• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PERAN STAKEHOLDERS DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM AGROPOLITAN DESA KARACAK KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR SISKA OKTAVIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN PERAN STAKEHOLDERS DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM AGROPOLITAN DESA KARACAK KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR SISKA OKTAVIA"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PERAN

STAKEHOLDERS

DENGAN

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM

AGROPOLITAN DESA KARACAK KECAMATAN

LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR

SISKA OKTAVIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Peran

Stakeholders dengan Partisipasi Masyarakat Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Siska Oktavia

(4)
(5)

ABSTRAK

SISKA OKTAVIA. Hubungan Peran Stakeholders dengan Partisipasi Masyarakat dalam Program Agropolitan Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SAHARUDDIN

Program agropolitan merupakan program pengembangan kawasan yang berupaya mengurangi kesenjangan antara kota dan desa. Program ini diimplementasikan melalui program pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan budidaya, pengembangan permodalan dan peningkatan fasilitas infrastruktur. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisa tingkat partisipasi dan bentuk masyarakat dalam program agropolitan, menganalisa peran stakeholders

dalam program agropolitan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor dan menganalisa hubungan antara peran stakeholders dengan tingkat partisipasi masyarakat. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif menggunakan kuesioner serta panduan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat berada pada tingkat tokenisme dalam keseluruhan tahapan program dengan bentuk partisipasi yang dominan adalah partisipasi menyumbang pendapat. Hasil pengujian hipotesis menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peran stakeholders dengan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan, yaitu semakin tinggi peran

stakeholders maka semakin tinggi pula tingkat partisipasi masyarakat. Kata kunci: partisipasi, stakeholders, agropolitan

ABSTRACT

SISKA OKTAVIA. The Relationship between Role of the Stakeholders and Community participation in Agropolitan Program in Karacak Village, Leuwiliang Subdistrict, Bogor District. Supervised by SAHARUDDIN

Agropolitan is a program which seeks to reduce disparities between towns and villages. This program was implemented through human resource development, agriculture development, capital development and improvement of infrastructure facilities. There are three purposes of this study, that is to analyze the level and form of community participation in the agropolitan program, to analyze the role of stakeholders in the agropolitan program of Karacak village, Leuwiliang subdistrict, Bogor district and to analyze the relationship between the role of the stakeholders with the level of community participation. The research was carried out by quantitative and qualitative methods using questionnaires and in-depth interview guide. The results of this study indicate that the level of community participation is at the level of tokenisme in all phases of the program with the participation of the dominant forms of participation contribute opinions. The results of testing the hypothesis clarify that there is a relationship between the role of stakeholders and community participation in the implementation. That is, the higher level of stakeholders roles will be higher level of community participation.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

HUBUNGAN PERAN

STAKEHOLDERS

DENGAN

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM

AGROPOLITAN DESA KARACAK KECAMATAN

LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR

SISKA OKTAVIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Nama : Siska Oktavia NIM : I34090085

Disetujui oleh

Dr. Ir. Saharuddin, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Peran Stakeholders dengan Partisipasi Masyarakat dalam Program Agropolitan Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor” dengan baik. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan kelulusan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian proposal penelitian ini, diantaranya:

1. Dr. Ir. Saharuddin, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta saran selama proses penulisan sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan baik. 2. Bapak Andi dan Pak Arifin (pihak P4W–IPB) yang telah membantu dan

memberikan masukan tentang agropolitan sehingga penulis paham akan konsep agropolitan.

3. Ibunda tercinta Umi Kulsum dan ayahanda, selaku orang tua tercinta atas doa terbaiknya serta Dimas Bintang Kelana, Rafli Timur dan Raka Jihad Firdaus selaku adik-adikku tersayang yang telah memberikan dorongan semangat kepada penulis.

4. Isnurdiansyah, S.E yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Sahabat terbaikku di Departemen SKPM 46, yaitu: Tanti Ningsih, Rizka Amalia, Hamdani Pramono, M. Iyos Rosyid, Arif Rachman, Lulu Hanifah, Indra Setiyadi, Fajrina Nissa Utami dan Iqbaludin Akbar yang selalu menjadi sahabat selama penulis menimba ilmu di IPB serta teman-teman seperjuangan akselerasi yang telah mendukung dan memotivasi.

6. Pihak Dompet Dhuafa atas beasiswa aktivisnya yang telah diberikan sehingga membantu kelancaran kuliah.

7. Rekan BEM KM, FIM, BINDES BEM KM, PASKIBRA IPB, HIMASIERA, KAMMI IPB untuk mengasah softskill organisasi dan manajemen serta pengalaman luar biasa kepada penulis.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu doa, semangat dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan memberikan inspirasi sebagai alternatif solusi terkait program agropolitan di pedesaan.

Bogor, Februari 2013

(12)
(13)

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 5 PENDEKATAN TEORITIS 7 Tinjauan Pustaka 7

Program Pengembangan Kawasan Agropolitan 7

Analisis Stakeholders 8

Peran Stakeholders dalam Program Agropolitan 10

Konsep Partisipasi 12 Tingkat Partisipasi 15 Kerangka Pemikiran 18 Hipotesis Penelitian 19 Definisi Konseptual 20 Definisi Operasional 20 METODE PENELITIAN 27

Lokasi dan Waktu 27

Teknik Sampling 28

Teknik Pengumpulan Data 29

Teknik Pengolahan Dan Analisis Data 29

GAMBARAN UMUM PENELITIAN 31

Gambaran Umum Kecamatan Leuwiliang 31

Gambaran Umum Desa Karacak 31

Keadaan Wilayah 31

Kondisi Demografi 32

(14)

Kondisi Agroekosistem 35

Aksesibilitas menuju Desa Karacak 35

Kondisi Kelembagaan 36

PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN 39

KABUPATEN BOGOR 39

Gambaran Umum Program Agropolitan 39

Kepengurusan POKJA dan POSKO 41

Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) Agropolitan Kabupaten Bogor 41

Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan 43

Program Pengembangan Kawasan Agropolitan di Desa Karacak 43

Periode 2005-2010 43

Program Pengembangan Sumberdaya Manusia 44

Program Pengembangan Budidaya 45

Program Pengembangan Permodalan 46

Program Peningkatan Fasilitas Infrastruktur 47

PERAN STAKEHOLDERS DALAM PROGRAM AGROPOLITAN 49

Stakeholders Agropolitan 49

Tingkat Pengaruh Stakeholders dalam Program Agropolitan 50

Kekuatan Dana 51

Kekuatan Jaringan 52

Personality 52

Pengaruh Stakeholders dalam Perencanaan Program Agropolitan 54 Pengaruh Stakeholders dalam Pelaksanaan Program Agropolitan 55 Pengaruh Stakeholders dalam Evaluasi Program Agropolitan 56 Kepentingan stakeholders dalam Penyelenggaraan Program Agropolitan 57 Kepentingan stakeholders dalam Perencanaan Program Agropolitan 58 Kepentingan stakeholders dalam Pelaksanaan Program Agropolitan 59 Kepentingan stakeholders dalam Evaluasi Program Agropolitan 60

Klasifikasi Stakeholders 60

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM AGROPOLITAN 65

(15)

Tingkat Pendidikan 67

Tingkatan Partisipasi Masyarakat 68

Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Agropolitan 68 Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Tahap Perencanaan 70 Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Tahap Pelaksanaan 71 Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Tahap Evaluasi 76

