HUBUNGAN PENDIDIKAN SEKS DENGAN
AKTIVITAS SEKSUAL PADA REMAJA
DI SMA NEGERI 14 MEDAN
SKRIPSI
Oleh
Lenci Manurung
091121018
PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan rahmatnya yang telah menyertai penulis untuk menyelesikan
skripsi dengan judul “Hubungan Pendidikan Seks dengan Aktivitas Seksual pada
Remaja di SMA Negeri 14 Medan”
Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi
ini, sebagai berikut:
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU
Dan ibu Erniyati sebagai pembantu dekan I Fakultas Keperawatan USU.
2. Ibu Farida Linda Sari, S.Kep,Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing I dan
Bapak Mula Tarigan, SKp, M.Kes selaku pembimbing II skripsi penulis yang
selaku sabar untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses
penulisan skripsi ini.
3. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku dosen penguji dan dosen
pembimbing akademik penulis yang telah banyak mendidik penulis selama
proses perkuliahan.
4. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, M.NS yang telah bersedia menguji validitas
5. Drs. Sawaluddin, M.Si selaku kepala sekolah SMA Negeri 14 Medan yang
telah memberikan izin untuk pengumpulan data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
6. Kepada seluruh siswa siswi SMA Negeri 14 Medan yang telah bersedia
meluangkan waktunya menjadi responden dalam penelitian ini.
7. Teristimewa kepada orang tuaku dan seluruh keluarga yang telah memberikan
cinta, doa, bimbingan, serta motivasi kepada penulis.
8. Teman-teman seperjuangan stambuk 2009 jalur B yang senantiasa
memberikan semangat pada penulis.
Semoga Tuhan selalu mencurahkan berkatNya pada semua pihak yang
telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat
demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.
Medan, Januari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
2.1.3 Tugas perkembangan... 11
2.1.4 Perubahan fisik remaja... 12
2.2 Pendidikan Seks
2.3.3 Aktivitas seksual... 28
BAB 3 Kerangka Penelitian
5.1.1 Data Demografi Responden... 43 5.1.2 Pendidikan Seks... 44 5.1.3 Aktivitas Seksual... 45
5.1.4 Hubungan Pendidikan Seks dengan Aktivitas Seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan... 46 5.2 Pembahasan
5.2.1 Pendidikan Seks... 46 5.2.2 Aktivitas Seksual... 49 5.2.3 Hubungan Pendidikan Seks dengan aktivitas seksual pada remaja
diSMA Negeri 14 Medan... 55
BAB 6 Kesimpulan dan Saran
6.1 Kesimpulan... 58 6.2 Saran... 59
Daftar Pustaka... 61
Lampiran-lampiran
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Defenisi Operasional... 35
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karekteristik responden... 44
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase Pendidikan seks... 44
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase Aktivitas seksual... 45
Judul : Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan
Nama mahasiswa : Lenci Manurung NIM : 091121018
Jurusan : Sarjana Keperawatan (SKep) Tahun : 2010
Abstrak
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah perilaku yang menyimpang, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Aktivitas seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah systematic sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 144 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Hasil penelitian ini dianalis dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α= 0,05 (p<0,05), Hasil uji Chi square diperoleh teraf signifikan 0,89 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya agar memberikan pendidikan seksualitas yang didalamnya terdapat program-program edukasi yang melarang remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual pra nikah dan juga melibatkan pendidikan agama agar remaja dapat mengetahui aktivitas seksual mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh remaja.
Judul : Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan
Nama mahasiswa : Lenci Manurung NIM : 091121018
Jurusan : Sarjana Keperawatan (SKep) Tahun : 2010
Abstrak
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah perilaku yang menyimpang, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Aktivitas seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah systematic sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 144 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Hasil penelitian ini dianalis dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α= 0,05 (p<0,05), Hasil uji Chi square diperoleh teraf signifikan 0,89 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya agar memberikan pendidikan seksualitas yang didalamnya terdapat program-program edukasi yang melarang remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual pra nikah dan juga melibatkan pendidikan agama agar remaja dapat mengetahui aktivitas seksual mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh remaja.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat
kematangan seksual yaitu antara usia 11 sampai 13 tahun sampai dengan 20
tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda (Soetjiningsih, 2004). Berbagai
tulisan, ceramah, maupun seminar yang mengupas berbagai segi kehidupan
remaja, termasuk kenakalan remaja, perilaku seksual remaja, dan hubungan
remaja dengan orang tuanya, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dirasakan
oleh masyarakat. Dengan perkataan lain masalah remaja sudah menjadi kenyataan
sosial bagi masyarakat kita. Terlebih lagi kalau dipertimbangkan bahwa remaja
sebagai generasi penerus yang akan mengisi berbagai posisi dalam masyarakat
yang akan datang, dan akan meneruskan kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara (Sarwono, 2010).
Sarwono (2010) menyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi
pada perkembangan jiwa remaja yang terbesar pengaruhnya adalah pertumbuhan
tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai
berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi
basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh sehingga
menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama dikalangan remaja)
Harus diakui bahwa pemahaman masyarakat tentang seksualitas masih amat
kurang sampai saat ini. Sebagian dari masyarakat masih amat mempercayai pada
mitos-mitos seksual dan justru mitos-mitos inilah yang merupakan salah satu
pemahaman yang salah tentang seksual (Soetjiningsih, 2004). Banyak remaja
mengetahui tentang seks akan tetapi faktor budaya yang melarang membicarakan
mengenai seksualitas didepan umum dan juga adanya pemahaman yang salah
mengenai pendidikan seks, sehingga melarang mambicarakan seks secara vulgar.
Pada gilirannya akan menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks tidak lengkap,
di mana para remaja hanya mengetahui cara melakukan hubungan seks tanpa
mengetahui dampak yang akan muncul akibat aktivitas seksual tersebut.
Hasil penelitian Synoviate Reaserch (2005) melaporkan bahwa sekitar 65%
informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film
porno. Ironisnya, hanya 5% remaja yang mendapatkan informasi tentang seks dari
orang tuanya. Para remaja juga mengaku mengetahui resiko terkena penyakit
seksual (27%), tetapi hanya 24% dari remaja yang melakukan preventif untuk
mencegah penyakit AIDS. Hasil penelitian Komisi nasional perlindungan anak
(2009) melaporkan bahwa 97,3% remaja pernah ciuman, petting dan oral seks
62,7% remaja SMP tidak perawan, 21,2% remaja SMU pernah aborsi, 97% pernah
menonton film porno (Kartika, 2009).
