• Tidak ada hasil yang ditemukan

dan DFID

Pada bagian berikut ini akan dibahas secara garis besar pendekatan United Nation Development Programme (UNDP),

Campaign for Awarness Resilience and Education (CARE) dan

Departement for International Development (DFID) dalam penanggulangan kemiskinan berdasarkan praktek-praktek yang dilakukan.

Ketika UNDP berbicara mengenai Sustainable Livelihood, dibahas juga gagasan mengenai Sustainable Human Development

(SHD) yang dikemukakan tahun 1995. Sustainable Human

Development meliputi, pengurangan kemiskinan, pekerja dan penghidupan (mata pencaharian) berkelanjutan, jender, perlindungan dan regenerasi pemerintahan dan lingkungan hidup. Jadi menurut UNDP, Sustainbale Livelihood mengandung sebuah konsep sekaligus juga merupakan kerangka kerja program pengurangan kemiskinan secara berkelanjutan.

Secara konseptual “Livelihood” mengandung arti sebagai,

aktivitas, pengakuan hak-hak dan aset-aset yang digunakan masyarakat setempat untuk membangun hidupnya. Aset-aset meliputi aspek alam atau unsur-unsur biologis, sosial, politik, manusia, unsur fisik dan ekonomi. Aspek alam atau biologi seperti, tanah, air, sumber-sumber kepemilikan bersama, flora, fauna; dan aspek-aspek sosial seperti, komunitas, keluarga, jejaring sosial; unsur-unsur politik, meliputi partisipasi, pemberdayaan dan hal-hal yang bersifat sosial; aspek manusia seperti, pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, nutrisi; aspek fisik, seperti jalan, klinik, pasar, sekolah, jembatan; aspek ekonomi seperti, pekerjaan, tabungan, kredit. Livelihood yang menekankan

Sustainable Livelihood mengandung gagasan-gagasan penanggulangan kemiskinan berikut: a. Penanggulangan dan pemulihan kembali dari goncangan (shocks) dan tekanan (stresses) melalui adaptasi dan strategi penanggulangan; b. Pendekatan ekonomi yang efektif. c. Aktivitas

daya alam sebagai suatu ekosistem. d. Secara sosial Livelihood perlu dipromosikan oleh suatu kelompok untuk memengaruhi dan tidak menutup kemungkinan bagi kelompok lain, sebagai peluang saat ini dan di masa depan.

UNDP menawarkan tahapan-tahapan untuk merancang, menerapkan dan mengevaluasi Sustainable Livelihood. Metode tersebut digunakan melalui langkah-langkah yang diprogramkan dalam tahapan-tahapan berikut: 1) melibatkan laki-laki dan perempuan dalam suatu asesmen dan refleksi berdasarkan pengetahuan sebagai aset setempat; 2) melakukan analisis kebijakan mikro dan makro yang dapat memengaruhi strategi Livelihood; 3) menilai dan menetapkan potensi kontribusi pengetahuan modern dan teknologi sebagai pelengkap sistem pengetahuan lokal untuk memperbaiki Livelihood; 4) mengindentifikasi mekanisme-mekanisme investasi sosial dan ekonomi (seperti microfinance, belanja kesehatan dan pendidikan) untuk mengembangkan strategi Livelihood dan memastikan langkah-langkah yang telah dirancang sebagai suatu proses yang terintegrasi secara lebih konkrit. Selain UNDP, berikut disajikan pendekatan CARE terkait dengan Sustainable Livelihood.

CARE merupakan NGO internasional yang memberi perhatian melalui program yang berfokus pada pertolongan orang yang paling miskin dan paling rentan. Perhatian CARE diwujudkan melalui program reguler pembangunan atau jejaring kerja. Sejak tahun 1994 CARE menggunakan rujukan Household Livelihood Security (HLS) sebagai kerangka kerja untuk menganalisis, merancang, memonitoring dan mengevaluasi program. Konsep HLS tentang Livelihoods diambil dari definisi yang dibangun oleh Chambers and Conway (1991), dengan memperhatikan tiga unsur fundamental yaitu, pertama, kapabilitas yang dimiliki manusia (pendidikan, keterampilan, kesehatan, orientasi psikologi); kedua, akses terhadap aset-aset yang kelihatan dan tak kelihatan; dan ketiga, eksistensi aktivitas ekonomi. Interaksi antara ketiga unsur tersebut dilihat sebagai strategi mata pencaharian atau Livelihood rumah tangga. Berdasarkan unsur-unsur fundamental tersebut CARE merumuskan household livelihood

