• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pendidikan Seks dengan Aktivitas Seksual pada Remaja di SMA Negeri 14 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pendidikan Seks dengan Aktivitas Seksual pada Remaja di SMA Negeri 14 Medan"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENDIDIKAN SEKS DENGAN

AKTIVITAS SEKSUAL PADA REMAJA

DI SMA NEGERI 14 MEDAN

SKRIPSI

Oleh

Lenci Manurung

091121018

(2)
(3)

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan rahmatnya yang telah menyertai penulis untuk menyelesikan

skripsi dengan judul “Hubungan Pendidikan Seks dengan Aktivitas Seksual pada

Remaja di SMA Negeri 14 Medan”

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah

memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi

ini, sebagai berikut:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU

Dan ibu Erniyati sebagai pembantu dekan I Fakultas Keperawatan USU.

2. Ibu Farida Linda Sari, S.Kep,Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing I dan

Bapak Mula Tarigan, SKp, M.Kes selaku pembimbing II skripsi penulis yang

selaku sabar untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses

penulisan skripsi ini.

3. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku dosen penguji dan dosen

pembimbing akademik penulis yang telah banyak mendidik penulis selama

proses perkuliahan.

4. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, M.NS yang telah bersedia menguji validitas

(4)

5. Drs. Sawaluddin, M.Si selaku kepala sekolah SMA Negeri 14 Medan yang

telah memberikan izin untuk pengumpulan data yang dibutuhkan dalam

penelitian ini.

6. Kepada seluruh siswa siswi SMA Negeri 14 Medan yang telah bersedia

meluangkan waktunya menjadi responden dalam penelitian ini.

7. Teristimewa kepada orang tuaku dan seluruh keluarga yang telah memberikan

cinta, doa, bimbingan, serta motivasi kepada penulis.

8. Teman-teman seperjuangan stambuk 2009 jalur B yang senantiasa

memberikan semangat pada penulis.

Semoga Tuhan selalu mencurahkan berkatNya pada semua pihak yang

telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat

demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, Januari 2011

Penulis

(5)

DAFTAR ISI

2.1.3 Tugas perkembangan... 11

2.1.4 Perubahan fisik remaja... 12

2.2 Pendidikan Seks

2.3.3 Aktivitas seksual... 28

BAB 3 Kerangka Penelitian

(6)

5.1.1 Data Demografi Responden... 43 5.1.2 Pendidikan Seks... 44 5.1.3 Aktivitas Seksual... 45

5.1.4 Hubungan Pendidikan Seks dengan Aktivitas Seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan... 46 5.2 Pembahasan

5.2.1 Pendidikan Seks... 46 5.2.2 Aktivitas Seksual... 49 5.2.3 Hubungan Pendidikan Seks dengan aktivitas seksual pada remaja

diSMA Negeri 14 Medan... 55

BAB 6 Kesimpulan dan Saran

6.1 Kesimpulan... 58 6.2 Saran... 59

Daftar Pustaka... 61

Lampiran-lampiran

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Defenisi Operasional... 35

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karekteristik responden... 44

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase Pendidikan seks... 44

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase Aktivitas seksual... 45

(8)

Judul : Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan

Nama mahasiswa : Lenci Manurung NIM : 091121018

Jurusan : Sarjana Keperawatan (SKep) Tahun : 2010

Abstrak

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah perilaku yang menyimpang, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Aktivitas seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah systematic sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 144 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Hasil penelitian ini dianalis dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α= 0,05 (p<0,05), Hasil uji Chi square diperoleh teraf signifikan 0,89 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya agar memberikan pendidikan seksualitas yang didalamnya terdapat program-program edukasi yang melarang remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual pra nikah dan juga melibatkan pendidikan agama agar remaja dapat mengetahui aktivitas seksual mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh remaja.

(9)

Judul : Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan

Nama mahasiswa : Lenci Manurung NIM : 091121018

Jurusan : Sarjana Keperawatan (SKep) Tahun : 2010

Abstrak

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah perilaku yang menyimpang, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Aktivitas seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah systematic sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 144 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Hasil penelitian ini dianalis dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α= 0,05 (p<0,05), Hasil uji Chi square diperoleh teraf signifikan 0,89 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya agar memberikan pendidikan seksualitas yang didalamnya terdapat program-program edukasi yang melarang remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual pra nikah dan juga melibatkan pendidikan agama agar remaja dapat mengetahui aktivitas seksual mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh remaja.

(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

kematangan seksual yaitu antara usia 11 sampai 13 tahun sampai dengan 20

tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda (Soetjiningsih, 2004). Berbagai

tulisan, ceramah, maupun seminar yang mengupas berbagai segi kehidupan

remaja, termasuk kenakalan remaja, perilaku seksual remaja, dan hubungan

remaja dengan orang tuanya, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dirasakan

oleh masyarakat. Dengan perkataan lain masalah remaja sudah menjadi kenyataan

sosial bagi masyarakat kita. Terlebih lagi kalau dipertimbangkan bahwa remaja

sebagai generasi penerus yang akan mengisi berbagai posisi dalam masyarakat

yang akan datang, dan akan meneruskan kehidupan masyarakat, bangsa dan

negara (Sarwono, 2010).

Sarwono (2010) menyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi

pada perkembangan jiwa remaja yang terbesar pengaruhnya adalah pertumbuhan

tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai

berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi

basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh sehingga

menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama dikalangan remaja)

(11)

Harus diakui bahwa pemahaman masyarakat tentang seksualitas masih amat

kurang sampai saat ini. Sebagian dari masyarakat masih amat mempercayai pada

mitos-mitos seksual dan justru mitos-mitos inilah yang merupakan salah satu

pemahaman yang salah tentang seksual (Soetjiningsih, 2004). Banyak remaja

mengetahui tentang seks akan tetapi faktor budaya yang melarang membicarakan

mengenai seksualitas didepan umum dan juga adanya pemahaman yang salah

mengenai pendidikan seks, sehingga melarang mambicarakan seks secara vulgar.

Pada gilirannya akan menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks tidak lengkap,

di mana para remaja hanya mengetahui cara melakukan hubungan seks tanpa

mengetahui dampak yang akan muncul akibat aktivitas seksual tersebut.

Hasil penelitian Synoviate Reaserch (2005) melaporkan bahwa sekitar 65%

informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film

porno. Ironisnya, hanya 5% remaja yang mendapatkan informasi tentang seks dari

orang tuanya. Para remaja juga mengaku mengetahui resiko terkena penyakit

seksual (27%), tetapi hanya 24% dari remaja yang melakukan preventif untuk

mencegah penyakit AIDS. Hasil penelitian Komisi nasional perlindungan anak

(2009) melaporkan bahwa 97,3% remaja pernah ciuman, petting dan oral seks

62,7% remaja SMP tidak perawan, 21,2% remaja SMU pernah aborsi, 97% pernah

menonton film porno (Kartika, 2009).

