• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Termarjinalisasi Kelapa Sawit: Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua D 902008105 BAB II"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

PERSPEKTIF

LIVELIHOOD

DAN

COLLECTIVE ACTION

Bagian ini memuat perspektif Livelihood dengan tekanan mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari pemikiran Chambers dan Conway serta pemikir lain tentang permasalahan Livelihood pedesaan yang berkelanjutan. Selain itu kajian studi literatur ini juga memuat sejumlah tinjauan mengenai

social movement dan collective action. Social movement dan collective action ditempatkan di sini untuk meneropong lebih jauh

aktivitas-aktivitas bersama kelompok masyarakat dalam rangka

memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya.

Latar Belakang Konsep

Livelihood

Bagian ini merupakan pembahasan tentang pemikiran Chambers dan Conway (1991) mengenai Livelihood dan Sustainable Livelihood. Istilah Livelihood dan Sustainable Livelihood yang digunakan dalam tulisan ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena beberapa tulisan tentang pokok ini dalam bahasa Indonesia dari sejumlah studi yang dibuat ada yang mengartikannya sebagai penghidupan atau mata pencaharian bahkan juga dilihat sebagai nafkah. Selanjutnya, dalam tulisan ini Livelihood dilihat atau diartikan sebagai penghidupan.

(2)

secara khusus terjadi perubahan dan perkembangan yang luar biasa pada aspirasi manusia yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan akses informasi. Berkaitan dengan akselerasi perubahan, secara kontekstual terdapat dua hal yang belum pernah ada sebelumnya yaitu,

pertama, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, cara-cara dan perilaku umum yang berlaku di masyarakat ditinggalkan; kedua, kondisi masa depan menjadi lebih pelik dan sulit diprediksi. Menurut keduanya, dalam kondisi seperti itu kita menghadapi masa depan yang tak menentu, berlangsung dalam perubahan yang cepat dan kita akan tertinggal bahkan keliru mengantisipasi masa depan. Sehingga muncul suatu prediksi, akan terjadi bencana alam dan wabah penyakit sebagai bencana masif berkepanjangan, dan pada abad ke-21 populasi manusia akan bertambah besar dari masa sebelumnya. Akibatnya beban pertumbuhan akan menimbulkan meluasnya daerah-daerah miskin dan diproyeksikan sampai tahun 2025, tiga perempat penduduk dunia di daerah-daerah yang berpendapatan menengah akan memperoleh pendapatan yang rendah. Keadaan ini mempunyai implikasi bagi strategi pembangunan kota dan desa yang sangat besar. Menurut keduanya, ketika jutaan orang terperangkap dalam kemiskinan secara masif tanpa mengetahui sebabnya dan bila tidak diantisipasi pertambahan penduduk yang begitu banyak di masa depan, kita sulit mencapai tingkat kehidupan yang adil, memadai dan pantas. Keadaan demikian merupakan situasi yang sungguh-sungguh mengkhawatirkan. Chambers dan Conway mengungkapkan, walaupun banyak penjelasan dan argumen dalam tulisan yang dibuat ini dapat diterapkan pada kondisi masyarakat urban, tetapi sesungguhnya keduanya lebih berfokus pada kondisi masyarakat pedesaan.

(3)

pembangunan menunjukkan perlu dicari cara-cara membangun untuk mendukung lebih banyak orang di wilayah pedesaan; ketiga, strategi pembangunan dan lingkungan di abad ke-21 sesungguhnya berpusat pada masyarakat, keadilan dan hidup berkelanjutan, akan tetapi senyatanya banyak dari antara masyarakat mengalami kerentanan dan kertersisihan. Keaadan ini memunculkan pertanyaan yang menantang yaitu, bagaimana dapat mempercepat dan memperbesar jumlah orang yang dapat hidup lebih baik, sekurang-kurangnya berdasarkan

Livelihood pedesaan secara berkelanjutan?

Selanjutnya keduanya mempertanyakan, bagaimana mencari petunjuk dan jawaban atas pertanyaan tentang beberapa aspek pokok yang perlu diuji berkaitan dengan analisis konvensional ilmu pengetahuan sosial. Dua hal yang disebutkan ialah perlu memperhatikan kelemahan analisis profesional konvensional dan hal-hal fundamental dalam Livelihood yang terdiri dari kapabilitas, keadilan dan keberlanjutan. Dalam konteks perubahan yang begitu cepat dan ketidakpastian, sering dipertentangkan konsep-konsep kovensional dan konservatif, berkaitan dengan nilai-nilai, metode-metode dan perilaku. Dikatakannya ada tiga bentuk pemikiran yang diajarkan dan digunakan dalam analisis yang bertentangan dengan semangat perubahan, yaitu production thinking, employment thinking

dan poverty-line thinking. Pertama, menurut perspektif production thinking, berbagai masalah seperti kelaparan, ketiadaan nutrisi, dan malnutrisi merupakan masalah produksi (penghasilan) atau berkaitan dengan jenis-jenis makanan yang diproduksi. Kedua, dalam perspektif

(4)

pedesaan mempunyai banyak dimensi yang tidak dapat dijelaskan dengan ukuran-ukuran tersebut. Jadi menurut Chambers dan Conway ketiga bentuk analisis tadi mempunyai dua kelemahan, yakni pertama, pemikiran-pemikiran tersebut merupakan cara berpikir dunia industri; kedua, terjadi pereduksian nilai untuk mempermudah pengukuran kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat.

Setelah melihat kelemahan analisis yang dikritik Chambers dan Conway, perlu disimak pula penjelasan keduanya tentang hal-hal fundamental Livelihood yang terdiri dari kapabilitas (capability), keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Keduanya menyatakan, ketiga aspek tersebut saling berkaitan sebagai suatu paradigma pembangunan yang mempunyai sisi normatif dan praktis untuk pencapaian Livelihood yang memadai. Selain itu kerangka berpikir ini dapat digunakan juga untuk meredam konflik dan mendukung pencapaian tujuan hidup masyarakat secara timbal balik.

(5)

aspek equity atau keadilan. Secara konvensional equity digunakan sebagai ukuran yang relatif berhubungan dengan distribusi pendapatan. Tetapi dalam perkembangannya kata tersebut kemudian juga digunakan dalam arti yang lebih luas, berkaitan dengan masalah kapabilitas, ketidakadilan pendistribusian aset-aset dan peluang-peluang perbaikan hidup yang hilang di masyarakat. Equity juga dapat dikaitkan dengan persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan, golongan minoritas dan semua orang yang lemah, seperti kaum urban dan kaum miskin pedesaan yang tak berdaya. Sedangkan sustainability

dikatakan mengandung nilai, makna dan tujuan, terkait dengan sumber daya hidup secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dari sisi pembangunan dan lingkungan,

Sustainability mengacu pada pandangan dunia global yang baru terkait dengan polusi, pemanasan global, deforestasi, eksploitasi tak terbatas terhadap sumber-sumber daya yang tak dapat diperbaharui dan adanya degradasi lingkungan. Menurut keduanya, semua istilah tersebut itu hanyalah bersifat verbalistik bila tidak ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit jangka panjang. Langkah-langkah kongkrit dibutuhkan karena dunia secara global mengalami ancaman keterbatasan sumber daya alam akibat konsumsi yang boros dan polusi di satu sisi serta dampak dari derasnya pertumbuhan populasi penduduk dunia di sisi lain. Dalam keadaan biasa Sustainability

mengandung arti berkecukupan bagi diri sendiri. Sebagai suatu ideologi

sustainability berhubungan juga dengan pengendalian diri dan nasib manusia jangka panjang. Selain itu pandangan ini digunakan juga untuk menyoroti gaya hidup atau life styles yang menganggap remeh kehidupan di bumi. Misalnya berkaitan dengan penggunaan pupuk-pupuk kimia di bidang pertanian serta rendahnya kesadaran mengembangkan pertanian organik. Hal ini sesungguhnya dapat dilakukan oleh institusi-institusi terkait untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan, mendukung usaha-usaha masyarakat sebagai proses pengembangan diri sendiri tanpa subsidi atau bantuan.

Livelihood, dalam konteks sosial, menggunakan Sustainability

(6)

sebagai upaya mewujudkan kemandirian Livelihood. Setelah melihat latar belakang pemikiran Chambers dan Conway tentang permasalahan

Livelihood dan Sustainable Livelihood, khususnya di pedesaan, berikut dibuat penjelasan lebih jauh mengenai paham-paham dimaksud.

Livelihood

Pokok ini merupakan bagian kedua dari pembahasan dalam makalah tersebut yang berhubungan dengan paham Livelihood dan

Sustainable Sivelihood. Penjelasan pemikiran Chambers dan Conway tentang Livelihood dibagi dalam tiga subtema. Ketiga subtema dimaksud ialah pertama, Livelihood Sustainability sebagai suatu konsep yang terintegrasi; kedua, faktor-faktor penentu Livelihood; ketiga,

human livelihood yang alamiah.

Sustainability Livelihood sebagai Konsep yang Terintegrasi

Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa aspek kapabilitas (capabilities), keadilan (equity) dan berkelanjutan (sustainability), merupakan satu keterpaduan dalam konsep Sustainability Livelihood. Dikatakan demikian karena kapabilitas mendukung peningkatan usaha yang menguntungkan dalam Livelihood. Equity dalam Livelihood

berkaitan dengan hak-hak yang adil dalam pemanfaatan aset dan akses yang menguntungkan. Sedangkan Sustainability atau berkelanjutan berhubungan dengan perihal sumber daya kehidupan yang bermakna, penyediaan kondisi-kondisi Livelihood yang berkelanjutan bagi generasi yang akan datang.

