• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.3 Pendidikan

Pendidikan menurut Dale (dalam Hardiyanti, 2011: 9) merupakan usaha secara sadar yang dilakukan untuk mempersiapkan siswa agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang, melalui bimbingan, pengajaran, dan pelatihan yang didapatkan dari sekolah dan luar sekolah. Pada dasarnya pendidikan memberikan bimbingan dan ajaran dengan cara memberikan kebebasan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya (Freire dalam Yunus, 2004: 1). Menurut Freire (dalam Yunus, 2004: 1) pendidikan merupakan usaha untuk mengembalikan manusia untuk menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan.

Penindasan yang menimpa manusia disebabkan oleh rendah pendidikan yang dimilikinya. Untuk melepas adanya berbagai bentuk penindasan harus melalui pendidikan (Mangunwijaya dalam Yunus, 2004: 83). Pendidikan diawali

dengan menghormati kebebasan, hak, dan kekuasaan pribadi. Oleh karena itu, guru selaku pelaku dalam pendidikan harus memberikan kebebasan dan hak yang dimiliki oleh peserta didik (J. Drost dalam Yunus, 2004: 16). Menurut Freire (dalam Yunus, 2004: 12) titik tolak pendidikan yang memberikan kebebasan dengan cara pemecahan kontradiksi antara guru dengan peserta didik. Pemecahan kontradiksi tersebut dimulai dengan pendekatan komunikasi dan dialog. Adanya dialog tersebut peserta didik diperbolehkan berpikir dan berkreasi dalam mengembangkan dirinya dengan bebas.

Dalam pendidikan, manusia sebagai pembelajar, Sastrapratedja (2013: 35-41) (dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 50) menjelaskan bahwa pendidikan dapat dilakukan dari empat sudut pembelajaran. Empat sudut pandang tersebut menurut yaitu: pertama, teori fungsionalis yakni pendidikan sebagai tempat bagi pembelajar untuk melakukan proses menurunkan berbagai kebudayaan kepada generasi yang baru. Kedua, teori konflik yakni pendidikan berfungsi sebagai pelayanan kepentingan kelompok dominan dengan cara kesenjangan sosio-ekonomis melalui pengetahuan dan sikap yang sesuai dengan karakter masing-masing.

Ketiga, teori kritis yakni pendidikan berfungsi sebagai membantu pembelajar dalam mengkritisi segala sesuatu yang terjadi di dunia dan menyadari keberadannya serta menentukan tindakan yang harus dilakukan. Keempat, teori interpretif yakni pendidikan merupakan suatu tempat bagi pembelajar dalam mempelajari aturan permainan hidup dengan menafsirkan makna dari berbagai perilaku sanksi, dan cara hidupnya melalui pola berkomunikasi. Manusia dalam

menempuh pendidikan untuk belajar tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya dengan cara memberikan kebebasan dan haknya. Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, pendidikan adalah usaha untuk memberikan pelatihan dengan cara memberikan kebebasan terhadap manusia agar tidak tertindas dengan adanya dialog antara guru dan siswa untuk mengembangkan kreativitas.

Pendidikan yang memberikan kebebasan manusia, hak dan agar tidak tertindas yaitu pendidikan emansipatoris. Pendidikan ini dianggap sebagai pendidikan yang menekankan adil dan demokratis. Pendidikan emansipatoris diartikan sebagai proses pembebasan kehidupan dari unsur-unsur penindasan (Freire dalam Suprijono, 2016: 41). Terdapat tiga kunci menurut Giroux (2001) (dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 53) yakni: pertama, humanisasi dapat dipahami sebagai pemberdayaan pemahaman kritis antara guru dan siswa dan untuk menciptakan humanis dengan diperlukannya cinta, kerendahan hati, iman, kepercayaan, harapan dan pemikiran kritis. Kedua, kesadaran kritis yakni belajar menerima keadaan sosial, ekonomi, dan melawan arus penindasan realitas. Ketiga, mempertanyakan sistem yakni menjadi pemikir yang kritis, perlu adanya dialog dalam bentuk mempertanyakan sistem untuk menemukan realitas.

