ekosistem yang lebih baik dibandingkan ekosistem yang lebih rendah. Adanya

interdependensi secara ekologis dan ekonomis ini, maka NET bukan penjumlahan

secara independen nilai potensial masing-masing komponen ekosistem atau hasil

hutan tersebut (Suhendang, 2004). Oleh karena itu penilaian NET seharusnya

memperhatikan interaksi yang ada dengan pendekatan sistem alami (ekosistem)

yang mencakup komponen fisik, hayati dan manusia menjadi model ekologis

ekonomis.

Konstruksi model bertujuan untuk mengetahui hubungan perubahan

tegakan melalui intensitas penebangan terhadap perubahan NET dan dampaknya

terhadap kepentingan stakeholders. Atas dasar tujuan tersebut maka, sistem

pendugaan NET ini dibangun meliputi subsistem tegakan, subsistem hasil hutan

dari tumbuhan dan satwaliar (kayu dan non kayu), subsistem fungsi hidrologis,

subsistem NET ekosistem hutan dan distribusinya pada stakeholders. Variabel

pada model ekologis yang diteliti meliputi variabel-variabel yang berpengaruh

terhadap pertumbuhan tegakan dan komposisi jenis vegetasi, populasi satwaliar,

tata air dan erosi, sedangkan pada model ekonomi meliputi kesediaan membayar

atau harga, biaya pengelolaan hutan dan industri pengolahan kayu, serta tingkat

pengembalian modal (suku bunga).

Komponen-komponen yang akan dikonstruksi dalam model ekologis dan

ekonomi dapat dikelompokkan atas lima (Grant et al. 1997) yaitu variabel

keadaan (state variable), variabel penggerak (driving variable) dan konstanta,

variabel bantu (auxiliary variable), serta transfer materi dan informasi. Variabel

keadaan merupakan titik akumulasi materi dalam sistem atau nilai yang

menyatakan keadaan komponen sistem. Variabel penggerak merupakan

komponen yang menggerakkan komponen lain, tetapi tidak dipengaruhi oleh

komponen lain dari sistem tersebut. Konstanta merupakan nilai yang

menggambarkan karakteristik sistem yang tidak berubah, atau tidak ada

(30)

koefisien atau parameter. Variabel bantu merupakan variabel lain yang terjadi dan

merupakan produk dari kalkulasi, atau sebagai bagian dari kalkulasi transfer

materi. Transfer materi dan informasi merupakan transfer fisik materi dan

informasi pada periode waktu tertentu yang dapat terjadi a) antara dua variabel

keadaan, b) antara titik awal (source)dengan variabel keadaan, c) antara variabel

keadaan dengan titik akhir (sink). Pengelompokkan variabel-variabel pendugaan

NET disajikan pada Tabel 3, sedangkan kerangka pikir tentang keterkaitan dan

pengaruh setiap variabel dengan tanda positif (meningkatkan) dan, atau negatif

(menurunkan) terhadap variabel yang ditunjuk panah, di dalam model pendugaan

NET ekosistem hutan disajikan pada Gambar 1.

Pertumbuhan tegakan diduga dengan model pertumbuhan pohon menurut

kelas diameter. Penambahan stok tegakan (kerapatan tegakan) pada kelas diameter

tertentu dipengaruhi oleh masuknya pohon pada kelas diameter tersebut

(ingrowth), pengurangan karena berpindahnya pohon ke kelas diameter yang lebih

besar (upgrowth). Pengurangan stok tegakan bersumber juga dari penebangan

(panen) yang akan menambah besar hasil kayu, dan kematian pohon karena faktor

alam dan dampak kegiatan penebangan. Dengan demikian intensitas penebangan

akan berpengaruh terhadap perkembangan tegakan. Pada saat yang sama besar

ingrowth, upgrowth, yang mati dan hasil panen dipengaruhi oleh besar kerapatan

tegakan.

Stok atau potensi tumbuhan dan satwaliar (pop TS non kayu) dipengaruhi

oleh perkembangan stok tegakan, oleh karena itu penebangan tegakan

berpengaruh negatif terhadap populasi atau potensi tumbuhan dan satwaliar

penghasil non kayu. Panen hasil hutan non kayu akan meningkatkan hasil hutan

non kayu, tetapi akan mengurangi potensi tumbuhan dan satwaliar. Atas dasar hal

ini intenistas penebangan tentunya akan berpengaruh terhadap kondisi potensi

tumbuhan dan satwaliar. Di dalam konstruksi subsistem hasil hutan dari tumbuhan

dan satwaliar, model matematik perkembangan stok tegakan akan didekati oleh

variabel jangka waktu setelah penebangan.