Gagasan-gagasan mengenai konsep Livelihood dikembangkan oleh World Commision on Environment and Developmnet (WCED) dengan usulan yang disebut Sustainable Livelihood Security (SLS) sebagai suatu konsep yang terpadu. Rumusan Sustainable Livelihood Security berbunyi sebagai berikut:

(7)

shocks and meet contingencies. Sustainable refers to the maintainance or enhancement of resource productivity on a long-term basis. A household may be enabled to gain sustainable livelihood security in many ways-through ownership of land, livestock or trees; rights to grazing, fishing, hunting or gathering; through stable employment with adequate remuneration; or through varied repertoires of activities.

Berikut ini penulis mencoba membuat terjemahan bebas tentang rumusan Sustainable Livelihood Security (SLS) sebagai berikut: Livelihood didefinisikan sebagai ketersediaan barang-barang, makanan dan uang secara memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Security merujuk pada kemungkinan-kemungkinan seseorang atau sekelompok orang beraktivitas untuk memperoleh barang-barang yang bersifat pribadi atau adanya akses-akses terhadap sumber-sumber penghidupan dan pendapatan yang aman serta aset-aset untuk penanggulangan resiko, meredakan goncangan. Unsur

Sustainable mengacu pada pemeliharaan atau pengembangan sumber-sumber penghidupan yang produktif dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian suatu rumah tangga dimungkinkan memperloleh livelihood berkelanjutan yang aman dengan berbagai cara, memiliki tanah, ternak atau jenis-jenis tanaman; dengan hak-hak sebagai peternak, nelayan, pemburu atau peramu; mempunyai pekerjaan yang tetap dengan imbalan yang memadai; melalui aktivitas-aktivitas yang bervariasi.

Berdasarkan definsi WCED di atas, Chambers dan Conway mengusulkan definisi kerja tentang Sustainable Livelihood (SL) sebagaimana termuat dalam tulisan mereka yang berjudul Sustainable Rural Livelihood: Practical Concepts for the 21st Century, berikut ini:

(8)

Suatu Livelihood terdiri dari kapabilitas, aset-aset (barang-barang, sumber-sumber penghidupan, hak-hak dan akses-akses) dan aktivitas-aktivitas yang bermakna bagi kehidupan; suatu Livelihood

disebut berkelanjutan jika dapat menangkal dan memulihkan tekanan serta goncangan, memelihara atau meningkatkan kapabilitas dan aset-aset serta menyediakan peluang-peluang Livelihood secara berkelan-jutan bagi generasi yang akan datang; dan dapat berkontribusi dengan berjejaring pada Livelihood lainnya di tingkat lokal dan global dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Senada dengan pemikiran di atas, Lasse Krantz (2001) dalam tulisan berjudul The Sustainable Livelihood Approach to Proverty Reduction An Introduction, menyatakan definisi tentang Livelihood

pada umumnya disepakati penggunaannya oleh para ahli berkaitan dengan kehidupan rumah tangga (household), sebagaimana dijelaskan Chambers dan Conway. Hal yang sama juga berlaku terhadap pandangan tentang kesejahteraan dan akses baik pada tataran individu di dalam rumah tangga, maupun secara lebih luas pada tataran keluarga besar (extended family), kelompok sosial, dan komunitas.

Selanjutnya dikatakan baik oleh Chambers dan Conway maupun Krantz, jenis-jenis komponen Livelihood bersifat kompleks.

Livelihood bisa meliputi, aset dan akses. Pertama, aset-aset. Yang dimaksud dengan aset-aset adalah sesuatu yang digunakan orang dalam hidupnya, meliputi aset yang kelihatan (tangible) dan yang tak kelihatan (intangible). Aset-aset yang kelihatan seperti bahan makanan, emas, perhiasan dan uang. Aset juga bisa berupa sumber daya alam seperti, tanah, air, pohon-pohon, ternak, kebun dan berbagai peralatan. Di samping itu juga ada aset-aset yang tidak kelihatan seperti cita-cita dan dukungan moral untuk melakukan sesuatu. Kedua, akses. Akses merupakan peluang yang ada dalam hidup untuk mendapatkan sesuatu seperti sumber daya alam, tempat berbelanja, atau akses untuk mendapatkan pelayanan atau informasi, barang-barang, teknologi, pekerjaan, makanan atau pendapatan. Oleh sebab itu menurut Chambers dan Conway perlu diperhatikan kapasitas internal

(9)

tekanan dari luar, sehinga dapat mengatasi tekanan dan goncangan. Tekanan (streses) di sini diartikan sebagai ancaman yang berkelanjutan secara tipikal dan kumulatif. Tekanan yang berkelanjutan berpengaruh menimbulkan goncangan atau shock. Keadaan tersebut secara tipikal tersembunyi, tidak dapat diramalkan dan bersifat traumatik, seperti ketika berhadapan dengan kebakaran, banjir, dan situasi epidemik tertentu.

Selanjutnya menurut Krantz, sejumlah penulis ketika mendefinisikan Livelihood Sustainability menempatkan di dalamnya aspek makna untuk menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai kapabilitas untuk menjauhi atau menghindarkan diri, termasuk kebiasaan bertahan dan kemampuan memulihkan diri dari tekanan dan goncangan yang dihadapi. Oleh karena itu menurut Krantz, tulisan Chambers dan Conway mempunyai arti yang penting karena menjelaskan konsep Sustainable Livelihood, yang kemudian dapat dikembangkan. Selain pembahasan Chambers dan Conway serta Krantz mengenai Sustainable Livelihood, akan dijelaskan pula catatan lain yang serupa menurut Institute for Development Studies (IDS) dan

Departement for International Development (DFID) seperti yang terdapat dalam catatan Krantz dan Scoone (1998).

Menurut Krantz, definisi Sustainable Livilihood yang dimodifikasi oleh Institute for Development Studies (IDS) dari Universitas Sussex, Brington, United Kingdom (UK), sebagaimana dilaporkan Ian Scoones, adalah sebagai berikut:

A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks, maintain or enhance its capabilities and assets, while not undermining the natural resource base.

(10)

goncangan, memelihara atau meningkatkan kapabilitas serta aset-aset, namun tidak mengurangi sumber-sumber daya alam yang pokok]

Jadi menurut IDS, seperti yang dicatat Scoones, Livelihood

dilihat berisikan aspek-aspek yang mengandung kapabilitas dan aset yang terdiri dari sumber daya material maupun sumber daya sosial. Dengan demikian Sustainable Livelihood dipahami sebagai kekuatan yang dapat menguasai dan memulihkan tekanan dan goncangan, memelihara atau mempertinggi kapabilitas dan aset-aset, tanpa mengurangi sumber daya alam yang pokok. Menurut Krantz perbedaan pokok antara definisi IDS dengan rumusan awal yang dielaborasi oleh Chambers dan Conway tidak memasukkan aspek rekrutmen atau

pengembangan Livelihood agar sungguh-sungguh menjadi

berkelanjutan sebagai kontribusi yang bermanfaat dari hubungan antar-livelihood. Dikatakannya, walaupun definisi Livelihood versi IDS kurang mengandung banyak persyaratan tetapi rupanya lebih realistik.

(11)

social capital1. Menurut Scoones sebagaimana dijelaskan Krantz,

menarik untuk menggunakan secara terpadu jenis-jenis aset yang berbeda sebagai modal masyarakat mengembangkan hidupnya. Oleh karena itu perlu mengindentifikasi jenis-jenis Livelihood Resources

sebagai modal atau kapital untuk mengembangkan strategi Livelihood

melalui langkah-langkah proses analisis. Kedua, berkenaan dengan strategi Livelihood dikatakan, masyarakat sendiri harus menjadi subyek analisis dan konsisten memadukan aktivitas-aktivitas yang oleh Scoone disebut “Livelihood Portofolio”. Suatu portofolio boleh jadi

merupakan spesialisasi dan berpusat pada satu atau beberapa aktivitas, yang barangkali berbeda, dengan demikian dapat diuraikan faktor-faktor penting di samping suatu strategi terpadu.