Rasa ingin tahu terhadap masalah seksual pada remaja sangat penting dalam
pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Pada masa
supaya remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dari sumber sumber yang
tidak jelas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi
mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan
dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan tidak cukupnya informasi
mengenai aktivitas seksual mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut akan sangat
berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila tidak didukung dengan pengetahuan
dan informasi yang tepat (Glevinno, 2008).
Sebagian kelompok remaja mengalami kebingungan untuk memahami
tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan olehnya
antara lain boleh atau tidaknya untuk melakukan pacaran, melakukan onani, nonton
bersama atau ciuman. Hal ini disebabkan karena informasi yang keliru yang
diperoleh dari sumber yang salah, seperti mitos seputar seks, Video Compact Disc
porno, situs porno di internet, dan lainnya akan membuat pemahaman dan persepsi
remaja tentang seks menjadi salah yang akan menimbulkan aktivitas seksual yang
kurang sehat dikalangan remaja (Soetjiningsih, 2004). Pendidikan seks dalam arti
luas meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks diantaranya aspek
biologis, orientasi, nilai sosial kultural dan moral.
Pendidikan seks sebagaimana pendidikan yang lain pada umumnya
(pendidikan agama atau pendidikan moral pancasila) mengandung pengalihan
nilai-nilai dari pendidik kesubjek didik. Dimana informasi diberikan secara
tanpa melanggar aturan. Pendidikan seks diperlukan untuk menghubungi rasa
keingintahuan remaja tentang seksualitas dan berbagai tawaran informasi yang
vulgar dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, dan
disesuaikan dengan kematangan (Sarwono, 2010). Terlepas dari pro dan kontra
pemblokiran situs porno yang sempat marak diberitakan di berbagai media. Diera
globalisasi sekarang ini pendidikan seks dirasa cukup penting, mengingat
anak-anak dengan mudah mendapat informasi dari berbagai media seperti majalah,
buku, Televisi,Video Compact Disc, dan internet. Dengan demikian para remaja
akan mengetahui hubungan seksual yang sebenarnya sampai mereka menikah dan
memiliki anak (Dianawati, 2003).
Dari hasil wawancara pada tanggal 20 maret 2010 tentang pendidikan seks
kepada 10 siswa dan siswi di SMA Negeri 14 Medan didapatkan bahwa 6 orang
diantaranya mengatakan tidak pernah mendapatkan informasi mengenai pendidikan
seks dan mereka mengatakan tabu untuk membicarakan hal tersebut dan 4 orang
lagi mengatakan hanya mengetahui organ reproduksi wanita dan pria dari pelajaran
disekolah.
Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, maka selanjutnya penulis
tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul “Hubungan Pendidikan
Seks Dengan aktivitas Seksual Pada Remaja di SMA Negeri 14 Medan Tahun
1.2 Pertanyaan penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka pertanyaan penelitian yang timbul adalah bagaimanakah hubungan pendidikan
seks dengan aktvitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan tahun 2010
1.3 Tujuan penelitian 1. 3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pendidikan
seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri Medan Tahun 2010.
1.3.2 Tujuan khusus
1) Untuk mengetahui pendidikan seks pada remaja di SMA Negeri 14 Medan
Tahun 2010
2) Untuk mengetahui aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan
Tahun 2010.
3) Untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada
remaja di SMA Negeri 14 Tahun 2010.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesa Alternatif (Ha)
yaitu ada hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA
Negeri 14 Medan.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Pendidikan keperawatan
tentang pendidikan seks sehingga dapat dijadikan sebagai masukan pada penelitian
selanjutnya
1.5.2 Pelayanan Keperawatan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan
bagi pelayanan keperawatan khususnya perawat komunitas agar dapat
meningkatkan pelayanan keperawatan dalam meningkatkan derajat kesehatan
yang optimal.
1.5.3 Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan data
tambahan dalam penelitian keperawatan dan dapat dikembangkan bagi penelitian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 REMAJA
2. 1.1 Definisi Remaja
Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia.
Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan
perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada
umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun
(Notoatdmojo, 2007). Menurut Soetjiningsih (2004) Masa remaja merupakan
masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan
seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa
menjelang dewasa muda. Berdasarkan umur kronologis dan berbagai
kepentingan, terdapat defenisi tentang remaja yaitu:
1) Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefenisikan remaja adalah
bila seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan umur 12-20 tahun
anak laki- laki.
2) Menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak,
remaja adalah yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.
3) Menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah
4) Menurut undang-undang perkawinan No.1 tahun 1979, anak dianggap sudah
remaja apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19
tahun untuk anak-anak laki-laki.
5) Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah
berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.
6) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun.
(Soetjiningsih, 2004).
2.1.2 Tahap – tahap Perkembangan Remaja
Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap
perkembangan remaja:
a. Remaja awal (early adolescent)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan- dorongan yang
menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran
baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis.
Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis ia sudah berfantasi erotik.
Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali
terhadap ego menyebabkan para remaja awal ini sulit dimengerti dan
dimengerti orang dewasa.
b. Remaja madya (middle adolescent)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau
mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan
dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu
memilih yang mana peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri,
optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja
pria harus membebaskan diri dari oedipus complex (perasaan cinta pada ibu
sendiri pada masa anak-anak) dengan mempererat hubungan dengan
kawan-kawan.
c. Remaja akhir (late adolescent)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai
dengan pencapaian lima hal yaitu:
• Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
• Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan
dalam pengalaman- pengalaman baru.
• Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
• Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti
dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
• Tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan
masyarakat umum (Sarwono, 2010).
Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita sangat perlu untuk
mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Berdasarkan sifat atau ciri
a. Masa remaja awal (10-12 tahun)
• Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.
• Tampak dan merasa ingin bebas.
• Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan
mulai berpikir yang khayal (abstrak).
b. Masa remaja tengah (13-15 tahun)
• Tampak dan ingin mencari identitas diri.
• Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis.
• Timbul perasaan cinta yang mendalam.
c. Masa remaja akhir (16-19 tahun)
• Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.
• Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.
• Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.
• Dapat mewujudkan perasaan cinta.
• Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.
(Widyastuti dkk, 2009).