Rasa ingin tahu terhadap masalah seksual pada remaja sangat penting dalam

pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Pada masa

(12)

supaya remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dari sumber sumber yang

tidak jelas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi

mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan

dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan tidak cukupnya informasi

mengenai aktivitas seksual mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut akan sangat

berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila tidak didukung dengan pengetahuan

dan informasi yang tepat (Glevinno, 2008).

Sebagian kelompok remaja mengalami kebingungan untuk memahami

tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan olehnya

antara lain boleh atau tidaknya untuk melakukan pacaran, melakukan onani, nonton

bersama atau ciuman. Hal ini disebabkan karena informasi yang keliru yang

diperoleh dari sumber yang salah, seperti mitos seputar seks, Video Compact Disc

porno, situs porno di internet, dan lainnya akan membuat pemahaman dan persepsi

remaja tentang seks menjadi salah yang akan menimbulkan aktivitas seksual yang

kurang sehat dikalangan remaja (Soetjiningsih, 2004). Pendidikan seks dalam arti

luas meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks diantaranya aspek

biologis, orientasi, nilai sosial kultural dan moral.

Pendidikan seks sebagaimana pendidikan yang lain pada umumnya

(pendidikan agama atau pendidikan moral pancasila) mengandung pengalihan

nilai-nilai dari pendidik kesubjek didik. Dimana informasi diberikan secara

(13)

tanpa melanggar aturan. Pendidikan seks diperlukan untuk menghubungi rasa

keingintahuan remaja tentang seksualitas dan berbagai tawaran informasi yang

vulgar dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, dan

disesuaikan dengan kematangan (Sarwono, 2010). Terlepas dari pro dan kontra

pemblokiran situs porno yang sempat marak diberitakan di berbagai media. Diera

globalisasi sekarang ini pendidikan seks dirasa cukup penting, mengingat

anak-anak dengan mudah mendapat informasi dari berbagai media seperti majalah,

buku, Televisi,Video Compact Disc, dan internet. Dengan demikian para remaja

akan mengetahui hubungan seksual yang sebenarnya sampai mereka menikah dan

memiliki anak (Dianawati, 2003).

Dari hasil wawancara pada tanggal 20 maret 2010 tentang pendidikan seks

kepada 10 siswa dan siswi di SMA Negeri 14 Medan didapatkan bahwa 6 orang

diantaranya mengatakan tidak pernah mendapatkan informasi mengenai pendidikan

seks dan mereka mengatakan tabu untuk membicarakan hal tersebut dan 4 orang

lagi mengatakan hanya mengetahui organ reproduksi wanita dan pria dari pelajaran

disekolah.

Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, maka selanjutnya penulis

tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul “Hubungan Pendidikan

Seks Dengan aktivitas Seksual Pada Remaja di SMA Negeri 14 Medan Tahun

(14)

1.2 Pertanyaan penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka pertanyaan penelitian yang timbul adalah bagaimanakah hubungan pendidikan

seks dengan aktvitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan tahun 2010

1.3 Tujuan penelitian 1. 3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pendidikan

seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri Medan Tahun 2010.

1.3.2 Tujuan khusus

1) Untuk mengetahui pendidikan seks pada remaja di SMA Negeri 14 Medan

Tahun 2010

2) Untuk mengetahui aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan

Tahun 2010.

3) Untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada

remaja di SMA Negeri 14 Tahun 2010.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesa Alternatif (Ha)

yaitu ada hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA

Negeri 14 Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Pendidikan keperawatan

(15)

tentang pendidikan seks sehingga dapat dijadikan sebagai masukan pada penelitian

selanjutnya

1.5.2 Pelayanan Keperawatan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan

bagi pelayanan keperawatan khususnya perawat komunitas agar dapat

meningkatkan pelayanan keperawatan dalam meningkatkan derajat kesehatan

yang optimal.

1.5.3 Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan data

tambahan dalam penelitian keperawatan dan dapat dikembangkan bagi penelitian

(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 REMAJA

2. 1.1 Definisi Remaja

Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia.

Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke

masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan

perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada

umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun

(Notoatdmojo, 2007). Menurut Soetjiningsih (2004) Masa remaja merupakan

masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan

seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa

menjelang dewasa muda. Berdasarkan umur kronologis dan berbagai

kepentingan, terdapat defenisi tentang remaja yaitu:

1) Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefenisikan remaja adalah

bila seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan umur 12-20 tahun

anak laki- laki.

2) Menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak,

remaja adalah yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.

3) Menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah

(17)

4) Menurut undang-undang perkawinan No.1 tahun 1979, anak dianggap sudah

remaja apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19

tahun untuk anak-anak laki-laki.

5) Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah

berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.

6) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.

(Soetjiningsih, 2004).

2.1.2 Tahap – tahap Perkembangan Remaja

Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap

perkembangan remaja:

a. Remaja awal (early adolescent)

Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan

perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan- dorongan yang

menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran

baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis.

Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis ia sudah berfantasi erotik.

Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali

terhadap ego menyebabkan para remaja awal ini sulit dimengerti dan

dimengerti orang dewasa.

b. Remaja madya (middle adolescent)

Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau

(18)

mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan

dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu

memilih yang mana peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri,

optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja

pria harus membebaskan diri dari oedipus complex (perasaan cinta pada ibu

sendiri pada masa anak-anak) dengan mempererat hubungan dengan

kawan-kawan.

c. Remaja akhir (late adolescent)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai

dengan pencapaian lima hal yaitu:

• Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

• Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan

dalam pengalaman- pengalaman baru.

• Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

• Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti

dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

Tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan

masyarakat umum (Sarwono, 2010).

Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita sangat perlu untuk

mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Berdasarkan sifat atau ciri

(19)

a. Masa remaja awal (10-12 tahun)

• Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.

• Tampak dan merasa ingin bebas.

• Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan

mulai berpikir yang khayal (abstrak).

b. Masa remaja tengah (13-15 tahun)

• Tampak dan ingin mencari identitas diri.

• Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis.

• Timbul perasaan cinta yang mendalam.

c. Masa remaja akhir (16-19 tahun)

• Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.

• Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.

• Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.

• Dapat mewujudkan perasaan cinta.

• Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.

(Widyastuti dkk, 2009).