Selain itu, perbedaan “livelihood pathways” (peluang-peluang kecil livelihood) bisa diusahakan melampaui waktu dan di antara masa yang lebih panjang, antargenerasi, dan akan bergantung pada jenis-jenis pilihan, langkah di mana rumah tangga berada dalam lingkaran domestik atau secara lebih fundamental ada dalam perubahan secara lokal karena kondisi eksternal. Untuk menganalisis secara terpadu

Livelihood masyarakat dapat digunakan pendekatan sejarah. Akhirnya, dikatakan frekuensi strategi Livelihood sangat berbeda antara individu-individu dan rumah tangga bergantung pada perbedaan aset yang dimiliki, tingkat pendapatan, gender, usia, golongan, status sosial dan politik. Suatu pendekatan analisis sosial yang berbeda diperlukan bagi strategi Livelihood. Untuk memahami kompleksitas dan proses-proses pembedaan melalui mana Livelihood

dikonstruksikan, menurut Scoones tidak cukup menganalisis

(12)

aspek sumber daya Livelihood dan strategi yang berbeda sebagai elemen-elemen yang terpisah. Salah satu hal yang harus juga dianalisis bersama-sama ialah proses institusional dan struktur organisasi yang berhubungan dengan berbagai unsur yang ada. Ketiga, secara khusus penting adanya investigasi tentang subyek dalam konteksnya. Scoones menunjukkan bahwa institusi-institusi yang didefinisikan sebagai aturan-aturan praktis atau ketentuan-ketentuan perilaku terstruktur oleh aturan dan norma-norma masyarakat yang mana digunakan secara terus-menerus dan meluas. Institusi-institusi boleh jadi bersifat formal atau informal, bersifat tidak stabil dan ambigu serta menginspirasi suatu frekuensi kekuatan. Dengan begitu institusi-institusi, langsung atau tidak langsung menjadi penghubung ke akses sumber-sumber daya

Livelihood yang mana pada gilirannya berdampak pada pilihan strategi

Livelihood dan bagi ruang lingkup Livelihood berkelanjutan. Karena itu yang mau diggarisbawahi di sini terkait dengan insititusi ialah institusi diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial dan dinamika kekuatan yang tersembunyi, sebagai sesuatu yang vital.

Menurut Krantz, secara teoritis memungkinkan untuk menganalisis dimensi-dimensi dan elemen-elemen Sustainable Livelihood yang bervariasi. Namun lebih sulit menentukan mana faktor-faktor penting dalam situasi riil, sebab masing-masing mempunyai situasi unik dan karena itu dibutuhkan analisis konteks yang khusus. Sebab apa yang ditetapkan sebagai sesuatu yang penting dan memuaskan atau tidak memadai sebagai Livelihood bersifat subyektif. Oleh karena itu secara esensial analisis Sustainable Livelihood melibatkan orang setempat dengan pengetahuan, persepsi dan interes mereka sebagai suatu kekuatan. Ini merupakan suatu praktek yang menghargai orang setempat sebagai analis utama yang menggunakan konsep-konsep mereka sendiri. Sesudah melihat pemahaman yang terintegrasi mengenai Sustainable Livelihood baik yang diusulkan oleh WCED yang dicacat Chambers dan Conway, Krantz dan Scoone, berisikan konsep-konsep capabilities, equity dan

(13)

Faktor-faktor yang Menentukan

Livelihood

Ada sejumlah hal yang merupakan faktor penentu keber-langsungan Livelihood. Faktor-faktor dimaksud akan dilihat dari beberapa sudut pandang yang diangkat oleh beberapa pemikir

Livelihood. Pertama, Chambers dan Conway (1991), berbicara mengenai pengaruh kebiasaan-kebiasaan masyarakat seperti pengalaman di India, termasuk kemungkinan memanfaatkan peluang perubahan yang ada, seperti pendidikan dan migrasi. Kedua, catatan Krantz (2001), juga merupakan masukkan penting yang melihat kekuatan dan kelemahan Sustainable Livelihood, sekaligus menawarkan sejumlah pendekatan untuk mengurangi kemiskinan pedesaan. Ketiga, Saragih dkk.,(2007), dengan pengalaman di Aceh dan Nias menawarkan pendekatan pengelolaan (manajemen)

Sustainable Livelihood dengan memperhatikan faktor-faktor penentu keberhasilan Livelihood, yakni bersifat people-centered, holistik, dinamis, memperhatikan hubungan aspek makro dan mikro, keberlanjutan. Dengan demikian akan terjadi keberlanjutan lingkungan (ekologi), ekonomi, sosial dan kelembagaan. Keempat, tawaran berbagai strategi Sustainable Livelihood. Cambers dan Conway (1991), Butler & Mazur (2007), menawarkan strategi pengembangan

Livelihood melalui diversifikasi Livelihood berdasarkan pengalaman masyarakat pedesaan di Uganda. Selain Butler dan Mazur, Ian Scoones (2009), menawarkan tiga macam strategi pengembangan Sustainable Livelihood yaitu, intensifikasi dan ekstensifikasi, diversifikasi dan migrasi. Strategi lain juga dari Nigeria Tengah dikemukakan oleh Morse, Mc Namara dan Acholo (2009) yakni, melakukan intervensi pendekatan Sustainable Livelihood (SLA) terhadap penduduk di desa melalui usaha kredit mikro.

(14)

pencuci pakaian. Artinya secara sosial peranan laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu aktivitas

Livelihood sebagaimana digambarkan sebelumnya. Dua, bila bukan merupakan suatu kebiasaan, seseorang tentu lahir, berada dan menyatu di dalam suatu Livelihood sebagai bagian dari keluarga atau masyarakat di mana ia berada. Misalnya, seorang anak merupakan bagian dari keluarga yang sudah mempunyai lahan dan peralatan-peralatan rumah tangga untuk berusaha, atau sebagai seorang gembala dengan ternak-ternak, sebagai seorang pengembara di tengah hutan atau sebagai seorang nelayan dengan perahu dan alat penangkap ikan atau sebagai seorang pengusaha dengan barang-barang yang dimiliki. Dengan kata lain seseorang dapat pula berada dalam situasi Livelihood yang sudah disediakan keluarga sebagai kekayaan yang dinikmati oleh generasi berikut dari keluarga tersebut. Tiga, dalam kenyataan juga terjadi bahwa setiap orang boleh berubah, menciptakan sesuatu yang baru atau tetap melakukan pekerjaan yang sama dan seseorang sebagai pribadi atau keluarga boleh juga memilih Livelihood lain khususnya melalui pendidikan dan migrasi. Karena melalui pendidikan dan migrasi, terbuka kemungkian bagi seseorang untuk memilih dan bertumbuh secara ekonomi dengan lebih baik. Menurut keduanya, di masa depan perubahan berlangsung cepat, maka dibutuhkan suatu kapabilitas yang adaptif untuk mengeksploitasi peluang-peluang baru yang dibutuhkan dan lebih merata. Jadi dapat dikatakan di sini

Livelihood amat ditentukan oleh kebiasaan dalam keluarga dan masyarakat, dampak sosialisasi, pengaruh pendidikan serta kemampuan adaptif seseorang memilih suatu pekerjaan dan mengembangkannya dalam hidup sehingga dapat hidup secara lebih baik.

(15)

seperti, sumber daya alam, maupun juga sumber daya sosial. Sumber daya tersebut merupakan unsur-unsur yang penting bagi orang miskin yang terlibat menilai keadaan kemiskinannya karena kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks. Selain itu pendekatan

Sustainable Livelihood mampu memfasilitasi pemahaman yang terfokus pada masalah kemiskinan yang rumit di tataran yang berbeda-beda, langsung atau tidak langsung, menentukan dan mendesak orang miskin memperoleh akses sumber daya alam atau aset-aset yang beragam berkaitan dengan Livelihood mereka. Kemendesakan seperti itu bisa muncul dari institusi formal dan informal serta faktor-faktor lain pada tingkat lokal atau boleh jadi merupakan hasil dari kebijakan yang mengesampingkan proses ekonomi pada tataran makro. Tinjauan mikro-makro yang dibangun dalam pendekatan Sustainable Livelihood merupakan kemungkinan untuk mengarahkan lebih banyak intervensi-intervensi strategis. Dengan berfokus pada cara di mana masyarakat bisa membangun strategi Livelihood, mereka diharapkan mampu dan berhasil menanggapi secara khusus “konteks kerentanan”, karena pendekatan Sustainable Livelihood memungkinkan orang yang paling miskin melihat bagaimana orang miskin aktif membuat keputusan-keputusan dan tidak sekedar pasif saja, dalam penentuan

Livelihood mereka sendiri. Hal ini penting bagi orang miskin untuk merencanakan aktivitas pendukung membangun diri. Juga dalam perspektif Livelihood yang lebih dinamis, strategi-strategi oramg miskin sebagai penguatan masyarakat dalam merespon secara personal keadaan eksternal, sewaktu-waktu dapat berubah. Pendekatan

Sustainable Livelihood memfasilitasi terbentuknya satu pemahaman yang mempunyai keterkaitan antara strategi-strategi Livelihood

(16)

dalam Sustainable Livelihood tersedia kerangka kerja lebih realistik bagi penilaian langsung dan tidak langsung terkait dengan efek-efek kondisi kehidupan masyarakat.

Dua, kelemahan pendekatan Sustainable Livelihood. Krantz menyebutkan kelemahan pendekatan ini terletak pada metodologi dan praktek untuk menentukan, misalnya siapa orang miskin. Beberapa pendekatan seperti pendekatan geografis untuk mengetahui di mana orang miskin berada, yang dalam kenyataan hidup menyebar, tidak membentuk suatu komunitas sosial yang homogen, bagaimana menentukan garis kemiskinan dan rangking kekayaan berdasarkan tingkat pendapatan dan konsumsi. Dikatakan penentuan garis kemiskinan dan rangking kekayaan, merupakan usaha yang sulit dan mahal serta pengklasifikasian tersebut hanya akan menghasilkan gambaran kemiskinan yang relatif. Menurutnya yang mendasar dilakukan ialah memahami terlebih dahulu situasi ekonomi, sosial, budaya dan institusional setempat sebelum menentukan identitas, karakteristik orang miskin yang hidup tanpa natural capital, economic capital, human capital dan social capital sebagai aset yang menghidupinya. Karena tanpa memahami situasi riil masyarakat, sulit mengenal karakteristik orang miskin. Oleh sebab itu tersingkirnya

Sustainable Livelihood sesungguhnya menandai terjadinya peremehan identitas lokal yang dimiliki masyarakat.

