9
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Pendidikan Jasmani
a. Pengertian Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, perseptual, kognitif, dan emosional, dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Menurut Andun Sudijandoko (2010: 03), bahwa pendidikan jasmani adalah suatu proses pendidikan seseorang sebagai perseorangan atau anggota masyarakat yang dilakukan secara sadar dan sistematik melalui berbagai kegiatan jasmani untuk memperoleh pertumbuhan jasmani, kesehatan dan kesegaran jasmani, kemampuan dan keterampilan, kecerdasan dan perkembangan watak serta keperibadian yang harmonis dalam rangka pembentukan manusia Indonesia berkualitas berdasarkan Pancasila.
Menurut Soni Nopembri (2005: 33), menyatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian intergal dari proses pendidikan umum, yang bertujuan untuk mengembangkan jasmani, mental, emaosi, dan sosial anak menjadi baik, dengan aktivitas jasmanai sebagai wahananya.
Pendidikan jasmani merupakan salah satu mata pelajaran wajib di sekolah termasuk sekolah dasar, karena pendidikan jasmani masuk dalam kurikulum pendidikan. Pendidkan jasmani adalah proses pendidikan melalui penyediaan pengalaman belajar kepada siswa berupa aktivitas jasmani, bermain dan berolahraga yang direncanakan secara sistematis guna merangsang pertumbuhan dan perkembangan fisik, keterampilan motorik, keterampilan berfikir, emosional, sosial dan moral.
Pendapat senada dikemukakan oleh Helmy Firmansyah (2009), bahwa pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang melibatkan interaksi antara peserta didik dengan lingkungan yang dikelola melalui aktivitas jasmani secara
sistematik menuju pembentukan manusia seutuhnya. Masih menurut Helmy Firmansyah (2009: 06), secara esensial pendidikan jasmani adalah suatu proses belajar untuk bergerak (learning to move) dan belajar melalui gerak (learning through movement). Program pendidikan jasmani berusaha membantu peserta didik untuk menggunakan tubuhnya lebih efisien dalam melakukan berbagai keterampilangerak dasar dan keterampilan kompleks yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Guru pendidikan jasmani semestinya memberikan pengalaman berhasil bagisetiap anak, karena pengalaman berhasil dapat merupakan sumber motivasi.
Pada hakekatnya pendidikan jasmani adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik, mental, serta emosional. Pendidikan jasmani memberlakukan anak sebagai sebuah satu kesatuan utuh, makhluk total dari pada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya. Secara ilmiah pelaksanaan pendidikan jasmani mendapat dukungan dari berbagai dukungan ilmu, dimana dari pandangan-pandangan setiap disiplin ilmu tersebut dapat dijadikan sebagai landasan bagi berlangsungnya program penjas di sekolah.
Program pendidikan jasmani yang baik tentu harus dilandasi oleh pemahaman guru terhadap karakteristik psikologis anak, dan yang paling penting adalah sumbangan apa yang dapat diberikan oleh program pendidikan jasmani terhadap perkembangan mental dan psikologi anak. Pendidikan jasmani adalah disiplin yang berorentasi pada tubuh, disamping berorientasi pada disiplin mental dan sosial. Dalam hal ini guru pendidikan jasmani harus punya penguasaan yang kokoh terhadap fungsi physical dari tubuh untuk memahami secara lebih baik pemanfaatannya dalam kegiatan pendidikan jasmani. Secara biologis, manusia dirancang untuk menjadi mahkluk yang aktif. Meskipun perubahan zaman dan peradaban telah menyebabkan penurunan dalam jumlah aktivitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas dasar yang berkaitan dengan kehidupan. Sebenarnya tubuh manusia tidak berubah, karenanya manusia harus tetap menyadari bahwa dalam hal kesehatan tubuhnya dasar biologisnya menuntut dan mengakui pentingnya
aktifitas fisik yang keras dalam hidupnya. Dalam hal inilah pendidikan jasmani yang baik di sekolah dan masa- masa berikut dalam hidupnya dipandang amat penting dalam menjaga kemampuan biologis manusia.
Pendidikan jasmani adalah sebuah wahana yang sangat baik untuk proses sosialisasi. Perkembangan sosial jelas penting, dan aktivitas pendidikan jasmani mempunyai potensi untuk menuntaskan tujuan-tujuan tersebut. Seperangkat kualitas dari perkembangan dan dipengaruhi dalam penjas diantaranya adalah kepemimpinan, karakter, moral, dan daya juang.
Menurut uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pendidikan Jasmani merupakan media untuk mendorong perkembangan keterampilan motorik kemampuan fisik, pengetahuan, penalaran, penghayatan nilai (sikap, mental, emosional, spiritual, sosial) dan pembiasaan pola hidup sehat yang bermuara untuk merangsang pertumbuhan serta perkembangan yang seimbang dalam rangka sistem pendidikan nasional. Dalam proses pembelajaran Pendidikan Jasmani guru diharapkan mengajarkan berbagai keterampilan gerak dasar, teknik dan strategi permainan dan olahraga, internalisasi nilainilai (sportifitas, jujur, kerjasama, dan lain-lain) serta pembiasaan pola hidup sehat. Pelaksanaannya bukan melalui pengajaran konvensional di dalam kelas yang bersifat kajian teoritis, namun melibatkan unsur fisik mental, intelektual, emosi dan sosial. Aktivitas yang diberikan dalam pengajaran harus sentuhan didaktik-metodik, sehingga aktivitas yang yang dilakukan dapat mencapai tujuan pengajaran.
b. Tujuan Pendidikan Jasmani
Tujuan Pendidikan jasmani merupakan penunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Tujuan Pendidikan Jasmani pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD/MI tahun 2007 adalah sebagai berikut:
1) Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan olahraga yang terpilih. 2) Meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan psikis yang baik. 3) Meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak dasar.
4) Meletakkan landasar karakter moral yang kuat melalui internalisasi nilainilai yang terkandung di dalam pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan.
5) Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, percaya diri dan demokratis.
6) Mengembangkan keterampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
7) Memahami konsep aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat dan kebugaran, terampil, serta memiliki sikap yang positif.
Sedangkan menurut Samsudin (2008: 3) tujuan pendidikan jasmani adalah:
1) Meletakkan landasan karakter yang kuat melalui internalisasi nilai dalam pendidikan jasmani.
2) Membangun landasan kepribadian yang kuat, sikap cinta damai, sikap sosial, dan toleransi.
3) Menumbuhkan kemampuan berpikir kritis melalui tugas pembelajaran pendidikan jasmani.
4) Mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama, percaya diri, dan demokratis melalui aktivitas jasmani.
5) Mengembangkan ketrampilan gerak dan ketrampilan teknik.
6) Mengembangkan keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan kebugaran jasmani serta pola hidup sehat.
7) Mengembangkan ketrampilan untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan orang lain.
8) Mengetahui dan memahami konsep aktivitas jasmani sebagai informasi untuk mencapai kesehatan, kebugaran dan pola hidup sehat.
9) Mampu mengisi waktu luang dengan aktivitas jasmani yang bersifat rekreatif.
Secara umum tujuan pendidikan jasmnai di sekolah dasar adalah memacu pertumbuhan dan perkembangan jasmani, mental, emosional, dan sosial yang selaras dalam upaya membentuk dan mengembangkan kemampuan gerak dasar, menanamkan nilai, sikap, dan mebiasakan hidup sehat (Subagyo, 2008: 107). Tujuan Penjas harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Salah satu tujuan pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UUD 1945 adalah untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani. Sehingga mata pelajaran Penjasorkes adalah salah satu mata pelajaran mempunyai peran utama untuk membentuk dan meningkatkan kesegaran jasmani peserta didiknya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Menurut Agus S. Suryobroto (2004: 8) bahwa tujuan pendidikan jasmani adalah untuk pembentukan anak, yaitu sikap atau nilai, kecerdasan, fisik, dan keterampilan (psikomotorik), sehingga siswa akan dewasa dan mandiri, yang nantinya dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan pendidikan jasmani menurut Borow yang dikutip oleh Arma Abdullah dan Agus Manaji (1994: 17) tujuan pendidikan jasmani adalah perkembangan optimal dari individu dan tubuh yang berkemampuan menyesuaikan diri secara jasmaniah, sosial, dan mental melalui pembelajaran yang terpimpin dan partisipasi dalam olahraga yang dipilih.