Menurut pendapat Freire (1970) (Nouri dan Sajjadi, 2014) (dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 54) bahwa pendidikan emansipatoris adalah siswa dan guru merupakan pembelajar, guru dan siswa saling belajar. Hal tersebut dimaksud bahwa guru dan siswa sebagai subyek yang sedang mempelajari materi pembelajaran. Adanya dialog yang dilakukan antara guru dan siswa dapat

memberikan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman keduanya berkembang. Dari pemahaman yang baru, maka guru dan siswa menjadi teman yang bersama-sama memberdayakan satu bersama-sama lain. Dalam dialog pendidikan emansipatoris ini dapat mengambil tema nyata dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan siswa.

Menurut Winarti dan Anggadewi, (2015: 54) bahwa Pedagogi Ignasian atau Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) merupakan salah satu model pendidikan emansipatoris yang menekankan refleksi untuk menemukan solusi dalam proses pendidikan dengan menentukan sikap atau perilaku yang memiliki pengaruh positif. Pendekatan PPR ini menekankan pada aktivitas siswa dalam mempelajari materi. Tujuan dari PPR adalah untuk dapat mengembangkan kemampuan dalam menanggapi berbagai hal yang ada di sekitar secara kritis dalam upaya untuk memperdalam pemahaman pembelajaran yang diterima di sekolah dan lingkungan (Subagya, 2010: 22). Ada lima kegiatan yang saling berkaitan sebagai siklus dalam Pedagogi Ignasian atau PPR, yaitu konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi (Peterson dan Nielson, 2012 dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 55).

Tahapan PPR yang pertama adalah konteks. Peserta didik akan melakukan kegiatan mengidentifikasi keberadaan peserta didik dalam konteks dunia. Guru memiliki peran sebagai penggali konteks kehidupan yang ada didalam diri siswa dan mengamati pencapaian siswa akan perkembangan pribadi yang utuh pada materi yang akan dipelajari (Subagya, 2010: 43). Kegiatan konteks digunakan untuk mengali dan mengetahui pemahaman awal siswa. Dalam tahapan pengalaman ini siswa akan memahami konteksnya dengan harapan mendapatkan pengalaman (Winarti dan Anggadewi, 2015: 55). Pengalaman yang digunakan

siswa untuk dapat memahami materi yang dipelajari secara dalam dengan melibatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam pengalaman memungkinkan siswa menyadari akan pribadi dirinya (Subagya, 2010: 50).

Proses pelaksanaan menyadari dan refleksi dengan mempertimbangkan dengan seksama menggunakan daya ingat, pemahaman, imajinasi, pengalaman, dan ide-ide atau tujuan yang diinginkan (Subagya, 2010: 55). Proses refleksi dilakukan untuk mendorong siswa dalam menggali dan memunculkan makna dari pengalaman mereka. Setelah melakukan refleksi, siswa dapat menentukan aksi yang akan dilakukan sesuai dengan pilihannya. Aksi yang ditentukan berasal dari hasil refleksi yang telah dilakukan oleh siswa (Subagya, 2010: 61). Aksi yang dilakukan oleh pembelajar diharapkan untuk bersikap dengan merubah kepribadiannya menjadi lebih baik. Tahapan akhir dari PPR adalah evaluasi merupakan untuk membentuk manusia dengan memiliki kepribadian yang utuh, kompeten dalam kognitif atau intelektual dan bersedia untuk semakin berkembang (Subagya, 2010: 63).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang memberikan kebebasan dalam pembelajaran adalah pendidikan emansipatoris dengan menggunakan pendekatan Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR). Tahapan dalam PPR ini memberikan pengalaman kepada siswa untuk menyadari dan refleksi pengalamannya yang telah didapatkan dengan berkontribusi secara langsung dengan lingkungan sekitar. Setelah melakukan kegiatan refleksi, siswa melakukan kegiatan aksi untuk menentukan pilihannya dengan harapan untuk bersikap dapat merubah kepribadiannya lebih baik. Siswa

dapat belajar untuk memperoleh pengalaman dengan berkontribusi dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.

Dokumen terkait