• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Jasmani untuk Pengembangan Diri Anak Tunagrahita

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 54-66)

Pemahaman pendidikan khusus saat ini terus berkembang menuju arah yang lebih baik yang berlandaskan pada hak-hak dasar anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang baik. Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki makna yang luas dibandingkan dengan anak luar biasa, anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan kompensatoris yang disesuaikan dengan hambatan yang dimilikinya baik hambatan dalam belajar maupun hambatan dalam perkembanganya. Secara umum tujuan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki oleh individu sehingga mampu menjalani hidup dengan kecakapan dan kemandirian hidup yang dimilikinya. Anak tunagrahita adalah individu yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata dengan disertai hambatan dalam penyesuaian perilaku yang terjadi selama masa perkembanganya.

Pengembangan diri merupakan hal yang sangat penting untuk anak tunagrahita dalam melakukan pengembangan dirinya sendiri yang meliputi : merawat diri, mengurus diri, menolong diri, komunikasi, bersosialisasi, keterampilan hidup dan mengisi waktu luang dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pengembangan diri diarahkan untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita dalam melakukan aktifitas yang berhubungan dengan kehidupan dirinya sendiri sehingga mereka tidak tergantung dan membebani orang lain.

Hampir semua jenis ketunaan anak berkebutuhan khusus memiliki masalah dalam ranah psikomotor. Masalah psikomotor sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan sensomotorik, keterbatasan dalam kemampuan belajar. Sebagian berkebutuhan khusus bermasalah dalam interaksi sosial dan tingkah laku. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peranan pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus sangat besar dan akan mampu mengembangkan mengkoreksi kelainan dan keterbatasan tersebut, dan salah satunya adalah sebagai sarana pengembangan diri bagi anak tunagrahita.

Melalui pendidikan jasmani bagi anak tunagrahita yang memiliki kemampuan kecerdasan yang berada dibawah rata-rata, memiliki hambatan dalam perilaku, terhambat dalam belajar dan penyesuaian sosialnya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dirinya untuk lebih berkembang dalam hal kepercayaan diri, kemandirian, dan mampu berinteraksi dengan lingkungan dan sosialnya.

a. Kepercayaan Diri

Pada dasarnya sejak kecil seseorang secara normal akan berkembang. Baik secara fisik, emosional, pola pikir, gaya hidup dan lainnya. Hanya saja tidak semuanya mampu berkembang ke arah yang lebih baik. Dalam pengembangan kepercayaan diri seseorang harus mampu memahami pengembangan diri, seseorang harus sadar melihat apa saja kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya sehingga bisa memaksimalkan bakat dan kemampuan yang ada pada dirinya. Jangan memaksa melakukan atau menjadi seseorang yang bukan diri sendiri. Jadilah diri sendiri dan seperti apa adanya, namun bukan berarti hanya pasrah pada keadaan. Jika seseorang mampu

mengetahui apa saja kekurangannya, maka jangan jadikan semua itu hambatan untuk berkembang menjadi lebih baik. Tetapi jadikanlah kekurangan itu sebagai motivasi untuk menjadi lebih baik dengan menonjolkan kelebihan dan menggunakannya sebaik mungkin.

1) Pengertian kepercayaan diri

Percaya diri berasal dari bahasa Inggris yakni self confidence yang artinya percaya pada kemampuan, kekuatan dan penilaian diri sendiri. Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis dari seseorang yang member keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Kepercayaan diri merupakan sikap mental seseorang dalam menilai diri maupun objek sekitarnya sehingga orang tersebut mempunyai keyakinan akan kemampuan dirinya untuk dapat melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya.

Thantaway (2005:87) mengemukakan percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberikan keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya dalam kemampuannya, karena itu sering menutup diri. Berbeda dengan Thantaway, Rahman memberikan pengertian bahwa kepercayaan diri sebagai keyakinan dalam diri seseorang bilamana ia mampu mencapai kesuksesan dengan berpijak pada usahanya sendiri.