(17)

relevansi antara gagasan Sustainable Livelihood dengan praktik di lapangan dan di tingkat kebijakan. Karena hubungan makro-mikro menjadi ruang bagi analisis Sustainable Livelihood untuk melihat bagaimana kebijakan, lembaga dan berbagai lapisan organisasi

pemerintah dan non-pemerintah mempengaruhi kehidupan

masyarakat dan sejauh mana masyarakat itu sendiri mempengaruhi struktur-struktur dan proses-proses analisis.

Faktor keempat, strategi Livelihood. Chambers dan Conway menyuguhkan strategi Sustainable Livelihood yang lebih bevariasi,

yaitu strategi penghematan, pengumpulan, perlindungan,

pengosongan, keragaman usaha, memperjuangkan hak-hak dan menggerakkan usaha. Kemudian, Scoones (1998) menawarkan suatu strategi pengembangan Sustainable Livelihood yang berbeda. Menurutnya, ada tiga macam strategi yang dapat dikembangkan yaitu, satu, agricultural intensification/extensification (melalui dukungan input eksternal dan policy) dan adanya tenaga kerja yang mandiri; dua,

livelihood diversification (merupakan reinvestasi melalui aktivitas-aktivitas yang bersifat akumulatif, sekaligus juga sebagai suatu mekanisme menangani tekanan dan goncangan kelompok); tiga,

migration (ada perbedaan antara sebab-sebab migrasi (seperti gerakan-gerakan yang sukarela dan yang bukan) serta akibat-akibat migrasi (seperti, reinvestasi di bidang pertanian, usaha-usaha keluarga atau tempat-tempat migrasi) serta pola-pola gerakan (yang berasal dari tempat-tempat yang berbeda). Setelah melihat strategi yang ditawarkan Scoones, berikut akan dibahas secara singkat pengalaman Bultler dan Mazur di pedesaan Uganda.

(18)

HIV/AIDS. Maka untuk merangsang dan mendorong inovasi melalui teknologi pertanian yang produktif, bentuk-bentuk organisasi sosial dan pasar-pasar orang miskin merupakan elemen pokok dalam mempromosi Livelihood pedesaan berkelanjutan. Butler dan Mazur juga menyatakan, konsep-konsep Sustainbale Livelihood telah diuji maknanya untuk memahami situasi pembangunan pedesaan Afrika kontemporer secara lebih baik. Keduanya melakukan identifikasi prinsip-prinsip dan berproses secara kritis untuk mencapai Sustainble Livelihood secara kolaboratif, termasuk berdiskusi tentang hubungan-hubungan yang kompleks dalam relasi yang seimbang untuk keberhasilan program-program dasar komunitas pedesaan. Dalam kaitan dengan usaha tersebut nilai-nilai dari perspektif ilmu pengetahuan sosial diangkat sebagai proses penguatan pembangunan desa dalam kerangka pembangunan daerah.

Unsur-unsur

Livelihood

Chambers dan Conway menyatakan, dalam pengertian yang sederhana Livelihood mengandung makna sebagai suatu realitas yang kompleks dan terstruktur menjamin kehidupan seseorang atau sekelompok orang.

Dari sisi definisi, Livelihood dapat dibedakan dalam dua kelompok. Pertama, pada tataran yang terbatas dan umumnya dikenal adalah rumah tangga. Secara deskriptif rumah tangga diartikan sebagai kelompok manusia yang hidup bersama saling berbagi perhatian dan apa yang dibutuhkan dalam hidup. Selain itu biasanya ada juga penghargaan di tingkat individu atau antaranggota rumah tangga, terkait dengan kesejahteraan dan akses-akses anggota rumah tangga khususnya perempuan dan anak yang boleh jadi diabaikan oleh kaum laki-laki. Karena itu Livelihood di sini dilihat sebagai Livelihood

rumah tangga. Kedua, pada tataran yang lebih luas terdapat keluarga besar (extended family), kelompok sosial dan komuniti. Di sini

(19)

menggunakan rumah tangga sebagai unit analisis. Keduanya menetapkan empat unsur pokok Livelihood rumah tangga yaitu: satu, orang yang mempunyai kapabilitas Livelihood tertentu; dua, ada aktivitas-aktivitas yang dilakukan; tiga, ada aset-aset berupa barang-barang yang kelihatan (sumber daya hidup dan barang-barang-barang-barang lain) secara material dan yang non-material (hak-hak dan akses-akses) yang bermakna sosial; empat, ada keuntungan atau hasil, terkait dengan sesuatu yang dikerjakan. Berikut ini disajikan sebuah gambar berisikan empat unsur pokok Livelihood rumah tangga yang disebut Chambers dan Conway.

Sumber: Diolah dari Chambers dan Conway (1991), Dp296.pdf diunduh, 12 Februari 2016)

Gambar 2.1 Empat Kategori Pokok Livelihoods Rumah Tangga Pengkategorian tersebut meliputi unsur manusia yang mempunyai kapabilitas, aset-aset, aktivitas-aktivitas, dan hasil yang diperoleh rumah tangga. Dikatakan oleh Chambers dan Conway, yang terpenting dalam Livelihood adalah komponen-komponen pokok berupa, kapabilitas Livelihood (livelihood capabilities), hak-hak dan akses (claims and acces) serta barang-barang dan sumber-sumber penghidupan (strores and resources) serta keterjalinan antara

Rumahtangga Kapabilitas

Aset-aset

Aktivitas-aktivitas Hasil yang

(20)

komponen tersebut. Berikut ini dibuat gambar komponen-komponen yang penting dalam Livelihood.

People

Tangible Assets Intangible Assets

Sumber: Chambers and Conway (1991), Dp296.pdf (diunduh, 12 Februari 2016)

Gambar 2.2 Komponen-komponen Utama Livelihood

Chambers dan Conway menyatakan ada tiga komponen utama

Livelihood sebagaimana digambarkan di atas. Pertama, stores dan

resources; kedua, livelihood capabilities; ketiga, claims dan assets. Komponen-komponen tersebut dikatakan penting karena komponen-komponen tersebut merupakan inti dari sebuah kehidupan dan yang saling berhubungan serta mempengaruhi satu sama lain. Komponen-komponen utama Livelihood yang dirumuskan Chambers dan Conway di atas, diadopsi pula oleh United Nations Development Programme

(UNDP) sebagai suatu pendekatan dalam rangka mempromosikan

Sustainable Livelihood, sebagaimana dijelaskan Krantz (2001). Berikut penjelasan secara singkat isi dari ketiga komponen tersebut di atas.

Barang-barang dan Sumber-sumber Livelihood (Stores dan Resources)

Komponen ini terdiri dari barang-barang untuk usaha dan aset-aset nyata yang dimiliki oleh sebuah rumah tangga.Yang termasuk barang-barang untuk usaha adalah bahan konsumsi, barang benilai seperti emas, perhiasaan, kain tenunan, uang tabungan. Sedangkan sumber-sumber penghidupan meliputi, tanah, air, pohon-pohon,

Livelihood Capabilities

A Living

Strores and Resources

(21)

persediaan bahan makanan, peralatan rumah dan kebun, perkakas, perabot rumah tangga. Jadi barang-barang yang dimiliki sebagai sumber-sumber penghidupan seperti yang disebutkan di atas merupakan aset-aset rumah tangga. Selanjutnya akan dijelaskan apa itu

claims dan access serta apa saja yang tergolong ke dalam kedua unsur tersebut.

Hak-hak dan Akses-akses (Claims and Access)

Menurut Chambers dan Conway, komponen-komponen claims

dan acces juga merupakan aset-aset rumah tangga yang tidak kelihatan. Yang dimaksud dengan claims di sini adalah pemenuhan hak-hak secara material dan moral yang mendukung seseorang atau sekelompok orang memperoleh akses-akses hidup. Untuk memenuhi hak-hak dalam Livelihood terdapat berbagai bentuk dukungan berupa makanan, peralatan, pinjaman-pinjaman, hadiah-hadiah atau pekerjaan. Tuntutan terhadap hak-hak sewaktu-waktu dapat menimbulkan tekanan dan keterkejutan atau goncangan, namun memungkinkan pihak lain baik secara individual, maupun sebagai lembaga seperti,

Non Government Organization (NGO) atau pemerintah,

memprogramkan bantuan misalnya, program pengurangan

kemiskinan. Hal-hal tersebut merupakan contoh dari perpaduan antara kesepakatan sosial, hak-hak, kewajiban moral dan kekuasaan.

Berkaitan dengan program pengurangan kemiskinan, Krantz dalam tulisannya di bagian The Sustainability Livelihoods Approach to Poverty menyatakan, ada tiga faktor yang dilihat dalam pendekatan

(22)

termasuk adanya perasaan tidak berdaya dan sebagainya; ketiga, adanya penghargaan bahwa orang miskin sendiri mengetahui situasi dan kebutuhannya lebih baik dan termasuk merancang kebijakan dan proyek yang lebih baik bagi dirinya.

