• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter menjadi bagian penting dalam proses pendidikan, sehingga manakala pendidikan gagal dalam mencetak manusia-manusia yang

commit to user

berkarakter maka sudah semestinya ada sebuah evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan yang ada, adapun secara epistimologis beberapa pakar memberikan definisi pendidikan karakter sebagai berikut :

kter sebagai suatu proses internalisasi sifat-sifat utama yang menjadi ciri khusus dalam sebuah masyarakat ke dalam peserta didik sehingga dapat tumbuh dan bekembang menjadi manusia dewasa sesuai dengan nilai-nilai tersebut .

Ratna Megawangi (2007) dalam Adian Husaini (2010) menyatakan

proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi dan fisik, sehingga akhlak mulia dapat terukir menjadi habit of the mind, hearth, and hands .

Thomas Lickona (1991) dalam Adian Husaini (2010) mendefinisikan an karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan s

Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor) endidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.

Pengertian dari beberapa pakar diatas dapat dinyatakan bahwa pendidikan karakter adalah proses internalisasi nilai-nilai tertentu melalui pendidikan sehingga terbentuklah kepribadian dan akhlak mulia pada peserta didik melalui pembiasaan terus-menerus, dipraktikkan dan dilakukan.

commit to user

b. Sejarah Pendidikan Karakter di Indonesia

Karakter terbentuk dalam proses sejarah sebagai sifat-sifat utama dalam masyarakat yang menjadi pondasi masyarakat itu, sehingga di sinilah pendidikan memainkan peranannya sebagai sebuah sarana pewarisan dan penginternalisasian nilai-nilai pada generasi-generasi penerus. Proses ini bertujuan agar generasi selanjutnya menjadi manusia-manusia yang bermartabat, sehingga kehidupan masyarakat dapat terus hidup dan berkembang. (Bagus Mustakim,2011: 29).

Pendidikan karakter bukanlah hal yang baru dalam sejarah manusia. Orang tua dengan berbagai cara, sejak dulu kala sebelum ada pendidikan formal yang bernama sekolah seperti sekarang, sudah berusaha mendidik anak-anak mereka baik menurut norma-norma yang berlaku di tengah-tengah kehidupannya, dengan demikian semenjak awal, makna yang terkandung dalam istilah pendidikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana dari orang tua bagi anak dengan maksud memperbaiki tumbuhnya jasmani dan rohani jadi tidak hany membantu pertumbuhan fisik semata namun juga keseluruhan perkambangan pribadi manusia yang memiliki peradaban secara tidak langsung sudah

belakangnya.

Sejak awal pelaksanaan pendidikan di Indonesia, secara tidak sadar melalui regulasi-regulasi yang ada, pendidikan karakter telah menjadi bagian dari visi pendidikan, meskipun tidak disampaikan dengan istilah pendidikan karakter. Diakui atau tidak apa yang telah tercantum dalam regulasi tersebut hingga saat ini belum bisa dikatakan sukses.

Visi pendidikan karakter tercermin dalam perundang-undangan yang membahas pendidikan di negeri ini, mulai dari UU No.4 Tahun 1950 jo, UU No 12 Tahun 1954, UU No.2 Tahun 1989 dan UU No 20 Tahun 2003. Semua perundang-undangan itu menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk membentuk karakter bangsa, meskipun disampaikan dengan deskripsi yang berbeda-beda. (Bagus Mustakim, 2011 : 49-50).

commit to user

c. Pentingnya Pendidikan Karakter

Secara filosofis, pendidikan karakter lahir dari sebuah keprihatinan atas kondisi bobroknya karakter pada bangsa ini, sehingga pendidikan karakter secara tidak langsung menjadi problem solving yang dicoba untuk diangkat dalam dunia pendidikan.