security dengan tekanan pada pendekatan pengembangan kapasitas dan

tetap aktif membantu agar masyarakat sendiri dapat

mengkonsrtuksikan Livelihood mereka, daripada hanya bersikap pasif menerima bantun-bantuan dari luar. Namun disadari juga oleh CARE bahwa di samping Livelihood masyarakat ada pergeseran-pergeseran sebagai perkembangan dari organisasi secara internal, yaitu: pertama, pergeseran konsern dari food security regional dan nasional ke konsern terhadap food security dan pentingnya nutrisi bagi individu serta rumah tangga; kedua, pergeseran dari perspektif “pengarusutamaan makanan” ke perspektif Livelihood, dengan fokus bukan hanya pada produksi makanan tetapi juga kemampuan rumah tangga dan individu untuk memperoleh tambahan makanan yang sehat secara lebih memadai; ketiga, pergeseran dari perspektif materialis yang berfokus pada produksi makanan ke perspektif sosial yang berfokus pada perbaikan kapabilitas orang-orang untuk mengamankan Livelihood mereka sendiri. Selanjutnya CARE secara operasional melihat dinamika pendekatan Livelihood dan program yang interaktif sebagai suatu proses dapat dilalui dengan langkah-langkah berikut: pertama, mengidentifikasi wilayah potensi geografi dengan menggunakan data sekunder untuk menemukan konsentrasi orang miskin; kedua, mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan dan Livelihood yang terdesak; ketiga, menghimpun data yang dapat dianalisis, membuat catatan kecenderungan-kecenderungan dan mengindentifikasi indikator-indikator yang akan diamati, dan menyeleksi komunitas- komunitas untuk melakukan program intervensi. Fokus intervensi CARE adalah memberi perhatian khusus bagi penguatan kapabilitas orang miskin agar mereka sendiri melindungi hidupnya. Oleh sebab itu CARE menekankan pemberdayaan sebagai dimensi pendekatan yang fundamental pada dua aras, yaitu aras pemberdayaan personal dan aras pemberdayaan sosial. Aras pemberdayaan personal, bertujuan mempertinggi rasa percaya diri dan keterampilan masyarakat sebagai

human capital, baik di lingkungan rumah tangga maupun komunitas. Sedangkan aras pemberdayaan sosial, merupakan suatu usaha menuju pendirian dan penguatan eksistensi, dan komunitas secara representatif berbasis organisasi melalui pengembangan kapasitas anggotanya.

Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan cara merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembangunan berdasarkan prioritas pada makna-makna partisipasi yang bersumber pada kebutuhan dengan membangun prinsip dan struktur demokrasi yang representatif. Penjelasan berikut dilanjutkan dengan melihat pendekatan DFID terhadap Sustainable Livelihood.

Menurut Krantz pendekatan Sustainable Livelihood yang dilakukan oleh DFID diadopsi dari sebuah hasil publikasi tahun 1997 oleh UK Government White Paper on International Development. DFID mendefinisikan Sustaianble Livelihood seperti yang dikembangkan oleh IDS dengan modifikasi dan gagasan yang berasal dari Chambers dan Conway, sebagai berikut:

A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks and maintain or enhance its capabilities and assets both now and in the future, while not undermining the natural resource base.

Prinsip-prinsip utama pendekatan DFID terhadap

pembangunan Sustainable Livelihood, berfokus pada permasalahan kemiskinan dan aktivitas pembangunan, sebagai berikut: pertama, berpusat pada masyarakat. Yang dimaksud dengan berpusat pada masyarakat ialah berusaha mengeliminasi kemiskinan secara berkelanjutan, dengan dukungan eksternal yang juga berfokus pada persoalan-persoalan masyarakat, memahami perbedaan kelompok dalam masyarakat dan berkerja sama dengan mereka dalam cara-cara yang serupa dengan strategi Livelihood mereka dengan memperhatikan lingkungan sosial dan kemampuan beradaptasi; kedua, terlibat dan bertanggung jawab. Artinya, orang miskin sendiri harus menjadi aktor kunci dalam pengidentifikasian dan menunjukkan Livelihood sebagai prioritasnya, sedangkan dari orang luar dibutuhkan sikap mendengar dan merespon orang miskin; ketiga, usaha mengeliminasi kemiskinan merupakan suatu tantangan yang sangat besar yang hanya akan diatasi dengan bekerja di berbagai aras atau level, juga perlu ada kepastian berkaitan dengan kebijakan dan aktivitas pembangunan di struktur