Perkembangan kondisi tegakan dengan intensitas penebangan tertentu,

seiring dengan jangka waktu setelah penebangan akan berpengaruh negatif

(31)

hujan (CH) akan berpengaruh positif terhadap besar run off dan evapotranspirasi

(ET). Run off akan berpengaruh positif atau meningkatkan hasil air atau debit

sedangkan evapotranspirasi akan berpengaruh memperkecil hasil air. Disisi lain

erosi akan berpengaruh negatif terhadap kualitas air.

Stok tegakan (+)

NFHid (-/+)

Erosi (-)

Ingrowth (+) Upgrowth (-)

Peneb. tegakan (-/+) jwsp (+/-)

Pop TS non ky (-/+)

Hsl ky (+/-)

NGTS (+/-)

HHNK (-/+) Panen NKy (-/+)

CH (+)

ET (-)

R off (+) Hsl air (-/+)

Harga/ WtP (+)

Kehati flora & fauna (+/-) NP/NK (-/+)

Stakeholders NET

[image:31.595.80.524.172.656.2]

Kematian (-)

Gambar 1 Kerangka pikir model pendugaan NET ekosistem hutan alam

Perkembangan tegakan juga diharapkan akan berpengaruh positif terhadap

tingkat keanekaragaman hayati sebagai hasil dari proses suksesi.Keanekaragaman

(32)

dan satwaliar. Satwa liar mencakup jenis satwa yang masuk kelompok mamalia

yang ruang geraknya atau hidupnya di permukaan tanah seperti rusa dan kancil,

serta satwaliar kelompok burung atau aves.

Variabel harga atau kesediaan membayar akan berpengauh positif terhadap

nilai masing-masing hasil hutan, yaitu hasil hutan kayu dan non kayu dari

tumbuhan dan satwaliar (NGTS); nilai fungsi hidrologis (NFHid); nilai pilihan

dan keberadaan dari perlindungan keanekaragaman hayati flora dan fauna. NET

adalah penjumlahan dari NGTS, NFHid dan NP/NK, setelah mempertimbangkan

keterkaitan atau pengaruh yang timbul terhadap setiap jenis hasil hutan yang

dinilai akibat aktivitas penebangan tegakan untuk memperoleh hasil kayu.

NET terdistribusi kepada stakeholders, dan kepentingan stakeholders

dapat disimulasi melalui intensitas penebangan tegakan. Yang dimaksudkan

dengan intensitas penebangan adalah rasio tegakan yang ditebang terhadap stok

tegakan yang layak tebang menurut sistem TPTI. Intensitas penebangan 100%

dianggap refleksi kepentingan pengelola hutan yang ingin memproduksi kayu

secara maksimal. Intensitas 0% dianggap mewakili kepentingan masyarakat lokal

ataupun kelompok konservasionis, kemudian intensitas 50% adalah intensitas

diantara keduanya atau menengah, dan intensitas 76% menunjukkan intensitas

penebangan minimum yang dipraktikan saat kini oleh pengelola hutan di lapangan

(realisasi hasil logs rata-rata 47-56 m3/ha atau tegakan 67-79 m3/ha).

Model akan digunakan untuk mengetahui perilaku atau perkembangan

NET melalui simulasi dengan variabel keputusan (decision variable) adalah

intensitas penebangan 0%, 50%, 76% dan 100%, yang implikasinya dinilai

melalui variabel indikator (indicator variable). Variabel indikator pada model

ekologis adalah stok tegakan, potensi tegakan penghasil non kayu, populasi

satwaliar, hasil hutan kayu dan non kayu; sedangkan pada model ekonomi adalah

nilai guna dari tumbuhan dan satwaliar (NGTS) berupa kayu dan non kayu, nilai

fungsi hidrologis (NFHid), nilai pilihan (NP) dan nilai keberadaan

keanekaragaman hayati (NKkehati), serta distribusi NET yang diperoleh

(33)

