• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.3 Pendidikan

Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta, yakni Prof. J. Sudarminto, SJ., pernah menyampaikan pandangannya mengenai konsep pendidikan yang baik untuk diterapkan di Indonesia dalam Seminar Peringatan Dies Natalies Universitas Sanata Dharma (USD) ke-58 dengan tema “Konsep Pendidikan

Driyarkara: Esensi, Sosial-Histori, dan Aktualisasi” yang diselenggarakan hari Kamis tanggal 12 Desember 2013. Sudarminto berpendapat bahwa salah satu konsep pendidikan yang dinilai relevan dengan kondisi Indonesia saat ini adalah konsep pendidikan menurut Prof. Driyarkara, SJ (Universitas Sanata Dharma, 2013, Wardhana dalam Solopos.com, 2013).

18 “Eidos” atau ide pokok dari pendidikan dalam pandangan Driyarkara (1980: 78) dimaknai sebagai sebuah proses memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf yang insani. Manusia muda dapat diartikan sebagai seorang anak kecil yang baru memasuki sebuah dunia dan belum mampu untuk menempatkan diri. Anak tersebut sedang berusaha untuk melakukan perjalanan ke arah kemanusiaannya, namun dipandang sebagai manusia yang belum mampu mencapai kemanusiannya. Pandangan ini didasarkan pada gambaran konkrit manusia seperti yang diharuskan sesuai kebudayaan yang ada menurut pendidik.

Pendidik pun bertanggungjawab untuk membantu anak dalam usaha untuk berbuat/bertindak sesuai kodratnya sebagai manusia sesuai dengan umur dan kemampuannya. Tindakan dari pendidik dan anak, akan menyatu dan menjelma menjadi sebuah perbuatan baru dalam diri anak sesuai ukuran mereka. Tindakan tersebut memungkinkan anak menjadi human atau sesuai dengan taraf insani. Dinamika yang terjalin antara pribadi pendidik dan pribadi anak didik, akan menyatukan mereka dalam pertemuan yang mendalam. Aku dari pendidik dan aku dari anak didik akan bersatu menjadi “kita”, dan mengangkat aku anak didik menjadi aku pendidik. Pengangkatan terhadap aku anak didik menjadi aku pendidik ini disebut sebagai proses hominisasi dan humanisasi.

Hominisasi dan humanisasi merupakan satu kesatuan dan tidak ada sekat/batasnya. Hominisasi dapat dimaknai sebagai sebuah usaha untuk memanusiakan manusia muda agar mampu berdiri, bergerak, bersikap, atau bertindak sebagai manusia dalam taraf yang minimal/sederhana. Namun demikian, manusia diharapkan tidak hanya menjadi homo (manusia), melainkan juga harus menjadi homo yang human (dalam artian berkebudayaan tinggi). Proses ini disebut sebagai humanisasi, yang artinya bahwa manusia muda diarahkan untuk mencapai taraf yang lebih sempurna. Tingkat humanisasi adalah tingkat kebudayaan yang lebih tinggi yang memungkinkan manusia mampu mengangkat alam menjadi alam manusiawi (Driyarkara, 1980: 74-90).

19 M.Heidegger seorang filsuf dari Jerman berpendapat bahwa pendidikan seyogyanya perlu untuk diperbaharui (membutuhkan renaissance) agar manusia dapat berkembang dengan lebih baik. Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Driyarkara, dipandang sebagai pilihan tepat untuk memperbaharui pendidikan di Indonesia, dikarenakan sangat mendukung dan menerapkan konsep pendidikan dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila (Sastrapratedja, 2013: 325).