2.1.3 Tugas –tugas Perkembangan Remaja
Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan
sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan
berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut
Hurlock (1991) adalah sebagai berikut:
2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.
3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan
jenis.
4) Mencapai kemandirian emosional.
5) Mencapai kemandirian ekonomi.
6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan
untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat
7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua.
8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa.
9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.
10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan
keluarga.
Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan
perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan
pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan
tugas-tugas perkembangannya itu dengan baik. Agar dapat memenuhi dan
melaksanakan tugas-tugas perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja.
Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya (Ali dan
2.1.4 Perubahan Fisik Pada Remaja a. Tanda seks primer
Tanda seks primer merupakan tanda yang menunjukkan alat kelamin
Pada wanita
Alat kelamin wanita bagian luar terdiri dari: a) Bibir luar (labia mayora)
b) Labia minor (labia minora)
c) Klitoris, yaitu bagian penuh dengan ujung-ujung syaraf sehinngga sangat peka
terhadap rangsangan/sentuhan. Sentuhan-sentuhan pada klitoris dapat
menyebabkan terjadinya orgasme (puncak kenikmatan seksual) pada wanita.
d) Uretra (liang saluran seni)
e) Liang senggama (vagina) berfungsi sebagai jalan keluar haid, jalan masuk
penis dalam senggama, dan jalan keluar bayi waktu melahirkan.
Alat kelamin wanita bagian dalam terdiri dari:
a) Hymen (selaput dara)
b) Mulut rahim (serviks) yang menghubungkan vagina dengan rahim
c) Rahim (uterus), yaitu jaringan sebesar telur ayam, tetapi punya kemampuan
melar yang sangat besar sekali dalam mengandung bayi.
d) Saluran telur (tuba palopii) disebelah kanan dan kiri rahim
e) Indung telur (ovarium) yang menghasilkan hormone-hormon estrogen,
Pada laki-laki
Alat kelamin pria terdiri dari:
a) Testis menghasilkan hormon-hormon testosterone dan androgen dan spermatozoa diproduksi dalam jumlah ratusan juta.
b) Saluran deferens (vas deferens), yaitu yang menghubungkan testis dengan
kelenjar prostat.
c) Kelenjar prostat yaitu tempat penyimpanan spermatozoa untuk sementara.
d) Saluran kencing (uretra), yaitu tempat keluarnya air mani dalam keadaan
penis berereksi (Sarwono, 2010)
b. Tanda seks sekunder
Tanda-tanda seks sekunder merupakan tanda-tanda badaniah yang
membedakan pria dan wanita.
Pada wanita bisa ditandai antara lain: pertumbuhan tulang-tulang (badan
menjadi tinggi, anggota badan menjadi panjang), pertumbuhan payudara, tumbuh
bulu yang halus dan lurus berwarna gelap dikemaluan, mencapai pertumbuhan
ketinggian badan setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi keriting, haid, dan
tumbuh bulu- bulu ketiak.
Pada laki-laki bisa ditandai dengan pertumbuhan tulang-tulang, tumbuh bulu
kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, bulu
jenggot), tumbuh bulu ketiak, rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan
gelap, tumbuh bulu didada (Sarwono, 2010)
2.2 PENDIDIKAN SEKS 2.2.1 Pendidikan
a. Konsep pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di dalam
bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan adalah suatu
pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh sebab itu, konsep pendidikan
kesehatan adalah konsep pendidikan yang di aplikasikan pada bidang kesehatan.
Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam
pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah
yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau
masyarakat. Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia sebagai
makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup didalam
masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan
(lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu dan sebagainya). Dalam
mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok atau masyarakat tidak
terlepas dari kegiatan belajar (Notoatmodjo, 2007).
b. Ruang pendidikan kesehatan
Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi,
aplikasinya dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Dari dimensi sasarannya,
pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3 diantaranya:
a) Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu.
b) Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.
c) Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas
Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung
di berbagai tempat, dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:
a) Pendidikan kesehatan disekolah, dilakukan disekolah dengan sasaran murid.
b) Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah sakit-rumah sakit
dengan sasaran pasien atau keluarga pasien, di puskesmas dan sebagainya.
c) Pendidikan kesehatan ditempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau
karyawan yang bersangkutan
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat
dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari
(Leavel dan Clark), sebagai berikut:
a) Promosi Kesehatan (Health Promotion)
Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam
peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan hygiene
b) Perlindungan Khusus (Specifik Protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan khusus
ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama dinegara-negara
berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisai
sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun pada anak-anaknya
masih rendah.
c) Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt
Treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang
terjadi didalam masyarakat, bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak
mau diperiksa dan diobati penyakitnya. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan
kesehatan sangat diperlukan pada tahap ini.
d) Pembatasan Cacat (Disability Limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya
sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan
pengobatan yang komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan
sempurna dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau
e) Rehabilitasi (Rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi
cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan
latihan-latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut,
ia tidak atau segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu
orang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk
kembali ke masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
c. Peranan pendidikan kesehatan
Semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan
mengacu pada H. L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai
salah satu negara yang sudah maju Blum menyimpulkan bahwa lingkungan
mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan. Kemudian
berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan
kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status
kesehatan (Notoatmodjo, 2007).
2.2.2 Pendidikan Seks a. Defenisi
Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah
penyalahgunaan seks. Khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang
tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular,
Beberapa pihak tidak setuju dengan pendidikan seks, karena dikhawatirkan
dengan pendidikan seks, anak-anak yang belum saatnya tahu tentang seks jadi
mengetahuinya dan karena dorongan keingintahuan yang besar yang ada pada
remaja, mereka jadi ingin mencobanya. Namun pandangan pro kontra pendidikan
seks tersebut pada hakikatnya tergantung sekali pada bagaimana kita
mendefenisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks diartikan
sebagai pemberian informasi mengenai seluk beluk anatomi dan proses faal dari
reproduksi manusia semata ditambah dengan teknik-teknik pencegahannya (alat
kontasepsi), maka kecemasan yang disebutkan diatas memang beralasan
(Sarwono, 2010).
