• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III DISKRIPSI PEMIKIRAN MUHAMMAD SHALIH AL-UTSAIMIN

A. Pengertian Nilai-Nilai Dan Pendidikan Karakter

2. Pendidikan

10

Kata pendidikan yang umum kita gunakan sekarang dari Bahasa Arab yaitu tarbiyah, dengan kata kerja rabba, yang artinya pengajaran. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah ta’lim,

dengan kata kerjanya ’allama, yang berartipendidikan. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya tarbiyah wa ta’lim.

Kata rabba yang berarti mendidik sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam bentuk kata benda, kata rabba ini digunakan juga untuk Tuhan, karena Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara bahkan mencipta. (Zakiyah, 1992:26).

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya mengajar dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007:263).

Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan perserta didk melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan bagi peranannya dimasa yang akan datang (Mansur, 2007:57). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, bangsa dan negara (Maslikhah, 2009:130).

11 b. Pengertian Karakter

Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. (Musfiroh, 2008: 28). Karakter berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain: tabi‟at, watak. (Saptono,

2002: 17).

Sehingga jika seseorang berperilaku kejam, tamak atau tidak jujur, maka dikatakan berkarakter jelek, sedangkan orang yang ramah, sopan dan jujur disebut memiliki karakter yang baik. Dengan demikian, karakter sangat erat kaitannya dengan kepribadian seseorang.

c. Pendidikan Karakter

Prof. Suyanto dalam bukunya Masnur Muslich menyatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Imam Ghozali mengatakan bahwa karakter itu lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi (Masnur Muslich, 2011:70).

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggara dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian

12

pembentukan karakter dan akhlak mulia anak secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan norma dan nilai yang ada. Melalui pendidikan karakter diharapkan anak mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari (Narwanti, 2011:17).

Jadi dari berbagai definisi di atas menurut penulis pendidikan karakter adalah proses bimbingan oleh pendidik (guru, orang tua, masyarakat, lingkungan) kepada peserta didik baik jasmani maupun rohani yang dilakukan secara sadar dan sengaja agar terbentuk kepribadian atau perilaku yang utama sebagai manusia seutuhnya (insan kamil).

3. Nilai-Nilai pendidikan Karakter

Nilai-nilai pendidikan karakter itu merupakan nilai yang dapat membantu interaksi bersama orang lain secara lebih baik, nilai tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan, seperti hubungan dengan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, lingkungan dan Tuhan. (Masnur Muslih, 2011:67)

Nilai karakter atau akhlak mulia yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai kehidupan manusia, baik dalam berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia, maupun dengan alam sekitarnya. Jika nilai-nilai ini bisa direalisasikan dalam kehidupan manusia, maka akan dihasilkan manusia yang paripurna (insan

13

kamil) dan terciptalah kehidupan yang bermatabat. (Darmiyati Zuchdi, 2011:25).

4. Pendidikan Islam

Islam sebagai sebagai agama dan sekaligus sebagai sistem peradaban mengisyaratkan pentingnya pendidikan. Islam sebagai bentukan dari kata istislam (penyerahan diri sepenuhnya kepada ketntuan Allah), salama (kelematan), salima (kesejahteraan). Dengan demikian secara terminologis pengertian Islam tak dapat dilepaskan dari makna kata asal. Bila Islam dikaitkan dengan pendidikan maka penyusunan rumusannya setidak-tidaknya harus dapat menggambarkan ungsur makna kata-kata tersebut. (Jalaluddin,2003:70).

Pendidikan Islam adalah pendekatan menyeluruh terhadap wujud manusia baik dari segi jasmani maupun rohani, baik dari kehidupan fisik maupun mental dalam melaksankan kegiatan di bumi ini.(Abdulah, 2006:48).

Pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Definisi yang digunakan ini hanyalah menyangkut pendidikan oleh seseorang terhadap orang lain, yang diselenggarakan dalam keluarga, masyarakat dan sekolah, menyangkut pembinaan aspek jasmani, akal, dan hati anak didik (Tafsir, 2005:32).