Bentuk Partisipasi 77

HUBUNGAN PERAN STAKEHOLDERS DENGAN PARTISIPASI

MASYARAKAT 79

Hubungan Peran Stakeholders dengan Partisipasi Masyarakat 79

SIMPULAN DAN SARAN 87

Kesimpulan 87

Saran 88

DAFTAR PUSTAKA 89

RIWAYAT HIDUP 125

DAFTAR TABEL

1. Tangga partisipasi berdasarkan tiga kategori dari delapan tangga

partisipasi Arnstein 22

2. Jadwal pelaksanaan penyusunan proposal, kolokium, penelitian dan

skripsi. 27

3. Informan penelitian, jenis data penelitian dan metode pengumpulan

data 28

4. Luas wilayah dan persentase jenis penggunaan tanah Desa Karacak

tahun 2011 32

5. Jumlah dan persentase masyarakat Desa Karacak menurut tingkat

pendidikan tahun 2011 33

6. Jumlah dan persentase masyarakat Desa Karacak menurut jenis

pekerjaan tahun 2011 33

7. Jumlah dan persentase kepemilikan lahan pertanian tanaman pangan

rumah tangga di Desa Karacak Tahun 2011 34

(16)

9. Matriks stakeholders program agropolitan 50 10. Frekuensi dan persentase dukungan dana, jaringan dan personality

stakeholders 51

11. Keterlibatan stakeholders dalam setiap tahapan program agropolitan 64 12. Jumlah dan presentase tingkat partisipasi masyarakat dalam program

agropolitan 69

DAFTAR GAMBAR

1. Delapan tingkatan dalam tangga partisipasi masyarakat 17

2. Kerangka pemikiran 19

3. Tangga tingkatan pengaruh dan kepentingan stakeholders 23 4. Matriks power and interest menurut IFC (2007) 30 5. Struktur kepengurusan kelompok kerja agropolitan 42 6. Persentase responden berdasarkan tingkat pengaruh stakeholders dalam

program agropolitan 53

7. Persentase responden berdasarkan tingkat pengaruh stakeholders dalam

perencanaan program agropolitan 54

8. Persentase responden berdasarkan tingkat pengaruh stakeholders dalam

pelaksanaan program agropolitan 55

9. Persentase responden berdasarkan tingkat pengaruh stakeholders dalam

evaluasi program agropolitan 56

10. Persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan stakeholders

dalam penyelenggaraan program agropolitan 57

11. Persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan stakeholders

dalam perencanaan program agropolitan 58

12. Persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan stakeholders

dalam pelaksanaan program agropolitan 59

13. Persentase responden berdasarkan tingkat kepentingan stakeholders

dalam evaluasi program agropolitan 60

14. Klasifikasi stakeholders 61

15. Persentase umur penerima program agropolitan 66 16. Persentase jenis pekerjaan penerima program agropolitan 67 17. Persentase tingkat pendidikan penerima program 68 18. Persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi dalam

(17)

20. Persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi dalam evaluasi

program agropolitan 71

21. Persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi dalam

penyelenggaraan program pengembangan SDM 72

22. Persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi dalam penyelenggaraan program pengembangan Budidaya 73 23. Persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi dalam

penyelenggaraan program pengembangan permodalan 74 24. Persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi dalam

penyelenggaraan program peningkatan fasilitas dan infrastruktur 75 25. Persentase responden berdasarkan tingkat partisipasi dalam evaluasi

program agropolitan 76

26. Jumlah dan persentase bentuk partisipasi masyarakat 77

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta kawasan agropolitan Desa Karacak 93

2. Pembagian kawasan agropolitan per zonasi 94

3. Dokumentasi penelitian 95

4. Kerangka sampling 96

5. Hasil pengolahan data 100

6. Panduan wawancara mendalam 103

(18)
(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris dengan ciri kehidupan pedesaannya. Fenomena pembangunan ekonomi yang sentralistik di perkotaan yang selama ini diterapkan telah menyebabkan disparitas ekonomi antar daerah terutama antara perkotaan dengan pedesaan. Hal ini menyebabkan ketertinggalan perkembangan kehidupan sosial ekonomi di pedesaan seperti rendahnya kesejahteraan, tingkat pendidikan, terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan, kurangnya akses transportasi, permodalan, dan fasilitas umum lainnya di pedesaan. Data penduduk Indonesia tahun 2011 menunjukkan perbandingan penduduk yang bertempat tinggal di perdesaan tidak jauh berbeda jika dibandingkan di perkotaan, yakni 119.7 juta jiwa di pedesaan dan 120.6 juta jiwa di perkotaan (BPS 2011). Namun, perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat dan tingkat pembangunan wilayah di antara keduanya menunjukkan kawasan pedesaan masih tertinggal jika dibandingkan dengan perkotaan. Terbukti dengan perbandingan jumlah penduduk miskin di perdesaan dengan perkotaan pada tahun 2011. Jumlah penduduk miskin di pedesaan hingga tahun 2011 mencapai 18.9 juta jiwa, jauh lebih tinggi dibandingkan penduduk miskin perkotaan, yaitu 11 juta jiwa.

Kesenjangan pertumbuhan wilayah tersebut juga terjadi karena lemahnya keterkaitan antara desa dan kota yang memunculkan gagasan pengembangan kawasan pedesaan yang mampu menangani urban bias. Konsep pembangunan yang menawarkan solusi untuk permasalahan tersebut salah satunya diwujudkan dalam program agropolitan (Rustiadi 2007). Pentingnya agropolitan dalam pembangunan ekonomi daerah pedesaan adalah mengurangi disparitas antar daerah karena terjadinya “pendaerahan” pengelolaan pembangunan ekonomi akibat UU No 32 tahun 2004 yang mengatur otonomi daerah seperti dijelaskan oleh Amalia (2006). Program agropolitan tersebut direalisasikan menjadi program nasional yang tertera dalam Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional (RJPN) tahun 2005–2025, pada point 321 yang menyebutkan bahwa agropolitan merupakan salah satu program yang akan diusung untuk pembangunan pedesaaan terutama pedesaan yang berbasiskan pada pertanian.

Perkembangan kawasan agropolitan dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 telah mencapai 172 kawasan2, yaitu sebanyak 146 kawasan merupakan kawasan agropolitan dengan basis agribisnis peternakan, pertanian sayuran, buah-buahan dan tanaman pangan yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia. Agropolitan ini juga mendapatkan dukungan program yang dilaksanakan oleh pemerintah yang diwakili oleh: Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan instasi terkait lainnya. Pihak tersebut mendukung pengembangan kawasan agropolitan melalui program pengembangan sistem usaha agribisnis, pengembangan sarana–prasarana kawasan,

1

Disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disampaikan dalam Musrenbang Jangka Panjang di Jakarta tanggal 7 februari. Diunduh dari

http://www.batan.go.id/ref_utama/rpjp_2005.pdf 2

Ditulis dalam Rustiadi E dan Bardak E.E. 2007. Agropolitan Strategi Pengembangan Pusat Pertumbuhan Pada Kawasan Perdesaan. Crespent Press. Bogor

(20)

peningkatan sumber daya manusia (SDM), permodalan, kelembagaan dan usaha tani serta melaksanakan pekerjaan non-fisik seperti penyusunan rencana teknis dan perkerjaan fisik pembangunan prasarana-sarana kimpraswil (PSK), meliputi: peningkatan jalan usahatani, jalan poros, perbaikan pasar desa, sub-terminal agribisnis, pembangunan kios dan saluran pembawa air baku.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah agropolitan yang berpusat di Kecamatan Leuwiliang. Kecamatan tersebut memiliki desa-desa pusat dan penyangga agropolitan. Desa Karacak merupakan salah satu pusat agropolitan di Kecamatan Leuwiliang dengan daerah hinterland pada kawasan pendukung yaitu: Leuwisadeng, Rumpin, Cibungbulang, Pamijahan, Nanggung, Jasinga, Cigudeg, dan Sukajaya. Hal ini dibuktikan dengan SK. Mentan No.312/TU.210/A/X/2002 yang menjelaskan tentang pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Bogor. Sesuai dengan persyaratan pembagian zonasi kawasan agropolitan yang harus memperhatikan: komoditas unggulan, kondisi agroklimat, kondisi sumberdaya manusia, kelembagaan, kependudukan, aspek posisi geografis kawasan agropolitan dan ketersediaan infrastruktur, maka Desa Karacak terpilih menjadi salah satu desa pusat agropolitan yang memiliki komoditi unggulan buah manggis. Sebagai program berkelanjutan, program agropolitan membutuhkan partisipasi masyarakat yang diwujudkan dalam kelembagaan lokal. Kondisi kelembagaan dalam program agropolitan diwujudkan dengan dukungan kelembagaan pertanian berupa koperasi dan kelompok tani yang memfasilitasi anggotanya dalam mengatasi permasalahan pertanian. Menurut laporan evaluasi Dinas Pertanian tahun 2010, sejak tahun 2005–2010 telah dilaksanakan banyak program yang terkait dengan pengembangan kawasan agropolitan di Desa Karacak, antara lain empat program besar yang terkait dengan pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan budidaya dan pengembangan permodalan serta peningkatan fasilitas dan infrastruktur.