Tujuan Pendidikan Nasional sebagaimana telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Secara singkatnya, undang-undang tersebut berharap pendidikan dapat membuat peserta didik menjadi kompeten dalam bidangnya. Dimana kompetensi tersebut, sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang telah disampaikan diatas, harus mencakup kompetensi dalam ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan pasal 35 undang-undang tersebut.
Sejalan dengan arahan undang-undang tersebut, telah pula ditetapkan visi pendidikan tahun 2025 yaitu menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Cerdas yang dimaksud disini adalah cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual dan cerdas sosial/emosional dalam ranah sikap, cerdas intelektual dalam ranah pengetahuan, serta cerdas kinestetis dalam ranah keterampilan. Hal itu tentunya bisa terwujud apabila sarana dan prasarana pembelajaran yang dibutuhkan terpenuhi, salah satu satu yang akan menjadi pertimbangan adalah ketersediaan buku-buku materi pelajaran. Dengan demikian, Kurikulum 2013 dirancang dengan tujuan untuk mempersiapkan insan Indonesia supaya memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan peradaban dunia. Kurikulum adalah instrumen pendidikan untuk dapat membawa insan Indonesia memiliki kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sehingga dapat menjadi pribadi dan warga negara yang produktif, kreatif, dan afektif
Adapun pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional khususnya pasal 25 tentang Pembinaan dan Pengembangan Olahraga Pendidikan menyebutkan :
1) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan dan diarahkan sebagai satu kesatuan yang sistematis dan berkesinambungan dengan system pendidikan nasional.
2) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dilaksanakan melalui proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru/dosen olahraga yang berkualifikasi dan memiliki sertifikat kompetensi serta didukung prasarana dan sarana olahraga yang memadai.
3) Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan pada semua jenjang pendidikan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk melakukan kegiatan olahraga sesuai dengan bakat dan minat.
memperhatikan potensi, minat, dan bakat peserta didik secara menyeluruh, baik melalui kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. 5) Pembinaan dan pengembangan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan secara teratur, bertahap, dan berkesinambungan dengan memperhatikan taraf pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. 6) Untuk menumbuhkembangkan prestasi olahraga di lembaga pendidikan
dapat dibentuk unit kegiatan olahraga, kelas olahraga, pusat pembinaan dan pelatihan, sekolah olahraga, serta diselenggarakannya kompetisi olahraga yang berjenjang dan berkelanjutan.
7) Unit kegiatan olahraga, kelas olahraga, pusat pembinaan dan pelatihan, atau sekolah olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disertai pelatih atau pembimbing olahraga yang memiliki sertifikat kompetensi dari induk organisasi cabang olahraga yang bersangkutan dan/atau instansi pemerintah. Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan dapat memanfaatkan olahraga rekreasi yang bersifat tradisional sebagai bagian dari aktivitas pembelajaran.
Berdasarkan tujuan pendidikan jasmani di atas pembelajaran pendidikan jasmani diarahkan unuk membina pertumbuhan fisik dan pengembangan diri siswa yang lebih baik, sekaligus membentuk pola hidup sehat dan bugar sepanjang hayat. Tidak hanya untuk siswa yang normal saja, tetapi siswa berkebutuhan khusus juga berhak memperoleh dari apa yang dilakukan dalam kegiatan pendidikan jasmani yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan dan pengembangan kemampuan gerak dasar, menanamkan nilai-nilai, sikap dan membiasakan hidup sehat pada anak terlebih pada anak berkebutuhan khusus penyandang tunagrahita. Olahraga juga bisa menjadi alternatif yang sangat baik untuk anak tunagrahita sebagai cara untuk mengembangkan dirinya.
2. Pendidikan Jasmani bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani,
keterampilan gerak, keterampilan berfikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengenalan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang direncanakan secara sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Hendrayana (2007: 3) mengemukakan pendidikan jasmani adalah proses pendidikan melalui aktivitas jasmani, permainan atau olahraga yang terpilih untuk mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan jasmani tidak hanya disajikan pada siswa normal saja, tetapi pendidikan jasmani juga disajikan pada anak-anak luar biasa. Anak luar biasa (cacat) dalam dunia pendidikan disebut juga Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang memiliki ciri-ciri penyimpangan atau kelainan mental, fisik, emosi, sosial, maupun tingkah laku dan membutuhkan modifikasi dan layanan khusus untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya agar dapat mengembangkan sumua potensi dan bakat yang dimilikinya.
Pembelajaran dalam pendidikan adaptif harus disesuaikan dengan kondisi keterbatasan masing-masing peserta didik. Menurut Hosni (2003) hakekat pembelajaran adaptif adalah merupakan pembelajaran biasa yang di modifikasi dan dirancang sedemikian rupa hingga dapat dipelajari, dilaksanakan, dan memenuhi kebutuhan pendidikan anak luar biasa. Dengan demikian dapat dikatakan pembelajaran adaptif bagi anak luar biasa tersebut dirancang diadaptasikan sesuai dengan karakteristik yang di miliki oleh masing-masing anak. Begitu juga dalam pendidikan jasmani untuk anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan jasmani untuk anak berkebutuhan khusus disebut dengan pendidikan jasmani adaptif yang merupakan pembinaan pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus. Hendrayana (2007:7) menyatakan bahwa pendidikan jasmani adaptif adalah sebuah program yang bersifat individual yang meliputi jasmani/ fisik, kebugaran gerak, pola maupun keterampilan gerak dasar. Keterampilan-keterampilan air, menari, permainan olahraga baik individu maupun beregu yang didesain bagi penyandang cacat.
Pendidikan jasmani adaptif, merupakan pendidikan melalui aktivitas jasmani yang disesuaikan atau dimodifikasi yang memungkinkan individu dengan kebutuhan khusus (kurang mampu) dapat berpartisipasi atau memperoleh
kesempatan beraktivitas dengan aman dan berhasil dengan baik (sesuai dengan keterbatasannya) serta memperoleh kepuasan. Tujuannya adalah untuk membantu anak tersebut mengambil manfaat kenikmatan aktivitas rekreasi seperti yang diperoleh anakanak lain, yang sangat bermanfaat bagi perkembangan jasmani, emosi, dan sosial yang sehat (Mulyono, 2009: 145-146).
Sama halnya pendidikan yang dilakukan oleh siswa normal, pendidikan jasmani adaptif disajikan untuk membantu agar siswa memahami mengapa siswa bergerak dan melakukannya secara aman, efisien dan efektif. Hal ini disebabkan kerana gerak merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia dan tanpa gerak manusia tidak akan mampu mempertahankan hidupnya baik dari aspek kesehatan, pertumbuhan fisik, perkembangan mental sosial dan intelektual. Siswa yang memiliki kebutuhan khusus memiliki hak yang sama dengan siswa normal pada umumnya untuk memdapatkan pendidikan yang layak terutama dalam pendidikan jasmani.
Konteks pembelajaran pendidikan jasmani adaptif adalah anak berkebutuhan khusus perlu dipahami secara sungguh-sungguh oleh guru pendidikan jasmani. Hal ini disebabkan dalam proses pembelajaran jasmani sering ditemukan bahwa siswa tidak mampu melakukan gerakan dan aktivitas lain dengan baik, atau sering juga informasi dan rangkaian keterampilan gerak yang diajarkan kepada anak berkebutuhan khusus tidak dapat dicerna dengan baik akibat kecacatan dari salah satu alat fungsional tubuhnya (Tarigan, 2008: 34).
Anak berkebutuhan khusus memiliki gerak yang sangat terbatas dalam mengikuti pendidikan jasmani. Faktor yang paling penting dan harus diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan jasmani adaptif adalah semua intruksi harus jelas dan isyarat yang diberikan harus dapat dipahami oleh siswa berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, guru pendidikan jasmani disini sangat berperan dalam menentukan apakah seseorang siswa yang berkebutuhan khusus dapat mengikuti materi pembelajaran jenis olahraga secara bersama-sama dengan temannya yang normal. Oleh karena itu, guru harus melakukan pengamatan dan evaluasi secara menyeluruh terhadap kondisi fisik anak tersebut.
a. Tujuan Pendidikan Jasmani bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Tujuan pendidikan jasmani adaptif bagi anak berkebutuhan khusus juga bersifat holistic, yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan jasmani, keterampilan gerak, sosial, dan intelektual serta menanamkan sikap positif terhadap keterbatasan kemampuan baik dari segi fisik maupun mentalnya sehingga mereka mampu bersosialisasi dengan lingkungan dan memiliki rasa percaya diri dan harga diri (Tarigan, 2000: 10).