Sedangkan akses, merupakan peluang-peluang dalam hidup yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumber daya kehidupan, barang-barang yang tersedia untuk pelayanan masyarakat yang menghasilkan informasi, materi, teknologi, pekerjaan, makanan atau pendapatan. Unsur pelayanan di sini meliputi bidang transportasi, pendidikan, kesehatan, pertokoan dan pasar bagi masyarakat. Aspek informasi merupakan perluasan pelayanan melalui radio, televisi dan surat kabar. Sedangkan teknologi merupakan pengembangan di bidang teknik, termasuk temuan hal-hal baru. Kemudian, pekerjaan dan usaha-usaha lain, merupakan hak-hak dan sumber daya kehidupan milik bersama suatu masyarakat atau sebagai suatu negara. Berkaitan dengan aset-aset yang kelihatan dan tak kelihatan, masyarakat dapat memanfaatkannya untuk merancang dan membangun kehidupan, melalui kerja fisik, keterampilan, pengembangan pengetahuan dan kreativitas. Keterampilan dan pengetahuan bisa didapatkan dalam pelayanan rumah tangga dari generasi ke generasi seperti pengetahuan teknik penduduk asli atau pribumi, atau pun melalui magang, pendidikan formal atau melalui eksperimen dan inovasi.

(23)

dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan latihan serta magang-magang. Bahkan menurutnya kapablitas dapat dikembangkan lebih luas dengan memilih situasi dan peluang penguatan kembali nilai-nilai budaya dan moral yang mulai tak berdaya dan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan pengalaman. Setelah mengulas pemikiran Chambers dan Conway tentang Livelihood dan sejumlah aspek yang diuraikan di dalam pokok tersebut, berikut ingin dijelaskan secara singkat pemikiran keduanya mengenai Sustainability Livelihood.

Sustainability

Pokok Sustainability merupakan bagian ketiga dari seluruh pembahasan Chambers dan Conway berkaitan dengan Livelihood. Pokok ini akan ditinjau dalam dua bagian, yaitu pertama, tinjauan yang berkaitan dengan environmental sustainability dan kedua, penjelasan tentang social sustainability. Chambers dan Conway menjelaskan bahwa environmental sustainability mempunyai konsern pada pengaruh external terhadap Livelihood sedangkan pembahasan tentang

social sustainability berfokus pada kapasitas internal livelihood.

Environmental Sustainability

Menurut Chambers dan Conway, secara konvensional pemikir-pemikir atau ahli-ahli pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada umumnya menyamakan sustainability atau berkelanjutan dengan persoalan pemeliharaan dan peningkatan sumber daya kehidupan produktif yang pokok, khususnya bagi generasi masa depan. Namun dikatakan oleh keduanya, ada dua hal yang perlu dibedakan. Pertama, kepentingan di tingkat lokal. Di sini muncul pertanyaan, aktivitas Livelihood mana yang perlu dipelihara dan dikembangkan atau sumber daya alam lokal mana yang berkurang dan atau telah habis? Karena secara negatif, aktivitas Livelihood dapat berkontribusi terhadap desertifikasi, deforestasi, erosi kesuburan tanah, pengurangan air, salinisasi dan lain-lain. Secara positif, aktivitas

(24)

pepohonan secara organik2. Kedua, kepentingan pada aras global.

Pertanyaan dari sisi lingkungan ialah, apakah aktivitas lingkungan berkontribusi positif atau negatif terhadap Livelihood dalam jangka panjang secara berkelanjutan. Menurut Chambers dan Conway, pertanyaan ini muncul karena hingga saat ini kita sulit mengubah dan membantah isu-isu seperti polusi, gas rumah kaca dan pemanasan global serta lapisan ozon menipis. Hal ini disebabkan karena penggunaan sumber daya alam yang tersedia dan tidak terbarukan serta penggunaan bahan-bahan karbon dioksida oleh manusia telah menimbulkan polusi dan krisis berkepanjangan. Jadi menurut keduanya pemikiran Sustainability berfokus pada aset-aset yang

kelihatan, namun juga hendaknya memperhatikan perihal

pemeliharaan dan pengembangan aset-aset yang tidak kelihatan karena pemanfaatan lingkungan pada umumnya berdampak negatif, tidak berkelanjutan, mengabaikan hak-hak dan akses-akses masyarakat. Pengabaian terhadap hak-hak dan akses-akses masyarakat antara lain dilakukan melalui produk hukum, kekuasaan atau birokrasi. Pada tingkat global, tantangan Livelihood terjadi melalui perdagangan dan kesepakatan internasional yang mereduksi hak-hak dan akses-akses lokal serta kepemilikan bersama di pasar global. Menurut Davies dan Lech (1991) sebagaimana dicatat Chambers dan Conway, keterjalinan kepentingan antara dunia global dan lokal memang penting tetapi mudah diabaikan. Berdasarkan latar belakang pandangan Davies dan Lech, Chambers dan Conway memberikan perhatian yang lebih besar pada persoalan Livelihood di tingkat lokal pada negara-negara Selatan3

(25)

karena mereka yang miskin, dari sisi Livelihood tidak berkelanjutan secara global berada di Selatan. Sedangkan sebagian besar lingkungan

Livelihood berkelanjutan di Utara adalah negara-negara kaya. Secara lokal, tantangan pokok adalah meningkatkan intensitas penggunaan sumber-sumber penghidupan secara berkelanjutan, khususnya di wilayah pedesaan di Selatan. Sedangkan secara global tantangan utama ialah mengurangi ketidakberlanjutan Livelihood, khususnya di wilayah perkotaan di Utara.

Dalam perspektif ekologi-ekonomi, misalnya, persoalan dampak lingkungan seperti disebutkan di atas baik secara ekonomi maupun dari sisi lingkungan hidup tidak sejalan dengan pendapat Common Michael dan Stagl Sigrid (2005,8-13). Common dan Stagl menyatakan, aspek sustainability dan sustainable development sangat penting karena alasan berikut ini:

Sustainability is maintaining the capacity of joint economy-environment system to continue to satisfy the needs and desire of humans for a long time into the future.

Dengan kata lain Common dan Stagl mau menyatakan bahwa

sustainability dimaknai sebagai pemeliharaan kapabilitas manusia berkaitan dengan sistem ekonomi dan lingkungan untuk melanjutkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan serta keinginan manusia jangka panjang. Implikasi pernyataan ini berkaitan dengan kepentingan

kawasan yang lebih miskin dan terbelakang. 95% penduduk Utara memiliki pangan dan tempat tinggal yang layak, juga memiliki sistem pendidikan yang berfungsi dengan baik. Sebaliknya, hanya 5% penduduk Selatan yang memiliki pangan dan tempat tinggal yang layak, tidak memiliki teknologi yang diperlukan, tak ada kestabilan politik, ekonominya berantakan, dan pendapatan valuta asingnya bergantung pada ekspor produk primer”. Utara, dihuni oleh ¼ penduduk dunia, menguasai 4/5 pendapatan dunia. 90% industri manufaktur dimiliki oleh dan terletak di Utara. Sebaliknya, Selatan, yang dihuni ¾ penduduk dunia menguasai 1/5 pendapatan dunia. Kawasan Selatan menjadi sumber bahan mentah ketika Utara "membangun pemerintahan kolonial di sebagian besar kawasan Selatan untuk menguasai pusat-pusat

(26)

seluruh manusia baik orang miskin maupun orang kaya. Jadi menurut hemat penulis pemikiran Davies dan Lech serta Chambers dan Conway sebenarnya sejalan dengan pandangan Commnon dan Stagl tentang lingkungan, kehidupan ekonomi dan hidup manusia sebagai suatu sistem yang berkelanjutan dan saling mempengaruhi. Setelah membahas lingkungan berkelanjutan berkaitan dengan Livelihood, selanjutnya pembahasan diarahkan pada pokok social sustainability.

Social Sustainability

Dalam perspektif Livelihood yang berkelanjutan, lingkungan yang berkelanjutan tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial berkelanjutan. Kehidupan sosial berkelanjutan merujuk pada manusia (individual, rumah tangga atau keluarga) bukan hanya pada aspek jumlah yang terus bertambah tetapi juga dapat mengembangkan

Livelihood secara pantas dan memadai.

Menurut Chambers dan Conway ada dua dimensi pokok social sustainability, yakni yang bersifat positif dan negatif. Dimensi negatif kehidupan sosial berkelanjutan bersifat reaktif, sebagai penangkal tekanan dan goncangan; sedangkan dimensi positif bersifat proaktif, yakni untuk meningkatkan kapabilitas dan kebiasaan menciptakan perubahan yang menjamin kesinambungan. Dengan demikian dapat dikatakan kehidupan sosial berkelanjutan mempunyai beberapa peranan penting yaitu, dapat menjadi penangkal tekanan dan goncangan; mengandung kapabilitas Livelihood yang dinamis, berkelanjutan dan terintegrasi. Berikut dibuat sekilas penjelasan tentang ketiga peranan tersebut. Pertama, social sustainability sebagai penangkal (coping) tekanan dan keterkejutan atau goncangan.

