Bagian ini berisikan sintesa pemikiran terkait dengan perspektif Livelihood dengan tekanan pada Sustainable Livelihood dan hubungannya dengan collective action, sebagai social movement yang ditandai oleh resistensi.
Perspektif Sustainable Livelihood pada dasarnya merujuk pada konsep yang ditawarkan Chambers dan Conway dan kemudian dikembangkan oleh pemikir Sustainable Livelihood lainnya. Inti pemikiran Chambers dan Conway tentang Sustainable Livelihood
dapat dilihat dari hal-hal berikut. Menurut keduanya suatu kehidupan rumah tangga akan berlangsung sebagaimana diharapkan jika rumah tangga-rumah tangga mempunyai empat hal pokok yaitu kapabilitas, aset-aset, aktivitas dan hasil yang diperoleh dari apa yang dilakukan. Karena itu menurut keduanya untuk mewujudkan kelangsungan hidup harus ada dukungan tiga komponen utama dalam kehidupan rumah tangga yakni adanya, 1) kapabilitas, 2) barang-barang dan sumber daya penghidupan serta 3) hak-hak dan akses-akses. Bila unsur-unsur pokok tersebut ada dalam kehidupan rumah tangga-rumah tangga, termasuk prinsip-prinsip Sustainable Livelihood yakni, kapabilitas, keadilan, lingkungan hidup dan kehidupan sosial yang berkelanjutan, maka kehidupan rumah tangga-rumah tangga berkelanjutan akan terwujud. Chambers dan Conway juga menawarkan sejumlah strategi untuk melakukan coping bila seseorang atau suatu rumah tangga, kelompok
masyarakat mengalami tekanan dan goncangan, termasuk berada dalam sistuasi yang rentan menjadi miskin.
Setelah melihat catatan Chambers dan Conway tentang aspek- aspek utama yang harus ada dalam mengusahakan Sustainable Livelihood, perlu dilihat juga pemikiran Scoones dan Krantz tentang hal-hal pokok dalam Sustainable Livelihood. Scoones menyatakan bahwa sumber daya Livelihood terdiri dari unsur-unsur material, sosial termasuk aset-aset yang kelihatan dan yang tak kelihatan. Unsur-unsur tersebut kemudian dirumuskan oleh Krantz sebagai aset-aset atau modal-modal yaitu, modal manusia (human capital), modal sosial (social capital), modal uang (financial capital), modal fisik (physical capital), modal alam (natural capital).
Untuk mewujudkan Sustainable Livelihood, perlu dihindari hal-hal yang bersifat inumerasi atau sikap tidak menghargai sesuatu termasuk orang lain, bersikap tidak demokratis, sikap tidak menghargai masa depan dan ketidakmampuan memprediksi masa depan. Selain itu diperlukan strategi-atrategi tertentu untuk mengembangkan Sustainable Livelihood. Ada berbagai strategi yang ditawarkan oleh pemikir Sustainable Livelihood. Beberapa bentuk strategi yang ditawarkan oleh Chambers dan Conway yang dapat dilakukan suatu rumah tangga ialah, penghematan baik terhadap barang-barang maupun tenaga kerja; pengumpulan barang yang diperlukan dan aset-aset; perlindungan atas aset-aset utama, pengosongan dengan menjual aset-aset yang ada; diversity dilakukan dengan cara mencari berbagai sumber penghidupan lain; memperjuangkan hak-hak hidup yang lebih adil berkaitan dengan berbagai unsur yang memengaruhi kehidupan penduduk atau rumah tangga-rumah tangga; dan pergerakan maksudnya membagi aset-aset yang dipunyai untuk dikelola. Sementara itu Scoone menawarkan strategi khusus yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi Livelihood serta migrasi. Sedangkan Butler dan Mazur menekankan strategi diversifisikasi Livelihood dengan tekanan pada
food security. Pendekatan ini ditawarkan berdasarkan studinya tehadap latar belakang situasi penduduk yang mengalami penderitaan
luar biasa karena keterbatasan diversifikasi, degradasi lingkungan, pendapatan yang rendah, dan berbagai dampak dari HIV/AIDS. Menurut keduanya, untuk mendorong inovasi, orang miskin sendiri harus mempromosikan Livelihood pedesaan berkelanjutan. Sedangkan Morse, Mc. Namara dan Ancolo menyebutkan strategi intervensi usaha kredit mikro dapat ditawarkan untuk mendukung usaha-usaha pengembangan Sustainable Livelihood. Semua strategi tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan ekonomi berskala kecil, berjejaring dan berpusat pada penduduk itu sendiri.