Lebih lanjut Abdoellah, Arma (1996) menyatakan tujuan pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus sebagai berikut:
1) Untuk menolong siswa mengkoreksi kondisi yang dapat diperbaiki.
2) Untuk membantu siswa melindungi diri sendiri dan kondisi apapun yang akan memperburuk keadaannya melalui aktivitas jasmani tertentu.
3) Untuk memberikan kepada siswa kesempatan untuk mempelajari dan berpartisipasi dalam sejumlah macam olahraga dan aktivitas jasmani waktu luang yang bersifat rekreatif.
4) Untuk menolong siswa memahami keterbatasan kemampuan jasmani dan mentalnya.
5) Untuk membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan dan apresiasi terhadap mekanika tubuh yang baik.
6) Untuk menolong siswa memahami dan menghargai berbagai macam olahraga yang dapat dinikmatinya sebagai penonton.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah membantu mereka yang berkelainan dalam pertumbuhan dan perkembangan jasmani, mental, emosional, dan sosial yang sesuai dengan potensinya melalui program aktivitas jasmani yang dirancang khusus dengan hati-hati sehingga diharapkan dapat memberikan kebahagiaan bagi mereka dalam menjalani kehidupan.
b. Peran dan Fungsi Pendidikan Jasmani bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus memiliki gerak yang sangat terbatas tergantung dari kecacatannya. Oleh karena itu, guru pendidikan jasmani sangat
berperan dalam membelajarakan siswa berkebutuhan khusus dengan baik dan benar. Seorang guru pendidikan jasmani berperan untuk merancang pembelajaran dengan benar sesuai dengan kecacatan siswa yang dihadapi. Hal ini seperti dikemukakan Tarigan (2000: 11) bahwa guru pendidikan jasmani sering menghadapi anak-anak yang memiliki kemampuan terbatas karena kondisi fisik, mental dan sosialnya terganggu, namun harus turut serta dalam pendidikan jasmani. Anak-anak seperti ini digolongkan sebagai orang yang lemah atau cacat, sehingga proses pembelajaran harus dirancang dengan baik agar mereka dapat terlibat secara aktif dan mencapai hasil optimal.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, guru pendidikan jasmani mempunyai peran penting dalam membelajarkan anak-anak cacat. Seorang guru pendidikan jasmani harus merancang bentuk pembelajaran yang sesuai dengan kecacatan siswa, sehingga siswa yang cacat dapat terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar pendidikan jasmani.
Agar dapat memberikan pelayanan secara optimal kepada siswa berkebutuhan khusus, guru pendidikan jasmani seyogyanya memiliki kemampuan dan keterampilan khusus dalam mengelola pembelajaran pendidikan jasmani untuk siswa berkebutuhan khusus. Kemampuan tersebut dapat diperoleh melalui praktek langsung dan melalui pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh lembaga terkait. Misalnya para guru pendidikan jasmani yang telah berpengalaman dilatih khusus sehingga memilki kemampuan dan keterampilan dalam bidang pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus. Di samping itu dapat pula dilakukan melalui pengadaan program mata kuliah pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus di lembaga pendidikan olahraga. Melalui perkuliahan tersebut teori-teori yang diperoleh di kelas dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran.
c. Program Pendidikan Jasmani bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Program pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus tidaklah sama dengan anak lainnya, karena setiap anak memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda. Sehingga dibutuhkan program pembelajaran yang lebih khusus disesuaikan dengan kebutuhan anak tersebut. Walaupun saat
pelaksanaan pembelajaran bersama-sama dengan anak lain, tetapi program yang harus diterapkan berbeda dengan program pembelajaran bagi anak lainnya. Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang maksimal maka diperlukan pengembangan maupun modifikasi pembelajaran dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan setiap anak.
Tarigan (2000: 49) mengungkapkan bahwa ada beberapa tehnik modifikasi yang dapat dilakukan pada saat pembelajaran jasmani bagi anak berkebutuhan khusus, yakni modifikasi pembelajaran dan modifikasi lingkungan belajar.
1) Modifikasi Pembelajaran
Tarigan (2000: 49) mengungkapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran pendidikan jasmani maka para guru seyogyanya melakukan modifikasi atau penyesuaian-penyesuaian dalam pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Jenis modifikasi dalam pembelajaran ini berveriasi dan bermacam-macam disesuaikan dengan kebutuhan dan keterbatasan siswa berkebutuhan khusus, tetapi tetap memiliki tujuan untuk memaksimalkan proses pembelajaran. Ada beberapa hal menurut Tarigan (2000: 50) yang dapat dimodifikasi untuk meningkatkan pembelajaran diantaranya:
a) Penggunaan Bahasa
Bahasa merupakan dasar dalam melakukan komunikasi. Sebelum pembelajaran dimulai, para siswa harus faham tentang apa yang harus dialakukan. Pemahaman berlangsung melalui jalinan komunikasi yang baik antara guru dengan siswa. Oleh karena itu, mutu komunikasai antara guru dan siswa perlu ditingkatkan melalui modifikasi bahasa yang dipergunakan dalam pembelajaran.
Sasaran dari modifikasi bahasa bukan hanya ditujukan bagi siswa yang mengalami hambatan berbahasa saja, tetapi bagi anak yang mengalami hambatan dalam memproses informasi, gangguan perilaku, mental, dan jenis hambatan-hambatan lainnya.
Contohnya pada siswa Autis, dia tidak bisa menerima dan merespon instruksi yang di berikan apabila instruksi yang diberikan terlalu panjang. Oleh karena itu instuksi yang diberikan kepada siswa autis harus singkat tetapi jelas, seperti yang diungkapkan oleh Auxter (2001: 504). Begitupula dengan siswa dengan hambatan mental yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, mereka tidak dapat memproses sebuah instruksi yang terlalu panjang sehingga instruksi yang diberikan kepada mereka haruslah singkat dan jelas.
Berbeda dengan contoh di atas penggunaan bahasa bagi siswa tunanetra dan siswa yang berkesulitan belajar harus lengkap dan jelas, karena siswa tunanetra memiliki keterbatasan dalam menggambarkan lingkungan yang ada disekitarnya sehingga mereka membutuhkan penjelasan yang jelas dan lengkap.
Sementara bagi beberapa siswa berkesulitan belajar, ada diantara mereka yang memiliki hambatan saat menerima instruksi yang diberikan, contohnya siswa berkesulitan belajar yang memiliki gangguan perkembangan motorik saat dia diberikan instruksi untuk menggerakan tangan kanan tetapi tanpa disadari dan disengaja tangan kiri yang dia gerakan. Seperti yang diungkapkan oleh Learner dalam Abdurrahman (2003:146) bahwa siswa berkesulitan belajar memiliki gangguan perkembangan motorik antara lain kekurangan pemahaman dalam hubungan keruangan dan arah serta bingung lateralitas (confused laterality). Oleh karena itu dia memerlukan instruksi yang jelas bahkan kalau bisa guru juga ikut memperagakan gerakan yang diinstruksikan agar siswa tidak mengalami kesalahan dalam melakukan gerakan dan instruksi yang diberikan harus berurutan dari tahapan awal sampai akhir karena apabila ada gerakan yang runtutannya hilang kemungkinan besar dia akan bingung saat melakukan gerakan selanjutnya.
Sedangkan bagi siswa yang memiliki hambatan pendengaran guru harus menggunakan dua metode komunikasi yakni komunikasi verbal dan Isyarat yang sering disebut dengan komunikasi total.
Komunikasi total ini dapat lebih memahami instruksi yang diberikan oleh guru, pada saat siswa tidak memahami bahasa isyarat dia bisa membaca gerak bibir dan juga sebaliknya.
b) Membuat urutan tugas
Dalam melakukan tugas gerak yang diberikan oleh guru terkadang siswa melakukan kesalahan dalam melakukannya, hal ini diasumsikan bahwa para siswa memiliki kemampuan memahami dan membuat urutan gerakan-gerakan secara baik, yang merupakan prasyarat dalam melaksanakan tugas gerak.
Seorang guru menyuruh siswa “berjalan ke pintu” yang sedang dalam keadaan duduk. Untuk melaksanakan tugas gerak yang diperintahkan oleh guru tersebut, diperlukan langkah-langkah persiapan sebelum anak benar-benar melangkahkan kakinya menuju pintu.