lingkungan tingkat mikro serta di tingkat makro yang mendukung orang-orang berproses membangun kemampuan mereka sendiri secara efektif; keempat, bermitra. Hal ini mengandaikan ada hubungan kerja sama kemitraan antara sektor publik dan sektor privat; kelima, berkelanjutan. Maksudnya, aspek keberlanjutan harus nyata pada empat aspek kunci, yaitu ekonomi, institusi, kehidupan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan; dan keenam, bersifat dinamis. Yang dimaksud dengan sifat yang dinamis ialah adanya dukungan luar yang menghargai dinamika strategi Livelihood secara alamiah, dengan tanggapan yang fleksibel untuk mengubah situasi masyarakat dan berkomitmen membangun dalam waktu yang lebih lama. Oleh karena itu DFID beranggapan bahwa pendekatan Sustainable Livelihood harus menjadi tiang penyangga komitmen eradikasi kemiskinan.

Persamaan dan Perbedaan UNDP, CARE dan DFID

Menurut Krantz, sulit membedakan secara tegas pendekatan- pendekatan yang dikemukakan oleh UNDP, CARE dan DFID sehubungan dengan Sustainable Livelihood karena ketiga-tiganya menggunakan Sustainable Livelihood sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan. Ketiga lembaga tersebut mendefinisikan apa itu Sustainable Livelihood secara serupa. Menurut Krantz seharusnya ketiga lembaga itu menjelaskan pandangan konseptual mereka tentang sumber daya Livelihood secara lebih luas. Bukan hanya memasukan aset fisik dan ekonomi tetapi juga aset manusia dan sosial dengan menekankan kebutuhan manusia sebagai pertimbangan untuk mempengaruhi kebijakan dan struktur ekonomi yang menolak

Livelihood orang miskin.

Berikut, akan dijelaskan cacatan Krantz berkaitan dengan beberapa perbedaan pendekatan Sustainable Livelihood yang digunakan UNDP, CARE dan DFID. Pertama, perbedaan dalam pendekatan. Menurut Krantz UNDP dan CARE menggunakan pendekatan Sustainable Livelihood untuk memfasilitasi perencanaan program-program dan proyek yang konkret. Sedangkan DFID

menggunakan pendekatan Sustainable Livelihood sebagai kerangka dasar bagi analisis daripada sebagai prosedur suatu program. Pendekatan tersebut juga digunakan berkaitan dengan pertimbangan pemanfatan aset-aset dan proyek-proyek sebagai proses yang berkelanjutan untuk membuat mereka lebih sensitif dan tanggap terhadap kondisi dan kebutuhan-kebutuhan orang miskin. Jadi Krantz berpendapat, Sustainable Livelihood merupakan suatu instrumen untuk mempertinggi orientasi bagi orang miskin dengan berbagai jenis aktivitas yang mendukung lembaga-lembaga tersebut, dan bukan semata-mata merupakan proyek-proyek dan program-program. Kedua, perbedaan pada tataran implementasi. Dukungan CARE terhadap

Livelihood rumah tangga yang aman pertama-tama terarah pada tataran komunitas. UNDP dan DFID bekerja pada tataran komunitas tetapi juga memperhatikan kebijakan lingkungan, bentuk-bentuk ekonomi-makro dan legislasi, yang sama penting dengan pengurangan kemiskinan secara efektif. Jadi bagi DFID, analisis Livelihood

masyarakat biasanya terarah pada tataran rumah tangga atau komunitas, walaupun tujuannya bukan saja untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan atau peluang-peluang tetapi agar terjadi perbaikan sistem pelayanan masyarakat pada tataran itu.

Menurut Krantz kesamaan pandangan dalam pendekatan dan implementasi terhadap Sustainable Livelihood penting untuk memahami bagaimana faktor-faktor institusional dan kebijakan- kebijakan, contohnya mengenai Livelihood masyarakat di tingkat lokal, yang seharusnya diangkat pada aras kebijakan yang lebih tinggi. Dikatakannya pula dua aspek lain yang diperhatikan oleh Carney dan lain-lain tetapi tidak didokumentasikan adalah faktor-faktor lingkungan dan wilayah-wilayah khusus. UNDP secara khusus dan DFID secara lebih luas memasukkan kriteria lingkungan dalam definisi

Sustainable Livelihood tetapi CARE menekankan Livelihood rumah tangga yang aman melebihi Sustainable Livelihood dan lebih memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nafkah hidup sekarang ini daripada akibat-akibat lingkungan jangka panjang. Sehingga perhatian UNDP khususnya dalam pembangunan tekhnologi dan bidang sosial serta investasi ekonomi, cenderung memperhatikan hal-hal tersebut

untuk memperbaiki Livelihood masyarakat. Sesudah melihat persamaan dan perbedaan di antara UNDP, CARE dan DFID, Krantz menyatakan pendekatan Sustainable Livelihood mempunyai beberapa kekuatan dan kelemahan.