Macam variabel setiap subsistem

Kelompok Tegakan Hasil hutan dari tumbuhan &

satwaliar

Fungsi hidrologis & erosi NET ekosistem hutan

Variabel keadaan

stok tegakan dari tiang sampai pohon diameter 60 up, jangka waktu setelah penebangan (jwsp)

akumulasi hasil hutan kayu & non kayu (getah, buah, rotan, bambu, satwaliar)

stok air tanah, air sungai, akumulasi erosi hara tanah

ak. subst hara, ak. hasil air,ak. nilai guna tumb & satwa ak. nilai fungsi hidrologis, ak NET ekosistem hutan & ak. NET bagi stakeholders

Variabel penggerak & konstanta

laju ingrowth & upgrowth, laju kematian alami, laju penebangan, jumlah pancang, siklus tebang

laju panen hasil hutan non kayu (getah buah,rotan bambu, satwaliar), vol kayu per pohon, tingkat

produktivitas getah & buah

luas areal, koef manning, lereng, curah hujan, laju evapotranspirasi, fraksi hara tanah

hasil kayu & non kayu, laju konsumsi air, harga kayu olahan, harga non kayu & pupuk, musim, nilai tukar, suku bunga, erosi hara tanah,faktor substitusi Variabel

bantu

laju kematian akibat penebangan, tebangan total

jangka waktu setelah peneb.,fungsi populasi non kayu, efek tebang, potensi non kayu

jangka waktu setelah peneb.,koef runoff, efek tebang, SDR, fungsi erosi,debit aliran sedimen

jangka waktu setelah peneb.,debit, conversion return, kualitas air, fungsi WtP air,f kehati, f WtP kehati, stakeholders

Transfer materi

ingrowth & upgrowth dari tiang sampai pohon diameter 60 up, tegakan mati &

ditebang

hasil hutan kayu & non kayu (getah buah, rotan bambu & satwaliar)

surface & subsurface runoff, air masuk

sungai,debit air, erosi hara tanah

PV nilai guna tumb &

satwaliar, PV nilai air & subst hara, PV nilai fungsi

[image:33.842.93.751.98.471.2]

hidrologis,PV nilai pilihan & keberadaan, PV NET & bagi stakeholders

Tabel 3 Pengelompokkan variabel-variabel pada pendugaan NET ekosistem hutan alam produksi

(34)

Dalam konteks pengelolaan hutan pendugaan NET seharusnya mampu

memberikan informasi untuk penetapan pilihan tentang tujuan dan bentuk

pengelolaan hutan, ataupun evaluasi suatu kegiatan pengelolaan hutan. Informasi

atau evaluasi ini mencakup tiga kriteria yaitu a) pertama menyangkut maksimasi

NET, b) kedua adalah pencapaian kondisi ekosistem yang diinginkan atau

pencapaian kelestarian sumberdaya hutan, c) ketiga adalah distribusi NET yang

dapat dicapai melalui harmonisasi kepentingan dan tanggungjawab stakeholders

atau kesejahteraan stakeholders.

Ekosistem hutan

Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan kesamaan ekosistem

dengan beberapa lokasi penelitian flora fauna dan nilai hutan yang pernah

dilakukan, karena hasil penelitian di lokasi lain akan digunakan sebagai data

sekunder pembentukan atau pengujian model penilaian ekosistem hutan ini

(pendekatan analogi maupun similaritas). Lokasi penelitian adalah ekosistem

hutan hujan tropis dataran rendah dan bukit, pada lokasi contoh hutan alam

produksi pada areal kerja PT SBK Unit Seruyan, tepatnya berada di Sub DAS

Katingan. Letak geografis antara 111°39’ – 112°25’ Bujur Timur dan 00°36’ –

01°10’ Lintang Selatan. Hutan ini memiliki luas 147.600 ha, pada ketinggian

tempat sebagian besar berada antara 100-500 m dpl, bagian lainnya antara

500-1.180 m dpl. Areal lebih kurang sebesar 79% berada di Kabupaten Katingan Gambar 2 Hubungan NET dan keputusan pengelolaan ekosistem hutan

NET

(NGTS + NFHid + NP + NKkehati)

Kelestarian SDH

Keputusan pengelolaan

Kesejahteraan

stakeholders NET

(35)

(bagian hulu Sub DAS Katingan) dan 21% di Kabupaten Seruyan (bagian hulu

Sub DAS Seruyan).

Pengumpulan data primer dilakukan pada September – Oktober 2005 di

lokasi blok hutan contoh maupun desa-desa contoh yang dipilih secara purposif,

di dalam dan sekitar hutan yaitu Desa Tanjung Paku Kecamatan Seruyan Hulu,

Tumbang Keburai Kecamatan Katingan Hulu, dan Desa Nanga Siai Kecamatan

Menukung Kabupaten Melawi Provinsi Kalimantan Barat (lokasi penelitian

berada di perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat).