Jika seorang siswa mengalami kesulitan dalam membuat urutan-urutan peristiwa yang dialami, maka pelaksanaan tugas yang diperintahkan guru tersebut akan menjadi tantangan berat yang sangat berarti bagi dirinya. Oleh karena itu guru harus tanggap dan memberikan bantuan sepenuhnya baik secara verbal maupun manual pada setiap langkah secara beraturan.
c) Ketersediaan Waktu Belajar
Dalam menghadapi siswa berkebutuhan khusus perlu disediakan waktu yang cukup, baik lamanya belajar maupun pemberian untuk memproses informasi. Sebab dalam kenyataan ada siswa berkebutuhan khusus yang mampu menguasai pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan siswa-siswa lain pada umumnya.
Namun pada sisi lain ada siswa yang membutuhkan waktu lebih banyak untuk memproses informasi dan mempelajari suatu aktivitas gerak tertentu. Hal ini berarti dibutuhkan pengulangan secara menyeluruh dan peninjauan kembali semua aspek yang dipelajari. Demikian juga halnya dalam praktek atau berlatih, sebaiknya diberikan waktu belajar
yang berlebih untuk menguasai suatu keterampilan atau melatih keterampilan yang telah dikuasai
Contohnya bagi siswa yang memiliki hambatan mental dengan tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, dia tidak dapat memproses informasi atau perintah yang diberikan dengan cepat, sehingga dia akan mengalami kesulitan dan sedikit membutuhkan waktu lebih banyak dalam melakukan kegiatan tersebut. Begitu pula dengan siswa yang memiliki hambatan motorik, mereka membutuhkan waktu yang lebih saat melakukan sebuah aktivitas jasmani karena hambatan yang dimilkinya.
Contoh kegiatannya, pada saat kegiatan berlari mengelilingi lapangan siswa yang lain di berikan alokasi waktu 2 menit untuk dapat mengelilingi lapangan, tetapi bagi siswa yang memiliki hambatan mental, motorik dan perilaku mungkin membutuhkan alokasi waktu 4 sampai 5 menit untuk dapat mengelilingi lapangan tersebut.
Jadi waktu yang diberikan kepada siswa yang memiliki hambatan harus disesuaikan dengan kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh siswa tersebut, tetapi bukan erarti harus selalu lebih dari siswa lainnya karena pada kenyataanya ada siswa yang memiliki hambatan dapat menguasai pelajaran waktu yang dibutuhkannya sama dengan siswa lainnya. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (2000: 56) bahwa: dalam menghadapi siswa cacat perlu disediakan waktu yang cukup, baik lamanya belajar maupun pemberian untuk memproses informasi. Sebab dalam kenyataannya ada siswa yang cacat mampu menguasai pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan rata-rata anak normal
d) Modifikasi Peraturan Permainan
Memodifikasi peraturan permainan yang ada merupakan sebuah keharusan yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani agar program pendidikan jasmani bagi siswa berkebutuhan khusus dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu guru pendidikan jasmani harus mengetahui
modifikasi apa saja yang dapat dilakukan dalam setiap cabang olah raga bagi siswa berkebutuhan khusus.
Berikut ini ada beberapa cabang olahraga yang dimodifikasi peraturan permainannya bagi siswa berkebutuhan khusus:
(1) Atletik
Bagi beberapa siswa berkebutuhan khusus cabang olahraga altetik terutama cabang berlari ini tidak memerlukan begitu banyak penyesuaian, tetapi bagi siswa tunanetra dan siswa tunarungu sangat membutuhkan penyesuaian. Contoh penyesuaian yang dilakukan bagi siswa tunanetra saat mengikuti pembelajaran atletik adalah pada saat berlari siswa tunanetra memegang tali yang terbentang dari garis star sampai ke garis finish jadi saat berlari siswa tidak tersesat atau bertabrakan dengan siswa lainnya. Atau cara lain seperti pada saat berlari siswa tunanetra diikuti oleh teman yang memiliki penglihatan normal dari belakang dengan saling memegang tali. jadi pada saat harus berbelok ke kanan temannya menggerakan talinya kesebelah kanan dan itu menandakan berbelok ke sebelah kanan dan sebaliknya.
Peraturan atletik pada umumnya saat start di lakukan biasanya wasit membunyikan pistol atau peluit sebagai tanda dimulainya pertandingan tersebut. Tetapi bagi siswa tunarunggu hal tersebut tidaklah sesuai dengan keterbatasan mereka, maka diperlukan sedikit penyesuaian diantaranya dengan mengganti peluit atau pistol dengan alat yang dapat memberikan dilihat mereka contohnya seperti bendera. Jadi pada saat pertandingan dimulai wasit mengibaskan bendera sebagai tandanya.
(2) Basket
Dalam permainan bola basket bagi siswa berkebutuhan khusus diperlukan beberapa penyesuaian dan perubahan peraturan seperti: pemain yang mengikuti permainan ini terdiri dari 6 orang atau lebih, diperbolehkan melangkah dua atau tiga kali setelah menangkap bola. Bagi siswa tunadaksa yang menggunakan kursi roda
penyesuaian yang dilakukan dengan cara menurunkan tinggi ring dalam permainan.
Bagi siswa tunanetra bola yang digunakan harus mengeluarkan bunyi begitu pula dengan keranjang atau ringnya harus mengeluarkan bunyi agar dapat dikenali oleh para pemain.
(3) Sepak bola
Permaiana sepakbola bagi kebanyakan siswa berkebutuhan khusus tidak terlalu banyak memerlukan penyesuaian, hanya ukuran lapangan yang harus di modifikasi karena siswa berkebutuhan khusus memiliki tingkat kekuatan atau kemampuan fisik yang lemah sehingga mudah kecapean. Jadi mereka hanya bermain setengah lapangan sepak bola besar atau lebih kecil lagi dari itu sesuai dengan kemampuan mereka.
Tetapi bagi siswa tunanetra ada beberapa penyesuaian yang dilakukan diantaranya bola dan gawang yang harus mengeluarkan bunyi agar bisa dikenali oleh mereka. Lapangan yang diperkecil serta tidak ada aturan bola keluar. Masih banyak lagi permainan atau cabang olahraga bagi siswa berkebutuhan khusus yang memerlukan penyesuaian.
2) Modifikasi Lingkungan Belajar
Dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan jasmani bagi siswa yang berkebutuhan khusus maka suasana dan lingkungan belajar perlu dirubah sehingga kebutuhan-kebutuhan pendidikan siswa dapat terpenuhi secara baik untuk memperoleh hasil maksimal.
Adapun teknik-teknik memodifikasi lingkungan belajar siswa menurut Tarigan (2000: 58) sebagai berikut:
a) Modifikasi fasilitas dan peralatan
Memodifikasi fasilitas-fasilitas yang telah ada atau menciptakan fasilitas baru merupakan keharusan agar program pendidikan jasmani bagi siswa berkebutuhan khusus dapat berlangsung dengan sebagai mana mestinya. Semua fasilitas dan peralatan tentunya harus disesuaikan
dengan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu diperlukan sebuah modifikasi dan penyesuaian pada fasilitas dan peralatan yang akan digunakan oleh siswa berkebutuhan khusus. Ada beberapa modifikasi tersebut meliputi:
(1) Pengecatan, pengapuran atau memperjelas garis-garis pinggir atau batas lapangan.
(2) Memperlebar lintasan agar dapat dilalui oleh kursi roda.
(3) Mengubah atau menyesuaikan ukuran bola dalam permainan sepak bola dan voli ball.
(4) Memodifikasi bola menjadi bercahaya dan berbunyi bagi siswa tunanetra.
b) Pemanfaatan ruang secara maksimal
Pembelajaran pendidikan jasmani identik diselenggarakan di lapangan yang luas dimana semua siswa dapat berlari-lari kesana kemari, sampai – sampai terkadang guru akan kesulitan apabila lapangan yang luas tersebut tidak bisa digunakan dan mungkin akan mengganti program pembelajaran yang awalnya akan diselenggarakan di lapangan menjadi pembelajaran materi di dalam kelas. Padahal sebetulnya pembelajaran pendidikan dapat dilaksanakan dimana saja asalkan tidak membahayakan pembelajaran tersebut.