2.1.3 Tugas –tugas Perkembangan Remaja

Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan

sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan

berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut

Hurlock (1991) adalah sebagai berikut:

(20)

2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan

jenis.

4) Mencapai kemandirian emosional.

5) Mencapai kemandirian ekonomi.

6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan

untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat

7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.

8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk

memasuki dunia dewasa.

9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan

keluarga.

Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan

perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan

pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan

tugas-tugas perkembangannya itu dengan baik. Agar dapat memenuhi dan

melaksanakan tugas-tugas perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja.

Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya (Ali dan

(21)

2.1.4 Perubahan Fisik Pada Remaja a. Tanda seks primer

Tanda seks primer merupakan tanda yang menunjukkan alat kelamin

Pada wanita

Alat kelamin wanita bagian luar terdiri dari: a) Bibir luar (labia mayora)

b) Labia minor (labia minora)

c) Klitoris, yaitu bagian penuh dengan ujung-ujung syaraf sehinngga sangat peka

terhadap rangsangan/sentuhan. Sentuhan-sentuhan pada klitoris dapat

menyebabkan terjadinya orgasme (puncak kenikmatan seksual) pada wanita.

d) Uretra (liang saluran seni)

e) Liang senggama (vagina) berfungsi sebagai jalan keluar haid, jalan masuk

penis dalam senggama, dan jalan keluar bayi waktu melahirkan.

Alat kelamin wanita bagian dalam terdiri dari:

a) Hymen (selaput dara)

b) Mulut rahim (serviks) yang menghubungkan vagina dengan rahim

c) Rahim (uterus), yaitu jaringan sebesar telur ayam, tetapi punya kemampuan

melar yang sangat besar sekali dalam mengandung bayi.

d) Saluran telur (tuba palopii) disebelah kanan dan kiri rahim

e) Indung telur (ovarium) yang menghasilkan hormone-hormon estrogen,

(22)

Pada laki-laki

Alat kelamin pria terdiri dari:

a) Testis menghasilkan hormon-hormon testosterone dan androgen dan spermatozoa diproduksi dalam jumlah ratusan juta.

b) Saluran deferens (vas deferens), yaitu yang menghubungkan testis dengan

kelenjar prostat.

c) Kelenjar prostat yaitu tempat penyimpanan spermatozoa untuk sementara.

d) Saluran kencing (uretra), yaitu tempat keluarnya air mani dalam keadaan

penis berereksi (Sarwono, 2010)

b. Tanda seks sekunder

Tanda-tanda seks sekunder merupakan tanda-tanda badaniah yang

membedakan pria dan wanita.

Pada wanita bisa ditandai antara lain: pertumbuhan tulang-tulang (badan

menjadi tinggi, anggota badan menjadi panjang), pertumbuhan payudara, tumbuh

bulu yang halus dan lurus berwarna gelap dikemaluan, mencapai pertumbuhan

ketinggian badan setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi keriting, haid, dan

tumbuh bulu- bulu ketiak.

Pada laki-laki bisa ditandai dengan pertumbuhan tulang-tulang, tumbuh bulu

kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, bulu

(23)

jenggot), tumbuh bulu ketiak, rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan

gelap, tumbuh bulu didada (Sarwono, 2010)

2.2 PENDIDIKAN SEKS 2.2.1 Pendidikan

a. Konsep pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di dalam

bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan adalah suatu

pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh sebab itu, konsep pendidikan

kesehatan adalah konsep pendidikan yang di aplikasikan pada bidang kesehatan.

Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam

pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah

yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau

masyarakat. Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia sebagai

makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup didalam

masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan

(lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu dan sebagainya). Dalam

mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok atau masyarakat tidak

terlepas dari kegiatan belajar (Notoatmodjo, 2007).

b. Ruang pendidikan kesehatan

Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi,

(24)

aplikasinya dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Dari dimensi sasarannya,

pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3 diantaranya:

a) Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu.

b) Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.

c) Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas

Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung

di berbagai tempat, dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:

a) Pendidikan kesehatan disekolah, dilakukan disekolah dengan sasaran murid.

b) Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah sakit-rumah sakit

dengan sasaran pasien atau keluarga pasien, di puskesmas dan sebagainya.

c) Pendidikan kesehatan ditempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau

karyawan yang bersangkutan

Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat

dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari

(Leavel dan Clark), sebagai berikut:

a) Promosi Kesehatan (Health Promotion)

Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam

peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan hygiene

(25)

b) Perlindungan Khusus (Specifik Protection)

Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan khusus

ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama dinegara-negara

berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisai

sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun pada anak-anaknya

masih rendah.

c) Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt

Treatment)

Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap

kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang

terjadi didalam masyarakat, bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak

mau diperiksa dan diobati penyakitnya. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak

memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan

kesehatan sangat diperlukan pada tahap ini.

d) Pembatasan Cacat (Disability Limitation)

Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang

kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya

sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan

pengobatan yang komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan

sempurna dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau

(26)

e) Rehabilitasi (Rehabilitation)

Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi

cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan

latihan-latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut,

ia tidak atau segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu

orang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk

kembali ke masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

c. Peranan pendidikan kesehatan

Semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan

mengacu pada H. L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai

salah satu negara yang sudah maju Blum menyimpulkan bahwa lingkungan

mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan. Kemudian

berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan

kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status

kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

2.2.2 Pendidikan Seks a. Defenisi

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah

penyalahgunaan seks. Khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang

tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular,

(27)

Beberapa pihak tidak setuju dengan pendidikan seks, karena dikhawatirkan

dengan pendidikan seks, anak-anak yang belum saatnya tahu tentang seks jadi

mengetahuinya dan karena dorongan keingintahuan yang besar yang ada pada

remaja, mereka jadi ingin mencobanya. Namun pandangan pro kontra pendidikan

seks tersebut pada hakikatnya tergantung sekali pada bagaimana kita

mendefenisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks diartikan

sebagai pemberian informasi mengenai seluk beluk anatomi dan proses faal dari

reproduksi manusia semata ditambah dengan teknik-teknik pencegahannya (alat

kontasepsi), maka kecemasan yang disebutkan diatas memang beralasan

(Sarwono, 2010).

b. Perlunya pendidikan seks

Sarwono (2010) berpendapat bahwa pendidikan seks bukanlah penerangan

tentang seks semata-mata. Pendidikan seks, sebagaimana pendidikan lain pada

umumnya seperti pendidikan agama, atau pendidikan Moral Pancasila, yang

mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik kesubjek-didik. Dengan

demikian, informasi tentang seks diberikan secara kontekstual, yaitu dalam

kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan seks

yang konstektual ini jadinya mempunyai ruang lingkup yang luas. Tidak terbatas

pada perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran

pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan, peran

(28)

Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja nyata

dari penelitian WHO (World Health,1979) di 16 negara eropa yang hasilnya

adalah sebagai berikut:

a) 5 negara mewajibkannya disetiap sekolah

b) 6 negara menerima dan mensahkannya denganundang-undang tetapi tidak

mengharuskannya di sekolah

c) 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak

mengukuhkannya dengan undang-undang.

d) 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya

(Sarwono, 2010)

Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan oleh

Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah mendapatkan

pendidikan seks tidak cenderung jarang melakukan hubungan seks, tetapi mereka

yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks, cenderung lebih banyak

mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki (Zelnik dan Kim, 1998 dalam

Sarwono 2010). Pendidikan seks yang hanya berupa larangan atau berupa

kata-kata “tidak boleh” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut adalah sangat tidak efektif.