Selanjutnya Jess Fiest dalam buku Theories of personality (teori kepribadian) mengatakan bahwa pengembangan kepercayaan diri merupakan bentuk perwujudan dari aktualisasi diri, yaitu proses untuk mewujudkan dirinya yang terbaik, sejalan dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Setiap individu mempunyai kekuatan yang bersumber dari dirinya, namun banyak orang yang merasa tidak mempunyai kemampuan apa-apa, merasa dirinya tidak berguna dan tidak mampu mencapai aktualisasi diri.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan untuk melakukan sesuatu pada diri

subjek sebagai karakteristik pribadi yang didalamnya terdapat keyakinan akan kemampuan diri, optimis, objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis. Kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan dan sikap seseorang terhadap kemampuan pada diri sendiri dengan menerima secara apa adanya yang dibentuk dan dipelajari melalui proses belajar dengan tujuan untuk kebahagiaan dirinya.

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri individu

Kepercayaan diri dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berikut adalah faktor-faktornya, yaitu :

(a) Konsep diri

Menurut Anthony terbentuknya kepercayaan diri pada diri seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulannya dalam suatu kelompok. Hasil interaksi yang terjadi akan menghasilkan konsep diri.

(b) Harga diri

Konsep diri yang positif akan membentuk harga diri yang positif pula. Harga diri adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri yang didasarkan pada hubungannya dengan orang lain. Harga diri merupakan hasil penilaian yang dilakukannya dan perlakukan orang lain terhadap dirinya dan menunjukkan sejauh mana individu memiliki rasa percaya diri serta mampu berhasil dan berguna.

(c) Pengalaman

Pengalaman dapat menjadi faktor munculnya rasa percaya diri. Sebaliknya, pengalaman juga dapat menjadi faktor menurunnya rasa percaya diri seseorang. Anthony mengemukakan bahwa pengalaman masa lalu adalah hal terpenting untuk mengembangkan kepribadian sehat.

(d) Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan diri seseorang, tingkat pendidikan yang rendah akan menjadikan orang tersebut tergantung dan berada di bawah

kekuasaan orang lain yang lebih pandai darinya. Sebaliknya, orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah.

Ada pula pendapat lain tentang Faktor yang mempengaruhi rasa percaya diri pada seseorang sebagai berikut:

(a) Lingkungan keluarga

Keadaan lingkungan sangat mempengaruhi pembentukan awal rasa percaya diri pada seseorang. Rasa percaya diri merupakan suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang ada pada dirinya dan diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari.

(b) Pendidikan Formal

Sekolah bisa dikatakan sebagai lingkungan kedua bagi anak, dimana sekolah merupakan lingkungan yang paling berperan bagi anak setelah lingkungan keluarga di rumah. Sekolah memberikan ruang pada anak untuk mengekspresikan rasa percaya dirinya terhadap teman-teman sebayanya.

(c) Pendidikan non formal

Salah satu modal utama untuk bisa menjadi seseorang dengan kepribadian yang penuh rasa percaya diri adalah memiliki kelebihan tertentu yang berarti bagi diri sendiri dan orang lain. Rasa percaya diri akan menjadi lebih mantap jika seseorang memiliki suatu kelebihan yang membuat orang lain merasa kagum. Kemampuan atau keterampilan dalam bidang tertentu bisa didapatkan melalui pendidikan non formal. Secara formal dapat digambarkan bahwa rasa percaya diri merupakan gabungan dari pandangan positif diri sendiri dan rasa aman.

Pentingnya sebuah kepercayaan diri akan mempengaruhi keseluruhan aktivitas seseorang sepanjang hidup. Pengertian kepercayaan diri juga harus dipahami secara utuh untuk menghindari pemahaman yang tidak lengkap sehingga justru tidak sesuai norma dan etika hidup

bermasyarakat umumnya. Menurut Thursan Hakim dalam buku mengatasi rasa tidak percaya diri bahwa rasa percaya diri tidak muncul begitu saja pada diri seseorang ada proses tertentu di dalam pribadinya sehingga terjadilah pembentukan rasa percaya diri.

Terbentuknya rasa percaya diri yang kuat terjadi melalui proses: a) Terbentuknya kepribadian yang baik sesuai dengan proses perkembangan yang melahirkan kelebihan-kelebihan tertentu. b) Pemahaman seseorang terhadap kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan melahirkan keyakinan kuat untuk bisa berbuat segala sesuatu dengan memanfaatkan kelebihan kelebihannya. c) Pemahaman dan reaksi positif seseorang terhadap kelemahan-kelemahan yang dimilikinya agar tidak menimbulkan rasa rendah diri atau rasa sulit menyesuaikan diri. d) Pengalaman di dalam menjalani berbagai aspek kehidupan dengan menggunakan segala kelebihan yang ada pada dirinya.