Menurut hemat penulis, secara sosiologis komponen- komponen Livelihood yang berisikan berbagai kapital atau modal sebagaimana disebutkan Chambers dan Conway, Krantz dan lain-lain, memang dilihat saling berhubungan dan memengaruhi tetapi dampak dari hubungan-hubungan tersebut tidak dijelaskan. Dengan merujuk pada apa yang dilihat dalam relasi antar-kapital menurut Bourdieu (https://www.languageascapital.wordpress,com/2012/03/25/cultural- capital-vs-economic-capital, diunduh 17 Juli 2016), ditemukan relasi- relasi yang saling memengaruhi bahkan saling memberi makna antar- modal-modal tersebut. Memang Bourdieu dalam tulisan ini tidak berbicara langsung mengenai Livelihood tetapi ia mengelompokkan berbagai komponen modal-modal dalam tiga bentuk modal atau capital

yaitu, cultural capital (berbagai pengetahuan, keterampilan, pendidikan, kedudukan seseorang dalam masyarakat), economy capital

(uang dan aset-aset) dan social capital (anggota suatu kelompok, persaudaraan, pengaruh dan dukungan hubungan berjejaring). Ketiga kapital tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Gambar berikut menunjukkan relasi antar-kapital dimaksud.

1 2

3

Sumber: Bourdieu (1986), https://www.languageascapital.wordpress.com/2012/03/25/ cultural-capital-vs-economic-capital, diunduh 17 Juli 2016.

Gambar 2.4 Hubungan antar-Jenis-jenis Kapital Menurut Bourdieu

Economic Capital

Menurut Bourdieu, dalam relasi yang pertama, modal ekonomi dapat ditransfer menjadi modal kultural. Misalnya, dengan kemampuan finansial keluarga, orang tua mendukung anda memperoleh pengetahuan dan keterampilan, merupakan suatu bantuan yang menambah kapital kultural anda. Dengan kemampuan, status dan gaji yang lebih tinggi, modal ekonomi anda bertambah. Sedangkan melalui relasi yang kedua seperti status dan penghargaan dalam masyarakat sebagai modal kultural sampai saat ini diterima sebagai modal sosial. Dalam relasi yang ketiga, jejaring sosial dapat dikembangkan sebagai peluang ekonomi yang kemudian dapat diinvestasikan kembali sebagai modal kultural.

Sesudah berbicara mengenai environmental sustainability dan

social sustainability, pada bagian berikut akan diulas secara garis besar praktek analisis Sustainable Livelihood, yang berisikan beberapa sub- pokok bahasan.

Analisis Praktis Sustainable Livelihood

Uraian berikut ini merupakan bagian keempat dari tulisan Chambers dan Conway tentang Livelihood dan Sustainable Livelihoods. Untuk menjelaskan konsep-konsep Livelihood dan

sustainability ke dalam kebijakan yang tepat dan efisien, perlu ada suatu orientasi analisis dan metode yang tepat. Ada tiga hal yang akan dicatat di sini, yakni penghargaan masa depan Livelihood, intensitas peningkatan Livelihood, dan jejaring Livelihood berkelanjutan.

Nilai Masa Depan Livelihood

Perencanaan bagi masa depan Livelihood terletak pada bagaimana melihat masa depan Livelihood sebagai sesuatu yang bernilai. Dikatakan oleh Chambers dan Conway, dalam laporan The Brundtland (WCED 1987:8), definisi tentang sustainable development

atau pembangunan berkelanjutan dibuat sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi yang akan datang

tanpa kompromi dan dengan demikian meningkatkan isu-isu keadilan bagi generasi yang akan datang.