14

Pendidikan Islam memberikan landasan spiritual, moral dan etik yang didasarkan pada kesatuan pandangan yang dibangun atas kepercayaan kepada Tuhan, hubungan yang baik dengan manusia dan alam sekitar. (Abudin Nata, 2013:48)

5. Kitab Makarimul al-Akhlaq

Kitab Makarimul al-Akhlaq adalah sebuah karya Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin yang disajikan untuk seorang hamba sebagai pedoman dan rujukan berperilaku sesuai tuntunan islami yang dapat membawa ke arah kebaikan dan menjadikan seseorang berbudi pekerti santun dan berjiwa lembut. Kandungannya begitu dalam dan hakikatnya begitu tinggi, sehingga bila dipahami dengan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari dapat mengantarkan kita pada kebersihan hati, kesucian jiwa dan kesantunan budi pekerti dan kitab ini berisisi tentang bagaimana menyempurnakan karakter sesuai dengan syari‟at Islam, bermuamalah dengan Allah, karakter kepada sesama makhluk, disini ditunjukkan dengan pendidikan karakter toleransi, peduli sosial, tidak sombong, dermawan, menjaga harga diri, dan bermoral baik.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gamabaran yang jelas dan menyeluruh sehingga pembaca nantinya dapat memahami tentang isi skripsi dengan mudah, penulis berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling berkaitan yaitu sebagai berikut:

15

BAB I: Pendahuluan. Bab ini terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, Penegasan Istilah, Sistematika Penulisan skripsi.

BAB II: paparan data-data yang berisi tentang sejarah biografi Syaikh Muhammad Bin Shalih al-Utsaimin.

BAB III: Deskrisi nilai-nilai pendidikan karakter dalam kitab makarimul al-akhl aq karya muhammad bin shalih al-utsaimin

BAB IV: analisis data yang meliputi tentang nilai-nilai pendidikan karakter dalam kitab Makarimul al-Akhlaq karya Syaikh Muhammad Bin Shalih al-Utsaimin relevansinya dengan pendidikan Islam.

BAB V: PENUTUP

16

BAB II

BIOGRAFI SYEIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-UTSAIMIN

A. Kelahiran Syeikh Muhammad Bin Al-Utsaimin

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin lahir di kota 'Unaizah, salah satu kota Al-Qashim, Pada tanggal 27 Ramadhan 1347 Hijriah. Beliau lahir dan di besarkan dalam lingkungan keluarga yang terkenal agamis dan istiqamah. Beliau menikah dengan satu seorang dan dikaruniai delapan orang anak lima laki-laki dan tiga perempuan. Kakek beliau dari pihak ibu bernama Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman al Damigh. Kepadanyalah beliau belajar, menghafalkan al-Qur-an, dan sebelum menginjak usia 15 tahun beliau telah hafal kitab tentang ushul al-fiqh yaitu

“Zaad al-Mustaqniq” dan kitab tentang ilmu nahwu/bahasa yaitu “Alfiyah ibn Malik”. Beliau menguasai sastra Arab, ilmu menghitung dan menulis tulisan

Arab. Tidaklah mudah pada zaman itu seorang pelajar menuntut ilmu sebagaimana saat ini yang begitu mudah fasilitasnya. Pada zaman itu, Syaikh Utsaimin belajar dengan fasilitas yang sederhana, tidak ada tempat belajar, AC, tidak ada lampu khusus untuk belajar, belajar di kamar yang terbuat dari tanah, yang terlihat darinya kandang sapi, sebagaimana beliau menceritakannya.

17

B. Pendidikan Dan Guru-Guru Syeikh Muhammad shalih Al-Utsaimin

1. Pendidikan

Dalam mencari ilmu, Syaikh Utsaimin mengikuti jejak dan teori salafus shalih. Beliau memulainya dengan menghafal Al-Qur'an saat masih kecil. Beliau membacanya di hadapan kakek dari jalur ibunya, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman Alu Damigh Rahimahullah. Kemudian beliau berguru kepada Syaikh Al-Allaamah Al-Mufassir Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di Rahimahullah yang tercatat sebagai guru pertama beliau.

Kepada Syaikh Abdurrahman, beliau belajar ilmu tauhid, tafsir, hadits dan fikih. Beliau menimba ilmu dari Syaikh Abdurrahman selama kurang lebih sebelas tahun,dan beliau termasuk salah seorang muridnya yang paling menonjol.

Di saat beliau mengenyam pendidikan formal di Riyadh, beliau sempat mendalami Shahih Al-Bukhari, beberapa risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian kitab-kitab fikih kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah.Sejak meninggalnya Syaikh Abdurrahman As-Sa'di, beliau menjadi imam Masjid Jami' di Unaizah, mengajar di perpustakaan nasional Unaizah, di samping mengajar di Ma'had Al-Ilmi.

