• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bagian ini disajikan tinjauan literatur yang berkaitan dengan beberapa konsep yang digunakan pada penelitian ini. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu melihat hubungan antara peran stakeholders dengan partisipasi masyarakat, maka dijelaskan dalam tinjauan literatur ini, antara lain: konsep program pengembangan kasawan agropolitan, analisis stakeholders, peran stakeholders dalam program agropolitan, partisipasi dan tingkat partisipasi masyarakat.

Program Pengembangan Kawasan Agropolitan

Program agropolitan merupakan suatu upaya percepatan pembangunan pedesaan. Gatra terkait dengan pengembangan agropolitan antara lain adalah pembangunan dalam arti luas, seperti: redistribusi lahan, kesesuaian lahan, desain tata guna lahan dan pembangunan sarana dan prasarana. Secara fenomenal konsep ini mewujudkan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan atau istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah “Menciptakan kota di pedesaan” (Tarsudi 2010). Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota dapat diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pancaharian utama bagi sebagian besar masyarakat perdesaan.

Menurut Saefulhakim dkk (2004) pengertian agropolitan berasal dari kata “agro” yang bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman” yang digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian dan “polis” bermakna “a Central Point or Principal”. Agro-polis bermakna lokasi pusat pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan. Berdasarkan uraian tersebut diatas agropolitan dapat diartikan sebagai suatu model pembangunan mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara wilayah perkotaan, dengan kegiatan pengelolaan agribisnis yang berkonsentrasi di wilayah perdesaan. Pendekatan agropolitan dapat mengurangi dampak negatif pembangunan yang telah dilaksanakan. Konsep agropolitan sendiri merupakan konsep pembangunan berkelanjutan yang mendapatkan dukungan masyarakat dan menjadi milik masyarakat sehingga dominasi peran berada di pihak masyarakat (Rustiadi 2006)

Secara lebih luas pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Djakapermana (2003) menyatakan bahwa pengembangan kawasan agropolitan menjadi sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan keunikan lokal. Selain itu pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan pemerataan mengingat sektor yang dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat. Keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai

keunggulan kompetitif dan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya. Penetapan pusat agropolitan terkait dengan sistem pusat-pusat nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten) sehingga dapat menciptakan pengembangan wilayah yang serasi dan seimbang. Menurut Rivai dalam Tarsudi (2003), tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi (wewenang berada di pemerintah daerah dan masyarakat) di kawasan agropolitan.

Melalui berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on- farm) saja tetapi juga "off-farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud.

Analisis Stakeholders

Menurut Freedman (1975), stakeholders merupakan kelompok dan individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan dari sebuah program. Stakeholders juga diartikan sebagai mereka yang memiliki kepentingan dan keputusan tersendiri, baik sebagai individu maupun wakil kelompok. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholders jika memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Budimanta dkk (2008), yaitu mempunyai: kekuasaan, legitimasi, kepentingan terhadap program. Soemanto (2007) mengkategorikannya ke dalam empat kelompok, antara lain: pemerintah (government), sektor privat (private

sector), lembaga swadaya masyarakat (LSM)/Non-Governmental Organizations

(NGOs), dan Masyarakat (community). Mitchell et al dalam Sukada (2007) mengungkapkan bahwa derajat relevansi pemangku kepentingan terhadap aktivitas perusahaan ditimbang dengan tiga hal, yaitu: kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. Kekuasaan adalah derajat kemampuan pemangku kepentingan untuk mempengaruhi perusahaan melalui penggunaan unsur-unsur koersif atau pemaksaan, insentif atau disinsentif material, dan normatif atau simbolik. Pemangku kepentingan yang dapat menggunakan salah satu atau lebih unsur-unsur kekuasaan itu, mampu mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mempertahankan dirinya. Keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan tidaklah baru, dalam pengertian bahwa dalam program pihak tersebut selalu berinteraksi dengan berbagai kelompok eksternal, seperti: pembuat peraturan, pemerintah, pelanggan, dan penduduk asli. Menurut Sukada (2007) pelibatan pemangku kepentingan ditentukan berdasarkan derajat relevansinya atau kesesuian dengan keberadaan serta program yang akan diselenggarakan.