Dikatakan tidak efektif karena pendidikan seperti ini tidak cukup untuk

mempersiapkan remaja dalam menghadapi kehidupannya yang semakin sulit.

Pengaruh minuman keras, obat-obatan terlarang, tekanan dari teman atau patah

(29)

c. Materi pendidikan seks

Materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu tempat ketempat lain,

tetapi sebuah survey oleh Orr (1982) menunjukkan bahwa pada umumnya materi

pendidikan seks adalah sebagai berikut:

a) Masalah-masalah yang banyak dibicarakan dikalangan remaja sendiri

• Perkosaan

• Masturbasi

• Homoseksualitas

• Disfungsi seksual

• Eksoploitasi seksual

b) Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan

• Alat KB

• Pengguguran

• Alternatif-alternatif dari pengguguran

c) Nilai-nilai seksual

• Seks dan nilai-nilai moral

• Seks dan hukum

• Seks dan media massa

• Seks dan nilai-nilai religi

d) Perkembangan remaja dan reproduksi manusia

(30)

• Kehamilan dan kelahiran

• Perubahan-perubahan pada masa puber

• Anatomi dan fisiologi

• Obat-obatan, alkohol dan seks

e) Keterampilan dan perkembangan sosial

• Berkencan

• Cinta dan perkawinan

f) Topik-topik lainnya

• Kehamilan pada remaja

• Kepribadian dan seksualitas

• Mitos-mitos yang dikenal oleh umum

• Kesuburan

• Keluarga berencana

• Menghindari hubungan seks

• Teknik-teknik hubungan seks (Margaret, 1980 dalam Sarwono, 2010).

Pendidikan seks di Indonesia seyogyanya tetap dimulai dari rumah. Salah

satu alas an utamanya adalah karena masalah seks ini merupakan masalah yang

sangat pribadi sifatnya, yang kalau hendak dijadikan materi pendidikan juga

perlu penyampaian yang pribadi. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh

Sawono mengungkapkan bahwa dari sudut pandang remaja sendiri, mereka

(31)

Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, seperti yang

diuraikan oleh Gunarsa (1999) berikut ini, mungkin patut diperhatikan:

a) Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat

ragu-ragu atau malu.

b) Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan

yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi,

boleh mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya: proses

pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya

tetap rasional.

c) Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan

kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur

9 atau 10 tahun belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku

atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh

aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk

dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.

d) Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya

pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama

buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat

disesuaikan dengan keadaan khusus anak

e) Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan

seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui

(32)

untuk mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah

diketahui agar benar-benar menjadi bagian dari pengtahuannya.

2.3 AKTIVITAS SEKSUAL 2. 3.1 Aktivitas

a. Pengertian aktivitas

Dari segi biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai dengan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Manusia sebagai salah satu

makhluk hidup mempunyai bentangan kegiatan yang luas, sepanjang kegiatan

yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, bekerja, menulis,

membaca, berpikir dan seterusnya. Secara singkat aktivitas manusia tersebut

dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

a) Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan,

bernyanyi,tertawa dan sebagainya.

b) Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya berpikir,

berfantasi, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat

diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. perilaku

dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang diselaraskan peran manusia

sebagai makhluk ndividu, sosial dan berketuhanan (Purwanto, 1999). Aktivitas

atau perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadic (timbul dan hilang pada

saat-saat tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perbuatan

(33)

tertentu. Keunikan perilaku berbeda dari yang lainnya. Jadi tiap-tiap manusia

memiliki ciri-ciri, sifat-sifat tersendiri yang membedakan dari manusia lainnya.

Pengalaman-pengalaman masa lalu dan aspirasi-aspirasinya untuk masa yang

akan datang menentukan perilaku dimasa kini dan arena tiap orang mempunyai

pengalaman dan aspirasi yang berbeda-beda, maka perilaku di masa kini pun

berbeda-beda (Purwanto,1999).

b. Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut teori Lawrence Green, mengemukakan bahwa perilaku manusia

dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor

pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non

behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3

faktor, diantaranya:

a) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan lain-lain.

b) Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban

dan lain-lain

c) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan

(34)

2.3.2 Seksual

a. Pengertian seksual

Seksual adalah rangsangan-rangsangan atau dorongan yang timbul

berhubungan dengan seks (Notoatmodjo, 2007). Seksualitas bukan semata-mata

bagian intrinsik dari seseorang tetapi juga meluas sampai berhubungan dengan

orang lain. Keintiman dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan sosial dan

biologis sepanjang kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan sebagai

pengintegrasian aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial dari kehidupan

seksual, dengan cara yang positif memperkaya dan meningkatkan kepribadian,

komunikasi dan cinta. Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik

seseorang itu pria atau wanita.

Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan

perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang di lakukannya, seperti

sentuhan, ciuman, pelukan, senggama seksual dan melalui perilaku yang lebih

halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpelukan dan perbendaraan kata

(Zawid, 1994).

b. Tahapan perkembangan seksual

Tahapan psikoseksual yang harus dilalui seorang anak menurut Sigmund

(35)

a) Fase oral

Fase oral adalah fase seorang anak mendapatkan perasaan nikmat melalui

mulutnya, yaitu ketika sedang menyusu dan mengisap air susu ibu yang

dimulai sejak bayi hingga usia 1-2 tahun.

b) Fase anal

Pada fase anal, kenikmatan yang dirasakannya berubah dari mulut ke daerah

anus dan sekitarnya (seperti saluran kencing). Rasa nikmat akan dirasakan

anak ketika sedang menahan kencing dan buang air besar. Fase ini dimulai

pada anak berusia 2-4 tahun.

c) Fase phallus

Selanjutnya perubahan yang dirasakannya turun kebagian alat kelaminnya.