(27)

mendesak, secara tipikal berkesinambungan dan kumulatif, tidak dapat diprediksi dan menyusahkan. Sedangkan goncangan (shock) merupakan pengaruh-pengaruh yang tidak dapat diprediksi, traumatik seperti kebakaran, banjir dan wabah penyakit. Kedua, kapabilitas

Livelihood yang dinamis. Menurut Chambers dan Conway, social sustainability of livelihood juga bergantung pada hal-hal yang positif dan dinamika kompetensi, kemampuan untuk merasa, memprediksi, menyesuaikan dan mengubah eksploitasi lingkungan alam, sosial dan ekonomi secara berkelanjutan sebagaimana diungkapkan dalam karya dan tulisan Ronald Bunch (1985, 1988, 1989). Dengan pendekatan ini, petani kecil dimungkinkan untuk meningkatkan pengalaman pribadi mereka, untuk melakukan pengembangan diri, dan berorganisasi untuk mengatur dan mengembangkan hubungan ekonomi lebih luas. Pengalaman inovasi dan adaptasi mempunyai berkontribusi pada dinamika kapabilitas. Melalui kapabilitas yang dinamis Livelihood

keluarga petani dapat menjadi lebih Sustainable dalam kondisi yang meragukan dan di mana terjadi perubahan pada pasar dan fluktuasi harga serta di mana peluang-peluang lama menyusut dan yang baru berkembang. Ketiga, Sustainability yang terintegrasi. Sebelum berbicara mengenai Sustainability yang terintegrasi perlu digaris-bawahi bahwa di dalam Livelihood sosial berkelanjutan, terdapat aspek pemeliharaan dan pengembangan kapabilitas untuk generasi yang akan datang. Dengan demikian dapat dikatakan Sustainability yang terintegrasi bersifat langsung dan tidak langsung. Sustainability yang terintegrasi dan bersifat langsung berkaitan dengan pewarisan aset-aset seperti, tanah, pabrik-pabrik yang dijalankan, termasuk memper-siapkan generasi masa depan yang terampil. Keterampilan-keterampilan dan pengetahuan, berisikan hal-hal yang dialihkan dari orangtua kepada anak-anak melalui proses belajar dalam keluarga. Sedangkan bentuk-bentuk yang tidak langsung dari Sustainability yang terintegrasi dilihat dari Sustainability antargenerasi, merupakan usaha mendorong anak-anak untuk bekerja, menemukan atau menciptakan

(28)
(29)

Strategi-strategi

Sustainable Livelihood

Selanjutnya Chambers dan Conway menyebut sejumlah strategi yang dikedepankan oleh beberapa pemikir, dapat digunakan sebagai penangkal (coping) tekanan dan goncangan yang dialami manusia atau rumah tangga-rumah tangga dalam memperjuangkan

Livelihood yang berkelanjutan. Kemudian akan dibahas juga strategi

Sustainable Livelihood yang dikemukakan oleh Ian Scoones, Butler dan Mazur.

Strategi-strategi Sustainable Livelihood yang ditawarkan Chambers dan Conway adalah, pertama, penghematan (stint). Strategi penghematan dilakukan dengan cara mengurangi konsumsi makanan yang berkualitas rendah dan menjadikan diri sendiri sebagai tenaga kerja; kedua, strategi pengumpulan (hoard), maksudnya berusaha melakukan pengumpulkan bahan makanan serta aset-aset lainnya; ketiga, strategi perlindungan (protect), berarti berusaha memelihara dan melindungi aset-aset utama untuk memulihkan dan memantapkan

(30)

Pendekatan

Sustainable Livelihood

terhadap Kemiskinan

4

Pendekatan Sustainable Livelihood terhadap masalah kemiskinan di sini pertama-tama merujuk pada pemikiran Krantz yang mengadopsi gagasan Scoones, termasuk Ferguson dan Muray serta beberapa pemikir lain yang juga berbicara mengenai persoalan

kemiskinan. Pendekatan UNDP, CARE dan DFID untuk

menanggulangi kemiskinan juga akan dibahas pada bagian ini.

Pendekatan Livelihood memposisikan kapabilitas dan aset (seperti, sumber daya alam, hak dan akses) serta aktivitas masyarakat sebagai potensi yang dapat menciptakan suatu kehidupan yang bermakna di tingkat lokal dan mempunyai kontribusi yang menguntungkan secara berkelanjutan terhadap kehidupan generasi berikut, baik jangka pendek maupun jangka panjang di aras lokal dan global. Menurut Krantz pendekatan Livelihood menyodorkan beberapa pertimbangan berkaitan dengan permasalahan kemiskinan: 1) pertumbuhan ekonomi mungkin merupakan sesuatu yang esensial bagi pengurangan kemiskinan tetapi keduanya tidak otomatis saling berkaitan. Menurutnya, hal tersebut bergantung pada kapabilitas orang miskin untuk mengambil manfaat dari peluang ekonomi yang berkembang; 2) kemiskinan tidak hanya diakibatkan oleh pendapatan yang rendah tetapi juga berkaitan dengan dimensi lain seperti kesehatan yang buruk, ketidakmampuan membaca dan menulis, hidup tanpa pelayanan sosial dan sebagainya (Bdk., Moynihan, 1969 dan Sachs, 2005)5; 3) harus diakui bahwa orang miskin lebih memahami

dirinya sendiri, termasuk kebutuhan yang terbaik bagi hidupnya dan oleh sebab itu mereka harus diikutkan merancang suatu kebijakan dan

4Masalah kemiskinan hingga saat ini masih dilihat sebagai masalah yang berkaitan dengan rendahnya pendapatan atau ukuran lain seperti keterbatasan konsumsi. Padahal dalam berbagai studi yang berkembang kemudian melihat kemiskinan lebih menyeluruh berkaitan dengan ketiadaan modal yang seharusnya ada agar seseorang atau sekelompok orang dapat hidup layak.

(31)

program untuk memperbaiki nasibnya. Karena menurut Scoones sebagaimana dikutip Krantz (2001, 8-9), sumber daya Livelihood

mengandung unsur-unsur yang bersifat material, sosial termasuk aset-aset yang kelihatan dan yang tak kelihatan, yang digunakan masyarakat untuk membangun hidupnya. Secara konseptual berbagai sumber daya itu disebut tipe-tipe kapital atau modal. Ada lima jenis kapital yang penting: (1) Natural capital; (2) Financial capital; (3)

Human capital; (4) Social capital; (5) Physical capital. Krantz menyatakan pembedaan jenis-jenis kapital ini diperlukan hanya sebagai langkah-langkah kunci proses analisis situasi tapi dalam kehidupan riil biasanya digunakan secara terpadu untuk membangun suatu kehidupan yang berhasil secara terkoordinasi. Berikut ini akan dibuat sebuah sketsa gambar Livelihood yang berisikan aset-aset atau modal-modal yang ada dalam kehidupan rumah tangga.

Sumber: Diolah dari Lasse Krantz (2001)

Gambar 2.3 Modal-modal (aset) dalam Livelihood

Masing-masing modal tersebut terdiri dari: (a) Human capital: keterampilan, pengetahuan, kesehatan dan kemampuan kerja; (b)

(32)

sumber-sumber keuangan, yaitu tabungan, kredit dan pendapatan dari pekerjaan, perusahaan dan pengiriman uang. Modal-modal tersebut di atas dapat dikatakan mirip dengan modal-modal yang disebut Sachs (2005), yang seharusnya dimiliki dalam diri seseorang atau sekelompok orang agar ia bisa eksis dan mampu membangun hidupnya dengan lebih baik. Modal-modal tersebut terdiri dari: (1) Human capital.

Kesehatan, gizi dan keterampilan, merupakan modal manusia yang harus ada pada masing-masing pribadi agar dapat menjadi produktif; (2) Business capital. Mesin-mesin, berbagai fasilitas, alat transportasi yang diperlukan untuk kegiatan pertanian dan industri serta jasa pelayanan lainnya sebagai modal bisnis; (3) Infrastructure.

Infrakstruktur seperti jalan, listrik, air dan sanitasi, bandara dan pelabuhan laut, sistem telekomunikasi, dibutuhkan karena menjadi pendukung produktivitas bisnis; (4) Natural capital. Modal alam berupa tanah yang subur dan baik untuk ditanami, ketersediaan keanekaragaman hayati, berfungsinya ekosistem yang baik merupakan kebutuhan bagi pelayanan lingkungan yang mendukung kehidupan masyarakat; (5) Public institutional capital. Modal institusi publik berupa hukum dagang, sistem peradilan, institusi pemerintah serta kebijakan pelayanan dan pembagian kerja yang baik dibutuhkan masyarakat untuk menjadi lebih produktif; (6) Knowledge capital. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan modal pengetahuan manusia yang dapat membuat manusia berhasil dan produktif untuk mengembangkan sumber-sumber alam.

