• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BAGI DOKTER PRAKTIK DI KOTA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BAGI DOKTER PRAKTIK DI KOTA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BAGI DOKTER PRAKTIK DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

RYO NOVRI RAHMANU

(2)

Ryo Novri Rahmanu

adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam pemungutan PPh melalui withholding tax system. Sementara itu faktor-faktor penghambat pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan bagi dokter praktik swasta di Kota Bandar Lampung, adalah rendahnya kesadaran dokter selaku wajib pajak, belum optimalnya database dokter praktik swasta dan lemahnya penegakan hukum terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya membayar PPh.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Ditjen Pajak perlu meningkatkan sosialisasi kepada dokter praktik swasta khususnya dan masyarakat pada umumnya yang masih minim akan pengetahuan pentingnya membayar PPh (2) Ditjen Pajak perlu meningkatkan nilai-nilai integritas tidak hanya kepada pegawainya, namun juga kepada para wajib pajak supaya membuahkan pelayanan yang prima dan kesempurnaan dalam penerimaan pajak Negara.

(3)

PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BAGI DOKTER PRAKTIK DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

RYO NOVRI RAHMANU

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

pada

Jurusan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah, pada tanggal 29 November 1993, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Bapak Muhtaridi Putra Negara, S.I.P dan Ibu Sri Maryati, S.Pd.

Penulis menyelesaikan pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Gunung Sugih pada tahun 2006, kemudian melajutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Gunung Sugih yang diselesaikan pada tahun 2009 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Gunung Sugih yang diselesaikan pada tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Kedua orang tuaku Tercinta

Ayahanda Muhtaridi Putra Negara, S.I.P dan Ibunda Sri Maryati, S.Pd. Yang telah memberikan kasih sayang tiada batas, perjuangan dan

pengorbanan serta selalu mendoakan demi keberhasilanku

Kakakku: Ridho Utama Putra, S.H., M.H.

Atas motivasi dan dukungan yang diberikan kepadaku

Mamah Atu dan Fuan Muhammad Yusuf Rizal Atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada Penulis

Sahabat-sahabatku:

Tristya Jayanti dan Ika Nursanti Teman-teman Mavia:

Hadi, Rito, Wailim, Teki, Noval, Yuda, Afif, Bima dan Ayuy

(8)

M O T O

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah

kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan

hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.

Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu

dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

(Q.S. An-Nisa’ : 58).

(9)

SAN WACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT Tuhan Semesta Alam, sebab hanya dengan rahmat dan karunianya-Nya semata, maka penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul: Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan Bagi Dokter Praktik di Kota Bandar Lampung. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini, penulis banyak mendapatkan, bimbingan dan dukungan berbagai pihak, oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Dosen Pembahas I, yang telah memberikan masukan dan saran dalam proses perbaikan skripsi ini.

(10)

4. Ibi Marlia Eka Putri.A.T., S.H., M.H. , selaku Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam membimbing dan mengajari untuk menjadikan Skripsi ini menjadi lebih baik.

5. Ibu Eka Deviani, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II, yang telah memberikan masukan dan saran dalam proses perbaikan skripsi ini.

6. Para informan penelitian: Bapak Siswadi dan Bapak Priadi (Petugas Penetapan Pajak pada Kantor Pajak Pratama Teluk Betung) Bapak dr. Amran Harun, S.PA dan Bapak dr. Ibnu Sina, terima kasih atas informasi dan bantuan yang diberikan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian.

7. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak mengajari dan memberi ilmu kepada saya

8. Staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak memberikan bantuan selama menempuh studi

9. Teman-teman Angkatan 2012 Fakultas Hukum Universitas Lampung atas kebersamaannya selama ini

10.Seluruh Pihak yang tidak bisa di sebutkan satu persatu.