[image:35.595.103.502.77.842.2]

PT SBK

Gambar 3 Lokasi penelitian hutan alam produksi PT SBK Unit Seruyan Kalteng

Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan mencakup data primer dan sekunder. Data sekunder

diperoleh dari hasil-hasil penelitian di lokasi hutan alam produksi PT SBK, dan di

lokasi lain yang relevan dari segi kondisi ekosistem dan jenis informasi yang

diperlukan dalam rangka penilaian ekosistem hutan alam produksi ini. Jenis dan

sumber data sekunder yang dikumpulkan sebagai berikut :

1) Data inventarisasi tegakan (potensi hasil kayu dan non kayu) di hutan primer

(36)

pengukuran pada plot ukur permanen selama delapan tahun di areal PT SBK

dan data-data di lokasi lain (PT SBK, 1990-2006; Burhanuddin, 1997; Lubis,

1997; Pratiwi, 2000; Kim, 2001; Dephut, 2005).

2) Data pengukuran besar erosi di lokasi blok hutan bekas tebangan sistem TPTI

selama tiga tahun dan sistem TPTJ selama 5 tahun pengukuran (PT SBK,

2001-2005). Penelitian erosi hutan bekas tebangan di lokasi hutan alam

produksi Kalteng (Ether, 2002). Data koef runoff di hutan sebelum dan setelah

penebangan (Hendrayanto et al, 2003). Data evapotranspirasi hutan atau

menurut jenis (LP-IPB, 1990; Pujiharta, 1995)

3) Data inventarisasi satwaliar di berbagai lokasi blok hutan menurut tahun

penebangan atau kerapatan tegakan di lokasi penelitian (PT SBK, 2004) dan

lokasi lain (Lamin, 1997; Fakultas Kehutanan IPB, 1999; Fakultas Kehutanan

IPB & PT Restorasi Ekosistem Indonesia, 2006).

4) Data penelitian dinamika tegakan hutan alam produksi di lokasi lain yang

memiliki ekosistem yang relatif sama dengan lokasi penelitian yaitu di areal

PT Inhutani I Propinsi Kalimantan Selatan (Indrawan, 2000) dan data efek

penebangan terhadap kerusakan tegakan (Elias et al., 1993).

5) Data penelitian nilai ekonomi total di beberapa lokasi hutan alam produksi

yang memiliki kesamaan ekosistem hutan dengan lokasi penelitian (Fakultas

Kehutanan IPB, 1999; Kim, 2001), di hutan konservasi (Rofiko, 2002;

Bahruni et al, 2002), di agroforestry (Supriatna, 2007).

6) Data biaya pengelolaan hutan produksi dan industri pengolahan kayu serta

pendapatan penjualan kayu olahan di PT SBK dan industri terkait.

7) Data harga damar, tengkawang, jelutung, nyatoh, buah-buahan, rotan, bambu,

rusa, kijang, kancil, babi dan burung (Fakultas Kehutanan IPB & PT Restorasi

Ekosistem Indonesia, 2005; Fakultas Kehutanan IPB, 1999).

8) Data kondisi sosial ekonomi penduduk Desa Tanjung Paku, Desa Tumbang

Keburai dan Desa Nanga Siai (PT SBK 2005).

Data primer dikumpulkan dengan cara pengambilan contoh, melalui

kegiatan inventarisasi vegetasi, inventarisasi satwaliar dan wawancara responden

rumah tangga di desa contoh. Data tentang vegetasi atau tegakan dan satwaliar

(37)

tumbuhan penghasil non kayu dan satwaliar. Data sosial ekonomi dan nilai

ekosistem diperlukan untuk menggambarkan nilai ekonomi ekologi bagi

masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Data primer yang dikumpulkan adalah :

1) Data vegetasi meliputi kerapatan tegakan, potensi tegakan, indeks nilai

penting, indeks keanekaragaman jenis.

2) Data satwaliar meliputi jenis satwaliar (rusa, kijang, kancil, babi dan

kelompok burung), populasi dan keanekaragaman jenis.

3) Data erosi hasil pengukuran pada plot erosi pada blok hutan bekas tebangan.