b. Perlunya pendidikan seks
Sarwono (2010) berpendapat bahwa pendidikan seks bukanlah penerangan
tentang seks semata-mata. Pendidikan seks, sebagaimana pendidikan lain pada
umumnya seperti pendidikan agama, atau pendidikan Moral Pancasila, yang
mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik kesubjek-didik. Dengan
demikian, informasi tentang seks diberikan secara kontekstual, yaitu dalam
kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan seks
yang konstektual ini jadinya mempunyai ruang lingkup yang luas. Tidak terbatas
pada perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran
pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan, peran
Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja nyata
dari penelitian WHO (World Health,1979) di 16 negara eropa yang hasilnya
adalah sebagai berikut:
a) 5 negara mewajibkannya disetiap sekolah
b) 6 negara menerima dan mensahkannya denganundang-undang tetapi tidak
mengharuskannya di sekolah
c) 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak
mengukuhkannya dengan undang-undang.
d) 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya
(Sarwono, 2010)
Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan oleh
Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah mendapatkan
pendidikan seks tidak cenderung jarang melakukan hubungan seks, tetapi mereka
yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks, cenderung lebih banyak
mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki (Zelnik dan Kim, 1998 dalam
Sarwono 2010). Pendidikan seks yang hanya berupa larangan atau berupa
kata-kata “tidak boleh” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut adalah sangat tidak efektif.
Dikatakan tidak efektif karena pendidikan seperti ini tidak cukup untuk
mempersiapkan remaja dalam menghadapi kehidupannya yang semakin sulit.
Pengaruh minuman keras, obat-obatan terlarang, tekanan dari teman atau patah
c. Materi pendidikan seks
Materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu tempat ketempat lain,
tetapi sebuah survey oleh Orr (1982) menunjukkan bahwa pada umumnya materi
pendidikan seks adalah sebagai berikut:
a) Masalah-masalah yang banyak dibicarakan dikalangan remaja sendiri
• Perkosaan
• Masturbasi
• Homoseksualitas
• Disfungsi seksual
• Eksoploitasi seksual
b) Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan
• Alat KB
• Pengguguran
• Alternatif-alternatif dari pengguguran
c) Nilai-nilai seksual
• Seks dan nilai-nilai moral
• Seks dan hukum
• Seks dan media massa
• Seks dan nilai-nilai religi
d) Perkembangan remaja dan reproduksi manusia
• Kehamilan dan kelahiran
• Perubahan-perubahan pada masa puber
• Anatomi dan fisiologi
• Obat-obatan, alkohol dan seks
e) Keterampilan dan perkembangan sosial
• Berkencan
• Cinta dan perkawinan
f) Topik-topik lainnya
• Kehamilan pada remaja
• Kepribadian dan seksualitas
• Mitos-mitos yang dikenal oleh umum
• Kesuburan
• Keluarga berencana
• Menghindari hubungan seks
• Teknik-teknik hubungan seks (Margaret, 1980 dalam Sarwono, 2010).
Pendidikan seks di Indonesia seyogyanya tetap dimulai dari rumah. Salah
satu alas an utamanya adalah karena masalah seks ini merupakan masalah yang
sangat pribadi sifatnya, yang kalau hendak dijadikan materi pendidikan juga
perlu penyampaian yang pribadi. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh
Sawono mengungkapkan bahwa dari sudut pandang remaja sendiri, mereka
Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, seperti yang
diuraikan oleh Gunarsa (1999) berikut ini, mungkin patut diperhatikan:
a) Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat
ragu-ragu atau malu.
b) Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan
yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi,
boleh mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya: proses
pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya
tetap rasional.
c) Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan
kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur
9 atau 10 tahun belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku
atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh
aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk
dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.
d) Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya
pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama
buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat
disesuaikan dengan keadaan khusus anak
e) Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan
seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui
untuk mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah
diketahui agar benar-benar menjadi bagian dari pengtahuannya.
2.3 AKTIVITAS SEKSUAL 2. 3.1 Aktivitas
a. Pengertian aktivitas
Dari segi biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai dengan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Manusia sebagai salah satu
makhluk hidup mempunyai bentangan kegiatan yang luas, sepanjang kegiatan
yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, bekerja, menulis,
membaca, berpikir dan seterusnya. Secara singkat aktivitas manusia tersebut
dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
a) Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan,
bernyanyi,tertawa dan sebagainya.
b) Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya berpikir,
berfantasi, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. perilaku
dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang diselaraskan peran manusia
sebagai makhluk ndividu, sosial dan berketuhanan (Purwanto, 1999). Aktivitas
atau perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadic (timbul dan hilang pada
saat-saat tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perbuatan
tertentu. Keunikan perilaku berbeda dari yang lainnya. Jadi tiap-tiap manusia
memiliki ciri-ciri, sifat-sifat tersendiri yang membedakan dari manusia lainnya.
Pengalaman-pengalaman masa lalu dan aspirasi-aspirasinya untuk masa yang
akan datang menentukan perilaku dimasa kini dan arena tiap orang mempunyai
pengalaman dan aspirasi yang berbeda-beda, maka perilaku di masa kini pun
berbeda-beda (Purwanto,1999).
b. Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku
Menurut teori Lawrence Green, mengemukakan bahwa perilaku manusia
dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor
pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non
behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3
faktor, diantaranya:
a) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan lain-lain.
b) Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban
dan lain-lain
c) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan
2.3.2 Seksual
a. Pengertian seksual
Seksual adalah rangsangan-rangsangan atau dorongan yang timbul
berhubungan dengan seks (Notoatmodjo, 2007). Seksualitas bukan semata-mata
bagian intrinsik dari seseorang tetapi juga meluas sampai berhubungan dengan
orang lain. Keintiman dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan sosial dan
biologis sepanjang kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan sebagai
pengintegrasian aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial dari kehidupan
seksual, dengan cara yang positif memperkaya dan meningkatkan kepribadian,
komunikasi dan cinta. Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik
seseorang itu pria atau wanita.
Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan
perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang di lakukannya, seperti
sentuhan, ciuman, pelukan, senggama seksual dan melalui perilaku yang lebih
halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpelukan dan perbendaraan kata
(Zawid, 1994).
b. Tahapan perkembangan seksual
Tahapan psikoseksual yang harus dilalui seorang anak menurut Sigmund
a) Fase oral
Fase oral adalah fase seorang anak mendapatkan perasaan nikmat melalui
mulutnya, yaitu ketika sedang menyusu dan mengisap air susu ibu yang
dimulai sejak bayi hingga usia 1-2 tahun.
b) Fase anal
Pada fase anal, kenikmatan yang dirasakannya berubah dari mulut ke daerah
anus dan sekitarnya (seperti saluran kencing). Rasa nikmat akan dirasakan
anak ketika sedang menahan kencing dan buang air besar. Fase ini dimulai
pada anak berusia 2-4 tahun.
c) Fase phallus
Selanjutnya perubahan yang dirasakannya turun kebagian alat kelaminnya.