Penulis berdoa semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, akan mendapatkan balasan kebaikan yang lebih besar dari Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin

Bandar Lampung, Februari 2016

(11)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.2.1 Permasalahan ... 7

1.2.2 Ruang Lingkup Penelitian... 8

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

2.2.1 Pengertian Pemungutan Pajak ... 13

2.2.2 Sistem Pemungutan Pajak ... 13

2.2.3 Prinsip-Prinsip Pemungutan Pajak ... 15

2.3 Pajak Penghasilan... 16

2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan ... 16

2.3.2 Tarif Pajak Penghasilan PPh 21 ... 19

2.3.3 Penghasilan Kena Pajak ... 21

2.4 Dokter dan Praktik Kedokteran ... 23

2.5 Dasar Hukum Pengenaan Pajak Bagi Dokter ... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Pendekatan Masalah ... 28

3.2 Sumber dan Jenis Data... 28

3.3 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30

3.4 Analisis Data ... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Gambaran Umum Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Bengkulu- Lampung ... 32

(12)

4.3 Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Pemungutan

Pajak Penghasilan bagi Dokter Praktik di Bandar Lampung ... 51

BAB V PENUTUP ... 60

5.1 Kesimpulan ... 60

5.2 Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Dokter merupakan seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan dan bertugas memberikan layanan kesehatan kepada pasien dalam rangka membantu menyembuhkan penyakit yang diderita pasien tersebut. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran. Dengan keilmuannya dan keahliannya dalam menyembuhkan orang-orang yang sakit, dari keahliannya tersebut seorang dokter mempunyai beberapa sumber penghasilan. Penghasilan yang diterima dokter tersebut merupakan objek pajak penghasilan, maka seorang dokter wajib membayar atau melunasi pajak penghasilan termasuk penghasilan yang diterima dari penghasilan lainnya.1 Dikaitkan dengan penghasilan profesi dokter tersebut maka setiap dokter dituntut untuk memenuhi kewajiban membayar pajak penghasilan.

Pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan adalah pajak yang dipotong atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Salah satu hal yang mengalami perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, adalah

1

(14)

2

ketentuan tentang pemotongan PPh Pasal 21, yaitu dipotong oleh pihak lain tersebut sepanjang tidak bersifat final dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri terhadap PPh yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. Ketentuan pelaksanaan tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 dengan petunjuk teknisnya diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009.2

Sebelumnya Pasal 21 UU No.10 Tahun 1994 menyebutkan bahwa PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pihak lain tersebut sepanjang tidak bersifat final dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri terhadap PPh yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. Adapun Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang semata-mata hanya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja dan atas penghasilan tersebut telah dipotong PPh Pasal 21 secara benar dan PPh Pasal 21 tersebut telah disetorkan oleh pemberi kerja maka Wajib Pajak tersebut tidak lagi diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Tahunan PPh WP Orang Pribadi dan PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja tersebut merupakan pelunasan pajak yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan (sudah final).

Dokter dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 termasuk dalam kelompok tenaga ahli. Tenaga ahli sendiri masuk dalam kelompok penerima penghasilan bukan pegawai. Definisi Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap

2

(15)

(tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

Berdasarkan hasil prariset pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Bandar Lampung, jumlah dokter yang ada di Kota Bandar Lampung sampai dengan tahun 2015 adalah 662 dokter, terdiri dari 215 dokter spesialis dan 447 dokter umum. Pemungutan PPh 21 terhadap para dokter di Kota Bandar Lampung tersebut menjadi kewenangan Dirjen Pajak, tetapi pada kenyataannya pemungutan PPh tersebut belum optimal.3 Beberapa penyebab belum optimalnya pemungutan PPh terhadap dokter tersebut disebabkan kurang efektifnya pelaksanaan penarikan pajak dan banyaknya dokter yang berstatus sebagai dokter tidak tetap (dokter terbang), yaitu selain berpraktik di Kota Bandar Lampung, para dokter ini juga berpraktik di luar Kota Bandar Lampung.