Indikator keberhasilan program agropolitan yang berupa pengembangan infrastruktur kawasan agropolitan dan sistem usaha agribisnis yang baik dapat diukur dengan adanya peningkatan infrastruktur serta kemajuan agribisnis setelah adanya program agropolitan. Proses pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Leuwiliang khususnya Desa Karacak memerlukan usaha bersama dalam pemahaman terhadap karakteristik wilayah juga melibatkan peran aktif semua stakeholders dalam menggambarkan kemampuan kawasan agropolitan bersama keterlibatan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Selama ini program agropolitan seringkali mengandalkan peran pemerintah, mulai dari penyusunan masterplan sampai pembentukan POKJA dan POSKO agropolitan di setiap kabupaten. Sedangkan kelompok tani sebagai “obyek program” belum terlihat eksistensinya. Tanpa keterlibatan semua stakeholders baik LSM, pihak swasta maupun pemerintah dengan peran yang proposional serta kerjasama dengan masyarakat maka tidak terjadi keberlanjutan program. Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat bagaimana bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat dalam program agropolitan dan peran stakeholders dalam program agropolitan, selain itu juga perlu mengetahui hubungan pengaruh peran stakeholders terhadap partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan program pembangunan agropolitan.

(21)

Perumusan Masalah

Pelaksanaan program agropolitan sudah berlangsung sejak tahun 2005 di Indonesia, namun keberhasilan program yang ditandai dengan sustainability

program agropolitan, belum tercapai. Di Kabupaten Bogor, hasil evaluasi pelaksanaan agropolitan Propinsi Jawa Barat oleh BAPPEDA Jawa Barat tahun 2010 menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan program agropolitan, antara lain: belum optimalnya peran masing-masing sektor baik di tingkat propinsi maupun kabupaten, masih lemahnya perlindungan terhadap petani terutama terkait kepemilikan lahan, benih/bibit dan harga jual hasil produksi. Hal tersebut juga didukung dengan hasil evaluasi dari BP4K Kabupaten Bogor tentang kondisi agropolitan Kabupaten Bogor saat ini yang menyatakan bahwa pendapatan masyarakat dan keluarga petani di kawasan agropolitan belum meningkat (belum mencapai 5 persen), peningkatan investasi (petani, swasta, dan BUMN) belum mencapai 10 persen, selain itu pengelolaan sumberdaya alam juga belum optimal. Hal ini dikarenakan kurangnya keterlibatan masyarakat pada setiap kawasan dan kurang efektifnya program peningkatan sumber daya manusia.

Berdasarkan rencana program pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Bogor masa proyek 2005-2010, program agropolitan di Desa Karacak sudah selesai. Optimalisasi pemanfaatan prasarana dan sarana tersebut seakan berhenti setelah program selesai tanpa ada keberlanjutan. Tentunya agar representasi keberhasilan, pemenuhan harapan, dan optimalisasi pencapaian dampak sesuai dengan indikator keberhasilan maka program agropolitan seyogyanya disinergikan dengan konsep pembangunan berlandaskan ekonomi lokal. Keberhasilan pelaksanaan program agropolitan sangat ditentukan keterlibatan termasuk masyarakat yang merupakan aktor utama dalam pembangunan yang harus diprioritaskan partisipasinya dimulai dari proses sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program untuk mewujudkan tujuan utama dari agropolitan serta keberlanjutan program di kawasan agropolitan. Selain itu pelaksanaan program juga melibatkan

stakeholders yang menghasilkan peran stakeholders yang berasal dari pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap program agropolitan. Melalui kerjasama dengan masyarakat dalam pengembangan program agropolitan harapannya seluruh pihak yang berkepentingan nantinya mampu memahami program secara utuh mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi. Penempatan masyarakat dalam tingkat partisipasi yang tepat dan peran stakeholders yang nantinya dapat mendukung masyarakat sebagai subyek pembangunan wilayah melalui program agropolitan sangat diharapkan.

Menurut Sastropoetro (1988), partisipasi merupakan keterlibatan pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggungjawab terhadap usaha pembangunan yang bersangkutan. Termasuk dalam program agropolitan, sesuai dengan prinsip dasar pembangunan agropolitan maka dibutuhkan partisipasi masyarakat yang dalam hal ini dilihat dari keterwakilan masyarakat dimana setiap tahapan memiliki jenis aktivitas yang berbeda-beda. Terkait dengan agropolitan, proses program saat ini telah berada pada tahap menikmati hasil menurut Uphoff (1977) sehingga pengukuran tingkat partisipasi dalam program tersebut lebih menyeluruh.

(22)

Arnstein (1969) mengemukakan bahwa terdapat delapan tingkatan dalam tangga partisipasi yang merepresentasikan partisipasi masyarakat, tingkatan tersebut adalah manipulasi, terapi, informasi, konsultasi, placation (penenangan) kemitraan, delegasi kewenangan dan kontrol warga negara yang kemudian digolongkan menjadi kelompok non-partisipasi, tokenisme dan citizen power. Terkait partisipasi masyarakat dalam program agropolitan maka diperlukan analisis sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dan bentuk partisipasi dalam tahapan program agropolitan.

Terdapat empat program agropolitan yang dijalankan selama tahun 2005 sampai tahun 2010 di Desa Karacak sesuai dengan masterplan agropolitan Kabupaten Bogor. Banyak pihak yang turut berpartisipasi dalam pelaksanaan program agropolitan yang digolongkan sebagai stakeholders agropolitan.

Stakeholders tersebut mempunyai pengaruh dan kepentingan masing–masing yang kemudian melahirkan peran yang berbeda dalam pelaksanaan program agropolitan sehingga perlu menganalisis peran stakeholders dalam penyelenggaraan program agropolitan. Pihak yang terlibat dalam program agropolitan tersebut tentunya memiliki tujuan dan motif dalam penyelenggaraan program sehingga menghasilkan kinerja yang berbeda. Keterlibatan stakeholders

secara langsung maupun tak langsung dapat dikelompokkan dalam klasifikasi stakeholders yang menunjukan posisi stakeholder dalam grid stakeholders menurut IFC (2007).

Tentunya peran tersebut erat kaitannya dengan partisipasi masyarakat yang beragam, interaksi antara masyarakat dengan stakeholders dalam program melahirkan hubungan relasi individu masyarakat dengan stakeholders dan saling mempengaruhi antar keduanya sehingga antara jaringan, kekuatan dana,

personality dan kepentingan yang dimiliki oleh stakeholders memungkinkan memiliki pengaruh yang berbeda pada masyarakat maka perlu dianalisa hubungan antara peran stakeholders melalui keterlibatannya dalam program agropolitan terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam menjalankan tahapan program agropolitan selama masa proyek tahun 2005-2010.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan di atas, disusun beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian tersebut, antara lain:

1. Menganalisis peran stakeholders dan posisi masing-masing stakeholders

berdasarkan dalam klasifikasi stakeholders selama penyelenggaraan program agropolitan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis tingkat partisipasi dan bentuk partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan program agropolitan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.