Dalam praktek pengambilan keputusan, generasi masa depan dan Livelihood mereka tak berarti karena empat alasan: innumeracy,

undemocratic democracy, discounting dan uncertainty. Alasan pertama, innumeracy. Inumerasi merupakan kegagalan manusia menghargai apa saja yang ada di dalam kehidupan. Dalam waktu singkat secara masif akan terjadi bencana global di mana manusia gagal diorganisir dan lambat atau cepat kita yang hidup sekarang tidak diperhitungkan oleh generasi yang akan datang; Alasan kedua,

undemocratic democracy. Ketiadaan demokrasi merupakan representasi masyarakat di masa depan. Intere hanya dapat direpresentasi melalui latihan yang bersifat imaginasi kita, altruisme, pengendalian dan tanggung jawab pekerjaan; Alasan ketiga,

discounting. Discounting diartikan sebagai masa depan yang kurang dihargai atau masa depan yang diabaikan. Dicontohkannya, ahli-ahli ekonomi mengabaikan tatanan masa depan untuk memaksimalkan jejaring kerja sama yang bernilai saat ini; para politisi mengabaikan tatanan masa depan untuk memenangkan pemungutan suara yang dilakukan setiap lima tahun sekali; dan pebisnis mengabaikan tatanan masa depan untuk menciptakan keuntungan pada saat ini dan untuk membayar kembali pinjaman-pinjaman para pendukung; Alasan keempat, uncertainty. Yang dimaksud dengan uncertainty adalah ketidakmampuan untuk memprediksi masa depan. Dikatakannya,

innumeracy, undemocratic democracy, discounting and uncertainty

merupakan kekeliruan berpikir pandangan jangka pendek. Oleh sebab itu keempat aspek yang disebutkan ini merupakan alasan-alasan yang kurang tepat. Sebaliknya nilai-nilai yang terintegrasi melalui sistem demokrasi yang baik dan adil, merupakan nilai-nilai yang penting untuk masa depan Livelihood berkelanjutan daripada hanya memikirkan kepentingan saat ini, karena setiap generasi mempunyai kepentingan dan interes yang berbeda. Seandainya kita sekarang ini mempunyai pandangan yang lebih menyeluruh berkaitan dengan perubahan sosial, ekologi dan tekonologi yang begitu cepat, prediksi

kita tentang masa depan tentu akan lebih baik, dipengaruhi pula oleh sistem komunikasi masa yang baru.

Intensitas Peningkatan Livelihood

Di dalam bagian ini Chambers dan Conway membahas beberapa sub-tema yaitu pesimisme profesional dan optimisme yang praktis. Berkaitan dengan sub-tema optimisme yang praktis, dibahas juga perihal produktivitas dan intensitas penggunaan sumber-sumber kehidupan serta sinergi ekonomi skala kecil.

Menurut Chambers dan Conway, ahli ekonomi dan ahli lingkungan, sering memunculkan masalah konseptual tentang kekayaan alam yang tersedia. Para ahli tersebut cenderung berpikir mengenai adanya sumber daya lingkungan yang beranekaragam untuk digunakan. Cara berpikir ini bisa dibenarkan untuk beberapa sumber daya, seperti fosil minyak yang terbarukan tetapi bukan untuk yang lainnya seperti, mineral-mineral. Selain itu dikatakannya bahwa kita sulit mengurangi masalah-masalah seperti, pertumbuhan penduduk, kerakusan manusia dan ketiadaan sumber daya hidup utama secara masif dan global. Karena pendekatan yang negatif berfokus hanya pada masalah-masalah dan cenderung untuk memenuhi kepentingan diri dan keliru melihat peluang-peluang yang ada. Di balik itu terdapat studi-studi yang lebih optimis menunjukkan apa yang bisa dibuat oleh orang miskin. Dari sisi pengertian sumber daya yang produktif dan intensitas Livelihood, praktek-praktek orang miskin dan petani kecil serta para tunalahan secara aktual sebenarnya lebih berpotensi memengaruhi Sustainable Livelihood. Maka ada dua hal yang berpotensi untuk dikembangkan, yaitu mengembangkan intensitas dan produktivitas sumber daya kehidupan serta bersinergi secara ekonomi skala kecil.

Chambers dan Conway juga berpendapat bahwa sistem pertanian yang intensif secara sinergis dalam skala kecil dapat dikembangkan di dalam lingkungan hidup dengan keterbatasan- keterbatasan bio-ekonomi. Berikut, dibuat suatu penjelasan singkat mengenai apa yang dimaksud dengan jejaring Livelihood

berkelanjutan. Menurut kedua pakar Livelihood tersebut baik konsep kesejahteraan maupun konsep deprivasi biasanya ditetapkan berdasarkan ukuran-ukuran tertentu seperti pendapatan atau konsumsi. Dengan demikian deprivasi diartikan sebagai kemiskinan karena ukuran yang digunakan adalah unsur pendapatan atau konsumsi yang rendah. Oleh sebab itu dikatakan ide-ide tentang jabatan, pekerjaan dan lapangan kerja merupakan hasil pengidentifikasian kategori-kategori dengan latar belakang situasi perkotaan dan dunia industri yang relatif berbeda dengan aktivitas

Livelihood orang miskin pedesaan.