Dasar pengenaan pajak bagi dokter adalah Penghasilan Kena Pajak adalah Pasal 9 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang menyatakan Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), Pegawai tidak tetap dikenakan PKP sebesar penghasilan bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), Bagi bukan pegawai yang disebutkan dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, PKP yang

3

(16)

4

dikenakan sebesar 50%. Pengurangan PTKP ini harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan di antaranya adalah hanya berpenghasilan dari pemotong pajak saja. Bagi dokter syarat ini nampaknya sulit dipenuhi karena biasanya dokter punya sumber penghasilan lain.4

Dokter dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 masuk ke dalam kelompok tenaga ahli dan sebagai penerima penghasilan bukan pegawai. Cara perhitungan PPh Pasal 21 bagi dokter sedikit berbeda dari Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c Peraturan Dirjen, dasar pengenaan pajak bagi tenaga ahli (dokter) yang melakukan pekerjaan bebas adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto.5

Khusus mengenai dokter, Pasal 10 ayat (6) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan memberikan penjelasan tentang penghasilan bruto dokter yaitu bahwa dalam hal penghasilan dokter yang melakukan praktek di rumah sakit atau klinik maka penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang dibayar pasien melalui rumah sakit/klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit/klinik.

Sesuai dengan penjelasan di atas ada perbedaan cara menghitung PPh Pasal 21 atas dokter yang praktek di rumah sakit/klinik. Dalam peraturan menteri, PPh Pasal 21 atas dokter ini adalah sebesar tarif Pasal 17 dikalikan kumulatif penghasilan bruto. Namun demikian, di peraturan Dirjen, PPh Pasal 21 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bagi dokter ini adalah

4

www.hukumonline.com.pajakpenghasilan_pph21/html. Diakses Kamis 10 September 2015 5

(17)

sebesar tarif Pasal 17 dikalikan penghasilan bruto atau tanpa kumulatif. Hal ini lebih menguntungkan dokter, karena perhitungan sesuai peraturan Dirjen Pajak, karena ada pengurang sebesar 50% walaupun tarif dikenakan terhadap penghasilan bruto sebelum dikurangi bagi hasil dengan rumah sakit. 6

Pada umumnya dokter memiliki beberapa sumber penghasilan yaitu:

1. Penghasilan yang bersumber dari keuangan rumah sakit atau bendaharawan rumah sakit sebagai pegawai tetap PNS atau karyawan rumah sakit berupa gaji, tunjangan-tunjangan, honorarium, dan imbalan lainnya.

2. Penghasilan yang diterima sebagai tenaga ahli atau tenaga profesional berupa fee, komisi, dan imbalan lainnya.

3. Penghasilan yang diterima sebagai anggota atau peserta kegiatan yang mendapatkan imbalan berupa uang saku atau uang rapat

4. Penghasilan yang diterima berupa penghargaan atau hadiah atas hasil membuat obat-obatan atau alat kesehatan.

5. Penghasilan yang diterima dari buka praktik sendiri.

6. Penghasilan lain yang diterima diluar pekerjaan yang terkait dengan kedokterannya, seperti penghasilan dari bunga deposito, penjualan tanah, sewa mesin, hadiah, deviden dan sebagainya. 7

Penghitungan pajak penghasilan harus mengetahui tarif pajak yang berlaku yang sesuai dengan ketentuannya. Ada beberapa tarif yang digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 khusus untuk dokter yaitu sebagai berikut:

6

Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia, Mekanisme dan Perhitungan,

Andi Offset, Yogyakarta, 2010.hlm. 32 7

(18)

6

1. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, bahwa tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:

a. Sampai dengan Rp 50.000.000, tarifnya adalah 5%

b. diatas Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000, tarifnya adalah 15% c. diatas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000, tarifnya adalah 25% d. diatas Rp 500.000.000, tarifnya adalah 30%

2. Tarif Pasal 4 PP No.80 Tahun 2010

Sesuai dengan Pasal 4 PP No. 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, bahwa Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong oleh bendahara pemerintah yang membayarkan honorarium atau imbalan lain tersebut. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dimaksud yaitu bersifat final dengan tarif:

(19)

b. Sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan pensiunannya;

c. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto honorarium atau imbalan lain bagi pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota POLRI Golongan Pangkat perwira Menengah dan perwira Tinggi, dan Pensiunannya.8

Pentingnya penelitian mengenai pemungutan pajak penghasilan bagi dokter praktik di Kota Bandar Lampung ini didasarkan pada asumsi bahwa dokter sebagai profesi merupakan wajib pajak (khususnya pajak penghasilan). Pemerintah dituntut untuk melaksanakan upaya-upaya strategis dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pajak dari profesi dokter, sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat secara umum.