4) Data sosial ekonomi masyarakat meliputi jumlah anggota keluarga,

pendidikan, pendapatan, identifikasi jenis hasil hutan yang dimanfaatkan,

volume pemanfaatan hasil hutan, preferensi hasil hutan, harga jual hasil

hutan, kesediaan membayar hasil hutan termasuk juga simulasi kesediaan

membayar air konsumsi rumah tangga menurut kualitas air.

Berdasarkan kebutuhan itu dilakukan pengambilan contoh blok hutan

setelah penebangan dan desa contoh secara purposif. Blok hutan terpilih adalah

hutan primer (blok RKT 2006) dan hutan bekas tebangan (eks penebangan TPTI

tahun 1990/1991, 1995/1996, 1999/2000) dan eks penebangan TPTJ tahun

1999/2000-2004 (t=1,2,3,4,5,10,15 setelah penebangan). Pemilihan hutan bekas

tebangan TPTI dan TPTJ adalah untuk memperoleh data pengaruh perbedaan

intensitas penebangan, yang akan digunakan di dalam proses simulasi intensitas

penebangan. Desa contoh dipilih berdasarkan pertimbangan kemudahan akses

menuju desa dan berdasarkan besarnya interaksi masyarakat desa dengan hutan di

sekitarnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut diambil tiga desa contoh dari

sebelas desa yang ada di areal kerja PT SBK, yaitu dua desa di dalam hutan (Desa

Tanjung Paku Kecamatan Seruyan Hulu dan Desa Tumbang Kaburai Kecamatan

Katingan Hulu) Provinsi Kalimantan Tengah dan satu desa di luar hutan (Nanga

Siai Kecamatan Menukung Kabupaten Melawi Provinsi Kalimantan Barat (di

perbatasan Kalimatan Tengah dan Kalimantan Barat).

Inventarisasi vegetasi dilakukan pada setiap blok hutan terpilih dengan

metode kombinasi metode jalur (strip transect) untuk risalah pohon dan metode

garis berpetak untuk risalah permudaan. Garis transek diletakan secara acak pada

(38)

dibuat petak-petak pengukuran vegetasi yaitu a) petak pengukuran pohon adalah

20 m x 20 m, b) petak pengukuran tiang adalah 10 m x 10 m, c) petak pengukuran

pancang adalah 5 m x 5 m, d) petak pengukuran semai dan tumbuhan bawah

adalah 2 m x 2 m (Soerianegara dan Indrawan, 1983).

Inventarisasi satwaliar dilakukan pada lokasi contoh yang sama dengan

vegetasi, menggunakan metode transek garis (Alikodra, 2002). Waktu

pengamatan dua kali yaitu pada pagi hari pukul 05.30 – 08.30 dan sore hari pukul

15.30 – 18.00.

Wawancara mendalam (deep interview) untuk mendapatkan informasi

persepsi atau preferensi terhadap manfaat hutan, perkembangan kondisi hutan,

pelestarian, dan keperdulian terhadap kondisi hutan, tingkat pemanfaatan dan

harga (WtP) hasil hutan. Khusus untuk penggalian WtP digunakan metode

kontingensi, dan harga menggunakan informasi harga pada tingkat lokal atau

desa. Khusus untuk harga kayu atau tegakan menggunakan metode nilai sisa

turunan. Wawancara dilakukan kepada 31 rumah tangga (RT) responden dipilih

secara acak. Jumlah responden masing-masing di Tanjung Paku 15 RT (16%

penduduk), Tumbang Kaburai 6 RT (10%), Nanga Siai 10 RT (13%). Di samping

itu data persepsi, pemanfaatan dan harga juga diperoleh dari data IPB dan Dephut,

1999.

Metode Analisis Data

Data primer dan sekunder dianalisis sesuai keperluannya sebagai berikut.

1) Analisis vegetasi meliputi analisis Indeks Nilai Penting (INP) dan indeks

keanekaragaman. INP = KR + FR + DR, KR adalah kerapatan relatif, FR

adalah frekuensi relatif dan DR adalah dominansi relatif (Mueller-Dombois

dan Ellenberg, 1974; Cox, 1975; Michael ,1985; Soerianegara dan Indrawan,

1983). Keanekaragaman jenis dianalisis dengan Indeks Keanekaragaman

Shannon-Wiener (Shannon Index of Diversity) dengan rumus

, dan

= (pi.lnpi)

H pi=ni/N , yaitu H adalah indeks keanekaragaman

jenis, ni adalah INP suatu jenis dan N adalah INP seluruh jenis (Krebs, 1989;