3. Menganalisis hubungan antara peran stakeholders dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam tahapan program agropolitan di Desa Karacak Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor.

(23)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, terutama pihak yang berkepentingan dengan program agropolitan, antara lain:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya tentang hubungan peran

stakeholders dengan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan khususnya agropolitan.

2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan program agropolitan kedepan sehingga lebih mengarahkan kepada partisipasi masyarakat pada tingkatan kemandirian dalam pelaksanaan program.

3. Bagi masyarakat, dapat memberikan pemahaman tentang peran yang dilakukan oleh stakeholders dalam program agropolitan sehingga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat dalam mengoptimalkan partisipasi masyarakat, khususnya dalam program agropolitan.

(24)
(25)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini disajikan tinjauan literatur yang berkaitan dengan beberapa konsep yang digunakan pada penelitian ini. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu melihat hubungan antara peran stakeholders dengan partisipasi masyarakat, maka dijelaskan dalam tinjauan literatur ini, antara lain: konsep program pengembangan kasawan agropolitan, analisis stakeholders, peran stakeholders dalam program agropolitan, partisipasi dan tingkat partisipasi masyarakat.

Program Pengembangan Kawasan Agropolitan

Program agropolitan merupakan suatu upaya percepatan pembangunan pedesaan. Gatra terkait dengan pengembangan agropolitan antara lain adalah pembangunan dalam arti luas, seperti: redistribusi lahan, kesesuaian lahan, desain tata guna lahan dan pembangunan sarana dan prasarana. Secara fenomenal konsep ini mewujudkan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan atau istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah “Menciptakan kota di pedesaan” (Tarsudi 2010). Pendekatan pembangunan perdesaan ditujukan untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan yang didasarkan pada potensi wilayah itu sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota dapat diminimalkan. Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pancaharian utama bagi sebagian besar masyarakat perdesaan.

Menurut Saefulhakim dkk (2004) pengertian agropolitan berasal dari kata “agro” yang bermakna “tanah yang dikelola” atau “budidaya tanaman” yang digunakan untuk menunjuk berbagai aktivitas berbasis pertanian dan “polis” bermakna “a Central Point or Principal”. Agro-polis bermakna lokasi pusat

pelayanan sistem kawasan sentra-sentra aktivitas ekonomi berbasis pertanian. Kawasan agropolitan adalah kawasan terpilih dari kawasan agribisnis atau sentra produksi pertanian terpilih dimana pada kawasan tersebut terdapat kota pertanian (agropolis) yang merupakan pusat pelayanan. Berdasarkan uraian tersebut diatas agropolitan dapat diartikan sebagai suatu model pembangunan mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara wilayah perkotaan, dengan kegiatan pengelolaan agribisnis yang berkonsentrasi di wilayah perdesaan. Pendekatan agropolitan dapat mengurangi dampak negatif pembangunan yang telah dilaksanakan. Konsep agropolitan sendiri merupakan konsep pembangunan berkelanjutan yang mendapatkan dukungan masyarakat dan menjadi milik masyarakat sehingga dominasi peran berada di pihak masyarakat (Rustiadi 2006)

Secara lebih luas pengembangan kawasan agropolitan diharapkan dapat mendukung terjadinya sistem kota-kota yang terintegrasi. Djakapermana (2003) menyatakan bahwa pengembangan kawasan agropolitan menjadi sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan keunikan lokal. Selain itu pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan pemerataan mengingat sektor yang dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat. Keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai

(26)

keunggulan kompetitif dan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya. Penetapan pusat agropolitan terkait dengan sistem pusat-pusat nasional, propinsi, dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten) sehingga dapat menciptakan pengembangan wilayah yang serasi dan seimbang. Menurut Rivai dalam Tarsudi (2003), tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi (wewenang berada di pemerintah daerah dan masyarakat) di kawasan agropolitan.

Melalui berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on- farm) saja tetapi juga "off-farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Melalui dukungan sistem infrastruktur transportasi yang memadai, keterkaitan antar kawasan agropolitan dan pasar dapat dilaksanakan. Dengan demikian, perkembangan kota yang serasi, seimbang, dan terintegrasi dapat terwujud.

Analisis Stakeholders

Menurut Freedman (1975), stakeholders merupakan kelompok dan individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan dari sebuah program. Stakeholders juga diartikan sebagai mereka yang memiliki kepentingan dan keputusan tersendiri, baik sebagai individu maupun wakil kelompok. Individu, kelompok, maupun komunitas dan masyarakat dapat dikatakan sebagai stakeholders jika memiliki karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Budimanta dkk (2008), yaitu mempunyai: kekuasaan, legitimasi, kepentingan terhadap program. Soemanto (2007) mengkategorikannya ke dalam empat kelompok, antara lain: pemerintah (government), sektor privat (private sector), lembaga swadaya masyarakat (LSM)/Non-Governmental Organizations

(NGOs), dan Masyarakat (community). Mitchell et al dalam Sukada (2007) mengungkapkan bahwa derajat relevansi pemangku kepentingan terhadap aktivitas perusahaan ditimbang dengan tiga hal, yaitu: kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. Kekuasaan adalah derajat kemampuan pemangku kepentingan untuk mempengaruhi perusahaan melalui penggunaan unsur-unsur koersif atau pemaksaan, insentif atau disinsentif material, dan normatif atau simbolik. Pemangku kepentingan yang dapat menggunakan salah satu atau lebih unsur-unsur kekuasaan itu, mampu mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mempertahankan dirinya. Keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan tidaklah baru, dalam pengertian bahwa dalam program pihak tersebut selalu berinteraksi dengan berbagai kelompok eksternal, seperti: pembuat peraturan, pemerintah, pelanggan, dan penduduk asli. Menurut Sukada (2007) pelibatan pemangku kepentingan ditentukan berdasarkan derajat relevansinya atau kesesuian dengan keberadaan serta program yang akan diselenggarakan.

(27)

Analisis stakeholders diperlukan untuk mengetahui peran masing–masing

stakeholders yang merupakan semua aktor atau kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah program. Analisis stakeholders dilakukan menggunakan metode pendekatan yang dikembangkan oleh Groenendijk (2003) untuk mengetahui peranan dan fungsinya. Metode tersebut diawali dengan mengidentifikasi stakeholders yang terlibat dan mengklasifikasikan berdasarkan keterkaitannya secara langsung/tidak langsung dengan proyek yang ada. Kemudian, tiap stakeholders yang berbeda tersebut tentunya memiliki atribut yang berbeda untuk dikaji sesuai dengan situasi dan tujuan dari analisis. Atribut yang dimasukkan dalam analisis adalah pengaruh (power) dan kepentingan (importance).

Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholders dilakukan dengan cara: (1) melakukan identifikasi stakeholders; (2) mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders; dan (3) menyelidiki hubungan antar stakeholders. Identifikasi

stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan

stakeholders yang benar-benar mengetahui permasalahan. Colfer et al. (1999) menjelaskan bahwa untuk mengidentifikasi pengaruh dan kepentingan para

stakeholders dilakukan melalui pemberian skor pada dimensi keikutsertaan dalam agropolitan, kewajiban dan hak serta ketergantungan terhadap program agropolitan sesuai dengan kepentingan program setelah para stakeholders

terindetifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu mengelompokkan dan mengklasifikasikan antar stakeholders sehingga dapat terlihat pihak mana yang berpengaruh penting dalam program agropolitan. Menurut Bryson (2004) dan Reed et al. (2009) untuk memperjelas peran masing-masing stakeholders dapat menggunakan matriks pengaruh (influence) dan kekuatan (power) dengan membedakan stakeholders ke dalam beberapa kategori key players, context setters, subjects, dan crowd. Bisa juga menggunakan metode power and interest grid (IFC 2007) yang mengklasifikasikan stakeholders menjadi manage closely, keep statisfied, keep informed dan monitor dengan menggunakan matriks pengaruh (power) dan kepentingan (interest). Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholders dalam pencapaian output dan tujuan (Reed et al. 2009) sedangkan kekuatan (power) merujuk pada pengaruh stakeholders pada metode power and interest grid merujuk pada kekuatan pengaruh yang dimiliki

stakeholders untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Penjelasan dari klasifikasi stakeholders adalah sebagai berikut:

1. Context setter atau keep statisfied memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi risiko yang signifikan untuk harus dipantau.

