• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.2.2 Pendidikan seks

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks. Khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular, depresi, dan perasaan berdosa (Sarwono, 2010)

Beberapa pihak tidak setuju dengan pendidikan seks, karena dikhawatirkan dengan pendidikan seks, anak-anak yang belum saatnya tahu tentang seks jadi mengetahuinya dan karena dorongan keingintahuan yang besar yang ada pada remaja, mereka jadi ingin mencobanya. Namun pandangan pro kontra pendidikan seks tersebut pada hakikatnya tergantung sekali pada bagaimana kita mendefenisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks diartikan sebagai pemberian informasi mengenai seluk beluk anatomi dan proses faal dari reproduksi manusia semata ditambah dengan teknik-teknik pencegahannya (alat kontasepsi), maka kecemasan yang disebutkan diatas memang beralasan (Sarwono, 2010).

b. Perlunya pendidikan seks

Sarwono (2010) berpendapat bahwa pendidikan seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks, sebagaimana pendidikan lain pada umumnya seperti pendidikan agama, atau pendidikan Moral Pancasila, yang mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik kesubjek-didik. Dengan demikian, informasi tentang seks diberikan secara kontekstual, yaitu dalam kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan seks yang konstektual ini jadinya mempunyai ruang lingkup yang luas. Tidak terbatas pada perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan, peran ayah ibu dan anak-anak dalam keluarga dan sebagainya.

Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja nyata dari penelitian WHO (World Health,1979) di 16 negara eropa yang hasilnya adalah sebagai berikut:

a) 5 negara mewajibkannya disetiap sekolah

b) 6 negara menerima dan mensahkannya denganundang-undang tetapi tidak mengharuskannya di sekolah

c) 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak mengukuhkannya dengan undang-undang.

d) 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya (Sarwono, 2010)

Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan oleh Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung jarang melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks, cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki (Zelnik dan Kim, 1998 dalam Sarwono 2010). Pendidikan seks yang hanya berupa larangan atau berupa kata-kata “tidak boleh” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut adalah sangat tidak efektif. Dikatakan tidak efektif karena pendidikan seperti ini tidak cukup untuk mempersiapkan remaja dalam menghadapi kehidupannya yang semakin sulit. Pengaruh minuman keras, obat-obatan terlarang, tekanan dari teman atau patah hati akibat hubungan cintanya, akan semakin menjerumuskan mereka pada

c. Materi pendidikan seks

Materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu tempat ketempat lain, tetapi sebuah survey oleh Orr (1982) menunjukkan bahwa pada umumnya materi pendidikan seks adalah sebagai berikut:

a) Masalah-masalah yang banyak dibicarakan dikalangan remaja sendiri

• Perkosaan

• Masturbasi

• Homoseksualitas

• Disfungsi seksual

• Eksoploitasi seksual

b) Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan

• Alat KB

• Pengguguran

• Alternatif-alternatif dari pengguguran c) Nilai-nilai seksual

• Seks dan nilai-nilai moral

• Seks dan hukum

• Seks dan media massa

• Seks dan nilai-nilai religi

d) Perkembangan remaja dan reproduksi manusia

• Kehamilan dan kelahiran

• Perubahan-perubahan pada masa puber

• Anatomi dan fisiologi

• Obat-obatan, alkohol dan seks e) Keterampilan dan perkembangan sosial

• Berkencan

• Cinta dan perkawinan f) Topik-topik lainnya

• Kehamilan pada remaja

• Kepribadian dan seksualitas

• Mitos-mitos yang dikenal oleh umum

• Kesuburan

• Keluarga berencana

• Menghindari hubungan seks

• Teknik-teknik hubungan seks (Margaret, 1980 dalam Sarwono, 2010). Pendidikan seks di Indonesia seyogyanya tetap dimulai dari rumah. Salah

satu alas an utamanya adalah karena masalah seks ini merupakan masalah yang sangat pribadi sifatnya, yang kalau hendak dijadikan materi pendidikan juga perlu penyampaian yang pribadi. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh Sawono mengungkapkan bahwa dari sudut pandang remaja sendiri, mereka mendambakan untuk memperoleh informasi tentang seks itu dari orang tuanya

Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, seperti yang diuraikan oleh Gunarsa (1999) berikut ini, mungkin patut diperhatikan:

a) Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu atau malu.

b) Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya: proses pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya tetap rasional.

c) Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.

d) Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak

e) Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu

untuk mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah diketahui agar benar-benar menjadi bagian dari pengtahuannya.

2.3 AKTIVITAS SEKSUAL 2. 3.1 Aktivitas

a. Pengertian aktivitas

Dari segi biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai dengan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup mempunyai bentangan kegiatan yang luas, sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca, berpikir dan seterusnya. Secara singkat aktivitas manusia tersebut dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

a) Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan, bernyanyi,tertawa dan sebagainya.

b) Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya berpikir, berfantasi, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. perilaku dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang diselaraskan peran manusia sebagai makhluk ndividu, sosial dan berketuhanan (Purwanto, 1999). Aktivitas atau perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadic (timbul dan hilang pada saat-saat tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perbuatan dengan perbuatan berikutnya. Tiap-tiap perilaku selalu mengarah pada suatu tugas

tertentu. Keunikan perilaku berbeda dari yang lainnya. Jadi tiap-tiap manusia memiliki ciri-ciri, sifat-sifat tersendiri yang membedakan dari manusia lainnya. Pengalaman-pengalaman masa lalu dan aspirasi-aspirasinya untuk masa yang akan datang menentukan perilaku dimasa kini dan arena tiap orang mempunyai pengalaman dan aspirasi yang berbeda-beda, maka perilaku di masa kini pun berbeda-beda (Purwanto,1999).

b. Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut teori Lawrence Green, mengemukakan bahwa perilaku manusia dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non

behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3

faktor, diantaranya:

a) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan lain-lain.

b) Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan lain-lain

c) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2003).

Dokumen terkait