Sebaliknya, Livelihood dan Sustainable Livelihood merupakan konsep yang berkembang dari penelitian lapangan yang lebih terbuka daripada survei-survei yang tertutup dan bersifat statistik. Menurut pengamatan keduanya, realitas empiris yang dilihat bukanlah merupakan sesuatu yang simpel. Untuk menyusun kembali definsi, tentang Sustainable Livelihood, di dalamnya tidak hanya termasuk pendapatan dan konsumsi-konsumsi tetapi juga kemungkinan untuk menangani tekanan (stress) dan goncangan (shock) serta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Sebagai suatu definisi yang lebih luas, Sustainable Livelihood meliputi juga environmental sustainability dan pengaruh-pengaruh yang baik terhadap aspek-aspek lain Livelihood. Sustainable Livelihood mempunyai berbagai dimensi dan hubungan sebab akibat, berbeda-beda bentuk di dalam lingkungan yang berbeda dengan orang yang berbeda-beda pula.

Optimisme Praktis Livelihood

Pandangan yang lebih optimis berasal dari studi tentang apa yang dibuat orang miskin. Sekalipun dalam produktivitas sumber- sumber daya penghidupan dan peningkatan Livelihood yang terbatas, praktek-praktek orang miskin dan petani-petani kecil serta juga orang- orang yang tidak mempunyai tanah, secara aktual, lebih besar potensi pengaruhnya terhadap Livelihood berkelanjutan daripada para profesional yang banyak diakui. Dengan begitu muncul pertanyaan, bagaimana, dari mana sumber-sumber penghidupan yang memadai dan

Pertanyaan tersebut ditanggapi dengan memperhatikan dua aspek berikut, yakni intensitas penggunaan dan produktivitas sumber- sumber penghidupan serta sinergi ekonomi skala kecil. Aspek pertama, intensitas penggunaan dan produktivitas sumber-sumber penghidupan. Potensi-potensi sumber daya Livelihood yang digunakan biasanya diremehkan. Ada dua domain peremehan yang dibuat. Pertama, dalam skala petani kecil, dunia pertanian sekarang dipahami sebagai bidang kegiatan yang kompleks, berbeda dan beresiko, seperti kebanyakan negara di bagian Selatan, produktivitas bio-ekonomi sebagai peningkatan dan stabilisasi bukan melalui penyederhaan dengan paket bantuan yang besar tetapi dengan berbagai jejaring usaha yang kompleks dan berbeda. Maka meningkatkan keanekaragaman hasil melalui, agroforestry, aquaculture, memotong dan menjual makanan serta ternak di kedai, penciptaan dan perlindungan lingkungan hidup yang kecil sebagai pusat kesuburan, penghasil air yang sehat dan pekerjaan-pekerjaan lainnya, merupakan usaha-usaha yang dapat dikembangkan sebagai tanggung jawab Livelihood yang intensif terhadap kemungkinan resiko, dibandingkan dengan mengandalkan tanah yang tersedia. Aspek kedua, sinergi ekonomi skala kecil. Temuan (finding) analogi ekologi, degradasi sumber-sumber daya kehidupan yang saat ini menjadi potensi Livelihood. Secara paradox, degradasi sering melindungi sumber-sumber daya kehidupan bagi orang miskin. Sebab tanah yang menyusut, gundul, longsor, berair, gundul dimakan ternak, banjir atau tumbuh tidak berkelanjutan, itu mempunyai nilai yang rendah. Tapi sekali lagi, ketika praktik menajemen berubah, potensi bio-ekonomi yang luar biasa dapat direalisasi. Sejumlah tanah berpotensi seperti di India seluas 69 juta hektare, dapat ditumbuhi pepohonan yang memproduksi biomas secara dramatis. Hal ini menunjukkan perkembangan luar biasa saat ini karena produksi biomas bertambah sepuluh kali lipat daripada produksi sebelumnya. Sejak itu Livelihood menjadi intensif, mengurangi degradasi hutan, dan menyediakan Livelihood berkelanjutan untuk jutaan penduduk miskin.

Dokumen terkait