Fase ini berlangsung pada saat anak berumur 4-6 tahun.
d) Fase laten
Fase laten berlangsung pada usia sekolah. Fase laten ini terbagi 2 bagian
sebagai berikut:
• Bagian awal
Pada bagian ini seorang anak sudah tidak lagi memperhatikan kenikmatan
yang pernah dirasakan pada alat kelaminnya, bahkan cenderung seperti
melupakan kejadian tersebut.
• Bagian akhir
Begitu memasuki bagian akhir dari masa laten, seorang anak mulai
kelaminnya. Karena pada saat memasuki fase ini usia anak telah beranjak
dewasa, dorongan seksual, perasaan cinta, ketertarikannya kepada lawan
jenis mulai tumbuh. Jadi, perhatian anak beralih kepada alat kelaminnya
adalah hal wajar.
2. 3.3 Aktivitas Seksual
a. Defenisi aktivitas seksual
Perilaku (aktivitas) seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh
hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis.
Bentuk-bentuk aktivitas ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik
sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. (Sarwono, 2010).
Dalam hal ini aktivitas (perilaku) seksual diurutkan sebagai berikut:
• Berpacaran/Berkencan
• Berpegangan tangan
• Mencium pipi pacar
• Berpelukan dengan pacar
• Mencium bibir pacar
• Dipegang/Memegang buah dada pacar
• Memegang alat kelamin pacar
b. Pola aktivitas seksual remaja
Perkembangan aktivitas seksual dipengaruhi berbagai faktor antara lain
perkembangan psikis, fisik, proses belajar dan sosiokultural. Beberapa aktivitas
seksual yang sering dijumpai pada remaja yaitu:
a) Masturbasi/onani
Masturbasi ataupun onani merupakan salah satu aktivitas yang sering
dilakukan oleh remaja. Masturbasi yakni melakukan rangasangan seksual
khususnya pada alat kelamin, yang dilakukan sendiri dengan berbagai cara
untuk tujuan mencapai orgasme. Kegiatan masturbasi dilakukan hampir
semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan sebenarnya
masturbasi sudah berlangsung sejak seseorang berusia balita yang dalam
perkembangan psikoseksual disebut juga fase phallus. Kegiatan ini sering
terjadi pada masa awal pubertas seseorang. Karena dorongan seksual yang
mendesak, sedangkan objek-objek seksual tidak ada. Sejauh ini secara medis
tidak ditemukan efek samping masturbasi. Apabila seseorang merasa
ketagihan dengan bermasturbasi, sebaiknya ia mengubah pandangannya
terhadap masturbasi. Setelah itu secepatnya mengalihkan dan menggunakan
pikirannya pada kegiatan-kegiatan lainnya seperti berolah raga, menyalurkan
b) Petting
Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual antar jenis
kelamin dengan cara menyentuh orgab seksual tanpa melakukan tindakan
intercourse. Usia 15 tahun ditemukan bahwa 39 remaja perempuan
melakukan petting, sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting.
c) Oral seks
Oral seks melakukan rangsangan dengan mulut pada organ seks
pasangannya. Jika melakukan oral seks itu laki-laki, sebutannya adalah
cunnilingus, jika yang melakukan oral seks tersebut perempuan, sebutannya
adalah fellatio.
d) Anal seks
Anal seks adalah hubungan seksual yang dilakuakan dengan memasukkan
penis kedalam anus atau anal. Aktivitas seksual seperti ini tentu sangat
berbahaya karena anus mengandung banyak bakteri biang penyakit.
e) Hubungan seksual
Hubungan seksual atau yang disebut bersetubuh yang benar menurut
etika, moral dam agama adalah jika dilakukan melalui sebuah ikatan
pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan yang dilandasiu oleh rasa
cinta. Dengan bersetubuh, dua orang akan menjadi satu secara fisik dan
emosional. Inilah yant disebut pemenuhan dorongan seksual dalam arti yang
sebenarnya. Aktivitas seksual seperti ini tidak menimbulkan rasa ketakutan
Hubungan seksual yang pertama dialami oeh remaja dipengaruhi oleh
berbagai faktor yaitu:
• Waktu/saat mengalami pubertas, saat itu mereka tidak pernah
memahami tentang apa yang dialaminya.
• Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar
• Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan
untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontol yang baik
sehingga hubungan akan makin mendalam.
• Hubungan antar mereka makin romantis.
• Status ekonomi, mereka yang berkecukupan akan dengan mudah
melakukan pesiar ketempat-tempat rawan yang memungkinkian adanya
kesempatan melakukan hubungan seksual, sebaliknya kelompok yang
ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan mereka mencari
kesempatan untuk memenfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan
sesuatu.
• Korban pelecehan seksual yang berhubungan dengan fasilitas antara lain
sering sering mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi
ke tempat sepi.
• Tekanan dari teman sebaya, kelompok sebaya kadang-kadang ingin
menunjukkan penampilan diri yang salah untuk menunjukkan
kematangannya.
• Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana
yang boleh dan mana yang tidak boleh.
• Mereka merasa sudah saatnya melakukan aktivitas seksual sebab merasa
matang secara fisik.
• Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.
• Aktivitas seksual pacarnya.
• Penerimaan menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya.
• Sekedar terjadinya peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan
kadar hormon reproduksi/seksual (Soetjiningsih, 2004).