Soemarmo Sudarsono (2011) dalam Gede Raka (2011:xi) menyatakan bahwa:

Lebih dari enam dekade, pendidikan karakter Indonesia belum mencapai kemajuan, bahkan dalam beberapa hal mengalami kemunduran. Masih banyaknya korupsi, semakin meningkatnya penggunaan kekerasan terhadap orang yang berbeda kepercayaan, berbeda suku, atau berbeda golongan, semakin semrawutnya lalu lintas, dan semakin rusaknya lingkungan hidup. Semua itu menjadi indikasi bahwa semakin banyak kita yang semakin kehilangan kejujuran, semakin kehilangan kemampuan untuk menghargai perbedaan, kehilangan kedisiplinan, kehilangan tata karama di ranah publik, dan kehilangan rasa tanggung jawab sosial.

kita kehilangan kekayaan, maka kita tidak kehilangan apa-apa, ketika kita kehilangan kesehatan, maka kita kehilangan sesuatu, namun ketika kita kehilangan karakter, maka kita kehilangan

segala-Soemarmo Soedarsono (2011) dalam Gede Raka (2011:xi) menyatakan

boleh berganti dan raja boleh turun takhta, namun pendidikan karakter harus

akhirnya. Pendidikan karakter diperlukan agar setiap individu menjadi orang yang lebih baik, menjadi warga masyarakat yang lebih baik dan menjadi bagian dari warga negara yang lebih baik.

Gede Raka (2011:21) menyatakan bahwa:

Meningkatnya kompetensi manusia dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dengan sendirinya disertai peningkatan kebajikan dalam hati manusia. Kompetensi yang tidak disertai dengan kebajikan cenderung akan membawa umat manusia ke keadaan yang mengancam kualitas kehidupannya bahkan keberadaannya. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang sangat mendesak untuk menegakkan kembali pendidikan karakter bagi masyarakat luas, termasuk pendidikan karakter di sekolah.

commit to user

Begitu pentingnya pendidikan karakter di tengah-tengah kehidupan kita, sehingga semua komponen dalam lingkup pendidikan harus memahami pentingnya pembentukan karakter dalam diri peserta didiknya. Kegagalan dalam membentuk karakter bisa bermakna mempersiapkan kegagalan masa depan peserta didik dan bangsanya, begitu juga dalam dunia kerja yang notabene adalah fase kehidupan yang segera akan dilalui oleh peserta didik khususnya oleh peserta didik yang menempuh jenjang pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Seperti apa yang telah diungkapkan oleh Gede Raka (2011:29) bahwa:

Perusahaan-perusahaan yang hebat lebih mencari orang yang berkarakter. Orang-orang dengan karakter yang kuat tidak memerlukan motivasi dari orang lain, sebab mereka akan memotivasi dirinya sendiri. Perusahaan-perusahaan yang hebat tidak menganggap pengetahuan atau keahlian khusus itu tidak penting, tetapi menganggap bahwa pengetahuan dan keahlian khusus itu bisa dipelajari, sementara dimensi-dimensi yang berkaitan dengan keyakinan, seperti karakter, etos kerja, dedikasi untuk memenuhi komitmen, akarnya lebih dalam dan lebih sulit dirubah.

Pembentukan karakter bagi setiap peserta didik khususnya bagi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang notabene adalah lembaga penyiap tenaga kerja sangatlah penting sekali.

d. Karakter-karakter yang Diupayakan dalam RPJP Nasional 2025

Konsep karakter sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya masih bersifat paradigmatis, karena itu karakter yang dimaksud masih bersifat universal, oleh karena itu harus diturunkan oleh sekolah menjadi karakter-karakter yang lebih praktis.

Sekolah dalam konteks ini dapat menjadikan UU No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangun Jangka Panjang (RPJP) Nasional sebagai acuan. RPJP Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Berdasarkan rumusan visi dan misi RPJP Nasional 2025, menurut Bagus Mustakim (2011:72) minimal ada delapan karakter yang harus dikembangkan

commit to user

dalam praktik pendidikan dan pembelajaran di Indonesia. Delapan karakter tersebut adalah

1)Etos Spiritual

Etos spiritual adalah etos yang dibangun dari nilai-nilai keagamaan. Sekolah bertugas untuk mengartikulasikan nilai-nilai utama itu dalam bentuk etika spiritual yang menjadi jalan hidup (way of life) bagi peserta didik. Sekolah harus mengkomunikasikan etika ini kepada peserta didik secara kreatif sehingga nilai-nilai itu bisa diimplementasikan secara aplikatif dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai inilah yang digunakan untuk membentuk karakter spiritual dalam diri peserta didik.