Setelah itu, beliau aktif mengajar di fakultas syari'ah dan ushuluddin, Universitas Muhammad bin Su'ud Islamiyyah cabang Al-Qashim. Selain mengajar, beliau juga aktif sebagai anggota Haiatu Kibari Ulama Kerajaan Saudi Arabia sampai beliau wafat. (http://www majalahislami.com.figur-ulama-ahlu-sunnah).

18 2. Guru-Gurunya

Syaikh Utsaimin belajar di kota Unaizah pada guru beliau yaitu Syaikh Abdurrahman as-Sa‟di salah seorang ulama terkemuka di daerah Najd selama 11 tahun. Beliau mengajar di Masjid Jami‟ di Unaizah pada

tahun 1371 H, akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena beliau pergi ke kota Riyadh untuk belajar pada tahun 1372 H. setelah meminta

izin kepada Syaikh Sa‟di guru beliau. Di sanalah nampak bahwa beliau orang yang menonjol dalam ilmu agama, dimana beliau mampu meringkas studi selama 2 tahun dalam satu tahun, sehingga beliau dapat menyelesaikan pelajaran yang seharusnya 4 tahun menjadi 2 tahun.

Setelah itu, beliau ditunjuk sebagai pengajar di Ma‟had Unaizah al-Ilmi, lalu melanjutkan di Kuliah syariah di Riyadh hingga lulus. Di kota ini, beliau bertemu dan belajar pada guru beliau ke dua, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-, Syaikh Utsaimin sangat terkesan padanya,

dimana beliau berucap : “Saya terkesan pada Syaikh bin Baz akan

perhatian beliau pada hadits Nabi, dan saya sangat terkesan pula pada akhlak beliau”.

C. Karakter Syeikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin

1. Karakter seorang guru sekaligus pendidik

Tidaklah hubungan Syaikh Utsaimin dengan para muridnya hanya sekedar hubungan ilmu saja. Beliau adalah sosok seorang pendidik

19

sekaligus guru, beliau kunjungi murid-muridnya, menanyakan yang tidak hadir, dan membantu mereka yang butuh pertolongan.

Raja Khalid bin Abdul Aziz pernah menghadiahi pada beliau sebuah bangunan, maka beliaupun menginfakkannya untuk asrama murid-muridnya yang ditempati secara gratis, dan beliau sediakan ruang makan dan juru masaknya untuk menyediakan makanan bagi mereka. Dan beliau sediakan perpustakaan buku dan kaset.

Syaikh Utsaimin benar-benar mempergunakan metode penelitian dan mencari kejelasan dalam masalah ilmu agama, dan mengajarkan yang demikian itu pada murid-muridnya serta menasehati mereka untuk mencari kejelasan dan tidak tergesa-gesa dalam permasalahan yang berhubungan dengan agama. Dan beliau sangat bersemangat untuk menanamkan kepada muridnya sikap tidak fanatik pada suatu madzhab atau suatu pendapat, dan bersikap menerima kebenaran, dimana dalil dijadikan hakim/pemutus permasalahan, sekalipun menyelisihi madzhab beliau, yaitu madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal.

Syaikhul Islam berpendapat diperbolehkannya perempuan bepergian tanpa mahrom jika dalam keadaan aman, sedangkan Syaikh Utsaimin berpendapat sebaliknya, yaitu haram. Sebagaimana juga Syaikh Utsaimin banyak menyelisihi madzhab Hanbali dalam ratusan masalah yang ia melihat bahwa dalil menyelisihi madzhab dalam permasalahan itu.

20 2. Tidak Suka Pujian

Syaikh Utsaimin menasehati murid-muridnya agar mereka tidak menjadikan perselisihan dalam masalah fikih sebagai pintu saling membenci. Pernah suatu ketika, Syaikh Utsaimin berfatwa yang menyebabkan beliau dituduh dengan suatu tuduhan. Dalam suatu majelis salah seorang muridnya bertanya tentang fatwa itu dan akibat yang

ditimbulkannya, lalu Syaikh menjawab yang intinya : “Sesungguhnya

manusia itu, jika mereka melihat seorang yang mashur, mereka akan menjelekkannya, serta mencelanya lantaran dengki dalam diri mereka”.