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas (perilaku) seksual Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual yaitu:
a) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido
seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksualini membutuhkan penyaluran
dalam bentuk tingkah laku seksual.
b) Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia
perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang
perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk
wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun karena norma sosial yang makin
lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan
(pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lainnya).
c) Sementara usia perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap berlaku di
menikah. Bahkan larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku
yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat
menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melangggar
larangan-larangan tersebut.
d) Kecenderungan pelanggaran meningkat oleh karena adanya penyebaran
informasi dengan adanya teknologi canggih (video, internet, Video Compact
Disc, telepon genggam, dan lain-lain).
e) Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya
yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak
terbuka, malah cenderung membuat jarak dengan masalah seksual.
f) Dipihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang
makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat
berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita
makin sejajar dengan pria (Sarwono, 2010).
d. Aktivitas seksual menyimpang pada remaja
Beberapa aktivitas seksual yang sering dijumpai sebagai berikut: a) Homoseksual
Faktor penyebab yang paling kuat timbulnya penyimpangan ini adalah
faktor keturunan. Homoseksual sebenanya bukan tergolong penyakit pada
umumnya, melainkan identitas seseorang.
b) Sodomi
c) Transeksual
Sebutan ini ditujukan untuk orang laki-laki atau perempuan yang tidak
menginginkan jenis kelamin mereka untuk memperoleh kepuasan seksualnya.
Kelainan ini sebenarnya sudah dapat dilihat pada usia anak-anak seperti
kesukaanya pada boneka dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan
perempuan.
d) Transvetite
Transvetite merupakan istilah yang diberikan seorang laki-laki heteroseksual
yang menginginkan memakai pakaian perempuan.
e) Exhibitions
Penderita exhibition akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara
memperlihatkan penis secara sengaja kepada perempuan atau anak kecil
yang menurutnya sesuai dengan keinginanya.
f) Fetihisme
Merupakan pemujaan yang ditujukan pada benda-benda mati atau bagian
tubuh idolanya sampai mendapat kepuasan seksual.
g) Phedophilia
Merupakan kelainan seksual yang memperoleh kepuasan jika berhubungan
seksual sengan anak kecil atau dibawah umur.
BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka konseptual
Kerangka penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggambarkan
hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri
14 Medan. Pendidikan seks pada penelitian ini menjadi variabel bebas
(independen) sedangkan aktivitas seksual menjadi variabel terikat (dependen).
Secara skematis kerangka penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Skema 1: kerangka konseptual penelitian
Aktivitas seksual:
• Urutan aktivitas seksual
• Masturbasi/onani
• Petting
• Oral seks
• Anal seks
3.2 Defenisi operasional variabel penelitian Tabel 3.1 Defenisi operasional
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi
korelasional yang mengkaji hubungan antara variabel. Peneliti dapat mencari,
menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, menguji berdasarkan teori yang
ada (Nursalam, 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan
pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan.
4.2 Populasi dan sampel penelitian 4.2.1 Populasi
Populasi adalah setiap subjek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2003). populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh remaja kelas 1, 2 dan 3 di SMA Negeri 14 Medan dengan jumlah
700 orang, namun pada saat melakukan penelitian remaja kelas 3 tidak aktif lagi
dalam mengikuti pelajaran karena remaja keas 3 telah selesai mengikuti ujian
akhir nasional. Sehingga dalam penelitian ini jumlah populasi sebanyak 480
orang yaitu remaja kelas 1 dan 2.
4. 2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek penelitian
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
systematis sampling yaitu pengambilan sampel dengan teknik berurutan atau
dengan suatu system tertentu yaitu dari 480 responden sampel yang diambil
sebanyak 144 orang maka probabilitas untuk terambil sebagai sampel adalah
480/144 = 3, yang diambil secara acak hanya unsur pertama yaitu dari nomor
satu sampai 144, jadi yang tertarik secara acak dalam penelitian ini adalah
nomor dua untuk selanjutnya diambil setiap jarak tiga yaitu 2,5,8...dst.
Menurut Nursalam (2003), jika besar populasi <1000, maka besar sampel
bisa diambil 20-30% dari jumlah populasi. Jumlah sampel pada penelitian ini
adalah 30% dari 480 populasi yaitu sebanyak 144 orang.
4.3 Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 14 Medan dan dilakukan pada
juni-juli 2010. Dengan kriteria lokasi penelitian terdapat di lingkungan
perumahan. Jauh dari kota, di sekitar lokasi tidak terdapat warung internet, waktu
penelitian efisien dan terdapat populasi yang banyak.
4.4 Pertimbangan etik
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin penelitian dari Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara, kemudian mengajukan permohonan
penelitian ke SMA Negeri 14 Medan. Setelah mendapatkan izin peneliti akhirnya
melakukan penelitian dengan menyerahkan lembar kuisioner kepada responden
responden tentang tujuan, manfaat dan prosedur pengisian kuisioner, meminta
persetujuan responden dengan menandatangani informed consent, menjelaskan
kepada responden bahwa responden berhak menolak dan mengundurkan diri pada
saat pengisian kuisioner dengan alasan mereka tidak mendapat paksaan dari pihak
lain, responden juga diberi penjelasan bahwa penelitin ini tidak menimbulkan
resiko fisik maupun psikis, untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak
mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data (kuisioner) yang
diisi oleh responden dan kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden
dijamin oleh peneliti.
4.5 Instrumen penelitian
Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat
pengumpul data berupa kuisioner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan
berpedoman pada kerangka konsep dan tinjauan pustaka. Instrumen penelitian ini
terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen pendidikan seks dan variabel
dependen aktivitas seksual. Pada variabel independen pendidikan seks berisi 1
(satu) pertanyaan, yang bertujuan untuk mengetahui apakah remaja pernah
mendapatkan pendidikan seks. Untuk itu peneliti memberi kuisioner sebanyak 1
(satu) pertanyaan dengan cara dichotomy question dengan dua pilihan alternatif
jawaban, setiap jawaban ya diberi nilai satu dan setiap jawaban tidak diberi
jawaban nol. Pada variabel dependen aktivitas seksual berisi 12 pertanyaan , yang
bertujuan mengetahui sejauh mana aktivitas seksual yang dilakukan oleh remaja.
cara dichotomy question dengan dua pilihan alternatif jawaban, setiap jawaban
pernah diberikan nilai satu dan setiap jawaban tidak pernah diberikan nilai nol.
4.6 Uji validitas dan reabilitas 4. 6.1 Uji validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrumen
pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur, untuk mendapatkan
data yang relevan dengan apa yang sedang diukur (Dempsey, 2002). Untuk
menguji validitas isi yaitu validitas berdasarkan tinjauan pustaka. Selanjutnya
dikonsultasikan kepada yang berkompeten dibidang tersebut (Setiadi, 2007). Uji
validitas dilakukan oleh bagian keperawatan komunitas Fakultas Sumatera utara.
Oleh beliau, peneliti diarahkan untuk memperbaiki instrument penelitian sesuai
dengan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual.