2. Key player atau manage closely merupakan stakeholders yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek/program.

3. Subjects atau keep informed memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Namun mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan stakeholders lainnya.

4. Crowd atau monitor merupakan stakeholders yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi

(28)

pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan.

Peran Stakeholders dalam Program Agropolitan

Agropolitan berasal dari ketetapan pemerintah pusat yang kemudian diterapkan di tingkat propinsi dan kabupaten. Menurut Rustiadi (2006), sebagai unit wilayah fungsional, kawasan agropolitan bisa saja mencangkup lingkup wilayah satu kecamatan administratif yang berbeda setiap daerah. Kawasan agropolitan bisa berada dalam satu wilayah kecamatan, beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten. Beberapa kecamatan dalam lintas wilayah beberapa kabupaten atau bahkan beberapa kabupaten dalam satu propinsi atau lintas propinsi sehingga dalam tahap perkembangan awal pengembangan kawasan agropolitan pemerintah harus memfasilitasi untuk terbentuknya kawasan pengembangan agropolitan. Berdasarkan Pedoman Pengelolaan Ruang Kawasan Sentra Produksi Pangan Nasional dan Daerah (agropolitan) tahun 2002, pelaksanaan kawasan agropolitan tingkat daerah harus ditentukan pihak-pihak yang terlibat dan menjadi subjek dalam pelaksanaan kegiatan dan program yang telah direncanakan, yaitu:

1. Pemerintah berperan memberikan proteksi, menyelenggarakan pembangunan melaksanakan fungsi fasilitasi, regulasi dan distribusi. Pemerintah memberikan perangkat kriteria rasional dan obyektif yang dijadikan acuan dalam penentuan wilayah pengembangan program agropolitan. Peran pemerintah dijalankan oleh berfungsinya departemen dan lembaga tingkat pusat yang terkait dengan pengembangan kawasan. Peranan pemerintah untuk memfasilitasi pengembangan kawasan agropolitan ini harus didasarkan pada UU No. 4 Tahun 1992, UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000, dengan peta kewenangan masing-masing sebagai berikut:

1.1 Pemerintah Pusat

Tugas pemerintah pusat adalah membantu pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan agropolitan serta kewenangan dalam bidang pemerintahan yang menyangkut lintas propinsi dan koordinasi lintas departemen. Peran pemerintah pusat adalah menyusunan rencana, program dan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan dalam bentuk peraturan pemerintah dan pedoman umum pengembangan kawasan agropolitan serta pedoman lainnya dari departemen teknis terkait. Selanjutnya memberikan pelayanan informasi dan dukungan pengembangan jaringan informasi serta memfasilitasi kerjasama lintas propinsi dan lintas sektoral. Selain itu sebagai penyelenggaraan studi, penelitian dan kajian untuk pengembangan kawasan agropolitan dan yang terpenting adalah pembangunan sarana dan prasarana publik yang bersifat strategis dalam skala nasional dan lintas propinsi.

(29)

1.2 Pemerintah Propinsi/ Daerah Tingkat I

Peranan pemerintah propinsi adalah: a) mengkoordinasikan rencana program dan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan di wilayah propinsi; b) memberikan pelayanan informasi tentang rencana pengembangan wilayah dan tata ruang kawasan agropolitan; c) memfasilitasi kerjasama lintas kabupaten dan lintas departemen/instansi terkait dalam penyusunan rencana dan pengembangan kawasan agropolitan; d) menyelenggarakan pengkajian teknologi sesuai kebutuhan petani dan pengembangan wilayah; e) membangun prasarana dan sarana publik yang bersifat strategis dan mendukung perkembangan kawasan agropolitan di dalam wilayah propinsi.

1.3 Pemerintah kabupaten/kota

Sesuai dengan titik berat otonomi daerah pada kabupaten/kota, maka penanggungjawab di tingkat pemerintah tingkat II adalah bupati atau walikota. Oleh karena itu peranan utama dari pemerintah daerah tingkat II, antara lain: a) merumuskan program, kebijakan operasional dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pengembangan kawasan agropolitan; b) mendorong partisipasi dan swadaya masyarakat dalam mempersiapkan masterplan, program dan melaksanakan program pengawasan kawasan agropolitan; dan c) menumbuhkembangkan kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung program pengembangan kawasan agropolitan. Sebagai pengelola kawasan yang biasanya diwakili oleh BAPPEDA, dinas sektoral dan instansi terkait harus mampu memahami dan mengerti aspek-aspek pengembangan kawasan agropolitan, serta dapat mewujudkan koordinasi dan keterkaitan yang sinergis antara pihak yang berkepentingan dalam agropolitan. Selain itu mampu mengembangkan jaringan kerjasama dan kemitraan untuk pengembangan program agropolitan. Pemerintah kabupaten juga bertanggungjawab menyusun rencana induk terkait rencana aksi pada tahun-tahun awal, serta mengendalikannya bersama stakeholders

pengembangan kawasan lainnya.

Selain pihak di atas, stakeholders yang terdapat dalam program agropolitan diantaranya adalah: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Pertanian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, BPPT/LIPI. Peran fasilitas pemerintah berdimensi ganda, yaitu meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat, yang selanjutnya didorong dengan fasilitas infrastruktur (fisik dan kelembagaan) dan sistem insentif yang tepat dan proprosional.

2. Masyarakat berperan sebagai pelaku utama pengembangan program agropolitan yang bersinergi dengan pihak pemerintah. Masyarakat dibedakan ke dalam dua pihak yaitu: Perguruan tinggi, sebagai center of excellence

akan menjadi mitra pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dalam pengembangan riset dibidang budidaya pertanian, peternakan, perikanan, dan agrowisata. Perguruan tinggi diharapkan menjadi soko guru bagi

(30)

pengembangan pendidikan dan pelatihan terkait dengan perkembangan agropolitan kepada masyarakat dan dunia usaha. Masyarakat Lokal sebagai sasaran program, biasanya sasaran merupakan kelompok tani yang membantu memberikan dukungan sekaligus pelaksana program agropolitan.

3. Swasta berperan sebagai pemasok jasa, keahlian, dana maupun material yang diperlukan. Mereka akan mendapat lahan usaha, dan keuntungan dari usaha serta peran sertanya dalam pelaksanaan pengembangan wilayah dengan terciptanya pasar bagi produk–produk mereka. Upaya mewujudkan penyelenggaraan penataan ruang perlu terus didorong dengan keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dengan pendekatan community driven planning, dengan pendekatan ini diharapkan terciptanya kesadaran, kesepakatan dan ketaatan masyarakat serta dunia usaha terhadap aturan tata ruang kawasan agropolitan.

Konsep Partisipasi

Menurut Sumarjo dan Saharudin dalam Ariyani (2007) seseorang untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga prasyarat, yaitu adanya kesadaran pada diri yang bersangkutan tentang adanya kesempatan, dan adanya kemauan (sikap positif terhadap sasaran partisipasi) serta didukung oleh kemampuan (inisiatif untuk bertindak dengan komitmen). Kemauan dan kemampuan merupakan potensi yang dimiliki oleh pelaku secara individu maupun kelompok. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dipengaruhi oleh faktor tertentu terutama ketersediaan sarana dan prasarana fisik, kelembagaan, kepemimpinan, pengaturan dan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah sedangkan Wardojo (1995) mengartikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keikutsertaan dalam baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat dalam pembangunan mencangkup partisipasi dalam pembuatan keputusan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan, serta pemanfaatan hasil pembangunan. Menurut Tanjung (2003), definisi dari partisipasi adalah keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi sosial tertentu yang berarti seseorang berpartisipasi dalam suatu kelompok jika ia mengidentifikasi dirinya dengan kelompok tersebut melalui bermacam sikap “berbagi” yaitu berbagi nilai tradisi, berbagi perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggung jawab bersama, serta melalui persahabatan pribadi.