Pembelajaran pendidikan jasmani dapat dilakukan di dalam maupun di luar ruangan hal tersebut tergantung kreatifitas guru dalam merancang pembelajaran tersebut dengan baik. Seperti yang disampaikan oleh Tarigan (2000: 60) bahwa Seorang guru pendidikan jasmani harus selalu kreatif dan menemukan cara–cara yang tepat untuk memanfaatkan sarana yang teredia, sehingga menjadi suatu lingkungan belajar yang layak.
c) Menghindari gangguan dan pemusatan konsentrasi
Segala bentuk gangguan saat pembelajaran pendidikan jasmani dapat datang dari mana saja baik dari dalam pembelajaran maupun luar pembelajaran. Gangguan tersebut dapat berupa kebisingan suara yang
mengganggu konsentrasi, orang lain yang tidak berkepentingan berada di dalam lapangan, benda-benda yang dapat mengganggu jalannya pembelajaran, dan lain sebagainya.
Khusus bagi siswa yang mengalami gangguan belajar, hiperaktif dan tidak bisa berkonsentrasi lama, faktor-faktor tersebut merupakan gangguan yang sangat berarti, namun bagi siswa siswa lainnya tidak terlalu mengganggu.
Semua faktor – faktor di atas, perlu dihilangkan atau dihindari semaksimal mungkin, agar para siswa dapat memusatkan perhatian dan berkonsentrasi pada tugas-tugas yang diberikan. Tarigan (2001:61) mengungkapkan bahwa
Konsentrasi dan perhatian siswa dapat dialihkan dengan berbagai cara antara lain: pemberian instruksi dengan jelas dan lancar, dan guru harus memiliki antusiasme yang tinggi serta selalu ikut berpartisipasi aktif dalam pembelajaran
Seperti apa yang diungkapkan oleh Tarigan di atas bahwa konsentrasi dan perhatian siswa dapat dialihkan dengan beberapa cara diantaranya pemberian instruksi dengan jelas dan lancar. Instruksi yang diberikan oleh guru kepada siswa harus jelas tanpa ada singkatan ataupun kata-kata yang dapat membuat siswa menjadi bingung, dan instruksi yang diberikan harus utuh dan lancar jangan tersendat-sendat atau terputus-putus karena hal tersebut dapat menciptakan ruang bagi siswa untuk memalingkan perhatiannya.
Cara yang kedua adalah guru harus memiliki antusiasme yang tinggi serta selalu ikut berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Pada saat pembelajaran berlangsung guru harus dapat berperan aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan siswa. Guru dengan siswa bersama-sama melakukan kegiatan jasmani dengan menunjukan semangat dan keceriaan yang dapat menarik perhatian siswa agar mau mengikuti kegiatan yang dilakuan.
3. Tunagrahita
a. Pengertian Tunagrahita
Sekarang ini kita sering mendengar tentang istilah "Anak Berkebutuhan Khusus". Sebenarnya apakah yang disebut dengan Anak Berkebutuhan Khusus itu, Anak Berkebutuhan Khusus atau Anak Luar Biasa adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional. Juga anak-anak yang berbakat dengan intelegensi tinggi, dapat dikategorikan sebagai anak khusus atau luar biasa, karena memerlukan penanganan yang khusus.
Menurut Frieda Mangunsong (2009:4) Anak Berkebutuhan Khusus atau Anak Luar Biasa adalah anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal; ciri-ciri mental, kemampuan-kemampuan sensorik, fisik dan neuromaskular, Perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal diatas sejauh ia memerlukan modifikasi dari tugas- tugas sekolah, metode belajar atau pelayanan terkait lainnya, yang ditujukan untuk pengembangan potensi atau kapasitasnya secara maksimal.
Pengertian anak cacat menurut The committee of National Society for The Study of Education di AS, cacat adalah gerakan-gerakan yang dilakukan oleh seseorang yang menyimpang dari gerakan yang normal walaupun telah dikembangkan secara maksimal. Penyimpangan tersebut dapat dilihat dari segi fisik, mental, tingkah laku, emosional, dan sosial (Beltasar Tarigan 2000: 9).
Banyak terminologi yang digunakan untuk menyebut anak tunagrahita. Dalam Bahasa Indonesia, istilah yang sering digunakan misalnya lemah otak, lemah ingatan, lemah pikiran, reterdasi mental, terbelakang mental, cacat ganda, dan tunagrahita. Semua makna dari istilah tersebut sama, yakni menunjukkan pada seseorang yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata.
Sejak dikeluarkannya PP Republik Indonesia No. 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto, Indonesia kemudian menggunakan istilah tunagrahita.
Beberapa ahli memberi batasan pengertian tentang anak tunagrahita. Ada beberapa ahli yang memberikan pembatasan pengertian tunagrahita defenisi tersebut di antaranya: menurut Hillaard dan Kirman (Smith, et all, 2002: 43) memberikan penjelasan tentang anak tunagrahita, sebagai berikut:
People who are mentally retarded over time have been referred to as dumb, stupid immature, defective, subnormal, incompetent, and dull. Term such as idiot, imbecility, defective, subnormal, incompetent, a dull, term such as idiot\, imbecile moral, and feebleminded were commonly used historically to label this population although the word food revered to those who care mentally ill. And the word idiot was directed toward individuals who errs severely retarded. These term were frequently used interchangeably.
Maksudnya adalah diwaktu yang lalu orang-orang menyebut reteredasi mental dengan istilah dungu (dumb), bodoh (stupid), tidak masak (immature), cacat (defective) kurang sempurna (deficient), dibawah normal (subnormal), tidak mampu (incompetent), dan tumpul (dull). Sementara itu Hawkins, Eklund, James & Foose (2003) mengemukakan:
Mental retardation means substantial limitations in age-appropriate intellectual and adaptive behavior. It is seldom a time-limited condition. Although many individuals with mental retardation make tremendous advancements in adaptive skills (some to the point of functioning independently and no longer being considered under any disability category), most are affected throughout their life span.(http://www.education.com/pdf/characteristics-children-mental-retardation Diakses 08/09/2016).
Hal tersebut di atas berarti retardasi mental merupakan keterbatasan substansial dalam hal perilaku intelektual dan perilaku adaptif pada usia tertentu. Meskipun hal ini jarang terjadi, namun seseorang dengan kondisi keterbelakangan mental mampu membuat kemajuan yang luar biasa dalam kemampuan adaptifnya (bahkan ada beberapa titik berfungsi independen dan hampir dikatakan tidak masuk ke dalam kategori cacat), yang dapat
berpengaruh di sepanjang hidupnya. Lebih lanjut Edgare Dale (Smith et all, 2002: 47) mengemukakan tentang ciri-ciri anak tunagrahita sebagai berikut:
That a mentally deficient person is: a. sosial incompetent, that is sosially inadequate and occupational incipient and unable ti manage his own affairs the adult lacer, b. mentally subnormal, c. white has beep developmentally arrested, d. retired mortify, mentally deficient as result of on situational origin through heredity of disease, fessentially incurable.
Jadi seseorang dianggap cacat mental jika ditandai: (a) tidak berkemampuan secara sosial dan tidak mampu mengelola dirinya sendiri sampai tingkat dewasa, (b) mental di bawah normal, (c) terlambat kecerdasannya sejak lahir, (d) terlambat tingkat kemasakannya, (e) cacat mental disebabkan pembawaan dari keturunan atau penyakit, dan (f) tidak dapat disembuhkan. Menurut Mumpuniarti (2007: 5) istilah tunagrahita disebut hambatan mental (mentally handicap) untuk melihat kecenderugan kebutuhan khusus pada meraka, hambatan mental termasuk penyandang lamban belajar maupun tunagrahita, yang dahulu dalam bahasa indonesia disebut istilah bodoh, tolol, dungu, tuna mental atau keterbelakangan mental, sejak dikelurkan PP Pendidikan Luar Biasa No. 72 tahun 1991 kemudian digunakan istilah Tunagrahita.
American Association on Mental Deficiency (AAMD) mendefinisikan tunagrahita sebagai berikut : “Mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior and manifested during the developmental period” (dalam Payne & Patton, 1981). Maksud dari definisi tersebut adalah tunagrahita mengacu pada keadaan dimana fungsi intelektual umum berada di bawah rata-rata yang disertai dengan gangguan pada perilaku adaptifnya atau penyesuaian dirinya dan berlangsung selama periode perkembangan. Selain definisi yang dikemukakan oleh AAMD terdapat pula definisi yang dikemukakan oleh Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder (DSM) V yang telah menggantikan DSM IV yang dahlu masih sering digunakan sebagai acuan.