Analisis stakeholders diperlukan untuk mengetahui peran masing–masing

stakeholders yang merupakan semua aktor atau kelompok yang mempengaruhi

dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah program. Analisis stakeholders dilakukan menggunakan metode pendekatan yang dikembangkan oleh Groenendijk (2003) untuk mengetahui peranan dan fungsinya. Metode tersebut diawali dengan mengidentifikasi stakeholders yang terlibat dan mengklasifikasikan berdasarkan keterkaitannya secara langsung/tidak langsung dengan proyek yang ada. Kemudian, tiap stakeholders yang berbeda tersebut tentunya memiliki atribut yang berbeda untuk dikaji sesuai dengan situasi dan tujuan dari analisis. Atribut yang dimasukkan dalam analisis adalah pengaruh (power) dan kepentingan (importance).

Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholders dilakukan dengan cara: (1) melakukan identifikasi stakeholders; (2) mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders; dan (3) menyelidiki hubungan antar stakeholders. Identifikasi

stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui permasalahan. Colfer et al. (1999)

menjelaskan bahwa untuk mengidentifikasi pengaruh dan kepentingan para

stakeholders dilakukan melalui pemberian skor pada dimensi keikutsertaan dalam

agropolitan, kewajiban dan hak serta ketergantungan terhadap program agropolitan sesuai dengan kepentingan program setelah para stakeholders terindetifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu mengelompokkan dan mengklasifikasikan antar stakeholders sehingga dapat terlihat pihak mana yang berpengaruh penting dalam program agropolitan. Menurut Bryson (2004) dan Reed et al. (2009) untuk memperjelas peran masing-masing stakeholders dapat menggunakan matriks pengaruh (influence) dan kekuatan (power) dengan membedakan stakeholders ke dalam beberapa kategori key players, context

setters, subjects, dan crowd. Bisa juga menggunakan metode power and interest grid (IFC 2007) yang mengklasifikasikan stakeholders menjadi manage closely, keep statisfied, keep informed dan monitor dengan menggunakan matriks

pengaruh (power) dan kepentingan (interest). Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholders dalam pencapaian output dan tujuan (Reed et al. 2009) sedangkan kekuatan (power) merujuk pada pengaruh stakeholders pada metode power and interest grid merujuk pada kekuatan pengaruh yang dimiliki

stakeholders untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Penjelasan

dari klasifikasi stakeholders adalah sebagai berikut:

1. Context setter atau keep statisfied memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi risiko yang signifikan untuk harus dipantau.

2. Key player atau manage closely merupakan stakeholders yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek/program.

3. Subjects atau keep informed memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Namun mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan stakeholders lainnya.

4. Crowd atau monitor merupakan stakeholders yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi

pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan.

Peran Stakeholders dalam Program Agropolitan

Agropolitan berasal dari ketetapan pemerintah pusat yang kemudian diterapkan di tingkat propinsi dan kabupaten. Menurut Rustiadi (2006), sebagai unit wilayah fungsional, kawasan agropolitan bisa saja mencangkup lingkup wilayah satu kecamatan administratif yang berbeda setiap daerah. Kawasan agropolitan bisa berada dalam satu wilayah kecamatan, beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten. Beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu propinsi atau lintas propinsi sehingga dalam tahap perkembangan awal pengembangan kawasan agropolitan pemerintah harus memfasilitasi untuk terbentuknya kawasan pengembangan agropolitan. Berdasarkan Pedoman Pengelolaan Ruang Kawasan Sentra Produksi Pangan Nasional dan Daerah (agropolitan) tahun 2002, pelaksanaan kawasan agropolitan tingkat daerah harus ditentukan pihak-pihak yang terlibat dan menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan dan program yang telah direncanakan, yaitu:

1. Pemerintah berperan memberikan proteksi, menyelenggarakan pembangunan melaksanakan fungsi fasilitasi, regulasi dan distribusi. Pemerintah memberikan perangkat kriteria rasional dan obyektif yang dijadikan acuan dalam penentuan wilayah pengembangan program agropolitan. Peran pemerintah dijalankan oleh berfungsinya departemen dan lembaga tingkat pusat yang terkait dengan pengembangan kawasan. Peranan pemerintah untuk memfasilitasi pengembangan kawasan agropolitan ini harus didasarkan pada UU No. 4 Tahun 1992, UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000, dengan peta kewenangan masing-masing sebagai berikut:

1.1 Pemerintah Pusat

Tugas pemerintah pusat adalah membantu pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan agropolitan serta kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut lintas propinsi dan koordinasi lintas departemen. Peran pemerintah pusat adalah menyusunan rencana, program dan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan dalam bentuk peraturan pemerintah dan pedoman umum pengembangan kawasan agropolitan serta pedoman lainnya dari departemen teknis terkait. Selanjutnya memberikan pelayanan informasi dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta memfasilitasi kerjasama lintas propinsi dan lintas sektoral. Selain itu sebagai penyelenggaraan studi, penelitian dan kajian untuk pengembangan kawasan agropolitan dan yang terpenting adalah pembangunan sarana dan prasarana publik yang bersifat strategis dalam skala nasional dan lintas propinsi.