3) Manfaat Kepercayaan Diri

Meski beberapa orang menampik tentang adanya kepercayaan diri, tapi sebagian besar lainnya justru mengakui bahwa kepercayaan diri sungguh sangat bermanfaat. Memiliki rasa kepercayaan diri sudah tentu banyak manfaatnya, antara lain: a) Mampu mengeksplorasi kemampuan diri semaksimal mungkin b) Selalu berpikir positif sekalipun dalam situasi yang sulit c) Tidak selalu tergantung kepada orang lain d) Memiliki lingkungan pergaulan yang tidak terbatas.

Pendidikan jasmani bagi anak tunagrahita diharapkan mampu menanamkan rasa kepercayaan diri melalui psikomotor yang mereka terima selama proses kegiatan pendidikan jasmani. Tanpa melihat kekurangan dalam diri mereka dan mereka mampu melaksanakan tugas ajar dengan baik dalam pendidikan jasmani oleh guru, maka akan membuat anak tunagrahita memiliki semangat untuk bisa dipandang sepadan dengan teman sebaya dan memunculkan rasa kepercayaan diri yang sangat dibutuhkan bagi anak tunagrahita dalam dirinya serta untuk kehidupan sosialnya.

b. Kemandirian

1) Pengertian Kemandirian

Kemandirian yaitu sikap penting yang harus dimiliki seseorang supaya mereka tidak selalu bergantung dengan orang lain. Sikap tersebut bisa tertanam pada diri individu sejak kecil. Di sekolah kemandirian penting untuk seorang siswa dalam proses pembelajaran. Pada bidang pendidikan sering disebut dengan kemandirian belajar. Sikap ini diperlukan setiap siswa agar mereka mampu mendisiplinkan dirinya dan mempunyai tanggung jawab.

Parker (2006: 226) mengemukakan bahwa kemandirian (self-reliance) adalah kemampuan untuk mengelola semua yang dimilikinya sendiri yaitu mengetahui bagaimana mengelola waktu, berjalan dan berpikir secara mandiri, disertai dengan kemampuan dalam mengambil resiko dan memecahkan masalah. Selanjutnya Steinberg (dalam Patriana, 2007:20) menjelaskan kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku secara seorang diri dan kemandirian remaja dapat dilihat dengan sikap remaja yang tepat berdasarkan pada prinsip diri sendiri sehingga bertingkah laku sesuai keinginannya, mengambil keputusan sendiri, dan mampu mempertanggung jawabkan tingkah lakunya.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk bertindak berdasarkan pertimbangan sendiri dan tidak bergantung dengan orang lain dalam setiap keputusannya serta mampu bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan.

2) Aspek-aspek Kemandirian

Steinberg (2002) membedakan aspek kemandirian menjadi kemandirian emosional, tingkah laku, dan nilai. Seseorang akan melakukan tingkah laku tertentu (aspek tingkah laku) setelah memikirkannya terlebih dahulu (aspek kognisi). Jadi, kemandirian tingkah laku sudah mencakup kemandirian kognisi. Kemandirian tingkah laku bukan hanya kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan bebas, namun juga kemampuan untuk mempertimbangkan dan memutuskan tingkah laku tersebut dengan bebas.

(a) Kemandirian emosional (emotional autonomy)

Kemandirian emosional adalah aspek kemandirian yang berhubungan dengan perubahan hubungan dengan seseorang, khususnya orang tua, dimana anak mengembangkan perasaan individuasi dan berusaha melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan dan ketergantungan terhadap orang tua.