Menurut DSM IV (dalam Payne & Patton, 1981), ketunagrahitaan merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata (IQ kira-kira 70 atau kurang) yang dimulai sebelum usia 18 tahun disertai defisit atau hendaya fungsi adaptif. Kemudian untuk DSM V, menyebutkan bahwa seorang tunagrahita adalah seseorang yang memiliki defisit dalam kemampuan mental secara umum, penurunan dalam keberfungsian adaptif pada usia individu dan latar belakang sosial budayanya, dan semua gejala harus terjadi selama masa perkembangan. Sebelumnya tunagrahita dalam DSM IV disebut dengan “Mental Retardation” saat ini dalam DSM V berganti nama menjadi “Intellectual Disability”. Jadi dapat dilihat dari uraian tersebut terdapat perbedaan yaitu, adanya perubahan nama yang sebelumnya mental retardation menjadi intellectual disability,dan untuk DSM IV yang sebelumnya berdasarkan pada IQ, namun pada DSM V didasarkan pada perilaku adaptif.
Sarı &Altıparmak, 2008; Karakaya, (2005) dalam International Journal of Science Culture and Sport menyatakan bahwa “Mental Retardation (MR) (also called intellectual disabilities or cognitive disabilities) is one of the most common disability types seen in the society” (Gülşen Filazoğlu-ÇOKLUK, et all, 2015: 57). Retardasi Mental atau MR juga disebut cacat intelektual atau cacat kognitif adalah salah satu jenis kecacatan yang paling umum terlihat di masyarakat.
Branata (dalam Efendi, 2006) menyebutkan bahwa seorang tunagrahita yang jika dia memiliki tingkat kecerdasan di bawah normal, sehingga untuk dapat melakukan tugas perkembangannya memerlukan bantuan orang lain atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya. Kemudian Edgar Dale (dalam Kirk, 1970) berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika secara sosial tidak cakap, secara mental berada di bawah normal, kecerdasannya terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan kematangannya terhambat.
Undang-undang No. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan,
hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka juga mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pada pasal 6 dijelaskan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh : (1) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (2) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan , pendidikan, dan kemampuannya; (3) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; (4) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; (5) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan (6) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
The American Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR, 2000) mendefinisikan retardasi mental sebagai disfungsi atau gangguan yang terjadi pada susunan saraf pusat yang mengakibatkan kecerdasan intelektual (Intellectual Quetion) seseorang terukur dibawah 70, sehingga berdampak pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti ketrampilan berkomunikasi, sosialisasi, pendidikan/belajar, kesehatan dan pekerjaan (Greydanus & Pratt, 2005). Banyak terminologi yang digunakan untuk menyebut retardasi mental, diantaranya adalah defisiensi mental, mental subnormal, lemah pikiran (feeble mindedness), mental disabilitas atau dalam dunia pendidikan sering disebut dengan tunagrahita. Semua istilah tersebut merujuk pada seseorang yang memiliki kecerdasan mental dibawah normal (Greydanus & Pratt, 2005; Effendi, 2006).
Tunagrahita dalam kategori Indonesia masuk ke dalam kategori Exceptional People (SLB C) karena tunagrahita cacat secara mental dan mempunyai hambatan secara fisik. Anak – anak yang mempunyai hambatan secara fisik sudah semestinya perlu perhatian lebih. Anak-anak tunagrahita biasanya mengalami kesulitan berkomunikasi, sulit mengerjakan tugas- tugas akademik yang di karenakan perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Menurut Wibowo (2010), yang dimaksud dengan tunagrahita adalah
keterbatasan substansial dalam memfungsikan diri. Keterbatasan ini ditandai dengan terbatasnya kemampuan fungsi kecerdasan yang terletak di bawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) dan ditandai dengan terbatasnya kemampuan tingkah laku adaptif minimal di 2 area atau lebih.
Tingkah laku adaptif yang dimaksud pada anak tunagrahita adalah berupa kemampuan komunikasi, merawat diri, menyesuaikan dalam kehidupan rumah, keterampilan sosial, pemanfaatan sarana umum, mengarahkan diri sendiri, area kesehatan dan keamanan, fungsi akademik, pengisian waktu luang, dan kerja. Disebut tunagrahita bila manifestasinya terjadi pada usia di bawah 18 tahun. Secara umum anak tunagrahita memperlihatkan ciri- ciri seperti: a) dalam segi kecerdasan: kapasitas belajarnya terbatas terutama pada hal-hal abstrak, mereka lebih banyak belajar bukan dengan pengertian; b) sosial: dalam pergaulan mereka tidak dapat bergaul atau bermain dengan teman sebayanya, mengalami kesulitan dalam merawat diri, mengurus diri, menolong diri, berkomunikasi, dan beradaptasi dengan lingkungannya; c) fungsi mental lain: sulit memusatkan perhatian, mudah lupa, menghindari diri dari perbuatan berpikir; d) dorongan dan emosi: mereka jarang memiliki perasaan bangga, tanggung jawab, penghayatan, bagi yang berat hampir-hampir tidak mampu untuk menghindari bahaya, dan mempertahankan diri; dan e) organisme; bagi tunagrahita ringan hampir tidak terlihat perbedaannya dengan anak normal, namun keberfungsian fisik kurang dari anak normal (Astati, 2010).
Anak tunagrahita terutama yang berada di sekolah atau pada usia sekolah juga seharusnya mendapatkan pembelajaran yang sesuai untuk dapat mencapai tugas perkembangan tersebut. Anak dengan retardasi mental atau tunagrahita memiliki keterbatasan dalam kecerdasan intelektual yang berada dibawah rata-rata sehingga berdampak dalam penguasaan ketrampilan melakukan perkembangan diri secara mandiri, sehingga menyebabkan mereka mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami isolasi sosial di masyarakat karena kebersihan diri yang kurang dan ketergantungan yang besar pada keluarga. Pada akhirnya, hal ini dapat menyebabkan terbatasnya kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan kelak ketika mereka mencapai usia
dewasa. Keterbatasan kecerdasan intelektual tersebut bahkan sering diiringi dengan kelemahan fisik pada anak dengan tunagrahita. Namun, disisi lain anak-anak tunagrahita memiliki keinginan di dalam dirinya untuk mempunyai kemampuan yang sama dengan anak normal dan dengan latihan dan bimbingan yang konsisten akan dapat meningkatkan kemampuan perkembangan diri pada anak tunagrahita. Hal ini membutuhkan dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak seperti keluarga, guru sekolah dan tenaga kesehatan untuk dapat mengembangkan kemampuan anak tunagrahita dalam melakukan perkembangan diri.
Annual Report to Congress menyebutkan bahwa 1,92% anak usia sekolah penyandang tunagrahita yaitu dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan 40% atau 3:2. Tunagrahita merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama pada negara-negara berkembang. Menurut PBB, hingga tahun 2000 diperkirakan sekitar 500 juta orang di dunia mengalami kecacatan dan 80% dijumpai di negara-negara berkembang. Prevasi Amerika serikat, setiap tahun sekitar 3000-5000 anak penyandang tuna grahita dilahirkan. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI Tahun 2014 jumlah penduduk di Indonesia yang menyandang kelainan adalah 532.130 orang.
Gambar. 2. 1. Pembagian Jumlah Klaster PKSA di Indonesia Tahun 2016
Sumber:
(https://drive.google.com/file/d/0BxdLSgFbLbb0cnlKOW8tWGRVdlE/view. Diakses 08/09/2016)
Selain itu, di provinsi Jawa Tengah sendiri jumlah penyandang kelainan yang masuk dalam sekolah luar biasa (SLB) sekitar 15.324 siswa yang terbagi ke dalam beberapa jenis ketunaan. Berikut ini grafik jumlah siswa SLB menurut jenis ketunaan yang berada di provinsi Jawa Tengah.