Pembangunan partisipatif merupakan model pembangunan yang melibatkan

stakeholders dalam semua proses, mulai dari perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Pelaku pembangunan tersebut adalah semua unsur yang ada dalam komunitas yang terdiri atas pemerintah dan masyarakat (civil society). Perumusan rencana pembangunan perlu dilakukan secara demokratis, professional dan terukur artinya dapat mewujudkan kebutuhan masa depan, handal, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua stakeholders untuk itu pembangunan daerah harus menganut prinsip-prinsip: Partisipasi artinya seluruh anggota masyarakat diharapakan berperan aktif dalam perencanan, pelaksanaan, dan pengawasan seluruh kegiatan pembangunan. Transparansi artinya setiap kegiatan

(31)

dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dari seluruh kegiatan dapat diketahui oleh semua pihak yang berkepentingan. Akuntabilitas artinya setiap kegiatan seharusnya dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun administratif.

Keberlanjutan artinya pembangunan untuk masyarakat harus dapat berkelanjutan dari generasi ke generasi dan dikembangkan oleh masyarakat sendiri melalui wadah institusi masyarakat yang mandiri.

Menurut Uphoff (1977) menyatakan partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat penerima program pembangunan terdiri perencanaan, pelaksanaan/ implementasi, pemanfaatan dan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan yaitu:

1. Tahap Perencanaan

Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam proses rencana pembangunan biasanya dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat yang bertujuan untuk memilih alternatif dalam perencanaan pelaksanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat penting, karena masyarakat dituntut untuk menentukan arah dan strategi pembangunan disesuaikan dengan sikap dan budaya masyarakat setempat. Partisipasi dalam pengambilan keputusan merupakan suatu proses dalam memilih alternatif yang diberikan oleh semua unsur masyarakat dan lembaga sosial (Siagian 1972).

2. Tahap pelaksanaan

Partisipasi dilihat dari keikutsertaan masyarakat dalam bentuk sumbangan pemikiran, bantuan tenaga, materi serta keikutsertaan secara langsung dalam kegiatan pembangunan. Koentjaraningrat (1984) menyatakan bahwa partisipasi rakyat, terutama rakyat pedesaan dalam pembangunan sebenarnya menyangkut dua tipe yang pada prinsipnya berbeda, yaitu: pertama, partisipasi dalam aktivitas bersama dalam proyek pembangunan yang khusus. Rakyat pedesaan diperintahkan untuk mengerjakan pekerjaan yang sifatnya fisik. Jika rakyat ikut serta berdasarkan atas keyakinannya bahwa proyek itu akan bermanfaat baginya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan spontanitas, tanpa mengharapkan upah yang tinggi. Sebaliknya, kalau mereka hanya diperintah dan dipaksa oleh atasan untuk menyumbangkan tenaga atau harta bendanya kepada proyek, maka mereka tidak akan turut berpartisipasi dengan semangat. Kedua, partisipasi sebagai individu diluar aktivitas bersama dalam pembangunan. Tipe partisipasi ini tidak memerlukan perintah atau paksaan dari atasannya tetapi berdasarkan kemauan mereka sendiri.

3. Pemanfaatan (Benefits)

Partisipasi dalam menerima hasil atau manfaat pembangunan yang merupakan segala sesuatu yang bisa diperoleh masyarakat setelah adanya program pembangunan, yang mana tidak bisa mereka dapatkan sebelum adanya program pembangunan di pedesaan. Dari segi distribusi dapat dilihat pada jumlah maupun kualitas manfaat. Dari segi lain dapat dibedakan antara

material benefit dan social benefits. Material benefits dalam menganalisa akan berhubungan dengan konsumsi atau pendapatan, kekayaan, sedangkan social benefits seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, jalan-jalan dan fasilitas transportasi. (Uphoff 1977)

(32)

4. Evaluasi

Merupakan tahap pengumpulan data mengenai seberapa besar hasil dari suatu proyek pembangunan, dan bagaimana sistem pengawasan untuk menjalankan arah serta dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan proyek pembangunan tersebut. Pada tahap ini masyarakat memberikan umpan balik yang sebagai masukan untuk pelaksanaan proyek selanjutnya. Evaluasi program pembangunan dibedakan menjadi tiga jenis evaluasi, antara lain: 1)

Project Contered Evaluation, 2) Political Activities, 3) Public Opinion Efforts.

Project Contered Evaluation, bila evaluasi ini dipandang sebagai proses evaluasi formal. Sedangkan Public opinion Efforts, opini publik dalam mengevaluasi suatu program tidak secara langsung melainkan mempengaruhi melalui media masa/surat kabar, misalnya: melalui surat pembaca dalam mengungkapkan beberapa gagasan.

Partisipasi juga suatu bentuk khusus dalam pembagian kekuasaan, tugas dan tanggung jawab dalam komunitas. Selain itu partisipasi dipengaruhi oleh kebutuhan motivasi, struktur sosial, stratifikasi sosial dalam masyarakat, orang akan berpartisipasi menyangkut adanya kebutuhan akan kepuasan, mendapatkan keuntungan, dan meningkatkan status. Menurut Madrie (1986) partisipasi dapat dibedakan lagi menjadi beberapa jenis, yaitu :

1. Partisipasi dalam menerima hasil-hasil pembangunan :

a. Mau menerima, bersikap menyetujui hasil-hasil pembangunan yang ada. b. Mau memelihara, menghargai hasil pembangunan yang ada.

c. Mau memanfaatkan dan mengisi kesempatan pada hasil pembangunan. d. Mau mengembangkan hasil-hasil pembangunan.

2. Partisipasi dalam memikul beban pembangunan : a. Ikut menyumbang tenaga.

b. Ikut menyumbang uang, bahan serta fasilitas lainnya. c. Ikut menyumbangkan pemikiran, gagasan dan ketrampilan. d. Ikut menyumbang waktu, tanah dan lain sebagainya.

3. Partisipasi dalam pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan :

a. Ikut menerima informasi dan memberikan informasi yang diperlukan. b. Ikut dalam kelompok-kelompok yang melaksanakan pembangunan. c. Ikut mengambil keputusan tentang pembangunan yang dilaksanakan d. Ikut merencanakan dan melaksanakan pembangunan

e. Ikut menilai efektivitas, efisiensi dan relevansi pelaksanaan program. Menurut Ariyani (2007) sesuai dengan pembagian partisipasi tersebut maka partisipasi dalam menerima hasil pembangunan tidak hanya dalam hal menyetujui hasil-hasil pembangunan yang ada tetapi juga mau memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan sehingga pembangunan akan dapat berkesinambungan. Partisipasi dalam memikul beban pembangunan berarti masyarakat ikut berpartisipasi dalam menyumbangkan segala sumber daya yang mereka miliki baik uang, tanah, ketrampilan, ide, dan waktu untuk menunjang tercapainya tujuan pembangunan. Upaya pertanggungjawaban pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya ikut serta

(33)

menerima dan memberikan informasi tetapi juga ikut serta dalam organisasi-organisasi dan kelompok kemasyarakatan.