(b) Kemandirian bertingkah laku

Secara keseluruhan, perubahan kognitif menghasilkan peningkatan dalam hal pengambilan keputusan dan individu memiliki kemampuan yang lebih besar untuk bertingkah laku secara mandiri. (c) Kemandirian nilai

Perkembangan kemandirian nilai memerlukan perubahan dalam pandangan moral remaja, isu-isu mengenali politik, ideologi, dan agama. Dalam tahapannya, remaja akan memiliki pola pikir secara abstrak dalam berbagai hal, kemudian keyakinan mereka menjadi semakin mengikuti prinsip-prinsip umum yang memiliki dasar ideologis, dan akhirnya keyakinan mereka semakin berada dalam nilai-nilai yang diturunkan oleh orang tua atau tokoh-tokoh lainnya 3) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Kemandirian tidak dapat begitu saja terbentuk tetapi melalui proses dan berkembang karena adanya pengaruh dari beberapa faktor. Seperti yang dikemukakan oleh Hurlock (1990) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian antara lain:

(a) Pola asuh orang tua

Orang tua dengan pola asuh demokratis sangat merangsang kemandirian anak, dimana orangtua memiliki peran sebagai pembimbing yang memperhatikan terhadap setiap aktivitas dan kebutuhan anak, terutama yang berhubungan dengan studi dan pergaulannya baik dilingkungan keluarga maupun sekolah.

(b) Jenis Kelamin

Anak yang berkembang dengan tingkah laku maskulin lebih mandiri lebih mandiri dibandingkan dengan anak yang mengembangkan pola tingkah laku yang feminism. Karena hal tersebut laki-laki memiliki sifat yang agresif dari pada anak perempuan yang sifatnya lembah lembut dan pasif.

(c) Urutan posisi anak

Anak pertama sangat diharapkan untuk menjadi contoh dan menjaga adiknya lebih berpeluang untuk mandiri dibandingkan dengan anak bungsu yang mendapatkan perhatian berlebihan dari orangtua dan saudara-saudaranya berpeluang kecil untuk mandiri.

Menurut Ali (2006:118) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi terwujudnya kemandirian sebagai berikut:

(a) Gen atau keturunan orang tua

Orang yang memiliki sifat kemandirian yang tinggi, sering kali menurunkan anak yang kemandirian juga. Namun faktor keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian yang diturunkan pada anaknya melainkan sifat orang tuanya yang muncul berdasarkan cara orang tua mendidik anaknya.

(b) Pola asuh orang tua

Cara mengasuh orang tua yang mengasuh dan mendidik anak akan terlalu banyak melarang anak tanpa alasan yang jelas akan menghambat kemandirian anak.

(c) Sistem pendidikan

Proses pendidikan yang mengembangkan demokratis pendidikan dan cenderung menekankan indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian. Proses pendidikan yang menekankan pentingnya sanksi juga dapat menghambat perkembangan kemandirian. Sebaliknya proases pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi anak,

pemberian reward dan kompetisi positif akan melancarkan perkembangan kemandirian anak.

Anak tunagrahita yang dijelaskan bahwa mereka tidak dapat sendiri dalam memenuhi kebutuhan setiap harinya, dengan sarana pendidikan jasmani diharapkan untuk bisa melihat diri mereka sendiri bahwasannya mereka bisa melakukan tugas ajar dari guru saat kegiatan pendidikan jasmani dengan mandiri. Dengan proses kemandirian saat melakukan tugas ajar pada saat kegiatan pendidikan jasmani diharapkan dapat memberikan pandangan situasi terhadap anak tunagrahita kalau mereka sebenarnya bisa dan mampu melakukan tugas dengan kemandiriannya tanpa harus membutuhkan orang lain dalam berkehidupan setiap harinya.

c. Interaksi Sosial

1) Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi sosial dapat dilihat pada kehidupan sehari-hari termasuk kita sendiri, yang kita ketahui, bukan saja di pengaruhi oleh kemampuan dalam intelektual individu. Karena manusia itu sendiri senantiasa melakukan hubungan yang dapat mempengaruhi hubungan timbal balik antara manusia yang satu dengan yang lain,dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam mempertahankan kehidupannya.

Interaksi sosial berasal dari dua kata, yaitu interaksi dan sosial. Menurut Departeman Pendidikan Nasional (2005: 438), interaksi sosial berarti hubungan sosial yang dinamis antara individu dengan individu, kelompok dengan individu, maupun kelompok dengan kelompok. Lebih lanjut Soerjono Soekanto (2012: 56) mengungkapkan bahwa interaksi sosial hanya berlangsung antara pihak-pihak apabila terjadi reaksi dari kedua belah pihak. Apabila seorang siswa memukul kursi, tidak akan terjadi interaksi sosial karena kursi tersebut tidak akan memberikan reaksi dan mempengaruhi siswa yang telah memukulnya.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara dua atau lebih individu

dimana dalam hubungan tersebut perilaku setiap individu mempengaruhi, mengubah, dan memperbaiki perilaku individu lainnya.

2) Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial

Morgan et.al. (Tin Suharmini, 2007: 142-143) menjelaskan tentang tiga faktor yang menentukan terjadinya interaksi sosial, yaitu: a) Adanya daya tarik, seperti reward, keterdekatan, sikap yang sama, dan daya tarik fisik; b) Adanya usaha untuk mengembangkan dan memelihara interaksi sosial; c) Penerimaan dalam suatu kelompok ditentukan oleh kepantasan sosial. Misalnya orang miskin cenderung dihindari oleh orang-orang kaya.

Sedangkan Gerungan (2004: 63-74) menyatakan interaksi sosial dipengaruhi oleh:

a) faktor imitasi, imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Faktor imitasi memegang peranan penting dalam interaksi sosial. Peranan imitasi dalam interaksi sosial misalnya pada anak-anak yang sedang belajar bahasa, cara berterima kasih, cara berpakaian, dan imitasi dalam perilaku. Imitasi dapat mendorong seseorang untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik; b) sugesti, dalam ilmu jiwa sosial, sugesti merupakan suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu; c) identifikasi, merupakan dorongan untuk menjadi sama (identik) dengan orang lain. Dorongan utama seseorang melakukan identifikasi adalah ingin mengikuti jejak, ingin mencontoh, serta ingin belajar dari orang lain yang dianggapnya ideal; d) simpati, merupakan ketertarikan seseorang terhadap keseluruhan cara bertingkah laku orang lain. Berbeda dengan identifikasi, simpati terjadi secara sadar dalam diri manusia untuk memahami dan mengerti perasaan orang lain. Dorongan utama seseorang bersimpati adalah ingin mengerti dan ingin bekerja sama dengan orang lain. Simpati hanya dapat berkembang dalam suatu relasi kerja sama antara dua orang atau lebih.

Lebih lanjut menurut Monk dkk, ada beberapa faktor yang cenderung menimbulkan munculnya interaksi sosial pada remaja, yaitu:

a. Umur, konformitas semakin besar dengan bertambahnya usia, terutama terjadi pada usia 15 tahun atau belasan tahun.

b. Keadaan sekeliling, kepekaan pengaruh dari teman sebaya lebih besar dari pada perempuan.

c. Kepribadian ekstrovet, anak-anak yang tergolong ekstrovet lebih cenderung mempunyai konformitas dari pada anak introvet. d. Jenis kelamin, kecenderungan laki-laki untuk berinteraksi

dengan teman lebih besar dari pada anak perempuan.

e. Besarnya kelompok, pengaruh kelompok menjadi semakin besar bila besarnya kelompok bertambah.

f. Keinginan untuk mempunyai status, adanya suatu dorongan untuk memiliki status, kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya in teraksi diantara sebayanya. Individu akan menemukan kekuatan dalam mempertahankan dirinya di dalam perebutan tempat dari dunia orang dewasa.

g. Interaksi orang tua, suasana rumah yang tidak menyenangkan dan adanya tekanan dari orang tua menjadi dorongan individu dalam berinteraksi dengan teman sebayanya.

h. Pendidikan, pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor dalam interaksi teman sebaya karena orang yang berpendidikan tinggi mempunyai wawasan dan pengetahuan luas yang akan mendukung dalam pergaulannya.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial antara lain: kepribadian, jenis kelamin, keadaan sekitar, pendidikan, imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.

Kegiatan pendidikan jasmani yang dilakukan dengan tugas ajar bersama kelompok diharapkan anak tunagrahita mampu mengenal diri sendiri dan orang lain, mampu berkomunikasi dengan kelompok, dan mampu bekerja sama dengan kelompok dengan tujuan perkembangan diri dalam hal interaksi sosial bisa berkembangan dalam kehidupan kesehariannya. Diharapkan mereka tidak menutup diri dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sosialnya.

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 54-66)

Dokumen terkait