Etika spiritual yang berhasil dibentuk akan menjadi pondasi dasar bagi pembentukan karakter-karakter yang lain, sebab karakter-karakter yang lain pada dasarnya merupakan pengembangan karakter dasar yang lebih spesifik.

Abdul Hamid Hakim dalam Bagus Mustakim (2011:74) menyebutkan, ada lima nilai utama keagamaan yang bisa dijadikan menjadi etika spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Lima nilai tersebut adalah percaya pada Tuhan YME, Tuhan menciptakan seluruh alam yang ada termasuk manusia, manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab kepada-Nya, salah satu perbuatan yang berkenan adalah berbuat baik kepada sesama, dan manusia akan merasakan akibat

2)Etos Mutu

Etos mutu adalah karakter yang berkaitan dengan penguasaan IPTEK dan kemampuan daya saing global. Perkembangan dunia yang begitu cepat dari era agraris menuju era industri hingga era informasi sekarang ini menuntut SDM yang bisa mengimbangi perbahan percepatan perkembangan zaman.

Sekolah harus mampu menjembatani cepatnya perubahan tatanan daya saing global itu yaitu dengan menyiapkan kompetensi keilmuan dan mental. Masyarakat agaris memandang perubahan sebagai sebuah keistimewaan, masyarakat industri memandang perubahan sebagai sebuah rutinitas, sementara

commit to user

dalam masyarakat informasi perubahan akan berjalan sangat cepat dengan magnitude yang lebih tinggi.

Kesiapan peserta didik dalam menghadapi era informatika, baik kesiapan kompetensi maupun kesiapan mental, menjadi karakter yang harus dibangun oleh sekolah. Teknologi informasi menjadi kebutuhan tersendiri dalam era global ini. Melalui pembelajaran yang komprehensif diharapkan peserta didik tidak mengalami shock culture atas cepatnya perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Sebaliknya mereka memiliki kesiapan untuk berkarya dan berprestasi.

3)Keterbukaan

Karakter keterbukaan adalah karakter yang dibangun atas dasar nilai-nilai keterbukaan. Dalam UU No 17 Tahun 2007 dijelaskan bahwa nilai keterbukaan merupakan landasan penting dalam mewujudkan pembangunan Indonesia yang maju, mandiri, dan adil sesuai dengan RPJP Nasional 2025.

Chamim (2003:81) dalam Bagus Mustakim (2011:77) menyebutkan bahwa diantara nilai-nilai keterbukaan antara lain adalah kebolehan (berpendapat, berkelompok dan berpartisipasi), menghormati orang atau kelompok lain, kesetaraan, kerja sama, persaingan dan kepercayaan.

Bagus Mustakim (2011:78) menyebutkan bahwa kompetisi, kompromi dan kerja sama juga merupakan nilai-nilai yang mampu mendorong terwujudnya keterbukaan. Kompetisi diperlukan sebagai pendorong satu sama lain untuk meningkatkan kualitas masing-masing. Kompromi diperlukan untuk mengatasi masalah yang muncul di tengah-tengah kehidupan, sedangkan kerja sama diperlukan untuk menopang persaingan dengan kelompok lain.

Sekolah perlu kiranya untuk nilai-nilai tersebut kepada peserta didiknya. Nilai tersebut dikembangkan untuk membentuk karakter keterbukaan dalam diri peserta didik, sehingga diharapkan lulusan akan memiliki cara pandang yang luas dan terbuka sehingga mampu membuka ruang-ruang kompetisi yang sehat untuk kemajuan bersama.

commit to user

4)Multikultural

Karakter multikultural adalah karakter yang terbangun atas dasar kesadaran multikultural, yaitu kesadaran yang mengisyaratkan adanya sikap untuk bersedia mengakui adanya kelompok lain. Kesadaran ini juga mengandung makna kesediaan untuk berlaku adil dengan kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling menghormati.