Santoso, 1995, Thohari, 1995). Pertumbuhan atau dinamika tegakan

(39)

- Uk - Mk - Hk, Nk,t+1 adalah jumlah pohon kelas diameter k pada periode t+1; Nk,t adalah jumlah pohon kelas diameter k pada periode t; Ik adalah ingrowth

ke kelas diameter k selama periode; Uk adalah upgrowth dari kelas diameter k

selama periode; Mk adalah mortalitas pada kelas diameter k selama periode;

Hk adalah jumlah pohon yang dipanen pada kelas diameter k selama periode

(Michie, 1985; Michie & McCandless, 1986; Davis & Johnson, 1987;

Vanclay, 1994; Tarumingkeng, 1994; Suhendang, 1999). Perkembangan

potensi hasil non kayu menggunakan analisis regresi linier atau non linier,

yaitu Yp= f(u), Yp adalah prosentase tegakan penghasil getah dan buah dari

stok tegakan, u adalah jangka waktu (umur) setelah penebangan. Potensi

tegakan penghasil getah dan tengkawang dihitung dengan prosentase dari

tegakan komersial berdiameter > 30 cm, sedangkan untuk tegakan penghasil

buah adalah prosentase dari tegakan non komersial.

2) Analisis satwaliar meliputi analisis populasi dan keanekaragaman jenis

satwaliar menggunakan rumus pada analisis vegetasi di atas (Krebs,1989;

Santosa ,1995; Thohari, 1995; Alikodra, 2002). Analisis populasi satwaliar

diberbagai kondisi hutan (jangka waktu setelah penebangan) menggunakan

metode regresi linier atau non linier yaitu Ys= f(u), dimana Ys populasi

satwaliar per hektar, u adalah jangka waktu setelah penebangan.

3) Analisis fungsi hidrologis dan erosi dilakukan dengan regresi linier dan non

linier dari data pengukuran erosi tahun 2001-2005 di areal PT SBK. Ada dua

macam data erosi yaitu data erosi dengan pengukuran metode stik dan metode

petak ukur erosi ukuran 2 m x 22 m. Erosi dengan metode stik diperoleh dari

perkalian volume tanah dengan bulk density tanah. Volume tanah diperoleh

dari selisih pengukuran tinggi stik awal dan akhir serta luas areal. Data erosi

metode petak ukur diolah sebagai berikut. Data erosi bulanan contoh tahun

tertentu (Ebt) diperoleh dari perkalian rata-rata erosi per milimeter curah

hujan dengan curah hujan bulanan. Pendugaan erosi bulanan pada tahun

tertentu adalah fungsi erosivitas hujan bulanan pada tahun bersangkutan

. EI

) (EI30 f

Ebt = 30 dihitung dengan formula Bols yaitu

, CH adalah curah hujan bulanan

dalam sentimeter, JHH adalah jumlah hari hujan per bulan, curah hujan

53 , 0 max 47 , 0 21

, 1

30 6,119 CH JHH CH

(40)

maksimum dalam 24 jam setiap bulan (Sinukaban, 1989). Data erosi tahunan

(Ee) diperoleh dari penjumlahan Ebt pada tahun t. Model penduga erosi

tahunan dibangun dari fungsi jangka waktu setelah penebangan yaitu

. Analisis hasil air dengan metode neraca air P

) (u f

Ee = g = Et + Q + ∆S,

dan Q= SR + SSR; Pg adalah curah hujan, Et adalah evapotranspirasi, Q

adalah aliran sungai, ∆S perubahan stok air tanah, SR adalah surface runoff

dan SSR adalah subsurface runoff. Kualitas air dianalisis dengan hubungan

fungsional antara erosi tanah (Ee), debit air (Q), debit aliran sedimen(Qs). Qs=

SDR x Ee , , A adalah

luas areal, koefm adalah koefisien manning (Manan, 1976; Arsyad, 1992;

Handayani & Tjakrawarsa, 2006).

202 , 0 202

,

0 )/(2( )] 2

868 , 0 1 ( [ − − + + −

= lereng A lereng koefm A SDR

4) Analisis nilai ekonomi ekosistem hutan menggunakan metode nilai sisa

turunan, metode harga pasar dan metode kontingensi (Davis dan Johnson,

1987; James, 1991; Klemperer, 1996; Pearce dan Turner, 1990; Turner,

Pearce dan Bateman, 1994; IUCN, 1998; Fak Kehutanan IPB, 1999).