Grafik. 2. 1. Jumlah Siswa SLB Menurut Jenis Ketunaan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2016
Sumber: (http://www.bpdiksus.org/v2/index.php?page=siswa. Diakses 08/09/2016)
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam melakukan perawatan diri dan dalam hidup bermasyarakat. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, memiliki ketergantungan terhadap orang tua yang sangat besar, dan tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana, sehingga memerlukan bimbingan dan bantuan. Mereka juga cenderung mudah dipengaruhi dan melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibat dari perbuatan tersebut. Anak tunagrahita memerlukan waktu yang lebih lama dalam bereaksi pada situasi baru dikenalnya. Namun, mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengerjakan hal-hal yang rutin dan secara konsisten. Anak tunagrahita tidak dapat menghadapi suatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama. Anak tunagrahita juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa, namun bukan kerusakan artikulasi. Hal ini disebabkan oleh kurang berfungsinya pusat pengolahan pengindraan kata pada anak tunagrahita. Mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering
didengarnya. Latihan sederhana seperti mengejakan kata atau konsep-konsep memerlukan pendekatan yang lebih intensif dan konkret dengan menggunakan kata-kata yang lebih sederhana dan mudah dipahami.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penyandang tunagrahita adalah individu yang memiliki kemampuan kecerdasan yang berada dibawah rata-rata, memiliki hambatan dalam perilaku, terhambat dalam belajar dan penyesuaian sosialnya, serta memerlukan pendidikan yang khusus. Selain itu juga seorang penyandang tunagrahita baik dalam hidup kesehariannya juga dalam melakukan tugas perkembangannya membutuhkan bantuan dari orang lain.
b. Kriteria dan Klasifikasi Tunagrahita
Kriteria tunagrahita berdasarkan DSM V adalah sebagai berikut :
1) Defisit dalam fungsi intelektual, seperti penalaran, pemecahan masalah, pemikiran abstrak, penilaian, pembelajaran akademik, belajar dari pengalaman.
2) Defisit dalam fungsi adaptif yang mengakibatkan kegagalan untuk memenuhi standar perkembangan dan sosial budaya pada kebebasan pribadi dan tanggung jawab sosial. Adanya defisit dalam fungsi adaptif akan membatasi satu atau lebih kegiatan kehidupan sehari-hari, seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan hidup mandiri di beberapa lingkungan, seperti rumah, sekolah, tempat kerja, dan masyarakat.
3) Onset defisit intelektual dan fungsi adaptif terjadi selama periode perkembangan.
Noelen dan Hoeksema (2001) mengklasifikasikan tunagrahita sebagai berikut :
1) Mild (Ringan)
Memiliki IQ antara 50-70. Dapat makan dan berpakaian sendiri dengan sedikit bantuan, mungkin memiliki keterampilan motorik rata-rata dan dapat belajar untuk berbicara dan menulis istilah-istilah sederhana. Mereka dapat menjelajah lingkungan sekitar mereka sendiri dengan baik, namun tetap memerlukan bantuan untuk menjelajah di luar lingkungan
mereka. Pada umumnya fisik dari penyandang tunagrahita ringan tampak seperti individu normal pada umumnya sehingga agak sukar membedakan antara individu normal dengan penyandang tunagrahita jika dilihat dari fisiknya. Dapat dididik dalam bidang akademis, sosial, dan pekerjaan meskipun secara sederhana (Efendi, 2006).
2) Moderate (Sedang)
Memiliki IQ antara 35 sampai 50. Biasanya memiliki keterlambatan dalam perkembangan bahasa, seperti hanya menggunakan 4 sampai 10 kata pada usia 3 tahun. Mereka mungkin memiliki fisik yang lebih kaku sehingga memiliki beberapa masalah dalam berpakaian dan makan sendiri. Di sekolah, kemampuan akademik mereka biasanya tidak sampai kelas 2, namun dengan pendidikan khusus mereka dapat memperoleh keterampilan sederhana. Penyandang tunagrahita sedang hanya dapat dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas sehari-hari, serta melakukan fungsi sosial menurut kemampuannya (Efendi, 2006). Dalam kehidupan sehari-hari, penyandang tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan secara terus-menerus.
3) Severe (Berat)
Memiliki IQ antara 20 sampai 35. Kosakata yang dimiliki sangat terbatas dan berbicara dalam 2 atau 3 kata. Mereka defisit dalam perkembangan motorik. Mereka membutuhkan perawatan dan bantuan di sepanjang hidupnya (Patton dalam Efendi, 2006).
4) Profound (Sangat Berat)
Memiliki IQ di bawah 20. Mereka sangat membutuhkan perawatan dan bantuan di sepanjang hidupnya. Mereka tidak dapat berpakaian sendiri. Mereka cenderung tidak berinteraksi sosial, meskipun begitu mereka mungkin memahami perintah sederhana.
Sedangkan klasifikasi tunagrahita berdasarkan DSM V didasarkan pada fungsi adaptif, dan bukan berdasarkan IQ. Hal tersebut dikarenakan fungsi adaptif yang menentukan tingkat dukungan yang diperlukan. Pengklasifikasian tersebut adalah sebagai berikut :
1) Mild (Ringan)
Pada anak yang belum masuk sekolah, tidak terlihat perbedaan konseptual yang jelas. Pada usia sekolah dan dewasa terdapat kesulitan dalam kemampuan keterampilan akademik, seperti membaca, menulis, aritmatika, waktu atau uang, dan mereka membutuhkan bantuan agar dapat berfungsi dan diharapkan seperti usianya. Untuk usia dewasa, berpikir abstrak, fungsi eksekutis (perencanaan, strategi, pemilihan prioritas, dan kognitif), dan memori jangka pendek, keberfungsiannya sama seperti keterampilan akademik, yaitu lemah.
Secara sosial jika dibandingkan dengan individu usia sebayanya perkembangan interaksi sosialnya belum matang. Komunikasi, percakapan, dan bahasanya belum matang dari yang diharapkan untuk usianya. Terdapat kesulitan juga dalam mengatur emosi dan tingkah langku. Mudah untuk ditipu oleh orang karena pemahaman dalam resiko terbatas.
2) Moderate (Sedang)
Semua tugas perkembangan, keterampilan konseptual individu tertinggal dari teman-teman seusianya. Pada usia anak sebelum masuk sekolah, bahasa, keterampilan pra-akademik berkembang lambat. Pada usia sekolah, progres membaca, menulis, matematika, mengerti waktu, dan uang berkembang dengan lambat dibandingkan dengan teman-temannya. Pada usia dewasa, perkembangan keterampilan akademik sama seperti anak usia sekolah dasar dan membutuhkan bantuan dalam kerja dan kehidupan pribadi.
Secara sosial individu menunjukkan perbedaan yang nyata dari teman-temannya dalam perilaku sosial dan komunikatif di seluruh perkembangannya. Kemampuan penilaian sosial dan pengambilan keputusan terbatas, dan pengasuh harus membantu dalam pengambilan keputusan hidup. Dukungan sosial dan komunikatif yang signifikan diperlukan dalam pengaturan kerja untuk sukses.
3) Severe (Berat)
Pada umumnya individu tersebut hanya dapat mengerti sedikit tentang menulis, bahasa atau konsep tentang nomor, kuantitas, waktu, dan uang. Penjaga atau pengasuh memberikan dukungan yang luas untuk pemecahan masalah.
Secara sosial dalam berkomunikasi, kosakata dan tata bahasanya sangat terbatas. Cara berbicaranya menggunakan kata-kata tunggal dan dapat dilengkapi melalui cara penambahan arti. Individu memahami kata-kata sederhana dan komunikasi gesture. Hubungan dengan anggota keluarga dan akrab lainnya adalah sumber kesenangan dan bantuan.
4) Profound (Sangat Berat)
Keterampilan konseptual umumnya melibatkan dunia fisik daripada proses simbolis. Individu dapat menggunakan obyek dalam tujuan untuk perawatan diri, kerja dan rekreasi.
Secara sosial individu memiliki pemahaman yang sangat terbatas dlam komunikasi simbolik ataupun gesture. Mereka dapat memahami beberapa petunjuk sederhana atau gesture. Individu mengekspresikan keinginan dan emosi sendiri terutama melalui non-verbal, komunikasi non-simbolik. Individu menikmati hubungan dengan anggota keluarga yang dikenalnya, pengasuh, dan orang lain yang sering ditemui. Individu merespon interaksi sosial melalui syarat gesture dan emosional. Adanya gangguan sensorik dan fisik mengakibatkan berbagai kegiatan sosial yang terbatas.