4.6.2 Uji reliabilitas
Uji reabilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui
konsistensi dari instrumen sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya
dalam ruang lingkup yang sama. Dalam penelitian ini digunakan reliebilitas
konsistensi internal karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya pemberian
instrumen hanya satu kali dengan bentuk instrumen kepada satu subjek studi
(Dempsey, 2002). Instrumen pengukuran yang memiliki reliabilitas sempurna
benar-benar reliable. Reabilitas yang sering dilaporkan biasanya kurang dari 1,00 yaitu
0,80; 0,70; atau 0,50 (Dempsey, 2002).
Uji reliabelitas pada instrument hubungan pendidikan seks dengan aktivitas
seksual dilakukan pengumpulan data terhadap 30 orang responden yaitu siswa dan
siswi SMA Negeri 14 Medan pada bulan Juli 2010. Uji reliabelitas ini dilakuka n
dengan menggunakan rumus Kr 20, sehingga diperoleh hasil 0.82. Menurut Polit
& Hungler (1999) menyatakan bahwa suatu instrument reliabel jika memiliki nilai
reliabelitas >0.70. Oleh karena itu, instrument dalam penelitian ini sudah reliabel.
4.7 Teknik pengumpulan data
Peneliti terlebih dahulu mengajukan izin pelaksanaan penelitian melalui
bagian pendidikan fakultas keperwatan USU dan SMA Negeri 14 Medan. Setelah
mendapatkan calon responden, peneliti menjelaskan tujuan, manfaat penelitian
serta cara pengisian kuisioner. Kemudian calon responden yang bersedia
berpartisipasi untuk menandatangani informed consent. Responden yang menolak
tidak dipaksa untuk mengisi kuisioner dan responden yang bersedia diminta untuk
mengisi kuisioner yang diberikan peneliti selama ± 15 menit. Responden diberi
kesempatan bertanya selama pengisian kuisioner tentang hal yang tidak
dimengerti sehubungan dengan pertanyaan yang ada dalam kuisioner penelitian,
peneliti terlebih dahulu memeriksa kelengkapan jawaban responden sesuai dengan
4.8 Analisa data
Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa data
melalui beberapa tahap. Pertama, memeriksa kelengkapan data responden dan
memastikan semua jawaban terisi. Setelah itu mengklarifikasi data dengan
mentabulasikan data yang telah dikumpulkan dan dilakukan pengolahan data
dengan menggunakan teknik komputerisasi SPSS.
Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Statistik univariat
Statistik univariat adalah prosedur untuk menganalisa data dari satu
variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian (Polit &
Hungler, 1999). Pada penelitian ini, analisa data dengan metode statistik
univariat digunakan untuk menganalisa variabel independen yaitu pendidikan
seks dan variabel dependen yaitu aktivitas seksual pada remaja di SMA
Negeri 14 Medan. Analisa variabel pendidikan seks dan aktivitas seksual
dianalisis dengan menggunakan skala nominal dan ditampilkan dalam
distibusi frekuensi.
b. Statistik bivariat
Statistik bivariat adalah suatu prosedur untuk menganalisis hubungan
antara variabel. Untuk melihat hubungan antar variabel independen
pendidikan seks dan variabel dependen aktivitas seksual, digunakan uji Chi
dengan nilai α. Bila nilai p < α maka keputusannya Ha gagal ditolak. Bila p >
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri
14 Medan. Penelitian ini dimulai pada tanggal 26-31 Juli 2010 di SMA Negeri
14 Medan dengan jumlah 144 orang.
5.1 Hasil Penelitian
Hasil penelitian dibagi atas empat bagian yaitu data demografi responden,
data pendidikan seks serta aktivitas seksual pada remja dan menganalisa ada atau
tidaknya hubungan pandidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di
SMA Negeri 14 Medan.
5.1.1 Data demografi responden
Berdasarkan hasil data demografi responden, Usia 15 tahun sebanyak 16
orang (11,11%), usia 16 tahun sebanyak 62 orang (43,06%), usia 17 tahun
sebanyak 54 orang (37,50%), dan usia 18 tahun sebanyak 12 orang (8,33%).
Siswa laki-laki sebanyak 70 orang (48.61%) dan perempuan sebanyak 74 orang
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden
No Karakteristik Frekuensi Persentase 1 Usia
15-18 Tahun 140 100
2 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
70 74
48,61 51,39
5.1.2 Pendidikan seks
Dalam penelitian ini pendidikan seks dianalisa apakah remaja pernah atau
tidak pernah mendapakan pendidikan seks. Berdasarkan hasil analisa data
sebanyak 102 orang (70,8%) mengatakan pernah mendapatkan pendidikan seks
sebanyak 42 orang (29,2%) tidak pernah mendapatkan pendidikan seks. Siswa
yang mendapakan pendidikan seks di sekolah sebanyak 63 orang (43,75%),
dirumah (keluarga) sebanyak 9 orang (6,25%), dari penyuluhan sebanyak 10
orang (6.94%), dari teman/sahabat sebanyak 13 orang (9,03%) dan lain-lain
seperti seminar sebanyak 7 orang (3,47%).
Tabel 5.2 distribusi frekue nsi dan persentase pendidikan seks
5.1.3 Aktivitas seksual pada remaja
Dari hasil penelitian ini di dapatkan bahwa aktivitas seksual yang paling
banyak dilakukan oeh remaja adalah antara lain siswa yang pernah berpacaran
sebanyak 106 orang (73,6%) dan yang tidak pernah sebanyak 38 orang (26,4%),
siswa yang pernah berpegangan tangan dengan pacar sebanyak 101 orang
(70.1%), yang tidak pernah berpegangan tangan dengan pacar sebanyak 43 orang
(29,9%), responden yang pernah mencium pipi pacar sebanyak 84 orang (58.3%)
sedangkan yang tidak pernah sebanyak 60 orang (41.7%), pernah mencium bibir
pacar sebanyak 72 orang (50.0%) dan yang tidak pernah sebanyak 72 orang
(50.0%), pernah berpelukan dengan pacar sebanyak 69 orang (47.9%) dan yang
tidak pernah sebanyak 75 orang (52.1%).
Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase aktivitas seksual remaja
No Aktivitas seksual Pernah Tidak Pernah
alat kelamin sendiri (masturbasi/onani)
9 Membangkitkan dorongan seksual pasangan 19 13.2 125 86.8 dengan cara menyentuh organ seksual (petting)
10 Melakukan rangsangan seksual dengan mulut 6 4.2 138 95.8 pada organ seks pasangannya (oral seks)
5.1.4 Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan
Analisa hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja
diukur dengan menggunakan uji chi square. Dari hasil analisis data didapat
p=0.890 (α 0.05) dengan p>0,05 berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14
Medan.
Tabel 5.4 Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan
5.2 Pembahasan 5.2.1 Pendidikan seks
Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 102 responden pernah mendapatkan
pendidikan seks (70,8%), dari sekolah sebanyak 63 orang (43.75%),
rumah/keluarga sebanyak 9 orang (6.25%), penyuluhan sebanyak 10 orang
(6.94%), teman/sahabat sebanyak 13 orang (9.03%), dan lain-lain seperti seminar
sebanyak 7 orang (3.47%) dan yang tidak pernah mendapatkan pendidikan seks
sebanyak 42 orang (29.2%). Dengan kata lain remaja siswa dan siswi SMA
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Sarwono (2010) mengatakan
bahwa pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah
penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang
tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular
seksual, depresi dan perasaan berdosa. Dalam pendidikan seks diberikan
pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif yang tepat,
berhubungan dengan self esteem (rasa penghargaan terhadap diri), penamaan rasa
percaya diri difokuskan pada peningkatan kemampuan dan mengambil keputusan
(Pratiwi, 2004).
Sesuai dengan pendapat Sarwono (2010) bahwa pendidikan seks bukanlah
penerapan tentang seks semata-mata, akan tetapi sama seperti pendidikan umum
lainnya (Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral Pancasila) yang mengandung
pengalihan nilai-nilai dari pendidikan ke subyek-didik. Pendidikan seks yang
kontekstual mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, tidak terbatas pada
perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran pria
dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan dan peran
ayah–ibu dan anak-anak dalam keluarga. Pemberian informasi mengenai masalah
seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja dalam potensial seksual
yang aktif karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon
Pendidikan seks juga diperlukan untuk menghubungi rasa keingitahuan
remaja tentang seksualitas dan berbagai tawaran informasi yang vulgar dengan
cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, dan disesuaikan
dengan kematangan (Sarwono, 2010). Dari penelitian yang dilakukan oleh
Synovate (2004) mengungkapkan bahwa sekitar 65% informasi tentang seks
remaja dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya,
hanya 5% dari responden remaja ini mendapatkan informasi tentang seks dari
orang tuanya.
Adanya siswa yang tidak pernah mendapatkan pendidikan seks
kemungkinan karena kurangnya informasi mengenai pendidikan seks baik dari
keluarga, teman/sahabat maupun dari yang lainnya dan masih adanya faktor
budaya yang menganggap tabu sehingga melarang membicarakan mengenai seks
secara vulgar. Banyaknya pemikiran orang-orang yang mengatakan bahwa “kelak,
remaja akan mengetahuinya sendiri memberikan pernyataan secara tidak langsung
bahwa remaja toh akan tahu mengenai seks pada saat yang tepat yaitu dalam
sebuah pernikahan. Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama
kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah
orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau
terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Hal ini di
dukung berdasarkan hasil penelitian diatas dimana remaja siswa dan siswi yang
berdasarkan hasil penelitian Synoviate Research (2005) melaporkan hanya 5%
remaja mendapatkan informasi mengenai seks dari orang tuanya.
5.2.2 Aktivitas seksual
Berdasarkan penelitian diatas berbagai aktivitas seksual sudah pernah dilakukan oleh remaja SMA Negeri 14 Medan. Sarwono (2010) mengungkapkan
bahwa yang dimaksud dengan aktivitas seksual adalah segala tingkah laku yang
didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama
jenis. Hal ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yaitu apa yang telah dan
sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita
terhadap stimulus sosial, tanggapan dan penghayatan seseorang harus mempunyai
pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Berdasarkan hasil penelitian
ini remaja SMA Negeri 14 Medan yang pernah berpacaran sebanyak 106 orang
(73.6%) dan yang tidak pernah sebanyak 38 orang (26,4%). Dengan kata lain
remaja SMA Negeri 14 Medan hampir seluruhnya pernah berpacaran ataupun
berkencan. Hal ini didukung berdasarkan penelitian Rachmat ( 2007) terhadap
10.833 remaja laki-laki didapatkan Sekitar 72 persen sudah berpacaran Sedangkan
dari 9.344 remaja putri yang berusia 15-19 tahun didapatkan data Sekitar 77
persen sudah berpacaran.
Menurut
adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan
pacar. Zarina (2008) berpendapat bahwa pacaran adalah suatu hubungan yang di
dalamnya terdapat sebuah komitmen dan proses saling mengenal. Biasanya, awal
masa pacaran terjadi ketika remaja masuk dalam tahap pubertas atau ketika
remaja mengalami perkembangan fisik diawali terjadinya menstruasi bagi anak
perempuan atau mimpi basah pada anak laki-laki. Namun tak sedikit anak-anak
remaja “bau kencur” yang belum puber pun ikut-ikutan tradisi pacaran dan
sayangnya saat ini dalam pergaulan masyarakat justru banyak berkembang
pacaran yang tanpa tujuan, apalagi pasangan dengan hubungan tanpa status, tidak
memiliki komitmen dan tujuan positif untuk melangkah ke jenjang pernikahan
yang disyariatkan.
Menurut Zarina (2008) umumnya ada dua faktor yang banyak mendorong
mereka berpacaran, yaitu internal dan ekstrenal. Faktor internal berasal dari
dorongan diri remaja itu sendiri, dan faktor eksternal dipengaruhi oleh
teman-temannya. Menurut Yuni (2008) fenomena yang kini marak ialah proses pacaran
tidak lagi menjadi orientasi utama seseorang untuk mencari pendamping
hidup yang tepat, untuk kemudian menuju jenjang pernikahan, namun ada tujuan
lain remaja berpacaran yaitu having fun agar tidak ketinggalan zaman, bahkan
eksploitasi seksual merupakan sebagian tujuan mereka. Bagi sebagian remaja,
pacaran bahkan dimaknai sebagai ajang adu gengsi semata demi menjauhkan
diri dari status jomblo yang berarti negatif di kalangan remaja (tak laku), hal