Fase ini berlangsung pada saat anak berumur 4-6 tahun.

d) Fase laten

Fase laten berlangsung pada usia sekolah. Fase laten ini terbagi 2 bagian

sebagai berikut:

• Bagian awal

Pada bagian ini seorang anak sudah tidak lagi memperhatikan kenikmatan

yang pernah dirasakan pada alat kelaminnya, bahkan cenderung seperti

melupakan kejadian tersebut.

• Bagian akhir

Begitu memasuki bagian akhir dari masa laten, seorang anak mulai

(36)

kelaminnya. Karena pada saat memasuki fase ini usia anak telah beranjak

dewasa, dorongan seksual, perasaan cinta, ketertarikannya kepada lawan

jenis mulai tumbuh. Jadi, perhatian anak beralih kepada alat kelaminnya

adalah hal wajar.

2. 3.3 Aktivitas Seksual

a. Defenisi aktivitas seksual

Perilaku (aktivitas) seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh

hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.

Bentuk-bentuk aktivitas ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik

sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. (Sarwono, 2010).

Dalam hal ini aktivitas (perilaku) seksual diurutkan sebagai berikut:

• Berpacaran/Berkencan

• Berpegangan tangan

• Mencium pipi pacar

• Berpelukan dengan pacar

• Mencium bibir pacar

• Dipegang/Memegang buah dada pacar

• Memegang alat kelamin pacar

(37)

b. Pola aktivitas seksual remaja

Perkembangan aktivitas seksual dipengaruhi berbagai faktor antara lain

perkembangan psikis, fisik, proses belajar dan sosiokultural. Beberapa aktivitas

seksual yang sering dijumpai pada remaja yaitu:

a) Masturbasi/onani

Masturbasi ataupun onani merupakan salah satu aktivitas yang sering

dilakukan oleh remaja. Masturbasi yakni melakukan rangasangan seksual

khususnya pada alat kelamin, yang dilakukan sendiri dengan berbagai cara

untuk tujuan mencapai orgasme. Kegiatan masturbasi dilakukan hampir

semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan sebenarnya

masturbasi sudah berlangsung sejak seseorang berusia balita yang dalam

perkembangan psikoseksual disebut juga fase phallus. Kegiatan ini sering

terjadi pada masa awal pubertas seseorang. Karena dorongan seksual yang

mendesak, sedangkan objek-objek seksual tidak ada. Sejauh ini secara medis

tidak ditemukan efek samping masturbasi. Apabila seseorang merasa

ketagihan dengan bermasturbasi, sebaiknya ia mengubah pandangannya

terhadap masturbasi. Setelah itu secepatnya mengalihkan dan menggunakan

pikirannya pada kegiatan-kegiatan lainnya seperti berolah raga, menyalurkan

(38)

b) Petting

Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual antar jenis

kelamin dengan cara menyentuh orgab seksual tanpa melakukan tindakan

intercourse. Usia 15 tahun ditemukan bahwa 39 remaja perempuan

melakukan petting, sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting.

c) Oral seks

Oral seks melakukan rangsangan dengan mulut pada organ seks

pasangannya. Jika melakukan oral seks itu laki-laki, sebutannya adalah

cunnilingus, jika yang melakukan oral seks tersebut perempuan, sebutannya

adalah fellatio.

d) Anal seks

Anal seks adalah hubungan seksual yang dilakuakan dengan memasukkan

penis kedalam anus atau anal. Aktivitas seksual seperti ini tentu sangat

berbahaya karena anus mengandung banyak bakteri biang penyakit.

e) Hubungan seksual

Hubungan seksual atau yang disebut bersetubuh yang benar menurut

etika, moral dam agama adalah jika dilakukan melalui sebuah ikatan

pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan yang dilandasiu oleh rasa

cinta. Dengan bersetubuh, dua orang akan menjadi satu secara fisik dan

emosional. Inilah yant disebut pemenuhan dorongan seksual dalam arti yang

sebenarnya. Aktivitas seksual seperti ini tidak menimbulkan rasa ketakutan

(39)

Hubungan seksual yang pertama dialami oeh remaja dipengaruhi oleh

berbagai faktor yaitu:

• Waktu/saat mengalami pubertas, saat itu mereka tidak pernah

memahami tentang apa yang dialaminya.

• Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar

• Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan

untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontol yang baik

sehingga hubungan akan makin mendalam.

• Hubungan antar mereka makin romantis.

• Status ekonomi, mereka yang berkecukupan akan dengan mudah

melakukan pesiar ketempat-tempat rawan yang memungkinkian adanya

kesempatan melakukan hubungan seksual, sebaliknya kelompok yang

ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan mereka mencari

kesempatan untuk memenfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan

sesuatu.

• Korban pelecehan seksual yang berhubungan dengan fasilitas antara lain

sering sering mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi

ke tempat sepi.

• Tekanan dari teman sebaya, kelompok sebaya kadang-kadang ingin

menunjukkan penampilan diri yang salah untuk menunjukkan

kematangannya.

(40)

• Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana

yang boleh dan mana yang tidak boleh.

• Mereka merasa sudah saatnya melakukan aktivitas seksual sebab merasa

matang secara fisik.

• Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.

• Aktivitas seksual pacarnya.

• Penerimaan menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya.

• Sekedar terjadinya peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan

kadar hormon reproduksi/seksual (Soetjiningsih, 2004).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas (perilaku) seksual Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual yaitu:

a) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido

seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksualini membutuhkan penyaluran

dalam bentuk tingkah laku seksual.

b) Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia

perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang

perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk

wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun karena norma sosial yang makin

lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan

(pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lainnya).

c) Sementara usia perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap berlaku di

(41)

menikah. Bahkan larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku

yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat

menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melangggar

larangan-larangan tersebut.

d) Kecenderungan pelanggaran meningkat oleh karena adanya penyebaran

informasi dengan adanya teknologi canggih (video, internet, Video Compact

Disc, telepon genggam, dan lain-lain).

e) Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya

yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak

terbuka, malah cenderung membuat jarak dengan masalah seksual.

f) Dipihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang

makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat

berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita

makin sejajar dengan pria (Sarwono, 2010).

d. Aktivitas seksual menyimpang pada remaja

Beberapa aktivitas seksual yang sering dijumpai sebagai berikut: a) Homoseksual

Faktor penyebab yang paling kuat timbulnya penyimpangan ini adalah

faktor keturunan. Homoseksual sebenanya bukan tergolong penyakit pada

umumnya, melainkan identitas seseorang.

b) Sodomi

(42)

c) Transeksual

Sebutan ini ditujukan untuk orang laki-laki atau perempuan yang tidak

menginginkan jenis kelamin mereka untuk memperoleh kepuasan seksualnya.