Oleh karena itu penulis akan melakukan penelitian dan menuangkannya ke dalam Skripsi yang berjudul: “Pelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan Bagi dokter praktik di Kota Bandar Lampung”

1.2Permasalahan dan Ruang Lingkup

1.2.1 Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

8

(20)

8

1. Bagaimanakah pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan bagi dokter praktik di Kota Bandar Lampung?

2. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan penghambat pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan bagi dokter praktik di Kota Bandar Lampung?

1.2.2 Ruang Lingkup

Ruang lingkup bidang ilmu dalam penelitian adalah Hukum Administrasi Negara yang dibatasi pada kajian mengenai pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan bagi dokter praktik. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah di Kota Bandar Lampung dan waktu penelitian dilaksanakan pada Tahun 2016.

1.3Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan bagi dokter praktik di Kota Bandar Lampung

2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan bagi dokter praktik di Kota Bandar Lampung

1.3.2 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis

(21)

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan berguna sebagai berikut:

a. Bagi Dirjen Pajak, sebagai sumbangan pemikiran dan kontribusi ilmiah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak penghasilan, khususnya dari profesi dokter

b. Bagi dokter, sebagai salah satu referensi dalam pelaksanaan pembayaran PPh sesuai dengan penghasilan yang diterimanya

(22)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Pajak

2.1.1 Pengertian Pajak

Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja pemerintah. Pajak sebagai bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, di mana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan), yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak.9

Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum) tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran umum. Uang pajak digunakan untuk produksi barang dan jasa, jadi benefit diberikan kepada masyarakat hanya tidak mudah ditunjukkannya apalagi secara perorangan.10

9

Siti Resmi. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi Pertama. Salemba Empat, Jakarta , 2003. hlm.3 10

(23)

Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Pajak merupakan prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalaui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual untuk membiayai pengeluaran pemerintah. 11

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.12

2.1.2 Fungsi Pajak

Pajak mempunyai fungsi penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:

1. Fungsi anggaran (budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan

11

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. Perpajakan Indonesia. Salemba Empat, Jakarta, 2003. hlm. 12. 12

(24)

12

lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

2. Fungsi mengatur (regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

4. Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.13

13

(25)

2.2 Pemungutan Pajak

2.2.1 Pengertian Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak adalah kegiatan atau aktivitas mengambil pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak oleh petugas atau lembaga yang memiliki kewenangan memungut pajak, sebagai pembayaran atas imbalan atas penggunaan fasilitas atau jasa yang diberikan terhadapnya. Pembayaran tersebut bersifat wajib karena si pembayar telah memanfaatkan fasilitas atau jasa dari orang lain.14

Pemungutan pajak adalah kegiatan mengambil pajak sebagai kewajiban dari wajib pajak atas penggunaan fasilitas, pelayanan/jasa atau bidang pekerjaan tertentu yang digunakan oleh seseorang untuk kepentingannya. 15

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka yang dimaksud dengan pemungutan pajak dalam penelitian ini adalah kegiatan atau aktivitas mengambil pajak dari wajib pajak atas fasilitas atau bidang pekerjaan yang ditekuninya sebagai sebuah profesi.

2.2.2 Sistem Pemungutan Pajak

Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Keberhasilan reformasi administrasi perpajakan kedepan adalah kapasitas administrasi perpajakan dalam mengimplementasikan struktur perpajakan secara

14

Mardiasmo, Perpajakan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002.hlm.7 15

(26)

14

efisien dan efektif. Hal ini meliputi pengembangan sumber daya manusia, teknologi informasi, struktur organisasi, proses dan prosedur, serta sumber daya finansial dan insentif yang cukup.16

Sasaran administrasi pajak yaitu meningkatkan kepatuhan para pembayar pajak, dan melaksanakan ketentuan perpajakan secara seragam untuk penerimaan maksimal dengan biaya yang optimal. Efektivitas administrasi pajak bukanlah satu-satunya indikator kepatuhan pajak, di negara-negara yang memiliki derajat ketidakpatuhan wajib pajaknya tinggi, kemampuan administrasi pajak untuk memungut pajak yang efektif merupakan kunci pembentukan perilaku pembayar pajak. Sistem pemungutan pajak bersifat dinamik sebagai upaya peningkatan penerapan kebijakan perpajakan yang efektif. Kriteria fisibilitas administrasi menuntut agar sistem pajak baru meminimalisir biaya administrasi (administrative cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost) serta menjadikan administrasi pajak sebagai bagian dari kebijakan pajak.17