1.2 Pemerintah Propinsi/ Daerah Tingkat I

Peranan pemerintah propinsi adalah: a) mengkoordinasikan rencana program dan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah propinsi; b) memberikan pelayanan informasi tentang rencana pengembangan wilayah dan tata ruang kawasan agropolitan; c) memfasilitasi kerjasama lintas kabupaten dan lintas departemen/instansi terkait dalam penyusunan rencana dan pengembangan kawasan agropolitan; d) menyelenggarakan pengkajian teknologi sesuai kebutuhan petani dan pengembangan wilayah; e) membangun prasarana dan sarana publik yang bersifat strategis dan mendukung perkembangan kawasan agropolitan di dalam wilayah propinsi.

1.3 Pemerintah kabupaten/kota

Sesuai dengan titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kota, maka penanggungjawab di tingkat pemerintah tingkat II adalah bupati atau walikota. Oleh karena itu peranan utama dari pemerintah daerah tingkat II, antara lain: a) merumuskan program, kebijakan operasional dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan; b) mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan masterplan, program dan melaksanakan program pengawasan kawasan agropolitan; dan c) menumbuhkembangkan kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung program pengembangan kawasan agropolitan. Sebagai pengelola kawasan yang biasanya diwakili oleh BAPPEDA, dinas sektoral dan instansi terkait harus mampu memahami dan mengerti aspek-aspek pengembangan kawasan agropolitan, serta dapat mewujudkan koordinasi dan keterkaitan yang sinergis antara pihak yang berkepentingan dalam agropolitan. Selain itu mampu mengembangkan jaringan kerjasama dan kemitraan untuk pengembangan program agropolitan. Pemerintah kabupaten juga bertanggungjawab menyusun rencana induk terkait rencana aksi pada tahun-tahun awal, serta mengendalikannya bersama stakeholders pengembangan kawasan lainnya.

Selain pihak di atas, stakeholders yang terdapat dalam program agropolitan diantaranya adalah: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, BPPT/LIPI. Peran fasilitas pemerintah berdimensi ganda, yaitu meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat, yang selanjutnya didorong dengan fasilitas infrastruktur (fisik dan kelembagaan) dan sistem insentif yang tepat dan proprosional.

2. Masyarakat berperan sebagai pelaku utama pengembangan program agropolitan yang bersinergi dengan pihak pemerintah. Masyarakat dibedakan ke dalam dua pihak yaitu: Perguruan tinggi, sebagai center of excellence akan menjadi mitra pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam pengembangan riset dibidang budidaya pertanian, peternakan, perikanan, dan agrowisata. Perguruan tinggi diharapkan menjadi soko guru bagi

pengembangan pendidikan dan pelatihan terkait dengan perkembangan agropolitan kepada masyarakat dan dunia usaha. Masyarakat Lokal sebagai sasaran program, biasanya sasaran merupakan kelompok tani yang membantu memberikan dukungan sekaligus pelaksana program agropolitan.

3. Swasta berperan sebagai pemasok jasa, keahlian, dana maupun material yang diperlukan. Mereka akan mendapat lahan usaha, dan keuntungan dari usaha serta peran sertanya dalam pelaksanaan pengembangan wilayah dengan terciptanya pasar bagi produk–produk mereka. Upaya mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang perlu terus didorong dengan keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dengan pendekatan community driven planning, dengan pendekatan ini diharapkan terciptanya kesadaran, kesepakatan dan ketaatan masyarakat serta dunia usaha terhadap aturan tata ruang kawasan agropolitan.

Konsep Partisipasi

Menurut Sumarjo dan Saharudin dalam Ariyani (2007) seseorang untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga prasyarat, yaitu adanya kesadaran pada diri yang bersangkutan tentang adanya kesempatan, dan adanya kemauan (sikap positif terhadap sasaran partisipasi) serta didukung oleh kemampuan (inisiatif untuk bertindak dengan komitmen). Kemauan dan kemampuan merupakan potensi yang dimiliki oleh pelaku secara individu maupun kelompok. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dipengaruhi oleh faktor tertentu terutama ketersediaan sarana dan prasarana fisik, kelembagaan, kepemimpinan, pengaturan dan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sedangkan Wardojo (1995) mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan dalam baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat dalam pembangunan mencangkup partisipasi dalam pembuatan keputusan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan, serta pemanfaatan hasil pembangunan. Menurut Tanjung (2003), definisi dari partisipasi adalah keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi sosial tertentu yang berarti seseorang berpartisipasi dalam suatu kelompok jika ia mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tersebut melalui bermacam sikap “berbagi” yaitu berbagi nilai tradisi, berbagi perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung jawab bersama, serta melalui persahabatan pribadi.