Kalkulasi nilai ekonomi selama siklus tebang (35 tahun) berupa nilai kiwari

(present value) menggunakan konsep harga konstan dengan tingkat bunga riil

7%/thn. Konsep nilai ekonomi yang digunakan adalah nilai tambah sebagai

nilai aktivitas perekonomian, yang di dalamnya tercakup nilai sumberdaya

hutan (resource rent).

5) Penggunaan model untuk mengetahui perilaku atau dinamika NET melalui

simulasi dengan peubah keputusan (decision variable) adalah intensitas

penebangan tegakan 0%, 50%, 76% dan 100%. Implikasi keputusan dinilai

melalui peubah indikator (indicator variable) berupa stok tegakan, hasil

hutan kayu dan non kayu, nilai kiwari dari nilai guna hasil hutan kayu dan

non kayu, nilai guna tidak langsung fungsi hidrologis, dan nilai keberadaan

keanekaragaman hayati serta distribusinya bagi stakeholders. Distribusi NET

bagi stakeholders mencakup pihak pengelola hutan, pemerintah dan

masyarakat lokal, berdasarkan aturan tentang hak kelola atau pemungutan

hasil hutan dan pungutan iuran-iuran kehutanan yang berlaku saat ini.

(41)

hutan dan sumberdaya hutan, serta maksimasi manfaat pengelolaan hutan

menjadi dasar analisis keputusan pengelolaan hutan.

Berdasarkan variabel yang digunakan di dalam merumuskan keterkaitan

dan pendugaan besar pengaruh setiap variabel dalam hal menjelaskan sistem yang

dipelajari maka model yang dikembangkan merupakan model empirik. Model

empirik ditujukan untuk menggambarkan atau menyimpulkan sifat suatu

hubungan komponen-komponen yang diteliti tanpa memperhatikan adanya proses

atau mekanisme yang terjadi di dalam sistem tersebut. Model matematik dan

statistik digunakan untuk mengetahui sifat hubungan antar variabel atau

komponen yang diteliti. Model pendugaan NET ekosistem hutan alam produksi

(42)

TINJAUAN PUSTAKA

Paradigma Pengelolaan Hutan Lestari

Paradigma pengelolaan hutan lestari dapat dikelompokkan atas empat,

sebagai adopsi paradigma pembangunan berkelanjutan yang diungkapkan Turner

(1993), yaitu 1) kelestarian sangat lemah, 2) kelestarian lemah, 3) kelestarian kuat

4) kelestarian sangat kuat. Dari perspektif kelestarian diperlukan pergeseran

paradigma menuju paradigma kelestarian kuat dan sangat kuat (ecocentric),

karena paradigma kelestarian sangat lemah dan lemah (technocentric) kurang

memperhatikan kapasitas daya asimilatif lingkungan, faktor kritis sumberdaya

alam berupa spesies dan proses-proses dasar ekologis yang tidak dapat digantikan

oleh sumberdaya buatan, serta komponen alam itu bersifat komplementer didalam

struktur sistem dan keragaman berperan penting terhadap resiliensi sistem. Teori

atau konsep yang masuk dalam paradigma kuat dan sangat kuat ini antara lain a)

ecological economic, b) steady state economic, dan c) deep ecology.

Paradigma kelestarian kuat dengan teori-teori yang mendukungnya ini

dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam didasarkan pada etika

moral bahwa komponen manusia dan bukan manusia merupakan subjek moral,

sehingga pemanfaatan dengan hormat dan bertanggungjawab atas hak komunitas

biotis selain manusia, maupun abiotis agar tetap eksis dan berkembang alamiah,

sehingga pemanfaatan tidak mengorbankan “the integrity, stability and beauty

ekosistem. Pertumbuhan dapat terus berlanjut dalam hal kualitas tidak dalam arti

kuantitas yang melampaui kapasitas ekosistem sumberdaya alam. Peningkatan

kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dengan meningkatkan efisiensi ekonomi

ekologi (eco-efficiency), bukan meningkatkan pengambilan sumberdaya alam,

yang menimbulkan biaya sumberdaya alam dan lingkungan.