Elemen dasar sistem perpajakan adalah komitmen politik yang berkelanjutan, staf yang mampu berkonsentrasi terhadap pekerjaan dalam jangka panjang, strategi yang tepat, pendidikan dan pelatihan pegawai serta tersedianya dana dan sumber daya lain yang cukup. Dua tugas utama reformasi administrasi perpajakan adalah untuk mencapai efektivitas yang tinggi, yaitu kemampuan untuk mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi dan efisiensi berupa kemampuan untuk membuat biaya admninistrasi per unit penerimaan pajak sekecil-kecilnya. Efektivitas dan efisiensi menciptakan kontradiksi sehingga diperlukan koordinasi, diperlukan

16Ibid. hlm 53 17

(27)

ukuran khusus untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi administrasi perpajakan.18

2.2.3 Prinsip-Prinsip Pemungutan Pajak

Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak, namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut:

a. Pemungutan pajak harus adil

Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya adalah dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak, pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak dan sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran

b. Pengaturan pajak harus berdasarkan undang-undang

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya

18

(28)

16

c. Jaminan hukum

Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum. Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak

d. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian

Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.

e. Pemungutan pajak harus efesien

Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.19

2.3Pajak Penghasilan

2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan

Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam

19

(29)

bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subyek pajak dalam negeri.

Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 terbaru adalah sebagai berikut: 1. Penghasilan kena pajak yang berlaku bagi:

a. Pegawai tetap.

b. Penerima pensiun berkala.

c. Pegawai tidak tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

d. Bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, yang menerima imbalan bersifat berkesinambungan.

2. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

3. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan.

4. Jumlah penghasilan bruto yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan di atas.

(30)

18

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Pajak PEr-32/PJ/2015 Pasal 3 adalah orang pribadi yang merupakan:

a. Pegawai;

b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.

c. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:

1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;

2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya

3. Olahragawan;

4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; 5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;

7. Agen iklan;

8. Pengawas atau pengelola proyek;

(31)

10.Petugas penjaja barang dagangan; 11.Petugas dinas luar asuransi; dan/atau

12.Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.

d. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;

e. Mantan pegawai; dan/atau

f. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:

1. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;

2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;

3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;

4. Peserta pendidikan dan pelatihan; atau 5. Peserta kegiatan lainnya.

2.3.2 Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

Tarif pemotongan PPh Pasal 21 dijelaskan pada Pasal 17 ayat (1) huruf a. Tarif berikut berlaku pada Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):

1. WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50.000.000,00 adalah 5% 2. WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp

(32)

20

3. WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00 adalah 25%

4. WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500.000.000,00 adalah 30%

5. Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.

Tarif Pajak Penghasilan (PPh ) Pasal 21 Bagi Penerima Penghasilan yang Tidak Memiliki NPWP

1. Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.

2. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.

3. Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.

(33)

2.3.3 Penghasilan Kena Pajak

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Penghasilan Pasal 21 menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:

1. Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

2. Pegawai tidak tetap dikenakan PKP sebesar penghasilan bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

3. Bagi bukan pegawai yang disebutkan dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, PKP yang dikenakan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.

Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:

1. Biaya jabatan, sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun;

2. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun atau jaminan hari tua yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:

(34)

22

3. Setinggi-tingginya Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) sebulan atau Rp 2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun.

Bila bukan pegawai seperti yang dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c namun ia memberikan jasa kepada pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, maka:

1. Bila pemotong PPh Pasal 21 mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya, maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan dengan bagian gaji atau upah pegawai tersebut maka besar penghasilan bruto adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;

2. Bila ia hanya melakukan penyerahan material atau barang, maka besarnya jumlah penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material atau barang.