Pemikiran yang serupa dengan Krantz juga muncul dari Ferguson dan Muray. Menurut Ferguson dan Muray dalam tulisan The Sustainable Livelihoods Framework (2001), ada tiga dimensi kunci

(33)

context, menurut keduanya ada banyak yang faktor muncul dan mengekalkan kerentanan serta kemiskinan baik pada aras individu dan lingkungannya maupun pada konteks yang lebih luas. Perhatian langsung terhadap faktor-faktor kontekstual dan sistemik mempunyai kontribusi terhadap peristiwa kemiskinan. Perhatian seperti ini merupakan kebutuhan untuk mencari perubahan pada tingkat organisasi, komunitas dan kebijakan, termasuk perkembangan aset-aset individual dan rumah tangga-rumah tangga. Sedangkan yang berkaitan dengan teknik dan intervensi, dikatakan perlu mengidentifikasi dua tipe dasar intervensi yang dapat membantu sehingga komunitas dapat bekerja mengurangi kemiskinan mereka. Intervensi yang praktis adalah memfasilitasi usaha-usaha rumah tangga untuk membangun aset-aset penghidupan mereka. Selain itu, program-program seperti konseling, pendidikan, pelatihan kerja, gerakan ekonomi, program menabung dapat mendukung pengembangan usaha kecil. Strategi ini langsung ditujukan pada konteks setempat yang rentan. Dengan begitu orang miskin dapat bekerja secara terencana untuk mencapai tujuan perubahan sosial dan ekonomi. Metode-metode yang digunakan ialah pengembangan komuniti, perorganisasian, pengembangan aliansi, kebijakan kerja dan advokasi.

Menurut hemat penulis, kedua pendapat tersebut di atas berkaitan dengan pendekatan Sustainable Livelihood sebagai pendekatan pembangunan yang penting. Dikatakan demikian karena perspektif Sustainable Livelihood memosisikan aset-aset masyarakat sebagai capital yang dapat membuat masyarakat tetap eksis dalam memperjuangkan hidup dan sejalan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan. Namun, penulis kurang sependapat dengan sikap Krantz yang menyatakan bahwa kelemahan pendekatan ini dalam proses pengidentifikasian kemiskinan merupakan sesuatu yang mahal, karena alasan kelemahan metodologis ini dapat melanggengkan kemiskinan. Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, pendekatan livelihood yang dikemukakan Ferguson dan Muray terhadap vulnerability context

(34)

Pendekatan

Sustainable Livelihood

Menurut

UNDP, CARE

dan

DFID

Pada bagian berikut ini akan dibahas secara garis besar pendekatan United Nation Development Programme (UNDP),

Campaign for Awarness Resilience and Education (CARE) dan

Departement for International Development (DFID) dalam penanggulangan kemiskinan berdasarkan praktek-praktek yang dilakukan.

Ketika UNDP berbicara mengenai Sustainable Livelihood, dibahas juga gagasan mengenai Sustainable Human Development

(SHD) yang dikemukakan tahun 1995. Sustainable Human

Development meliputi, pengurangan kemiskinan, pekerja dan penghidupan (mata pencaharian) berkelanjutan, jender, perlindungan dan regenerasi pemerintahan dan lingkungan hidup. Jadi menurut UNDP, Sustainbale Livelihood mengandung sebuah konsep sekaligus juga merupakan kerangka kerja program pengurangan kemiskinan secara berkelanjutan.

Secara konseptual “Livelihood” mengandung arti sebagai,

aktivitas, pengakuan hak-hak dan aset-aset yang digunakan masyarakat setempat untuk membangun hidupnya. Aset-aset meliputi aspek alam atau unsur-unsur biologis, sosial, politik, manusia, unsur fisik dan ekonomi. Aspek alam atau biologi seperti, tanah, air, sumber-sumber kepemilikan bersama, flora, fauna; dan aspek-aspek sosial seperti, komunitas, keluarga, jejaring sosial; unsur-unsur politik, meliputi partisipasi, pemberdayaan dan hal-hal yang bersifat sosial; aspek manusia seperti, pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, nutrisi; aspek fisik, seperti jalan, klinik, pasar, sekolah, jembatan; aspek ekonomi seperti, pekerjaan, tabungan, kredit. Livelihood yang menekankan

Sustainable Livelihood mengandung gagasan-gagasan penanggulangan kemiskinan berikut: a. Penanggulangan dan pemulihan kembali dari goncangan (shocks) dan tekanan (stresses) melalui adaptasi dan strategi penanggulangan; b. Pendekatan ekonomi yang efektif. c. Aktivitas

(35)

daya alam sebagai suatu ekosistem. d. Secara sosial Livelihood perlu dipromosikan oleh suatu kelompok untuk memengaruhi dan tidak menutup kemungkinan bagi kelompok lain, sebagai peluang saat ini dan di masa depan.

UNDP menawarkan tahapan-tahapan untuk merancang, menerapkan dan mengevaluasi Sustainable Livelihood. Metode tersebut digunakan melalui langkah-langkah yang diprogramkan dalam tahapan-tahapan berikut: 1) melibatkan laki-laki dan perempuan dalam suatu asesmen dan refleksi berdasarkan pengetahuan sebagai aset setempat; 2) melakukan analisis kebijakan mikro dan makro yang dapat memengaruhi strategi Livelihood; 3) menilai dan menetapkan potensi kontribusi pengetahuan modern dan teknologi sebagai pelengkap sistem pengetahuan lokal untuk memperbaiki Livelihood; 4) mengindentifikasi mekanisme-mekanisme investasi sosial dan ekonomi (seperti microfinance, belanja kesehatan dan pendidikan) untuk mengembangkan strategi Livelihood dan memastikan langkah-langkah yang telah dirancang sebagai suatu proses yang terintegrasi secara lebih konkrit. Selain UNDP, berikut disajikan pendekatan CARE terkait dengan Sustainable Livelihood.

(36)

security dengan tekanan pada pendekatan pengembangan kapasitas dan

tetap aktif membantu agar masyarakat sendiri dapat

mengkonsrtuksikan Livelihood mereka, daripada hanya bersikap pasif menerima bantun-bantuan dari luar. Namun disadari juga oleh CARE bahwa di samping Livelihood masyarakat ada pergeseran-pergeseran sebagai perkembangan dari organisasi secara internal, yaitu: pertama, pergeseran konsern dari food security regional dan nasional ke konsern terhadap food security dan pentingnya nutrisi bagi individu serta rumah tangga; kedua, pergeseran dari perspektif “pengarusutamaan makanan” ke perspektif Livelihood, dengan fokus bukan hanya pada produksi makanan tetapi juga kemampuan rumah tangga dan individu untuk memperoleh tambahan makanan yang sehat secara lebih memadai; ketiga, pergeseran dari perspektif materialis yang berfokus pada produksi makanan ke perspektif sosial yang berfokus pada perbaikan kapabilitas orang-orang untuk mengamankan Livelihood mereka sendiri. Selanjutnya CARE secara operasional melihat dinamika pendekatan Livelihood dan program yang interaktif sebagai suatu proses dapat dilalui dengan langkah-langkah berikut: pertama, mengidentifikasi wilayah potensi geografi dengan menggunakan data sekunder untuk menemukan konsentrasi orang miskin; kedua, mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan dan Livelihood yang terdesak; ketiga, menghimpun data yang dapat dianalisis, membuat catatan kecenderungan-kecenderungan dan mengindentifikasi indikator-indikator yang akan diamati, dan menyeleksi komunitas-komunitas untuk melakukan program intervensi. Fokus intervensi CARE adalah memberi perhatian khusus bagi penguatan kapabilitas orang miskin agar mereka sendiri melindungi hidupnya. Oleh sebab itu CARE menekankan pemberdayaan sebagai dimensi pendekatan yang fundamental pada dua aras, yaitu aras pemberdayaan personal dan aras pemberdayaan sosial. Aras pemberdayaan personal, bertujuan mempertinggi rasa percaya diri dan keterampilan masyarakat sebagai

(37)

Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan cara merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembangunan berdasarkan prioritas pada makna-makna partisipasi yang bersumber pada kebutuhan dengan membangun prinsip dan struktur demokrasi yang representatif. Penjelasan berikut dilanjutkan dengan melihat pendekatan DFID terhadap Sustainable Livelihood.

Menurut Krantz pendekatan Sustainable Livelihood yang dilakukan oleh DFID diadopsi dari sebuah hasil publikasi tahun 1997 oleh UK Government White Paper on International Development. DFID mendefinisikan Sustaianble Livelihood seperti yang dikembangkan oleh IDS dengan modifikasi dan gagasan yang berasal dari Chambers dan Conway, sebagai berikut:

A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks and maintain or enhance its capabilities and assets both now and in the future, while not undermining the natural resource base.

Prinsip-prinsip utama pendekatan DFID terhadap

(38)

lingkungan tingkat mikro serta di tingkat makro yang mendukung orang-orang berproses membangun kemampuan mereka sendiri secara efektif; keempat, bermitra. Hal ini mengandaikan ada hubungan kerja sama kemitraan antara sektor publik dan sektor privat; kelima, berkelanjutan. Maksudnya, aspek keberlanjutan harus nyata pada empat aspek kunci, yaitu ekonomi, institusi, kehidupan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan; dan keenam, bersifat dinamis. Yang dimaksud dengan sifat yang dinamis ialah adanya dukungan luar yang menghargai dinamika strategi Livelihood secara alamiah, dengan tanggapan yang fleksibel untuk mengubah situasi masyarakat dan berkomitmen membangun dalam waktu yang lebih lama. Oleh karena itu DFID beranggapan bahwa pendekatan Sustainable Livelihood harus menjadi tiang penyangga komitmen eradikasi kemiskinan.