Kartasubrata (1986), menjelaskan bahwa dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor kesempatan, kemauan dan bimbingan. Bila melihat hubungan antara dorongan dan rangsangan dengan intensitas partisipasi dalam pembangunan untuk semua implikasinya adalah bila penduduk diberi lebih banyak kesempatan, ditingkatkan kemampuannya dengan cara memberi peluang untuk dapat memberi lebih banyak pengalaman dan dimotivasi kemauannya untuk berpartisipasi maka partisipasi akan meningkat. Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya tidak hanya diberikan pada waktu pelaksanaannya saja tetapi juga dimulai dari pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian dan kemudian distribusi hasilnya.

Tingkat Partisipasi

Tingkatan partisipasi merupakan derajat tingkat keterlibatan masyarakat dalam sebuah program terlihat dari kesempatan masyarakat untuk terlibat dan mempengaruhi jalannya program. Merujuk pada makalah yang berjudul “A Ladder of Citizen Participation” dalam Journal of The American Planning Association (1969), Arnstein mengemukakan delapan tangga atau tingkatan partisipasi yang menunjukan tingkat keterlibatan masyarakat dalam sebuah program. Delapan tingkat tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Manipulation (Manipulasi)

Pada tingkat ini, dengan mengatasnanamakan partisipasi, masyarakat diikutkan dalam program sebagai ‘stempel karet’ dalam badan penasihat yang berarti bahwa keterlibatan masyarakat hanya sebagai formalitas saja tanpa memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan. Tujuannya adalah dipakai untuk dimanfaatkan dukungannya. Tingkat ini bukanlah tingkat partisipasi masyarakat yang murni, karena telah diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi oleh penguasa.

2. Therapy (Terapi)

Pada tingkat terapi atau pengobatan, pemegang kekuasaan sama dengan ahli kesehatan jiwa. Mereka menganggap ketidakberdaayan sebagai penyakit mental dengan berpura-pura mengikutsertakan masyarakat dalam suatu perencanaan, mereka sebenarnya menganggap masyarakat sebagai sekelompok orang yang memerlukan pengobatan melalui program yang telah dirancang. Meskipun masyarakat dilibatkan dalam berbagai kegiatan namun pada dasarnya kegiatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan lukanya dan bukan menemukan penyebab lukanya.

3. Informing (Menginformasikan)

Pada tingkat ini masyarakat diberikan informasi akan hak, tanggung jawab, dan pilihan terhadap program. Namun seringkali pemberian informasi dari penguasa kepada masyarakat tersebut bersifat satu arah saja dari pemberi program. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan umpan balik/masukan terhadap program dan tidak memiliki kekuatan untuk negosiasi. Apalagi ketika informasi disampaikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi program.

(34)

4. Consultation (Konsultasi)

Pada tingkat ini, masyarakat diminta pendapatnya sebagai suatu langkah logis menuju partisipasi penuh. Tetapi konsultasi ini masih merupakan partisipasi semu karena tidak ada jaminan bahwa pendapat mereka akan diperhatikan. Cara yang sering digunakan dalam tingkat ini adalah jajak pendapat, pertemuan warga dan dengar pendapat. Pemegang kekuasaan membatasi usulan masyarakat, maka kegiatan tersebut hanyalah partisipasi palsu. Partisipasi masyarakat diukur dari frekuensi kehadiran dalam pertemuan, seberapa banyak brosur yang dibawa pulang dan juga seberapa banyak dari kuesioner dijawab. Dengan demikian, pemegang kekuasaan telah memiliki bukti bahwa mereka telah mengikuti rangkaian pelibatan masyarakat.

5. Placation (Menenangkan)

Pada tingkat ini masyarakat sudah memiliki beberapa pengaruh meskipun tidak memiliki jaminan akan diperhatikan. Masyarakat diperbolehkan untuk memberikan masukan atau mengusulkan rencana akan tetapi pemegang kekuasaanlah yang berwenang untuk menentukan. Salah satu strateginya adalah memilih masyarakat miskin yang layak untuk dimasukkan ke dalam suatu lembaga. Jika mereka tidak bertanggung jawab dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas kekuasaan, maka mereka akan dengan mudah dikalahkan.

6. Partnership (Kemitraan)

Pada tingkat ini kekuasaan disalurkan melalui negosiasi antara pemegang kekuasaan dan masyarakat. Mereka sepakat untuk sama-sama memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aturan ditentukan melalui mekanisme take and give, sehingga diharapkan tidak mengalami perubahan secara sepihak. Kemitraan dapat berjalan efektif bila dalam masyarakat ada kekuasaan yang terorganisir dengan demikian masyarakat benar-benar memiliki posisi tawar menawar yang tinggi sehingga akan mampu mempengaruhi suatu perencanaan.

7. Delegated Power (Kekuasaan didelegasikan)

Pada tingkat ini, negosiasi antara masyarakat dengan pejabat pemerintah mengakibatkan terjadinya dominasi kewenangan pada masyarakat terhadap rencana atau program tertentu.Pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuasaan dalam memntukan suatu keputusan. Selain itu masyarakat juga memegang peranan penting dalam menjamin akuntabilitas program tersebut. Untuk mengatasi perbedaan, pemegang kekuasaan tidak perlu meresponnya akan tetapi dengan mengadakan proses tawar-menawar.

8. Citizen Control (Kontrol warga negara)

Pada tingkat ini masyarakat menginginkan adanya jaminan bahwa kewenangan untuk mengatur program atau kelembagaan diberikan kepada mereka, bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan dan aspek-aspek manajerial. Masyarakat mampu apabila ada pihak ketiga yang akan mengadakan perubahan. Dengan demikian, masyarakat dapat berhubungan langsung dengan sumber-sumber dana untuk memperoleh bantuan atau pinjaman tanpa melewati pihak ketiga.

(35)

Tingkat partisipasi tersebut kemudian dibagi menjadi tiga level derajat partisipasi (Gambar 1). Tingkat manipulasi dan terapi termasuk kedalam level

non-partisipasi, yang menjelaskan bahwa program pembangunan tidak bermaksud untuk memberdayakan masyarakat tetapi membuat pemegang kekuasaan untuk “mendidik” komunitas dengan memberikan pelajaran dan pelatihan namun masyarakat tetap tidak memiliki kesempatan memberikan pendapat. Tingkatan partisipasi informasi dan konsultasi termasuk dalam level tokenisme, dimana komunitas mendapatkan informasi dan mampu menyuarakan pendapat demi perbaikan program tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi atau diimplementasikan dalam programnya. Keputusan terakhir tetap berada pada pemegang kekuasaan, masyarakat hanya diberi kewenangan searah untuk berpartisipasi dengan memberikan pendapatnya. Placation sebagai level tertinggi dalam tokenisme, mampu memberikan kesempatan kepada komunitas untuk memberikan pendapat kepada pemegang kekuasaan namun penentuan tetap berada pada pemegang kekuasaan. Tingkatan kemitraan juga memberikan kesempatan kepada komunitas untuk bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Tingkatan terakhir yaitu citizen power, pada tahapan ini masyarakat memiliki kewenangan yang besar terhadap penentuan program, dan pelaksanaan program. Tiga level terakhir termasuk kedalam level kekuatan warga negara

(citizen power).