Menurut Suparlan (1983) klasifikasi tunagrahita berdasarkan tipe klinis sebagai berikut :
1) Mongol (Down Syndrome)
Penyandang tunagrahita dalam kelompok ini disebut demikian karena memiliki raut muka menyerupai orang Mongol. Menurut Kartono (2009), mereka memiliki ciri-ciri, wajah yang lebar, hidung penyek atau tumpul, letak mata miring, mulut sering menganga, kulit halus berlemak, dan otot-otot lemah. Penyebab mongolisme adalah adanya tendens penyakit
TBC, alkoholisme, penyakit syphilis. Selain itu juga bisa disebabkan karena ibu yang mengandung sudah terlalu tua. Kebanyakan dari individu dengan kondisi ini bersifat imbesil, sedikit saja yang idiot. 2) Cretinisme (Kretin, Cebol)
Seorang individu yang masuk dalam kelompok ini memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk dan pendek, kaki dan tangan pendek dan bengkok, kulit berwarna kuning pucat, terdapat keriput pada dahi dan sekitar mata, kepala besar, dan kakinya berbentuk pendek dan bengkok. Penyebab dari munculnya kondisi ini dikarenakan kekurangan hormon tiroid. Fungsi kejiwaannya sering kali tidak berkembang, termasuk kategori imbesil atau idiot (Kartono, 2009). Karena adanya gangguan hormon tiroid atau gangguan-gangguan pada kelenjar gondok maka pertumbuhan jasmani dan rohani orang tersebut akan terganggu. Selain itu juga kretinisme juga bisa disebabkan oleh air minum yang kurang mengandung zat yodium (Suparlan, 1983).
3) Hydrocephalic (Kepala besar berisi air)
Individu ini memiliki ciri-ciri kepala besar, seperti piramid yang terbalik. Individu dengan hydrocephal ini diantaranya disebabkan karena terjadi pendarahan pada intracranial (bagian dalam kepala sewaktu lahir). Selain itu juga dapat disebabkan oleh penyakit meningitis, syphilis dan tumor otak. Karena sebab itulah sehingga terjadi sebuah kantong kepala yang besar dengan dinding yang tipis yang berisi cairan hypoplasia. Banyak yang idiot atau imbesil. Pada kondisi yang berat, badannya biasanya sangat kurus, tinggal tulang dan kulit saja. Mereka menderita kelumpuhan total dan hanya tergolek tidur saja. Untuk harapan hidupnya sangat tipis. Pada kondisi yang ringan, biasanya imbesil, lekas puas, dan penurut. Sering menderita kelumpuhan separuh terutama kaki, dan koordinasi gerakannya sangat buruk (Kartono, 2009).
4) Microcephalic (Kepala Kecil)
Individu ini memiliki ukuran kepala yang kecil dan bentuk badannya sangat kerdil. Kepala bagian depan dan belakang sering ceper dengan
janggut tertarik ke dalam. Meskipun kepalanya kecil, namun memiliki tulang yang sangat tebal dan memiliki rambut yang kasar. Pada umumnya mereka memiliki sifat yang selalu gelisah, selalu bergerak, dan memiliki kecenderungan untuk meniru. Terdapat tiga tingkatan mental, yaitu idiot, imbesil, dan debil (Kartono, 2009).
5) Cerebral Palsied (Kelumpuhan pada otak)
Menurut Bax (dalam Soetjiningsih, 1995) palsi serebalis merupakan kelainan gerakan dan postur yang tidak progesif karena suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan syaraf pusat yang sedang tumbuh.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan klasifikasi penyandang tunagrahita sebagai berikut :
1) Mild (Ringan)
Memiliki IQ antara 50-70. Individu dalam golongan ini keterampilan kademiknya lemah. Perkembangan interaksi sosialnya belum matang jika dibandingkan dengan usia sebayanya. Mengalami kesulitan dalam mengatur emosi dan tingkah laku. Mudah untuk ditipu oleh orang lain karena keterbatasannya dalam mengerti resiko.
2) Moderate (Sedang)
Memiliki IQ antara 35 sampai 50. Individu dalam golongan ini keterampilan akademiknya berkembang lambat. Terdapat perbedaan yang nyata dari teman-temannya dalam perilkau sosial dan komunikatif di seluruh perkembangannya. Penilaian sosial dan pengambilan keputusan terbatas dan harus dibantu oleh pengasuhnya.
3) Severe (Berat)
Memiliki IQ antara 20-35. Individu dalam golongan ini kemampuan akademik, komunikasi, dan tata bahasanya sangat terbatas. Memahami kata-kata sederhana dan komunikasi gesture. Selalu harus mendapatkan dukungan dari pengasuhnya untuk setiap keadaan yang ada.
4) Profound (Sangat Berat)
Memiliki IQ di bawah 20. Individu dalam golongan ini dalam berkomunikasi lebih melibatkan dunia fisik. Meskipun memiliki pemahaman yang sangat terbatas dalam komunikasi simbolik ataupun gesture, mereka dapat memahami beberapa petunjuk sederhana atau gesture. Karena adanya gangguan sensorik dan keterbatasan fisik membuatnya membutuhkan bantuan untuk berbagai kegiatan di sekitarnya.
Tabel 2.1. Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasarkan Derajat Keterbelakangannya.
Level IQ
Keterbelakangannya Stanford Binet Skala Weschler
Ringan 68-52 69-55
Sedang 51-36 54-50
Berat 32-90 39-25
Sangat Berat >19 >24
Sumber: Psikologi Anak Luar Biasa (Somantri, 2012) c. Karakteristik Tunagrahita
Tunagrahita adalah kondisi anak yang mengalami keterbelakangan fungsi kecerdasan, perilaku adaptif dan hambatan pada masa perkembangan sehingga untuk mencapai perkembangan yang optimal diperlukan pelayanan dan pengajaran dengan program khusus.
Somantri (2012), menyatakan bahwa karakteristik umum tunagrahita meliputi:
1) Keterbatasan Intelegensi
Kapasitas belajar tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau membeo.
2) Keterbatasan Sosial
Tunagrahita di samping memiliki keterbatasan intelegensi juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri. Mereka cenderung berteman dengan yang lebih muda usianya, ketergantungan kepada orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana. Mereka mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi.
3) Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
Tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk mengadakan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya pada saat melakukan hal-hal yang rutin dan konsisten dari hari ke hari. Dalam penguasaan bahasa mereka memiliki keterbatasan dikarenakan pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi. Mereka membutuhkan pendekatan yang kongkrit dalam penguasaan bahasa. Selain itu anak tunagrahita kurang mampu untuk membedakan antara yang baik dan buruk, dikarenakan mereka tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan.
Sedangkan Astati (2011) menjelaskan karakteristik tunagrahita dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu karakteristik secara umum, karakteristik secara khusus, dan karakteristik pada masa perkembangan.
1) Karakteristik Umum
Menurut Suhaeri (dalam Astati, 2011) karakteristik tunagrahita secara umum sebagai berikut :
a) Akademik
Kapasitas belajar sangat terbatas, terlebih lagi mengenai hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote learning) daripada dengan pengertian. Mereka membuat kesalahan yang sama dari hari ke hari. Cenderung menghindar untuk berpikir. Mengalami kesukaran memusatkan perhatian, lapangan minatnya
sedikit, cenderung cepat lupa, sukar membuat kreasi baru, dan rentang perhatiannya pendek.
b) Sosial-Emosional
Dalam bergaul, harus dibantu dan diawasi terus karena mudah terperosok dalam hal yang kurang baik. Tidak mampu mengurus diri, memelihara, dan memimpin diri. Mereka juga cenderung bergaul dan bermain bersama dengan anak yang lebih muda.
Kehidupan penghayatan tunagrahita terbatas, yaitu mereka tidak mampu menyatakan rasa bangga atau kagum. Mereka mudah dipengaruhi sehingga tidak jarang beberapa dari mereka terperosok ke dalam hal-hal yang tidak baik, seperti mencuri, merusak dan, pelanggaran seksual. Namun, dibalik dari semua hal tersebut apabila mereka ditunjang oleh lingkungan yang kondusif, maka mereka dapat menunjukkan ketekunan dan rasa empati yang baik.
c) Fisik atau Kesehatan
Pada umumnya struktur dan fungsi tubuh tunagrahita berbeda dari individu normal, seperti mereka baru dapat berjalan dan berbicara pada usia yang lebih tua dari anak normal. Mereka mudah terserang penyakit karena keterbatasan untuk memelihara diri sendiri, serta tidak memahami cara hidup sehat.
2) Karakteristik Khusus
Astati (2011) mengemukakan karakteristik khusus tunagrahita menurut tingkat ketunagrahitaannya sebagai berikut :
a) Karakteristik Tunagrahita Ringan
(1) Masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. (2) Pada usia 16 tahun, dapat mempelajari bahan yang tingkat
kesukarannya setara dengan kelas 5 SD dan mencapai kecerdasan setara anak normal 12 tahun.
(3) Kecerdasannya berkembang dengan kecepatan antara setengan dan tiga perempat kecepatan anak normal dan berhenti pada usia muda.