Pengembangan karakter multikultural di sekolah diharapkan menjadikan peserta didik memiliki wawasan yang terbuka dalam menerima keberadaan kelompok yang berbeda yang selanjutnya dapat memberlakukan kelompok itu secara adil, berkompetisi secara aman dan damai dalam membangun Indonesia.

5)Kecerdasan Kritis

Kecerdasan kritis adalah sebuah karakter yang tercermin dari kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi ketidakadilan yang terjadi secara sistemik dan struktural di sekitarnya.

Pendidikan harus menciptakan ruang dan kesempatan bagi peserta didik untuk terlibat dalam proses penciptaan sistem dan struktur baru yang lebih adil dan tidak menindas. Kecerdasan kritis pada peserta didik akan mendorongnya untuk memiliki kepedulian terhadap sistem dan struktur sosial di mana mereka tinggal, dengan demikian diharapkan pada masa depan akan muncul generasi yang memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap sistem dan struktur sosial, sehingga akan terwujud masyarakat yang lebih adil dan egaliter.

6)Peduli Lingkungan

Peduli terhadap lingkungan adalah sebuah karakter yang tercermin dalam diri peserta didik yang terlihat secara sederhana dari kecintaan dan kepeduliaannya terhadap kebersihan tempat lingkungannya.

Sekolah dalam hal ini memerankan perannya dalam membentuk kesadaran terhadap lingkungan pada peserta didiknya. Karakter ini bisa dimulai dari persoalan yang terlihat sepele, seperti penyediaan tempat sampah yang memadai, sampai pada perumusan action plan tentang program-program

commit to user

kepeduliaan lingkungan. Pembentukan karakter ini diharapkan akan melahirkan generasi yang memiliki kepedulian lingkungan.

7)Berwawasan Maritim

Indonesia memiliki wilayah kelautan yang luas, namun saat ini kesadaran untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi kelautan/ kemaritiman masih sangat kurang, sehingga dalam misi mewujudkan RPJP Nasional menuju Indonesia Emas 2025 sekolah harus menfasilitasi pembentukan karakter maritim bagi peserta didiknya.

Perlu adanya upaya membangun kesadaran maritim dalam diri peserta didik. Pembentukan karakter maritim diharapkan mampu melahirkan generasi muda yang menyadari kekayaan potensi kelautan agar bisa mengeksplorasi laut Indonesia sebagai kekuatan sosial dan ekonomi bangsa.

8)Tanggung Jawab Global

UU No 17 Tahun 2007 dalam konteks global merumuskan misi agar Indonesia ikut berperan penting dalam pergaulan dunia Internasional. Misi ini tidak mungkin tercapai tanpa adanya sensitivitas global yang dimiliki oleh warga negara Indonesia, karenanya menjadi tugas sekolah untuk menumbuhkan sensitivitas atau kesadaran global ini.

Pembentukan karakter peserta didik yang memiliki kepedulian terhadap dunia global menjadi begitu penting. Generasi muda dengan karakter ini diharapkan mampu mengikuti perkembangan dunia global khususnya terkait dengan perkembangan dunia teknologi secara kritis., artinya tidak semata-mata larut dalam berbagai perubahan dan perkembangan yang terjadi.

e. Proses Pendidikan Karakter

Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. (Tim Kemdiknas,2011:2).

commit to user

Totalitas psikologis dan sosiokultural dapat dikelompokkan sebagaimana yang digambarkan dalam bagan berikut:

Gambar 2. Ruang Lingkup Pendidikan Karakter Sumber : Tim Kemdiknas (2011:4)

Berdasarkan gambar di atas, pengkategorian nilai didasarkan pada pertimbangan bahwa pada hakekatnya perilaku seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosialkultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat.

Konfigurasi karakter dalam kontek totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual & emotional development); (2) olah pikir (intellectual development); (3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Proses itu secara holistik dan koheren

commit to user

memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, serta masing-masingnya secara konseptual merupakan gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai sebagaimana dapat di lihat pada gambar di atas.

Dokumen terkait