Jadi usaha-usaha untuk mengembangkan Sustainable
Livelihood sebagai usaha membangun masa depan yang bermakna bagi rumah tangga-rumah tangga atau suatu kelompok masyarakat tidak mungkin dilakukan tanpa menggunakan modal-modal yang dipunyai. Di samping itu usaha-usaha pengembangan Livelihood perlu didukung oleh penggunaan strategi-strategi baik yang ditawarkan oleh pemikir Sustainable Livelihood maupun strategi-strategi berdasarkan situasi setempat. Modal-modal dan strategi-strategi yang digunakan hendaknya diperkuat oleh hak-hak rumah tangga dan penduduk serta akses-akses terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, politik dan lingkungan secara berkelanjutan. Bila rumah tangga-rumah tangga kehilangan modal-modal yang dipunyai untuk hidup termasuk aset- aset, hak-hak dan akses-akses maka akan muncul sebuah colletive action sebagai social movement berbentuk resistensi terhadap para pihak yang dianggap menghalangi peluang mengembangkan
Sustainable Livelihood. Resistensi terjadi karena terdapat ketidakadilan berkaitan dengan hilangnya berbagai modal hidup yang seharusnya, hilangnya aset dan akses termasuk hak-hak penduduk untuk hidup. Seperti dikatakan oleh Olson (2002) bahwa setiap kelompok masyarakat mempunyai harapan dan kepentingan dalam hidup yang dijalani. Harapan dan kepentingan bersama tersebut akan disalurkan melalui tindakan kelompok agar terwujud apa yang diharapkan atau apa yang menjadi kepentingan kelompok. Jadi collective action
merupakan sarana yang berfungsi untuk memperjuangkan harapan dan kepentingan kelompok sebagai sesuatu yang logis atau rasional.
bisa dilakukan melalui lobi-lobi dan kerja sama. Namun menurut Vanni (2014), collective action mengandung unsur kerja sama dan koordinasi di antara anggota kelompok serta relasi-relasi berjejaring baik ke dalam maupun keluar. Relasi-relasi berjejaring dapat
dikembangkan kelompok karena setiap kelompok dianggap
mempunyai human capital, social capital dan political capital. Selanjutnya menurut ide Schutz dan Zandy (2011), collective action
kelompok atau komunitas berperan memengaruhi dan memperbaharui bukan untuk merusak kehidupan yang tertekan. Maka untuk memperbahaui dan memengaruhi pihak lain diperlukan taktik tertentu, dan nampaknya collective action dengan taktik-taktik yang ditawarkan dapat dikakatkan sejalan dengan gagasan-gagasan strategi yang dipakai dalam mengembangkan Sustainable Livelihood. Berbeda dengan beberapa pendekatan collective action yang sudah disebutkan, Oliver, Marwell dan Teixera (1985) menyatakan kritik massa dapat menjadi suatu bentuk collective action pula.
Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimana collective action
dilihat sebagai social movement atau gerakan sosial. Menurut Porta dan Diani (2006), gerakan sosial ditandai oleh ciri-ciri, relasi-relasi yang teridentifikasi mengandung unsur pertikaian atau konflik, ada dukungan jejaring informal dan identitas kolektif jelas. Dengan begitu gerakan sosial dapat disebut berbentuk, crowd, mass, public dan gerakan sosial. Lalu apa hubungan antara gerakan sosial dengan tindakan kolektif. Salah satu ciri hubungan gerakan sosial dengan tindakan kolektif atau collective action ada pada fenomena konflik. Dikatakan oleh Porta dan Diani (2006), gerakan sosial merupakan tindakan kolektif yang bersifat konfliktif, namun juga bisa mengandung hal-hal yang bersifat konsensual. Dengan demikian social movement sebagai colletive action berfungsi memfasilitasi perluasan informasi untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan, berkontribusi menumbuhkan sikap saling percaya dan untuk memobilisasi kelompok serta membentuk opini orang secara berjejaring. Keirns at. al., membedakan gerakan sosial atau social movement dari beberapa segi yaitu, segi fungsi (fungsional, konflik dan interaksionisme simbolik), segi perilaku kolektif (crowd, mass, public
dan social movement) serta dari segi jenis atau tipe (reform movement,
revolutionary movement, religious movement, alternative movement
dan resistance movement).
Akhirya perlu dilihat bahwa collective action yang ditandai oleh social movement muncul dalam bentuk resitance movemet.
Resistance movement sebagai collective action dalam kajian teoritis ini merupakan ekpresi dan usaha sebagai strategi rumah tangga-rumah tangga atau penduduk dalam menggunakan modal-modal manusia yang dimiliki untuk memperjuangkan hak-hak, aset-aset dan akses mengembangkan Sustainable Livelihood agar dapat memperoleh hidup yang lebih adil dan sejahtera. Karena masyarakat yang kehilangan hak-hak, aset-aset dan akses merupakan fenomena pemingggiran atau marginalisasi sebagai proses pemiskisnan penduduk. Proses marginalisasi yang ujung-ujungnya berdampak menghasilkan kemiskinan menimbulkan kesadaran akan hak-hak, asset dan akses yang seharusnya ada untuk hidup lebih baik. Adanya kesadaran akan proses marginalisasi tersebut memunculkan resistance movement sebagai collective action penduduk. Berkaitan dengan resistance movement kelompok, Vinhagen (2007) menjelaskan, resistensi dilakukan sebagai tindakan perlawanan terhadap hegemoni relasi, proses sosial dan kekuasaan institusi yang dominan, agar dominasi kekuasaan tersebut berkurang. Dalam studi ini nampak bahwa dominasi dan hegemoni telah menimbulkan keterpinggiran atau marginalisasi penduduk karena itu muncullah resistance movement. Gambar berikut ini merupakan rangkuman gagasan teorits yang sudah dijelaskan.
1 2
1
3
Gambar 2.5 Sintesa Gagasan Teoritis
Sustainable Livelihood
Gambar 2.5 di atas dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Berdasarkan pada kepentingan memperjuangkan Sustainable Livelihood yang terganggu (tanda panah 1), muncullah kesadaran bersama sebagai collective action (tanda panah 2) yang berwujud pada gerakan sosial resistensi. Gerakan resistensi sebagai suatu strategi sosial kolekitf (tanda panah 3) bertujuan memperjuangkan hak-hak, aset dan akses rumah tangga atau penduduk yang terganggu dalam rangka mengembangkan Sustainable Livelihood agar terbentuk kondisi lingkungan hidup yang aman dalam berbagai aspek, adil dan lebih sejahtera. Proses perjuangan dan pengembangan Sustainable Livelihood rumah tangga-rumah tangga penduduk ini berlangsung terus secara dinamis, kreatif dan berjejaring baik ke dalam maupun ke luar. Dengan demikian diharapkan tercipta kapabilitas penduduk yang semakin bermutu dan pada saatnya berdampak bagi rumah tangga- rumah tangga atau penduduk melakukan coping sehingga terjadi proses diversifikasi Livelihood yang berkelanjutan.