Pada sore harinya, Syaikh meminta hasil rekaman ceramah yang terdapat

ucapannya tadi, lalu meminta agar dihapus, dan berkata : “Perkataan saya tadi, yaitu “manusia yang mashur” tidak sepatutnya saya ucapkan, ini

adalah bentuk memuji diri sendiri”.

Pernah salah seorang muridnya meminta izin kepada beliau, untuk membacakan bait syair dihadapan beliau :

شِشَزَْٕر ِضْسَلأا ِٟف ُُٖساََْٛٔأَٚ ٌشْجَف ُُٗجُمْؼَ٠ ًَْ١ٌٍَّا اَزَ٘ َِّْإ ِٟزَُِّأ َب٠

ُشْ١َخٌْاَٚ

شِشَزُِْٕ ِّشَّشٌا ِد ُُْٛٙج ُُْغَس ُّكَذٌْاَٚ ٌشِظَزُِْٕ ُخْزَفٌْاَٚ ٌتِمَرْشُِ

َل َٚ ٌة َْٛش بَِٙث بَِ ًخَّ١ِمَٔ بََٙرَشْ١ِغَِ ٞ ِسبَجٌا َنَسَبث ِحَْٛذَصِث

سَذَو

شَفَّظٌا َٚ ُذْ١ِ٠أَّزٌا َٟجَرْشُ٠ ٍِِْٗثِِّث بَِٕرَْٛذَص ُخْ١َش ٍخٌِبَص ُْٓث بَْٕ١ِف ََاَد بَِ

Artinya :Wahai Umat, sesungguhnya malam ini diiringi dengan datangnya fajar, cahayanya tersebar di permukaan bumi Kebaikan mengiringinya dan kemenangan menantinya, kebenaran akan menyebar meskipun kejahatan merajalela, dengan kebangkitan yang perjalanannya diberkahi Allah. Perjalanannya bersih, tidak ada cacat maupun kekeruhan Selama ada Syaikh Utsaimin di tengah kita dengan ulama sepertinyalah kemenangan diharapkan.

21

Lalu Syaikh Utsaimin menghentikan bacaan syair itu, dan berkata :

“Saya tidak setuju atas pujian ini, karena saya tidak menyukai kebenaran

diikat dengan seseorang, maknanya, bahwa jika seorang manusia meninggal dunia, terkadang orang setelahnya putus asa darinya”. Dan

Syaikh Utsaimin meminta agar bait terakhir diganti dengan :

ََِْٕٙ ََاَدبَِ

شَفَّظٌا َٚ ُذْ١ِ٠ْأَّزٌا َٝجَرْشُ٠ بٍَِْٙثِِّث ا ُْٛفٍََع ِيََّٚلأْا َجَْٙٔ بَُٕج

Selama manhaj kita manhaj salaf Dengan semisalnyalah diharapkan kemenangan.

Dan saya tambahkan : “Saya menasehati kalian dari sekarang, agar tidak menjadikan kebenaran terikat dengan seseorang”.

Disamping itu, beliau juga menempatkan seseorang sesuai kedudukan mereka, menjunjung kehormatan para ulama. Dalam suatu undangan pembukaan usaha perekaman kaset yang besar, beliau menjumpai pada kaset itu tertulis nama penceramahnya dalam sampul besar, dan tatkala beliau melihat sampul kaset Syaikh al-Albani berbentuk kecil, beliau tidak menyukai dan memerintahkan mereka untuk membuat dalam ukuran besar atau membikin kecil sampul lainnya seperti sampul kaset Syaikh al-Albani.

3. Menyembunyikan amal kebajikan

Adapun dalam amal kebajikan yang beliau ikut berperan dengan hartanya, sebagian besar tidak diketahui oleh masyarakat, karena beliau sangat berusaha agar tidak diketahui sebagaimana hal ini dikatakan salah seorang muridnya. Beliau memberikan bantuan kepada siapa saja yang

22

ingin menikah dan membayar separoh maharnya jika terpenuhi syarat-syaratnya. Beliau memberikan bantuan kepada orang-orang fakir dan mereka yang membutuhkan, bersama tiga orang muridnya beliau

mendirikan pondok Tahfidzul Qur‟an di kota Unaizah, membangun

beberapa masjid di sejumlah tempat di negerinya, dan menginfakkan tiga juta real untuk pembuatan sumber air di Unaizah, sebagaimana juga beliau ikut andil dalam pembangunan masjid di luar negeri: seperti di Eropa, Amerika dan lainnya.