Pembangunan partisipatif merupakan model pembangunan yang melibatkan

stakeholders dalam semua proses, mulai dari perencanaan, implementasi,

monitoring dan evaluasi. Pelaku pembangunan tersebut adalah semua unsur yang ada dalam komunitas yang terdiri atas pemerintah dan masyarakat (civil society). Perumusan rencana pembangunan perlu dilakukan secara demokratis, professional dan terukur artinya dapat mewujudkan kebutuhan masa depan, handal, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua stakeholders untuk itu pembangunan daerah harus menganut prinsip-prinsip: Partisipasi artinya seluruh anggota masyarakat diharapakan berperan aktif dalam perencanan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh kegiatan pembangunan. Transparansi artinya setiap kegiatan

dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dari seluruh kegiatan dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan. Akuntabilitas artinya setiap kegiatan seharusnya dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun administratif.

Keberlanjutan artinya pembangunan untuk masyarakat harus dapat berkelanjutan

dari generasi ke generasi dan dikembangkan oleh masyarakat sendiri melalui wadah institusi masyarakat yang mandiri.

Menurut Uphoff (1977) menyatakan partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat penerima program pembangunan terdiri perencanaan, pelaksanaan/ implementasi, pemanfaatan dan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan yaitu:

1. Tahap Perencanaan

Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam proses rencana pembangunan biasanya dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat yang bertujuan untuk memilih alternatif dalam perencanaan pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat penting, karena masyarakat dituntut untuk menentukan arah dan strategi pembangunan disesuaikan dengan sikap dan budaya masyarakat setempat. Partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan suatu proses dalam memilih alternatif yang diberikan oleh semua unsur masyarakat dan lembaga sosial (Siagian 1972).

2. Tahap pelaksanaan

Partisipasi dilihat dari keikutsertaan masyarakat dalam bentuk sumbangan pemikiran, bantuan tenaga, materi serta keikutsertaan secara langsung dalam kegiatan pembangunan. Koentjaraningrat (1984) menyatakan bahwa partisipasi rakyat, terutama rakyat pedesaan dalam pembangunan sebenarnya menyangkut dua tipe yang pada prinsipnya berbeda, yaitu: pertama, partisipasi dalam aktivitas bersama dalam proyek pembangunan yang khusus. Rakyat pedesaan diperintahkan untuk mengerjakan pekerjaan yang sifatnya fisik. Jika rakyat ikut serta berdasarkan atas keyakinannya bahwa proyek itu akan bermanfaat baginya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan spontanitas, tanpa mengharapkan upah yang tinggi. Sebaliknya, kalau mereka hanya diperintah dan dipaksa oleh atasan untuk menyumbangkan tenaga atau harta bendanya kepada proyek, maka mereka tidak akan turut berpartisipasi dengan semangat. Kedua, partisipasi sebagai individu diluar aktivitas bersama dalam pembangunan. Tipe partisipasi ini tidak memerlukan perintah atau paksaan dari atasannya tetapi berdasarkan kemauan mereka sendiri.

3. Pemanfaatan (Benefits)

Partisipasi dalam menerima hasil atau manfaat pembangunan yang merupakan segala sesuatu yang bisa diperoleh masyarakat setelah adanya program pembangunan, yang mana tidak bisa mereka dapatkan sebelum adanya program pembangunan di pedesaan. Dari segi distribusi dapat dilihat pada jumlah maupun kualitas manfaat. Dari segi lain dapat dibedakan antara

material benefit dan social benefits. Material benefits dalam menganalisa akan

berhubungan dengan konsumsi atau pendapatan, kekayaan, sedangkan social

benefits seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, jalan-jalan dan

4. Evaluasi

Merupakan tahap pengumpulan data mengenai seberapa besar hasil dari suatu proyek pembangunan, dan bagaimana sistem pengawasan untuk menjalankan arah serta dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan proyek pembangunan tersebut. Pada tahap ini masyarakat memberikan umpan balik yang sebagai masukan untuk pelaksanaan proyek selanjutnya. Evaluasi program pembangunan dibedakan menjadi tiga jenis evaluasi, antara lain: 1)

Project Contered Evaluation, 2) Political Activities, 3) Public Opinion Efforts. Project Contered Evaluation, bila evaluasi ini dipandang sebagai proses

evaluasi formal. Sedangkan Public opinion Efforts, opini publik dalam mengevaluasi suatu program tidak secara langsung melainkan mempengaruhi melalui media masa/surat kabar, misalnya: melalui surat pembaca dalam mengungkapkan beberapa gagasan.