(35)

2.4Dokter dan Praktik Kedokteran

Dokter sebagai pengemban profesi, memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada profesinya tersebut. Dalam menjalankan profesinya, seorang dokter memiliki hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyebutkan:

1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

3) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 20

Sacara khusus hak-hak dokter dalam menjalankan praktik kedokteran diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang mengatur bahwa seorang dokter mempunyai hak:

a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

b. Memberikan pelayanan medis menurut standar professional dan standar prosedur operasional;

c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; d. Menerima imbalan jasa.

20

(36)

24

Kewajiban dokter diatur Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, yaitu: a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan standar profesi atau

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran didasarkan pada asas sebagai berikut:

a. Azas Legalitas

(37)

b. Azas Keseimbangan

Menurut azas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara materiil dan spiritual. Diperlukan adanya keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil serta antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya medis yang dilakukan. c. Azas Tepat Waktu

Azas ini cukup penting karena keterlambatan dokter dalam menangani pasien dapat menimbulkan kerugian dan mengancam nyawa pasien itu sendiri. d. Azas Itikad Baik

Azas ini berpegang teguh pada prinsip etis berbuat baik yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien. Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu berpegang teguh kepada standar profesi.

e. Azas Kejujuran

Azas ini merupakan dasar dari terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik oleh pasien maupun dokter dalam berkomunikasi, Kejujuran dalam menyampaikan informasi akan sangat membantu dalam dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini terkait erat dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran.

f. Azas Kehati-hatian

(38)

26

g. Azas keterbukaan

Pelayanan medik yang berdayaguna dan berhasilguna hanya dapat tercapai apabila ada keterbukaan dan kerjasama yang baik antara dokter dan pasien dengan berlandaskan saling percaya. Sikap ini dapat tumbuh jika terjalin komunikasi terbuka antara dokter dan pasien di mana pasien memperoleh penjelasan atau informasi dari dokter dalam komunikasi yang transparan ini.21

2.5Dasar Hukum Pajak Penghasilan Bagi Dokter

Dasar Hukum Pajak Penghasilan Bagi Dokter adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. PPh Pasal 21 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.

Dasar hukum lainnya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. Dokter dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 termasuk dalam kelompok tenaga ahli. Tenaga ahli sendiri masuk dalam kelompok penerima penghasilan bukan pegawai. Definisi Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal

21

(39)

26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.

(40)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan empiris. Pendekatan secara normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari peraturan-peratuan hukum yang berlaku yang erat kaitannya dengan permasalah penelitian yang meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi, dan sumber lain yang erat kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Pendekatan empiris, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara melihat pada kenyataan langsung atau sesungguhnya, terhadap pihak yang berkompeten di lokasi penelitian dan mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti 22

3.2Sumber Data

Data merupakan sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan kepustakaan. Jenis data meliputi data primer dan sekunder23 Data yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut:

3.2.1 Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan narasumber penelitian.

22

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm.7.

23

(41)

3.2.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan (library research), dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer, terdiri dari:

(a) Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945

(b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

(c) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. (d) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

(e) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan, berbagai buku hukum, arsip dan dokumen dan makalah.

(42)

30

3.3Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan

2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan. Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara secara mendalam (indepth interview), kepada narasumber penelitian yang ditetapkan secara purposive, yaitu sebagai berikut:

1) Pihak Dirjen Pajak Kementerian Keuangan : 2 orang 2) Dokter praktik (dokter umum dan spesialis) : 2 orang+

Jumlah : 4 orang

3.3.2 Prosedur Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh selama pelaksanaan penelitian selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut:

1. Seleksi Data

(43)

2. Klasifikasi Data

Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

3. Penyusunan Data

Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

3.4Analisis Data

(44)

60

BAB V P E N U T U P

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan bagi dokter praktik swasta di Kota Bandar Lampung sebagai berikut:

a. Pembayaran Secara Langsung oleh Dokter praktik swasta, dengan tahapan Membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Menentukan Stelsel yang akan digunakan,Menghitung sendiri utang pajaknya, Menyetorkan utang pajak, Melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dan SPT Tahunan dan Wajib Pajak Menerima Surat Ketetapan Pajak (SKP)

b. Melalui Penagihan PPh, dengan dasar yaitu STP (Surat Tagihan Pajak), SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan), Surat keputusan Pembetulan, Surat keputusan Keberatan dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Tindakan penagihan aktif dilaksanakan dengan Surat Teguran dan Surat Paksa