Kelainan ini sebenarnya sudah dapat dilihat pada usia anak-anak seperti

kesukaanya pada boneka dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan

perempuan.

d) Transvetite

Transvetite merupakan istilah yang diberikan seorang laki-laki heteroseksual

yang menginginkan memakai pakaian perempuan.

e) Exhibitions

Penderita exhibition akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara

memperlihatkan penis secara sengaja kepada perempuan atau anak kecil

yang menurutnya sesuai dengan keinginanya.

f) Fetihisme

Merupakan pemujaan yang ditujukan pada benda-benda mati atau bagian

tubuh idolanya sampai mendapat kepuasan seksual.

g) Phedophilia

Merupakan kelainan seksual yang memperoleh kepuasan jika berhubungan

seksual sengan anak kecil atau dibawah umur.

(43)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka konseptual

Kerangka penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggambarkan

hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri

14 Medan. Pendidikan seks pada penelitian ini menjadi variabel bebas

(independen) sedangkan aktivitas seksual menjadi variabel terikat (dependen).

Secara skematis kerangka penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Skema 1: kerangka konseptual penelitian

Aktivitas seksual:

• Urutan aktivitas seksual

• Masturbasi/onani

• Petting

• Oral seks

• Anal seks

(44)

3.2 Defenisi operasional variabel penelitian Tabel 3.1 Defenisi operasional

(45)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi

korelasional yang mengkaji hubungan antara variabel. Peneliti dapat mencari,

menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, menguji berdasarkan teori yang

ada (Nursalam, 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan

pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan.

4.2 Populasi dan sampel penelitian 4.2.1 Populasi

Populasi adalah setiap subjek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2003). populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh remaja kelas 1, 2 dan 3 di SMA Negeri 14 Medan dengan jumlah

700 orang, namun pada saat melakukan penelitian remaja kelas 3 tidak aktif lagi

dalam mengikuti pelajaran karena remaja keas 3 telah selesai mengikuti ujian

akhir nasional. Sehingga dalam penelitian ini jumlah populasi sebanyak 480

orang yaitu remaja kelas 1 dan 2.

4. 2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek penelitian

(46)

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

systematis sampling yaitu pengambilan sampel dengan teknik berurutan atau

dengan suatu system tertentu yaitu dari 480 responden sampel yang diambil

sebanyak 144 orang maka probabilitas untuk terambil sebagai sampel adalah

480/144 = 3, yang diambil secara acak hanya unsur pertama yaitu dari nomor

satu sampai 144, jadi yang tertarik secara acak dalam penelitian ini adalah

nomor dua untuk selanjutnya diambil setiap jarak tiga yaitu 2,5,8...dst.

Menurut Nursalam (2003), jika besar populasi <1000, maka besar sampel

bisa diambil 20-30% dari jumlah populasi. Jumlah sampel pada penelitian ini

adalah 30% dari 480 populasi yaitu sebanyak 144 orang.

4.3 Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 14 Medan dan dilakukan pada

juni-juli 2010. Dengan kriteria lokasi penelitian terdapat di lingkungan

perumahan. Jauh dari kota, di sekitar lokasi tidak terdapat warung internet, waktu

penelitian efisien dan terdapat populasi yang banyak.

4.4 Pertimbangan etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin penelitian dari Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara, kemudian mengajukan permohonan

penelitian ke SMA Negeri 14 Medan. Setelah mendapatkan izin peneliti akhirnya

melakukan penelitian dengan menyerahkan lembar kuisioner kepada responden

(47)

responden tentang tujuan, manfaat dan prosedur pengisian kuisioner, meminta

persetujuan responden dengan menandatangani informed consent, menjelaskan

kepada responden bahwa responden berhak menolak dan mengundurkan diri pada

saat pengisian kuisioner dengan alasan mereka tidak mendapat paksaan dari pihak

lain, responden juga diberi penjelasan bahwa penelitin ini tidak menimbulkan

resiko fisik maupun psikis, untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data (kuisioner) yang

diisi oleh responden dan kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden

dijamin oleh peneliti.

4.5 Instrumen penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat

pengumpul data berupa kuisioner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan

berpedoman pada kerangka konsep dan tinjauan pustaka. Instrumen penelitian ini

terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen pendidikan seks dan variabel

dependen aktivitas seksual. Pada variabel independen pendidikan seks berisi 1

(satu) pertanyaan, yang bertujuan untuk mengetahui apakah remaja pernah

mendapatkan pendidikan seks. Untuk itu peneliti memberi kuisioner sebanyak 1

(satu) pertanyaan dengan cara dichotomy question dengan dua pilihan alternatif

jawaban, setiap jawaban ya diberi nilai satu dan setiap jawaban tidak diberi

jawaban nol. Pada variabel dependen aktivitas seksual berisi 12 pertanyaan , yang

bertujuan mengetahui sejauh mana aktivitas seksual yang dilakukan oleh remaja.

(48)

cara dichotomy question dengan dua pilihan alternatif jawaban, setiap jawaban

pernah diberikan nilai satu dan setiap jawaban tidak pernah diberikan nilai nol.

4.6 Uji validitas dan reabilitas 4. 6.1 Uji validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrumen

pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur, untuk mendapatkan

data yang relevan dengan apa yang sedang diukur (Dempsey, 2002). Untuk

menguji validitas isi yaitu validitas berdasarkan tinjauan pustaka. Selanjutnya

dikonsultasikan kepada yang berkompeten dibidang tersebut (Setiadi, 2007). Uji

validitas dilakukan oleh bagian keperawatan komunitas Fakultas Sumatera utara.

Oleh beliau, peneliti diarahkan untuk memperbaiki instrument penelitian sesuai

dengan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual.

4.6.2 Uji reliabilitas

Uji reabilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui

konsistensi dari instrumen sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya

dalam ruang lingkup yang sama. Dalam penelitian ini digunakan reliebilitas

konsistensi internal karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya pemberian

instrumen hanya satu kali dengan bentuk instrumen kepada satu subjek studi

(Dempsey, 2002). Instrumen pengukuran yang memiliki reliabilitas sempurna

(49)

benar-benar reliable. Reabilitas yang sering dilaporkan biasanya kurang dari 1,00 yaitu

0,80; 0,70; atau 0,50 (Dempsey, 2002).