4. Menasehati pemuda

Suatu ketika, Syaikh Utsaimin menunaikan umrah bersama sahabat-sahabat beliau, dan di saat kembali ke penginapan, mereka melalui sekelompok pemuda bermain sepak bola. Lalu Syaikh berhenti dan menasehati mereka agar menunaikan shalat, akan tetapi mereka malah berpaling dari beliau dan tidak mengindahkan nasehatnya. Lalu beliau meminta kepada sahabat-sahabat beliau yang menemani agar pulang terlebih dahulu ke penginapan dan meninggalkan beliau bersama para pemuda dalam keadaan sendirian dan beliau berkeinginan keras agar para pemuda itu pergi menunaikan shalat. Syaikh pun menasehati mereka, lalu salah seorang diantara mereka memaki beliau dengan kata-kata yang jelek. Akan tetapi, beliau tidak menghiraukannya dan menyambut celaan itu dengan senyuman dan sikap mengasihi. Semua ini berlangsung dan mereka tidak mengetahui siapa Syaikh yang menasehati mereka, akhirnya merekapun mau mengikuti nasehat Syaikh, dan salah seorang pemuda

23

yang mencela Syaikh tadi mengantarkan beliau ke penginapan, dan setelah sampai di penginapan pemuda itu baru tahu siapa jati diri Syaikh, lalu ia pun menangis serta meminta maaf dan Syaikh pun memaafkannya dan mengajarkan padanya cara berwudhu serta shalat, dan sejak saat itu pemuda itu menjadi seorang pemuda yang shalih taat beragama.

5. Rumah dari tanah

Syaikh Utsaimin termasuk ulama yang bersikap zuhud di dunia, beliau habiskan sebagian besar kehidupannya dalam rumahnya yang terbuat dari tanah. Beliau diberi hadiah dua rumah, namun beliau lebih mengutamakan keduanya untuk asrama murid-muridnya. Beliau tidak pernah meminta upah dari hasil karya-karya beliau yang dicetak atau kaset rekaman ceramah, dan beliau menganggap hal ini sebagai suatu hal yang menghambat ilmu. Beliau berpaling dari gemerlapnya dunia, dalam seminggu beliau mengenakan satu pakaian. Beliau berjalan kaki jika pergi ke masjid dan menolak ajakan salah seorang muridnya untuk pergi ke masjid dengan mobil, dan sepanjang perjalanannya ke masjid tiada henti-hentinya masyarakat baik yang tua maupan yang muda bertanya untuk meminta fatwa tentang permasalahan agama, hingga murid-murid sekolah dasar yang terletak di jalan menuju masjid berkeliling di sekitar beliau mengucapkan salam, dan beliau tidak menolak jabat tangan mereka. Dan jika berkenalan, beliau menyebut namanya langsung tanpa memberi embel-embel gelar beliau. Suatu ketika ,beliau shalat di Masjidil Haram, setelah itu beliau ingin pergi ke suatu tempat, lalu beliau menyetop mobil taxi. Di

24

dalam mobil terjadilah dialog antara beliau dengan sopirnya seorang Arab

dalam masalah agama. Lalu bertanyalah sopir itu : “Siapa nama anda ya Syaikh?” beliau menjawab : “Muhammad bin Utsaimin”. Mendengar hal

ini, sopir itu terkejut tidak percaya dan memastikan lagi : “Anda Syaikh Muhammad bin Utsaimin?” lalu beliau membalas : “Ya, Syaikh Utsaimin”.

Lalu sopir taxi itu menggelengkan kepalanya sambil meragukan ucapan beliau, dan menganggap ucapan beliau sebagai sikap terlalu berani

mengaku sebagai Syaikh Utsaimin. Lalu Syaikh berkata padanya : “Kalau anda, siapa nama anda?” sopir itu menjawab : “Syaikh Abdul Aziz bin Baz”. (ia menjawab sekenanya, lantaran tidak percaya dengan jawaban

Syaikh Utsaimin). Syaikh Utsaimin pun tertawa, lalu bertanya lagi : “Kamu Syaikh Abdul Aziz bin Baz?” sopir itu membalas : “Ya, sebagaimana anda (mengaku) Syaikh Utsaimin”.