Sumber: Arnstein (1969)

Gambar 1 Delapan tingkatan dalam tangga partisipasi masyarakat Non-Partisipasi

Tokenisme

Kekuatan warga negara (Citizen power) Kontrol Warga Negara

Delegasi Kewenangan Kemitraan Placation/ Penenangan Konsultasi Informasi Terapi Manipulasi 8 7 6 5 4 3 2 1

(36)

Kerangka Pemikiran

Program pengembangan kawasan agropolitan ditujukan untuk memaksimalkan potensi daerah setempat, baik ditingkat nasional, provinsi, kabupaten maupun desa. Kesuksesan program ditentukan oleh keberhasilan dari indikator pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), pengembangan budidaya, pengembangan permodalan dan peningkatan fasilitas infrastruktur. Pelaksanaan program agropolitan terbagi dalam tahapan perencanaan tahun 2004-2005, pelaksanaan tahun 2005-2010 dan evaluasi tahun 2010. Penyelenggaraan program agropolitan melibatkan stakeholders seperti halnya program pembangunan kawasan lainnya. Keterlibatan stakeholders menghasilkan peran stakeholders

yang dapat dilihat dari pengaruh stakeholders dan kepentingannya bagi masyarakat (IFC 2007). Pengaruh stakeholders diukur dari dukungan dana terhadap program, jaringan yang dimiliki serta personality pihak masing-masing

stakeholders. Variabel lain yang mempengaruhi peran stakeholders adalah tingkat kepentingan stakeholders menurut masyarakat terkait dengan pentingnya keberadaan pihak tersebut dilihat dari tujuan keterlibatan stakeholders untuk kepentingan masyarakat, kepentingan organisasi atau kepentingan individu

stakeholders tersebut. Peran stakeholders selama program yang didapatkan dari analisis stakeholders menurut Groenendijk (2003) serta ditampilkan melalui kuadran dengan metode power and interest grid (IFC 2007) yang dilihat dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program agropolitan. Peran masyarakat juga dipengaruhi oleh posisi pihak yang berkepentingan tersebut dalam klasifikasi

stakeholders menurut pengaruh dan kepentingannya.

Salah satu elemen penting dalam program agropolitan adalah keterlibatan komunitas yang merupakan pelaku utama dalam proses pengembangan kawasan, karenanya diperlukan partisipasi komunitas dalam setiap tahapan program. Oleh karena itu perlu dilihat tingkat partisipasi dan bentuk partisipasi masyarakat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan yang terbagi menjadi pelaksanaan program pengembangan SDM, pengembangan budidaya, pengembangan budidaya, dan peningkatan fasilitas infrastruktur serta tingkat partisipasi masyarakat dalam evaluasi program. Pengukuran partisipasi masyarakat dilihat dari derajat wewenangnya dalam pengambilan keputusan dan digolongkan menjadi tingkatan non partisipasi, tokenisme dan citizen power oleh Arnestein (1969). Selain itu keterlibatan masyarakat juga menghasilkan bentuk partisipasi masyarakat dalam menyumbang dana, materi, pemikiran maupun tenaga saat aktivitas pelaksanaan program agropolitan. Pada proses menjalankan program tentunya masyarakat berinteraksi dengan stakeholders sehingga memungkinkan untuk diteliti hubungan antara peran stakeholders dengan partisipasi masyarakat. Dalam prosesnya juga diteliti hubungan antara masing-masing elemen peran yaitu pengaruh dan kepentingan yang dihubungkan pula dengan partisipasi masyarakat pada setiap tahapan program agropolitan. Kerangka pemikiran secara rinci dijabarkan melalui Gambar 2

(37)

Keterangan : = Pengaruh secara langsung = Hubungan saling mempengaruhi Gambar 2 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

1. Diduga terdapat perbedaan peran dan posisi masing-masing stakeholders pada tahapan program agropolitan.

2. Diduga terdapat perbedaan tingkat partisipasi dan bentuk partisipasi masyarakat pada setiap tahapan program agropolitan.

3. Diduga terdapat hubungan antara peran stakeholders yang disebabkan oleh pengaruh dan kepentingan stakeholders dengan partisipasi masyarakat dalam program agropolitan. Posisi Stakeholders menurut klasifikasi IFC (2007) Partisipasi Masyarakat 1. Tingkat Partisipasi 2. Bentuk Partisipasi Keterlibatan Stakeholders dalam

program agropolitan, yaitu: 1. Pengembangan SDM 2. Pengembangan Budidaya 3. Pengembangan Permodalan 4. Fasilitas Infrastruktur Pengaruh Stakeholders  Kekuatan dana  Jaringan  Personality Tingkat Kepentingan  Kepentingan Masyarakat  Kepentingan Organisasi  Kepentingan Pribadi Peran Stakeholders

(38)

Definisi Konseptual

Definisi konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Stakeholders program agropolitan merupakan pihak yang terlibat dalam program agropolitan. Ketepatan keterlibatan para pihak memerlukan identifikasi para pihak, peranan, fungsi, dan tingkat kepentingan. Stakeholders

yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pihak yang terlibat dalam program agropolitan selain masyarakat, karena masyarakat disini merupakan obyek yang akan diukur partisipasinya. Stakeholders hanya digolongkan menjadi pihak menjadi pemerintah dan swasta.

2. Tahap perencanaan program agropolitan merupakan langkah awal yaitu penyusunan masterplan serta penetapan lokasi sosialisasi agropolitan yang terdiri dari tahap pembuatan masterplan agropolitan dan sosialisasi awal yang terkait dengan proram agropolitan baik di tingkat pemerintah kabupaten maupun tingkat lokal desa.

3. Tahap pelaksanaan program agropolitan merupakan tahap implementasi dan internalisasi program ke masyarakat. Tahap sosialisasi terlihat dari interaksi antar stakeholders dengan masyarakat dalam suatu pemahaman sehingga diharapkan adanya kesamaan tujuan mewujudkan keberhasilan pengembangan kawasan agropolitan. Pada tahap pelaksanaan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan seperti pengorganisasian sumber daya yang terlibat dalam program, penyusunan untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan pelaksanaan program, pengawasan, pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. 4. Tahap evaluasi program agropolitan merupakan merupakan tahap dimana

masyarakat menilai proses dan hasil dari pelaksanaan program pembangunan agropolitan, tahapan ini merupakan bagian dari sistem pengawasan untuk mengetahui arah program serta dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan program pembangunan tersebut.

5. Peran stakeholders merupakan salah satu bentuk kontribusi dari keterlibatan

stakeholders dalam kegiatan sesuai dengan statusnya dalam lembaga dari mana dia berasal.

Definisi Operasional

Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini menjelaskan pengukuran untuk masing-masing variabel:

1. a. Usia adalah lama hidup responden dari lahir sampai penelitian dilakukan yang diukur dengan skala rasio. Penggolongan usia mengacu pada Havighurst (1950) dalam Mugniesyah (2006) yang dikategorikan atas: 1 Dewasa awal/dini : 18-29 tahun

2 Dewasa pertengahan/madya : 30-50 tahun 3 Dewasa tua/lanjut : > 50 tahun ke atas

Gambar

Gambar 1  Delapan tingkatan dalam tangga partisipasi masyarakat Non-Partisipasi
Tabel 2  Jadwal pelaksanaan penyusunan proposal, kolokium, penelitian dan  skripsi.
Gambar 4  Matriks power and interest menurut IFC (2007)
Tabel 6 Jumlah dan persentase masyarakat Desa Karacak menurut jenis pekerjaan  tahun 2011
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penerapan asuhan kebidanan dimulai dengan pengkajian, identifikasi diagnosa, intervensi dan implementasi pada klien NY “R” Hamil dengan pre eklamsia

118 016 Publikasi Kegiatan Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan 10.000.000 DKI Jakarta APBN - - Januari Desember. 119 017 Pemberian Bantuan Tambahan Pemenuhan Kebutuhan

Jual beli merupakan aktifitas yang dijalani manusia sejak zaman Rasulullah SAW hingga sampai saat ini, Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, khususnya di

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi cendawan dari tanah perakaran bambu yang dapat sebagai endofit dan menekan penyakit akar gada pada tanaman brokoli.. Ada dua

Penelitian geofisika ini dilakukan dengan metode geomagnetik yang bertujuan untuk mengetahui pola anomali medan magnet di Situs Candi Losari sehingga dapat memberikan

Menurut sebagian ulama bahwa jawab qasam pada ayat di atas dihilangkan, yakni “Kamu pasti akan disiksa wahai orang kafir Makah”. Meskipun demikian, Al Khattan berpendapat lain,

steyaertanum yang diisolasi dari badan buah tanaman akasia yang terinfeksi penyakit busuk akar.. Pengujian patogenesitas telah dikonfirmasi dengan