Berdasarkan ragam hasil hutan yang secara potensial dapat dihasilkan oleh

hutan, kemudian berkembang pengintegrasian berbagai hasil hutan itu di dalam

konsep pengelolaan hutan multiguna, yang kemudian pada akhir-akhir ini

dimunculkan konsep pengelolaan ekosistem, selanjutnya dapat diadopsi sebagai

(43)

Pengelolaan multiguna (multi-use management) didasari oleh potensi

keragaman output hutan, yang melahirkan premis bahwa pengelolaan dengan

beragam output merupakan kunci pencapaian kelayakan ekonomi, sosial dan

ekologis (economic profitability, social acceptability, ecological sustainability).

Pengelolaan multiguna ini hanya berlandaskan output, sedangkan pengelolaan

ekosistem memperhatikan ekosistem secara keseluruhan. Czech (1995)

menguraikan berbagai definisi pengelolaan ekosistem, yang dapat disarikan

sebagai “penggunaan konsep sistem dengan pendekatan ekologis di dalam

memadukan kebutuhan masyarakat, melalui kegiatan melindungi (to protect),

memulihkan (to restore), mempertahankan (to sustain) keutuhan ekosistem,

proses proses ekologis, produktif dan sehat.

Prinsip dasar pengelolaan ekosistem hutan adalah penggunaan ilmu

pengetahuan terpadu, komprehensif dan terbaru (Cortner et al.,1990 dalam Czech

,1995). Gordon (1994) mengemukakan lima konsep di dalam implementasi

pengelolaan yaitu 1) kelola sesuai kondisi setempat, 2) kelola dengan perhatian

terhadap kepentingan masyarakat luas, 3) kelola pada kesatuan ruang atau

landscape yang utuh, 4) kelola berdasarkan pengetahuan atas mekanisme ekologis

bukan aturan sederhana secara garis besar, 5)kelola tanpa eksternalitas negatif.

Masyarakat hutan adalah suatu sistem yang hidup dan tumbuh (dinamis),

dimana masyarakat hutan terbentuk melalui proses secara berangsur-angsur

melalui beberapa tahap invasi oleh tumbuhan, adaptasi, agregasi, persaingan dan

penguasaan, reaksi terhadap tempat tumbuh dan stabilisasi (keseimbangan

dinamis dengan lingkungannya), proses ini disebut suksesi. Setiap ada perubahan

akan ada mekanisme atau proses yang mengarahkan kembali kepada kondisi

keseimbangan. Ada dua macam suksesi yaitu 1) suksesi primer dimulai dari

perkembangan vegetasi dari habitat yang tidak bervegetasi hingga mencapai

masyarakat hutan yang stabil (klimaks) dan 2) suksesi sekunder terjadi pada

kondisi klimaks atau suksesi normal kemudian mengalami gangguan, oleh

berbagai sebab seperti pemanena

Gambar

Gambar 1  Kerangka pikir model pendugaan NET ekosistem hutan alam
Tabel 3  Pengelompokkan variabel-variabel pada pendugaan NET ekosistem hutan alam produksi
Gambar 3   Lokasi penelitian hutan alam produksi PT SBK Unit Seruyan Kalteng
Gambar 4  Kurva pertumbuhan tegakan komersial dan non komersial diameter
+7

Referensi

Dokumen terkait

4) menentukan himpunan bilangan prima yang merupakan bilangan genap. Siswa yang mendapat himpunan yang banyak anggotanya tepat satu, maka menjadi pemenang. Setelah pengundian,

Kedua adalah hitungan mundur yang Digunakan untuk mengetahui waktu paling akhir memulai dan mengakhiri masing-masing kegiatan tanpa mempengaruhi penyelesaian proyek

viii Dalam penelitian ini yang dibahas adalah mengenai salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yaitu Merek. Merek merupakan suatu tanda yang melekat pada suatu barang

Oleh karena itulah, naskah-naskah lama sangat penting artinya sebagai sumber potensial yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan (term of reference) bagi sua­ tu

RANCANG BANGUN MULTIMEDIA PEMBELAJARAN DENGAN MODEL MEANS-ENDS ANALYSIS UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA SMK PADA MATA PELAJARAN PEMROGRAMAN DASAR.. Universitas

Menurut Mulyasa (2005a), implementasi kurikulum mencakup tiga.. kegiatan pokok yaitu pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi. Berkenaan dengan pembuatan

Enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri selain berperan dalam mendegradasi dinding sel patogen, protease dapat digunakan oleh bakteri tersebut untuk melakukan

Pada saat mencerna makanan, lambung melakukan gerakan peristaltik tetapi karena sel penggantinya tidak elastis maka akan timbul kekakuan yang pada