Paidea sebagai konsep pendidikan yang termasuk tua dari Yunani, dapat dipahami sebagai proses pembangunan manusia. Orang Romawi menganggap bahwa pembangunan manusia dapat dilakukan melalui model pendidikan yang menerapkan prinsip humanitas. Prinsip pendidikan yang digagas oleh Driyarkara tentu selaras dengan model pendidikan humanitas, khususnya humanisme renaissance. Humanisme renaissance dapat diartikan sebagai sebuah proses pendidikan yang menekankan kebebasan manusia untuk membentuk dirinya sendiri (Sastrapratedja, 2013: iii-iv)

Prinsip humanisasi dalam pendidikan dapat kita temukan juga dalam konsep pendidikan menurut Paulo Freire, Ira Shor, Henry Giroux, dan Peter McLaren. Pendidikan yang ditawarkan oleh para ahli pendidikan tersebut dikenal dengan nama Pendidikan Emansipatoris. Mengutip pendapat Freire (Nouri dan Sajjadi, 2014), humanisasi dapat dipahami sebagai pemberdayaan kesadaran kritis yang dimiliki guru dan murid terhadap relasi mereka dengan dunia. Pembentukan dunia yang humanis menurut Freire, dapat dilakukan dengan dialog yang mengutamakan cinta, kerendahan hati, iman, keyakinan, harapan, dan pemikiran kritis.

Pendidikan Emansipatoris memungkinkan siswa dan guru saling belajar satu sama lain. Budaya baru yang ditawarkan oleh pendidikan emansipatoris adalah menjadikan guru dan murid sebagai pembelajar atau subjek yang sama-sama mempelajari objek yaitu materi pembelajaran. Dialog yang dibangun antara guru dan murid akan menumbuhkan pengetahuan dan pemahaman baru serta menjadikan guru dan murid bersama-sama saling memberdayakan satu sama lain. Dialog dalam pendidikan emansipatoris sebaiknya mengambil tema nyata dalam kehidupan

sehari-20 hari dan sesuai dengan tingkat perkembangan siswa (Sastrapratedja, 2013, Nouri dan Sajjadi, 2014, Winarti dan Anggadewi, 2015).

Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) atau Pedagogi Ignasian dianggap sebagai salah satu model pendidikan emansipatoris (Winarti dan Anggadewi, 2015: 54). Pendekatan ini merupakan bentuk Latihan Rohani yang diajarkan oleh Santo Ignatius dari Loyola. Terdapat lima bentuk kegiatan yang saling berkaitan sebagai siklus dalam PPR, antara lain yaitu konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi (Suparno, 2015: 11, 21-41, Peterson dan Nielsen dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 55).

Dalam tahapan konteks, pembelajar akan berusaha untuk mengidentifikasi sebuah konteks yang dihadirkan oleh pendidik. Pembelajar akan didorong untuk mengidentifikasi tentang keberadaan pribadi pembelajar dalam konteks dunia yang lebih luas. Pembelajar kemudian dihadapkan pada sebuah kegiatan yang berkaitan dengan konteks dengan tujuan untuk mendapatkan pengalaman. Pengalaman yang dihadirkan oleh guru, sebaiknya dilakukan dan dialami sendiri oleh pembelajar dengan harapan dapat menyentuh hati, pikiran, kehendak, dan perasaan pembelajar. Pembelajar akan terbantu untuk mendalami bahan dan mengambil makna yang mendalam dari bahan yang telah dipelajari melalui pengalaman tersebut.

Proses pengambilan makna yang mendalam dalam tahapan pengalaman, memungkinkan pembelajar untuk semakin menyadari pengalaman pribadinya hingga mencapai tahapan refleksi. Tahapan refleksi ini akan mendorong pembelajar untuk semakin menggali pengalaman mereka sedalam dan seluas-luasnya dan mengambil makna bagi hidup pribadi, hidup bersama, dan hidup bermasyarakat. Fakta lain dari kegiatan refleksi adalah membuat pembelajar semakin mampu dan berani menentukan pilihan-pilihan hidup serta menanggapi konsekuensinya.

Mengutip pendapat Mezirow (dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 55), bahwa melalui refleksi kritis yang dilakukan terus menerus akan membantu pembelajar untuk menemukan cara pandang baru hingga mengidentifikasi berbagai pilihan hidup. Tahapan aksi menjadi kegiatan lanjut setelah pembelajar menentukan

Dokumen terkait