Uji reliabelitas pada instrument hubungan pendidikan seks dengan aktivitas

seksual dilakukan pengumpulan data terhadap 30 orang responden yaitu siswa dan

siswi SMA Negeri 14 Medan pada bulan Juli 2010. Uji reliabelitas ini dilakuka n

dengan menggunakan rumus Kr 20, sehingga diperoleh hasil 0.82. Menurut Polit

& Hungler (1999) menyatakan bahwa suatu instrument reliabel jika memiliki nilai

reliabelitas >0.70. Oleh karena itu, instrument dalam penelitian ini sudah reliabel.

4.7 Teknik pengumpulan data

Peneliti terlebih dahulu mengajukan izin pelaksanaan penelitian melalui

bagian pendidikan fakultas keperwatan USU dan SMA Negeri 14 Medan. Setelah

mendapatkan calon responden, peneliti menjelaskan tujuan, manfaat penelitian

serta cara pengisian kuisioner. Kemudian calon responden yang bersedia

berpartisipasi untuk menandatangani informed consent. Responden yang menolak

tidak dipaksa untuk mengisi kuisioner dan responden yang bersedia diminta untuk

mengisi kuisioner yang diberikan peneliti selama ± 15 menit. Responden diberi

kesempatan bertanya selama pengisian kuisioner tentang hal yang tidak

dimengerti sehubungan dengan pertanyaan yang ada dalam kuisioner penelitian,

peneliti terlebih dahulu memeriksa kelengkapan jawaban responden sesuai dengan

(50)

4.8 Analisa data

Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa data

melalui beberapa tahap. Pertama, memeriksa kelengkapan data responden dan

memastikan semua jawaban terisi. Setelah itu mengklarifikasi data dengan

mentabulasikan data yang telah dikumpulkan dan dilakukan pengolahan data

dengan menggunakan teknik komputerisasi SPSS.

Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Statistik univariat

Statistik univariat adalah prosedur untuk menganalisa data dari satu

variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian (Polit &

Hungler, 1999). Pada penelitian ini, analisa data dengan metode statistik

univariat digunakan untuk menganalisa variabel independen yaitu pendidikan

seks dan variabel dependen yaitu aktivitas seksual pada remaja di SMA

Negeri 14 Medan. Analisa variabel pendidikan seks dan aktivitas seksual

dianalisis dengan menggunakan skala nominal dan ditampilkan dalam

distibusi frekuensi.

b. Statistik bivariat

Statistik bivariat adalah suatu prosedur untuk menganalisis hubungan

antara variabel. Untuk melihat hubungan antar variabel independen

pendidikan seks dan variabel dependen aktivitas seksual, digunakan uji Chi

(51)

dengan nilai α. Bila nilai p < α maka keputusannya Ha gagal ditolak. Bila p >

(52)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai

hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri

14 Medan. Penelitian ini dimulai pada tanggal 26-31 Juli 2010 di SMA Negeri

14 Medan dengan jumlah 144 orang.

5.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian dibagi atas empat bagian yaitu data demografi responden,

data pendidikan seks serta aktivitas seksual pada remja dan menganalisa ada atau

tidaknya hubungan pandidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di

SMA Negeri 14 Medan.

5.1.1 Data demografi responden

Berdasarkan hasil data demografi responden, Usia 15 tahun sebanyak 16

orang (11,11%), usia 16 tahun sebanyak 62 orang (43,06%), usia 17 tahun

sebanyak 54 orang (37,50%), dan usia 18 tahun sebanyak 12 orang (8,33%).

Siswa laki-laki sebanyak 70 orang (48.61%) dan perempuan sebanyak 74 orang

(53)

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden

No Karakteristik Frekuensi Persentase 1 Usia

15-18 Tahun 140 100

2 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan

70 74

48,61 51,39

5.1.2 Pendidikan seks

Dalam penelitian ini pendidikan seks dianalisa apakah remaja pernah atau

tidak pernah mendapakan pendidikan seks. Berdasarkan hasil analisa data

sebanyak 102 orang (70,8%) mengatakan pernah mendapatkan pendidikan seks

sebanyak 42 orang (29,2%) tidak pernah mendapatkan pendidikan seks. Siswa

yang mendapakan pendidikan seks di sekolah sebanyak 63 orang (43,75%),

dirumah (keluarga) sebanyak 9 orang (6,25%), dari penyuluhan sebanyak 10

orang (6.94%), dari teman/sahabat sebanyak 13 orang (9,03%) dan lain-lain

seperti seminar sebanyak 7 orang (3,47%).

Tabel 5.2 distribusi frekue nsi dan persentase pendidikan seks

(54)

5.1.3 Aktivitas seksual pada remaja

Dari hasil penelitian ini di dapatkan bahwa aktivitas seksual yang paling

banyak dilakukan oeh remaja adalah antara lain siswa yang pernah berpacaran

sebanyak 106 orang (73,6%) dan yang tidak pernah sebanyak 38 orang (26,4%),

siswa yang pernah berpegangan tangan dengan pacar sebanyak 101 orang

(70.1%), yang tidak pernah berpegangan tangan dengan pacar sebanyak 43 orang

(29,9%), responden yang pernah mencium pipi pacar sebanyak 84 orang (58.3%)

sedangkan yang tidak pernah sebanyak 60 orang (41.7%), pernah mencium bibir

pacar sebanyak 72 orang (50.0%) dan yang tidak pernah sebanyak 72 orang

(50.0%), pernah berpelukan dengan pacar sebanyak 69 orang (47.9%) dan yang

tidak pernah sebanyak 75 orang (52.1%).

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase aktivitas seksual remaja

No Aktivitas seksual Pernah Tidak Pernah

alat kelamin sendiri (masturbasi/onani)

9 Membangkitkan dorongan seksual pasangan 19 13.2 125 86.8 dengan cara menyentuh organ seksual (petting)

10 Melakukan rangsangan seksual dengan mulut 6 4.2 138 95.8 pada organ seks pasangannya (oral seks)

(55)

5.1.4 Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan

Analisa hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja

diukur dengan menggunakan uji chi square. Dari hasil analisis data didapat

p=0.890 (α 0.05) dengan p>0,05 berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14

Medan.

Tabel 5.4 Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan

5.2 Pembahasan 5.2.1 Pendidikan seks

Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 102 responden pernah mendapatkan

pendidikan seks (70,8%), dari sekolah sebanyak 63 orang (43.75%),

rumah/keluarga sebanyak 9 orang (6.25%), penyuluhan sebanyak 10 orang

(6.94%), teman/sahabat sebanyak 13 orang (9.03%), dan lain-lain seperti seminar

sebanyak 7 orang (3.47%) dan yang tidak pernah mendapatkan pendidikan seks

sebanyak 42 orang (29.2%). Dengan kata lain remaja siswa dan siswi SMA

(56)

Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang

atau kelompok orang dalam usaha manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Sarwono (2010) mengatakan

bahwa pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah

penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang

tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular

seksual, depresi dan perasaan berdosa. Dalam pendidikan seks diberikan

pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif yang tepat,

berhubungan dengan self esteem (rasa penghargaan terhadap diri), penamaan rasa

percaya diri difokuskan pada peningkatan kemampuan dan mengambil keputusan

(Pratiwi, 2004).

