LANDASAN TEORITIK
F. Pendidikan Untuk Kaum Mis kin
Fina Affidatussofa (14) bukan seorang siswa di sekolah Intemasional
dan bukan anak orang berada. Ia lahir sebagai anak petani di Desa Kalibening,
tiga kilometer peijalanan ke arah selatan dari pusat Kota Salatiga menuju
Kedung Ombo, Jawa Tengah. Karena orang tuanya tidak mampu, ia terpaksa
melanjutkan sekolah di SMP terbuka di desanya.78 Fina mengurungkan
niatnya untuk melanjutkan studinya di sekolah-sekolah favorit yang
membutuhkan biaya yang mahal. Namun demikian tidak mengurangi
semangat belajamya, bahkan buku-buku karya orisinilnya telah banyak di
terbitkan oleh LKiS Yogyakarta.
77 Ibid, him. 129.
78 Ahmad Bahruddin, Pendidikan A ltem a tif Qoryah Thayyibah, LKIS, Yogyakarta, 2007, him. 25.
Contoh yang lain yang memilukan adalah Haryanto, seorang murid
Sekolah Dasar Muara Sanding VI Garut, yang putus asa lalu bunuh diri
dengan cara menggantung diri akibat tidak mampu membayar biaya kegiatan
ekstrakurikuler. Orang tuanya tidak mampu memberikan biaya kegiatan yang
hanya sebesar Rp. 2500,-.79 80
Contohnya yang lain teijadi di Gunungkidul (DIY). Hanya karena
orang tuanya tidak mampu menyediakan uang ekstrakurikuler sebesar Rp
O A
2500, seorang peserta didik nekat bunuh diri.
Inilah potret kaum marginal yang serba dalam kesulitan. Untuk
membiayai kegiatan sekolah yang hanya sebesar dua ribu limaratus rupiah saja
terasa berat sekali, apa lagi biaya pendidikan dengan jumlah ratusan ribu,
bahkan jutaan rupiah. Sudah saatnya para pakar pendidikan nasional
mamahami persoalan yang kerap kali terlupakan ini.
Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah
kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan.
Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan
kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan,
pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya.
Seharusnya negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat
maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu
adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu
dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
79 http://www.wikipedia.org.
80 Benni Setiawan, Pendidikan Roboht Bangsa Roboh, Suara Merdeka, 30 Agustus 2008.
Pendidikan nasional untuk saat ini sepertinya semakin jauh dari visi
kerakyatan. Bahkan dengan gerakan otonomi sekolah-sekolah tinggi semakin
jelas menunjukkan gejala kapitalisme pendidikan. Saat ini pendidikan dikelola
dengan menggunakan manajemen bisnis yang kemudian menghasilkan biaya
yang melangit. Biaya pendidikan makin mahal, bahkan terkesan telah menjadi
komoditas bisnis bagi kaum pemilik modal (kapitalis) dengan berbagai
pungutan dan dengan berbagai dalih kebutuhan sekolah dan lain sebagainya.81
Dengan menggunakan label sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah
panutan dan sebagainya biaya pendidikan semakin mencekik "wong cilik".
Pendidikan kita semakin menindas terhadap kaum marginal.
Dimanakah letak keadilan pendidikan kita jika sekolah yang bermutu itu
hanya untuk mereka yang punya uang saja?.
Dengan biaya pendidikan yang makin tidak teijangkau oleh
masyarakat marginal, kita semakin berhadapan dengan persoalan penindasan
gaya baru. Penindasan yang terselubung yang secara tidak langsung
menciptakan jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Inilah yang kami
maksud dengan penindasan gaya baru itu. Rakyat lemah tidak lagi mampu
mengenyam pendidikan bermutu akibat mahal-nya biaya pendidikan itu.
Praktisi pendidikan kita sepertinya kurang mampu memahami kaum
marginal yang serba kesulitan. Mereka lebih disibukkan dengan perdebatan-
perdebatan teoritis tentang kebijakan tanpa memahami secara langsung
kondisi masyarakat marginal itu.
81 Ade Ira wan dkk, Buruk Wajah Pendidikan Dasar, Riset Kepuasan Warga atas Pelayanan Pendidikan Dasar di Jakarta, Garut, Solo, Indonesia Coruption Watch (ICW),
Negeri ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar
adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah
dengan biaya murah dan teijangkau oleh kemampuan masyarakat banyak.
Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan
pelayanan secara gratis karena dal am pendidikan dasar enam tahun atau
sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di
sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca,
tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar
pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat
kita tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat
miskin. Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah
Dasar dan inpres-inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan
pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar
telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan
kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan
murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin,
diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun
yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin.82
82 Djauzak Ahmad, Kemiskinan dan Kesempatan Memperoleh Pendidikan, http://ww\v. aooale.com/. hlm.2.
Kejadian itu dapat dinikmati dal am jangka waktu cukup lama, yaitu
sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun pada tahun
1984. Sayang, gema wajib belajar itu makin hari makin melemah karena
komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika
selama ini kita melihat pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga
mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun
sudah mahal.
Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi
lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-
persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besamya biaya
pungutan-pungatan yang memberatkan83. Jika untuk masuk sekolah dasar
ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun
atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan
yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah
berdasarkan umur.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang
selalu didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan
wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini
hams membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat
membayamya. Maka teijadilah hal yang sebenamya tidak perlu teijadi apabila
semua pihak, terutama gum dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan
wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan
dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan
tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin
mampu membayamya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan
memperoleh kesempatan pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab,
pada negara yang sudah 63 (enam puluh tiga) tahun usianya ini, banyak anak
bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini
akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing
BAB III