Persamaan dan Perbedaan

UNDP, CARE

dan

DFID

Menurut Krantz, sulit membedakan secara tegas pendekatan-pendekatan yang dikemukakan oleh UNDP, CARE dan DFID sehubungan dengan Sustainable Livelihood karena ketiga-tiganya menggunakan Sustainable Livelihood sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan. Ketiga lembaga tersebut mendefinisikan apa itu Sustainable Livelihood secara serupa. Menurut Krantz seharusnya ketiga lembaga itu menjelaskan pandangan konseptual mereka tentang sumber daya Livelihood secara lebih luas. Bukan hanya memasukan aset fisik dan ekonomi tetapi juga aset manusia dan sosial dengan menekankan kebutuhan manusia sebagai pertimbangan untuk mempengaruhi kebijakan dan struktur ekonomi yang menolak

Livelihood orang miskin.

(39)

menggunakan pendekatan Sustainable Livelihood sebagai kerangka dasar bagi analisis daripada sebagai prosedur suatu program. Pendekatan tersebut juga digunakan berkaitan dengan pertimbangan pemanfatan aset-aset dan proyek-proyek sebagai proses yang berkelanjutan untuk membuat mereka lebih sensitif dan tanggap terhadap kondisi dan kebutuhan-kebutuhan orang miskin. Jadi Krantz berpendapat, Sustainable Livelihood merupakan suatu instrumen untuk mempertinggi orientasi bagi orang miskin dengan berbagai jenis aktivitas yang mendukung lembaga-lembaga tersebut, dan bukan semata-mata merupakan proyek-proyek dan program-program. Kedua, perbedaan pada tataran implementasi. Dukungan CARE terhadap

Livelihood rumah tangga yang aman pertama-tama terarah pada tataran komunitas. UNDP dan DFID bekerja pada tataran komunitas tetapi juga memperhatikan kebijakan lingkungan, bentuk-bentuk ekonomi-makro dan legislasi, yang sama penting dengan pengurangan kemiskinan secara efektif. Jadi bagi DFID, analisis Livelihood

masyarakat biasanya terarah pada tataran rumah tangga atau komunitas, walaupun tujuannya bukan saja untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan atau peluang-peluang tetapi agar terjadi perbaikan sistem pelayanan masyarakat pada tataran itu.

Menurut Krantz kesamaan pandangan dalam pendekatan dan implementasi terhadap Sustainable Livelihood penting untuk memahami bagaimana faktor-faktor institusional dan kebijakan-kebijakan, contohnya mengenai Livelihood masyarakat di tingkat lokal, yang seharusnya diangkat pada aras kebijakan yang lebih tinggi. Dikatakannya pula dua aspek lain yang diperhatikan oleh Carney dan lain-lain tetapi tidak didokumentasikan adalah faktor-faktor lingkungan dan wilayah-wilayah khusus. UNDP secara khusus dan DFID secara lebih luas memasukkan kriteria lingkungan dalam definisi

(40)

untuk memperbaiki Livelihood masyarakat. Sesudah melihat persamaan dan perbedaan di antara UNDP, CARE dan DFID, Krantz menyatakan pendekatan Sustainable Livelihood mempunyai beberapa kekuatan dan kelemahan.

Menurut hemat penulis, secara sosiologis komponen-komponen Livelihood yang berisikan berbagai kapital atau modal sebagaimana disebutkan Chambers dan Conway, Krantz dan lain-lain, memang dilihat saling berhubungan dan memengaruhi tetapi dampak dari hubungan-hubungan tersebut tidak dijelaskan. Dengan merujuk pada apa yang dilihat dalam relasi antar-kapital menurut Bourdieu (https://www.languageascapital.wordpress,com/2012/03/25/cultural-capital-vs-economic-capital, diunduh 17 Juli 2016), ditemukan relasi-relasi yang saling memengaruhi bahkan saling memberi makna antar-modal-modal tersebut. Memang Bourdieu dalam tulisan ini tidak berbicara langsung mengenai Livelihood tetapi ia mengelompokkan berbagai komponen modal-modal dalam tiga bentuk modal atau capital

yaitu, cultural capital (berbagai pengetahuan, keterampilan, pendidikan, kedudukan seseorang dalam masyarakat), economy capital

(uang dan aset-aset) dan social capital (anggota suatu kelompok, persaudaraan, pengaruh dan dukungan hubungan berjejaring). Ketiga kapital tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Gambar berikut menunjukkan relasi antar-kapital dimaksud.

1 2

3

Sumber: Bourdieu (1986), https://www.languageascapital.wordpress.com/2012/03/25/ cultural-capital-vs-economic-capital, diunduh 17 Juli 2016.

Gambar 2.4 Hubungan antar-Jenis-jenis Kapital Menurut Bourdieu

Economic Capital

(41)

Menurut Bourdieu, dalam relasi yang pertama, modal ekonomi dapat ditransfer menjadi modal kultural. Misalnya, dengan kemampuan finansial keluarga, orang tua mendukung anda memperoleh pengetahuan dan keterampilan, merupakan suatu bantuan yang menambah kapital kultural anda. Dengan kemampuan, status dan gaji yang lebih tinggi, modal ekonomi anda bertambah. Sedangkan melalui relasi yang kedua seperti status dan penghargaan dalam masyarakat sebagai modal kultural sampai saat ini diterima sebagai modal sosial. Dalam relasi yang ketiga, jejaring sosial dapat dikembangkan sebagai peluang ekonomi yang kemudian dapat diinvestasikan kembali sebagai modal kultural.

Sesudah berbicara mengenai environmental sustainability dan

social sustainability, pada bagian berikut akan diulas secara garis besar praktek analisis Sustainable Livelihood, yang berisikan beberapa sub-pokok bahasan.

Analisis Praktis

Sustainable Livelihood

Uraian berikut ini merupakan bagian keempat dari tulisan Chambers dan Conway tentang Livelihood dan Sustainable Livelihoods. Untuk menjelaskan konsep-konsep Livelihood dan

sustainability ke dalam kebijakan yang tepat dan efisien, perlu ada suatu orientasi analisis dan metode yang tepat. Ada tiga hal yang akan dicatat di sini, yakni penghargaan masa depan Livelihood, intensitas peningkatan Livelihood, dan jejaring Livelihood berkelanjutan.

Nilai Masa Depan Livelihood

Perencanaan bagi masa depan Livelihood terletak pada bagaimana melihat masa depan Livelihood sebagai sesuatu yang bernilai. Dikatakan oleh Chambers dan Conway, dalam laporan The Brundtland (WCED 1987:8), definisi tentang sustainable development

(42)

tanpa kompromi dan dengan demikian meningkatkan isu-isu keadilan bagi generasi yang akan datang.

Dalam praktek pengambilan keputusan, generasi masa depan dan Livelihood mereka tak berarti karena empat alasan: innumeracy,

undemocratic democracy, discounting dan uncertainty. Alasan pertama, innumeracy. Inumerasi merupakan kegagalan manusia menghargai apa saja yang ada di dalam kehidupan. Dalam waktu singkat secara masif akan terjadi bencana global di mana manusia gagal diorganisir dan lambat atau cepat kita yang hidup sekarang tidak diperhitungkan oleh generasi yang akan datang; Alasan kedua,

undemocratic democracy. Ketiadaan demokrasi merupakan representasi masyarakat di masa depan. Intere hanya dapat direpresentasi melalui latihan yang bersifat imaginasi kita, altruisme, pengendalian dan tanggung jawab pekerjaan; Alasan ketiga,

discounting. Discounting diartikan sebagai masa depan yang kurang dihargai atau masa depan yang diabaikan. Dicontohkannya, ahli-ahli ekonomi mengabaikan tatanan masa depan untuk memaksimalkan jejaring kerja sama yang bernilai saat ini; para politisi mengabaikan tatanan masa depan untuk memenangkan pemungutan suara yang dilakukan setiap lima tahun sekali; dan pebisnis mengabaikan tatanan masa depan untuk menciptakan keuntungan pada saat ini dan untuk membayar kembali pinjaman-pinjaman para pendukung; Alasan keempat, uncertainty. Yang dimaksud dengan uncertainty adalah ketidakmampuan untuk memprediksi masa depan. Dikatakannya,

innumeracy, undemocratic democracy, discounting and uncertainty

Gambar

Gambar 2.1 Empat Kategori Pokok Livelihoods Rumah Tangga
Gambar 2.2 Komponen-komponen Utama Livelihood
Gambar 2.3 Modal-modal (aset) dalam Livelihood
Gambar 2.5 di atas dapat dijelaskan secara singkat sebagai

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Research based on the analysis of multitemporal aerial images from 1951-2004 made it possible to reconstruct the intermediate conditions of the Baltic Sea shoreline

The Commission has received a total of 240 submissions and has accepted 26 full papers to Annals and 118 abstracts published in Archives; all paper address the terms of references

This study presents an approach wherein photographs with a high degree of overlap are clicked using a digital camera and used to generate three-dimensional (3D) point clouds via

Banyak tanah liat yang digunakan Dodi untuk membuat kubus 4.913 cm³7. Berapa ukuran panjang sisi kubus yang

Among the producers and users of these aerial systems is often argued that to perform laboratory calibration, because the algorithms of modern digital photogrammetric

a) Musyawarah dipimpin oleh Ketua BPD. Apabila Ketua BPD berhalangan hadir, harus memberitahukan ketidakhadirannya dengan alasan yang benar untuk selanjutnya diinformasikan

In this study, position uncertainty is computed theoretically without GCPs, and examined every orientation parameters effect on position accuracy with the