Sesuai dengan pendapat Sarwono (2010) bahwa pendidikan seks bukanlah

penerapan tentang seks semata-mata, akan tetapi sama seperti pendidikan umum

lainnya (Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral Pancasila) yang mengandung

pengalihan nilai-nilai dari pendidikan ke subyek-didik. Pendidikan seks yang

kontekstual mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, tidak terbatas pada

perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran pria

dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan dan peran

ayah–ibu dan anak-anak dalam keluarga. Pemberian informasi mengenai masalah

seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja dalam potensial seksual

yang aktif karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon

(57)

Pendidikan seks juga diperlukan untuk menghubungi rasa keingitahuan

remaja tentang seksualitas dan berbagai tawaran informasi yang vulgar dengan

cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, dan disesuaikan

dengan kematangan (Sarwono, 2010). Dari penelitian yang dilakukan oleh

Synovate (2004) mengungkapkan bahwa sekitar 65% informasi tentang seks

remaja dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya,

hanya 5% dari responden remaja ini mendapatkan informasi tentang seks dari

orang tuanya.

Adanya siswa yang tidak pernah mendapatkan pendidikan seks

kemungkinan karena kurangnya informasi mengenai pendidikan seks baik dari

keluarga, teman/sahabat maupun dari yang lainnya dan masih adanya faktor

budaya yang menganggap tabu sehingga melarang membicarakan mengenai seks

secara vulgar. Banyaknya pemikiran orang-orang yang mengatakan bahwa “kelak,

remaja akan mengetahuinya sendiri memberikan pernyataan secara tidak langsung

bahwa remaja toh akan tahu mengenai seks pada saat yang tepat yaitu dalam

sebuah pernikahan. Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama

kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah

orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau

terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Hal ini di

dukung berdasarkan hasil penelitian diatas dimana remaja siswa dan siswi yang

(58)

berdasarkan hasil penelitian Synoviate Research (2005) melaporkan hanya 5%

remaja mendapatkan informasi mengenai seks dari orang tuanya.

5.2.2 Aktivitas seksual

Berdasarkan penelitian diatas berbagai aktivitas seksual sudah pernah dilakukan oleh remaja SMA Negeri 14 Medan. Sarwono (2010) mengungkapkan

bahwa yang dimaksud dengan aktivitas seksual adalah segala tingkah laku yang

didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama

jenis. Hal ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yaitu apa yang telah dan

sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita

terhadap stimulus sosial, tanggapan dan penghayatan seseorang harus mempunyai

pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Berdasarkan hasil penelitian

ini remaja SMA Negeri 14 Medan yang pernah berpacaran sebanyak 106 orang

(73.6%) dan yang tidak pernah sebanyak 38 orang (26,4%). Dengan kata lain

remaja SMA Negeri 14 Medan hampir seluruhnya pernah berpacaran ataupun

berkencan. Hal ini didukung berdasarkan penelitian Rachmat ( 2007) terhadap

10.833 remaja laki-laki didapatkan Sekitar 72 persen sudah berpacaran Sedangkan

dari 9.344 remaja putri yang berusia 15-19 tahun didapatkan data Sekitar 77

persen sudah berpacaran.

Menurut

adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan

(59)

pacar. Zarina (2008) berpendapat bahwa pacaran adalah suatu hubungan yang di

dalamnya terdapat sebuah komitmen dan proses saling mengenal. Biasanya, awal

masa pacaran terjadi ketika remaja masuk dalam tahap pubertas atau ketika

remaja mengalami perkembangan fisik diawali terjadinya menstruasi bagi anak

perempuan atau mimpi basah pada anak laki-laki. Namun tak sedikit anak-anak

remaja “bau kencur” yang belum puber pun ikut-ikutan tradisi pacaran dan

sayangnya saat ini dalam pergaulan masyarakat justru banyak berkembang

pacaran yang tanpa tujuan, apalagi pasangan dengan hubungan tanpa status, tidak

memiliki komitmen dan tujuan positif untuk melangkah ke jenjang pernikahan

yang disyariatkan.

Menurut Zarina (2008) umumnya ada dua faktor yang banyak mendorong

mereka berpacaran, yaitu internal dan ekstrenal. Faktor internal berasal dari

dorongan diri remaja itu sendiri, dan faktor eksternal dipengaruhi oleh

teman-temannya. Menurut Yuni (2008) fenomena yang kini marak ialah proses pacaran

tidak lagi menjadi orientasi utama seseorang untuk mencari pendamping

hidup yang tepat, untuk kemudian menuju jenjang pernikahan, namun ada tujuan

lain remaja berpacaran yaitu having fun agar tidak ketinggalan zaman, bahkan

eksploitasi seksual merupakan sebagian tujuan mereka. Bagi sebagian remaja,

pacaran bahkan dimaknai sebagai ajang adu gengsi semata demi menjauhkan

diri dari status jomblo yang berarti negatif di kalangan remaja (tak laku), hal

Gambar

Tabel  3.1  Defenisi operasional
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase aktivitas seksual remaja

Referensi

Dokumen terkait

Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam?. hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak -

Ke dalam tabung berisi air dimasukkan sebuah bola besi yang berjari-jari 6 cm, sehingga permukaan airA. dalam

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuji pada Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa sistem dapat berfungsi dengan baik, dapat mendeteksi nyala api pada lilin sejauh

Proses analogi pada tuturan tersebut tercipta karena O1 mengungkapkan perasaan dan pemikirannya untuk ditujukan kepada O2 sebagai seorangsuami , dibandingkan dengan atap rumah

Walaupun demikian penulis mencoba memberikan infomasi melalui penulisan ilmiah ini membuat suatu Homepage tentang Masakan Khas Padang, yang diharapkan bahan acuan guna

(2) Dalam hal ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan tidak mewajibkan adanya laporan keuangan, perhitungan besarnya biaya tahunan yang

Maka dari itu tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar aspek kognitif siswa pada mata pelajaran PPKn yang diajarkan dengan model

Hasil observasi selama 1 minggu dari 8 orang ibu bersalin ada 6 orang didamping dan 2 orang yang tidak didampingi oleh suami atau keluarganya, dari 6 orang yang