Demikianlah keadaan Syaikh, jika beliau diantara para ulama, beliau adalah seorang ulama terkemuka yang tidak dapat diingkari seorangpun, dan jika diantara masyarakat biasa beliau seperti mereka. (http://www. majalahislami.com.figur-ulama-ahlus-sunnah).

D. Murid-Muridnya

Syaikh Utsaimin begitu perhatian kepada murid-muridnya. Murid-muridnya berdatangan dari berbagai penjuru dunia, karena mereka percaya terhadap keilmuan, kepandaian dalam mengajar, serta kasih

25

sayang beliau kepada murid-muridnya , seolah-olah mereka seperti anak- anak beliau sendiri.

Sebagai salah satu bentuk perhatiannya, beliau membangun asrama untuk mereka, yang meliputi tempat tinggal, perpustakaan yang di lengkapi dengan kitab-kitab dan manuskrip (perpustakaan nasional). Beliau memantau hasil belajar mereka, bahkan kadang-kadang beliau menandatangani laporan bulanan menggantikan posisi wali murid. Beliau banyak memberikan nasihat kepada muridnya untuk senantiasa menaati pemerintah selama untuk ketaatan kepada Allah, juga mencintai dan mendoakan kebaikan untuknya. Beliau menegakkan syariat Allah, menggalakkan syiar-syiar Islam, serta beramal ma‟ruf nahi mungkar.

E. Corak Keilmuannya

Syaikh Utsaimin selalu mengacu dan mengikuti dalil. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam bukunya, "Syarhu Al-Mumti' 'Alaa Zaadi Al-Mustaqni ", meskipun tarjih-tarjih beliau banyak yang selaras dengan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Rahimahullah. Tapi, terkadang juga berbeda pendapat dengan mereka berdua, sesuai dengan tuntutan dalil.

Ungkapan Beliau juga cukup berharga dan patut di perhatikan adalah: "Carilah dalil sebelum kamu meyakini sesuatu: "Jangan pernah meyakini sesuatu sebelum mengetahui dalilnya, karena kamu akan tersesat. "

26

Syaikh Utsaimin sangat fokus dalam menghafal matan-matan , oleh karenanya beliau mengintruksikan murid-muridnya untuk menghafal dan mengulangnya pada setiap pelajaran. Beliau mencurahkan segenap kemampuannya untuk mensyarah dan mentahqiiq berbagai permasalahan, dan menjelaskan pendapat ulama yang rajih, dengan mengenyampingkan kepentingan pribadi. Di sela-sela itu, beliau menyediakan waktu khusus untuk mendengarkan murid-muridnya, barang kali ada penambahan materi, koreksi atau sanggahan.

Dalam memberikan penjelasan, beliau cenderung mengunakan sistem dialog dan menggelitik murid-muridnya dengan sejumlah pertanyaan. Beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, setelah berdiskusi dengan mereka dan mendengarkan pendapat mereka.

G. Menerima Penghargaan Dari Raja Faishal

Panitia Penghargaan International dari Al-Malik Faishal memutuskan untuk memberikan Penghargaan kepada yang terhormat Syaikh Muhammad bin Shalih bin Utsaimin pada tahun 1414 Hijriah, atas dedikasi dan sumbangsihnya ikut memikirkan permasalahan-permasalahan (hukum-hukum) Islam dan kaum muslimin.

H. Ditawari jabatan sebagai Qadhi (Hakim kepala)

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh Mufti kerajaan Saudi Arabia pada waktu itu menawarkan pada beliau untuk menduduki jabatan

27

hakim, bahkan telah menetapkan beliau sebagai hakim kepala di kota al-Ihsa, akan tetapi Syaikh Utsaimin mengajukan udzur tidak dapat menerima jabatan itu, dan beliau lebih mengutamakan untuk melanjutkan belajar pada guru

beliau Syaikh Sa‟di. Beliau pernah berkomentar : “Saya banyak terkesan pada Syaikh Sa‟di akan cara beliau mengajar, memaparkan ilmu serta

memahamkan pada murid dengan contoh dan makna. Demikian pula saya sangat terkesan akan akhlak beliau, karena Syaikh Sa‟di mempunyai akhlak

mulia, berilmu serta ahli ibadah, beliau bercanda dengan anak-anak, dan tertawa bersama orang dewasa. Dan beliau – masyaa Allah – diantara orang

Dokumen terkait