(45)

2. Faktor-faktor pendukung pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan bagi dokter praktik swasta di Kota Bandar Lampung adalah adanya dasar hukum dalam pemungutan PPh yang menjadi landasan bagi petugas untuk melaksanakan pemungutan, penagihan maupun pemotongan PPh dari dokter praktik swasta, tersedianya Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam pemungutan PPh yaitu KPP Tanjung Karang dan Teluk Betung serta adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam pemungutan PPh melalui witholding tax system. Sementara itu faktor-faktor penghambat pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan bagi dokter praktik swasta di Kota Bandar Lampung, adalah rendahnya kesadaran dokter selaku wajib pajak, belum optimalnya database dokter praktik swasta dan lemahnya penegakan hukum terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya membayar PPh.

5.2 Saran

Beberapa saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ditjen Pajak perlu meningkatkan sosialisasi kepada dokter praktik swasta khususnya dan masyarakat pada umumnya yang masih minim akan pengetahuan pentingnya membayar PPh, dengan cara lebih giat dalam penyuluhan, kegiatan seminar, maupun penataran baik menggunakan media massa dan media elektronik.

(46)

62

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Brotodihardjo, R. Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung.2003.

Direktorat Jenderal Pajak. Masalah Pajak di Indonesia. Jakarta. 2005.

Gunadi, Ketentuan Pajak Penghasilan, Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2002, Kunarjo, Hukum Perpajakan Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 2004.

Kaho, Joseph R.. Keuangan di Era Otonomi Daerah. Rineka Cipta. Jakarta. 2003. Koeswadji, Hermien Hadijati. Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan

Hukum dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998

Kunarjo, Hukum Perpajakan Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. 2004. hlm. 56 Mardiasmo, Perpajakan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2002.

R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung.2003.

Samil, Ratna Suprapti Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, Jakarta, 2001.

Siti Resmi. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi Pertama. Salemba Empat, Jakarta 2003.

Soewono, Hendrojono. Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktek Dokter Dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, 2007.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu.

(48)

Supramono dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia, Mekanisme dan Perhitungan, Andi Offset, Yogyakarta, 2010.

Waluyo dan Wirawan B. Ilyas. Perpajakan Indonesia. Salemba Empat, Jakarta, 2003.

Undang-Undang dan Peraturan Lainnya

Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember

2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 Tanggal 25 Mei 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Internet

www.hukumonline.com.pajakpenghasilan_pph21/html. Diakses Kamis 10 September 2015

Referensi

Dokumen terkait

63 Itu ibu perasaanya gimana, dulu bisa banyak temen sekarang lebih banyak di rumah paling kalo ada panggilan baru kerja. Itu

Etnomedisin secara etimologi berasal dari kata ethno (etnis) dan medicine (obat). Hal ini menunjukan bahwa etnomedisin sedikitnya berhubungan dengan dua hal yaitu etnis dan

When RFID tags that contain a unique serialized EPC code are placed on items and assets, the information can be automatically, wirelessly and simultaneously captured with a

Di sisi lain, pelajaran seni dan kegiatan spiritual yang sebenarnya mampu menjadi sarana untuk mengajarkan kepekaan pada anak, justru dianggap membuang waktu dan pemborosan

Dalam konteks Citizen Kane sebagai awal sinema modern oleh Aumont dikritik berdasarkan kriteria bahwa modern tidak hanya memiliki konsekuensi atas bentuk tapi juga tema

Sebagai bagian dari pemantauan keamanan Internet, ID-CERT 1 menerima pengaduan lewat email yang diterima dari beberapa responden.. dikelompokkan dalam sejumlah kategori dan

I asked her if she really wanted to talk about past sexual relationships, because even though I’d been wondering about hers, I sure didn’t want to tell her about mine.. “Why not?”

Walaupun ingin tahu merupakan kemampuan bawaan mahluk hidup, ia tidak bisa dikategorikan sebagai naluri (instink) karena ia tidak termasuk pola tindakan yang