Partisipasi juga suatu bentuk khusus dalam pembagian kekuasaan, tugas dan tanggung jawab dalam komunitas. Selain itu partisipasi dipengaruhi oleh kebutuhan motivasi, struktur sosial, stratifikasi sosial dalam masyarakat, orang akan berpartisipasi menyangkut adanya kebutuhan akan kepuasan, mendapatkan keuntungan, dan meningkatkan status. Menurut Madrie (1986) partisipasi dapat dibedakan lagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Partisipasi dalam menerima hasil-hasil pembangunan :

a. Mau menerima, bersikap menyetujui hasil-hasil pembangunan yang ada. b. Mau memelihara, menghargai hasil pembangunan yang ada.

c. Mau memanfaatkan dan mengisi kesempatan pada hasil pembangunan. d. Mau mengembangkan hasil-hasil pembangunan.

2. Partisipasi dalam memikul beban pembangunan : a. Ikut menyumbang tenaga.

b. Ikut menyumbang uang, bahan serta fasilitas lainnya. c. Ikut menyumbangkan pemikiran, gagasan dan ketrampilan. d. Ikut menyumbang waktu, tanah dan lain sebagainya.

3. Partisipasi dalam pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan :

a. Ikut menerima informasi dan memberikan informasi yang diperlukan. b. Ikut dalam kelompok-kelompok yang melaksanakan pembangunan. c. Ikut mengambil keputusan tentang pembangunan yang dilaksanakan d. Ikut merencanakan dan melaksanakan pembangunan

e. Ikut menilai efektivitas, efisiensi dan relevansi pelaksanaan program. Menurut Ariyani (2007) sesuai dengan pembagian partisipasi tersebut maka partisipasi dalam menerima hasil pembangunan tidak hanya dalam hal menyetujui hasil-hasil pembangunan yang ada tetapi juga mau memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan sehingga pembangunan akan dapat berkesinambungan. Partisipasi dalam memikul beban pembangunan berarti masyarakat ikut berpartisipasi dalam menyumbangkan segala sumber daya yang mereka miliki baik uang, tanah, ketrampilan, ide, dan waktu untuk menunjang tercapainya tujuan pembangunan. Upaya pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya ikut serta

menerima dan memberikan informasi tetapi juga ikut serta dalam organisasi-organisasi dan kelompok kemasyarakatan.

Kartasubrata (1986), menjelaskan bahwa dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor kesempatan, kemauan dan bimbingan. Bila melihat hubungan antara dorongan dan rangsangan dengan intensitas partisipasi dalam pembangunan untuk semua implikasinya adalah bila penduduk diberi lebih banyak kesempatan, ditingkatkan kemampuannya dengan cara memberi peluang untuk dapat memberi lebih banyak pengalaman dan dimotivasi kemauannya untuk berpartisipasi maka partisipasi akan meningkat. Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya tidak hanya diberikan pada waktu pelaksanaannya saja tetapi juga dimulai dari pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian dan kemudian distribusi hasilnya.

Tingkat Partisipasi

Tingkatan partisipasi merupakan derajat tingkat keterlibatan masyarakat dalam sebuah program terlihat dari kesempatan masyarakat untuk terlibat dan mempengaruhi jalannya program. Merujuk pada makalah yang berjudul “A

Ladder of Citizen Participation” dalam Journal of The American Planning Association (1969), Arnstein mengemukakan delapan tangga atau tingkatan

partisipasi yang menunjukan tingkat keterlibatan masyarakat dalam sebuah program. Delapan tingkat tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Manipulation (Manipulasi)

Pada tingkat ini, dengan mengatasnanamakan partisipasi, masyarakat diikutkan dalam program sebagai ‘stempel karet’ dalam badan penasihat yang berarti bahwa keterlibatan masyarakat hanya sebagai formalitas saja tanpa memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan. Tujuannya adalah dipakai untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh penguasa.