BAB II SEKILAS TENTANG KABUPATEN
B. Penduduk Kabupaten Grobogan
Pada tahun 2007, penduduk di kabupaten Grobogan tercatat berjumlah
1.385.817 jiwa. Dari jumlah ini sebagian besar penduduknya bermata pencaharian
sebagai petani. Oleh karena faktor inilah pada masa Cultuurstelsel maupun masa
Liberal, kabupaten Grobogan menjadi daerah pilihan pemerintah kolonial dan
pihak swasta untuk mendirikan usaha-usaha perkebunannya.
Pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah penduduk terbesar di
Hindia-Belanda pada masa Cultuurstelsel. Hal ini berarti bahwa daerah-daerah di pulau
Jawa memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk keberhasilan usaha-usaha
perkebunan pemerintah, yaitu ketersediaan sumber daya manusia yang dibutuhkan
untuk dijadikan tenaga kerja perkebunan. Hal ini juga menjadi lebih efektif lagi
karena penduduk di pulau Jawa memang merupakan masyarakat agraris, dimana
Dalam pelaksanaannya, Cultuurstelsel membawa penderitaan bagi
penduduk di Hindia-Belanda. Di kabupaten Grobogan, yang merupakan salah satu
pusat perkebunan pemerintah pada saat itu, para petani sangat menderita oleh
eksploitasi pemerintah kolonial melalui perkerjaan-pekerjaan wajib untuk
perkebunan pemerintah. Penderitaan petani di Grobogan pada periode
Cultuurstelsel mencapai puncaknya pada akhir tahun 1840-an dengan terjadinya
bencana kelaparan dan wabah penyakit yang menimpa para petani. Sebagai akibat
dari bencana kelaparan dan wabah penyakit tersebut ialah penurunan jumlah
penduduk yang sangat drastis. Semula penduduk di kabupaten Grobogan
berjumlah 89.500 jiwa, lalu setelah dilaksanakannya Cultuurstelsel dan dengan
adanya bencana kelaparan dan wabah penyakit pada akhir tahun 1840-an jumlah
tersebut berkurang menjadi 9.000 jiwa.
Dinilai memiliki andil dalam penderitaan petani, oleh kaum humanis
Belanda, Cultuurstelsel dituntut penghapusannya. Penghapusan Cultuurstelsel
secara resmi akhirnya terlaksana pada tahun 1870 yang ditandai dengan
kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda yang juga menandakan
dimulainya haluan politik baru di Hindia-Belanda, yaitu Sistem Liberal.
Pada masa Liberal, kabupaten Grobogan masih menjadi salah satu daerah
di Jawa yang menjadi pilihan para pemilik modal swasta untuk mendirikan
usaha-usaha perkebunan mereka. Perubahan fase industri perkebunan yang terjadi pada
periode ini tidak membawa banyak perubahan positif dalam kehidupan petani di
kabupaten Grobogan. Pada periode Liberal, petani tetap menjadi korban
swasta sama terikatnya dengan saat petani bekerja di perkebunan pemerintah pada
periode Cultuurstelsel. Meskipun dengan bekerja di perkebunan-perkebunan
swasta berarti petani bebas dari kerja rodi, tetapi sistem kontrak di perkebunan
swasta bagai ikatan kerja rodi yang diterapkan pemerintah kolonial. Pihak swasta
memberikan sanksi tertentu, dari sanksi-sanksi ringan hingga berat, bagi buruh
tani yang mencoba melarikan diri dari perkebunan selama masa kontraknya masih
berlaku.
Pihak swasta pun tidak memberikan tunjangan-tunjangan kesejahteraan
bagi para buruhnya. Hal ini disebabkan oleh adanya pajak-pajak yang harus
dibayarkan oleh pihak swasta kepada pemerintah Hindia-Belanda. Sehingga
petani tetap tidak bisa memperbaiki taraf hidupnya ke tingkat yang lebih baik.
Tetapi, petani di kabupaten Grobogan dapat bertahan bahkan hingga
sekarang. Dapat dibuktikan dengan masih adanya sektor pertanian dan
perkebunan di daerah ini. Hingga sekarang pun sebagian besar penduduknya
bekerja di sektor pertanian. Perkembangan pertanian dan perkebunan di kabupaten
Grobogan juga disebabkan karena ketersediaan sumber daya manusianya.
C. Sektor Perkebunan di Kabupaten Grobogan
Sekitar seperempat bagian dari wilayah kabupaten Grobogan merupakan
lahan perkebunan. Beberapa faktor, seperti faktor geografis dan juga sumber daya
manusianya merupakan faktor utama yang mendukung keberlangsungan sektor
memungkinkan penduduk setempat untuk membudidayakan tanaman-tanaman
pertanian maupun perkebunan.
Bagian tengah wilayah kabupaten Grobogan merupakan pusat pemukiman
penduduk dan lahan pertanian juga perkebunan. Dua pegunungan yang mengapit
wilayah kabupaten Grobogan merupakan kawasan huutan jati, mahoni dan hutan
campuran yang berfungsi sebagai hutan resapan air hujan. Lembah yang
membujur dari timur ke barat merupakan lahan pertanian yang produktif. Daerah
lembah ini sebagian bahkan telah didukung dengan adanya saluran irigasi, jalan
raya dan jalur kereta api.
Adapun ketersediaan lahan perkebunan di kabupaten Grobogan adalah
sebagaiman tercantum dalam tabel berikut;
Tabel 1 Ketersediaan Lahan Perkebunan di kabupaten Grobogan No. Sektor/Komoditi Luas Lahan/Potensi
1. Perkebunan: Kelapa Lahan yang sudah digunakan (Ha): 3, 975 2. Perkebunan: Tembakau Lahan yang sudah digunakan (Ha): 1,070 3. Perkebunan: Tebu Lahan yang sudah digunakan (Ha): 577
4. Perkebunan: Jambu Mete Lahan yang sudah digunakan (Ha): 308 5. Perkebunan: Kapas Lahan yang sudah digunakan (Ha): 248 6. Perkebunan: Kopi Lahan yang sudah digunakan (Ha): 19
Sumber: Data Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan Jakarta 2007.
Seperti tercantum dalam tabel di atas, perkebunan-perkebunan seperti
perkebunan tembakau, perkebunan tebu dan perkebunan kopi masih tetap
berlangsung di daerah Grobogan seperti halnya pada periode Cultuurstelsel
(1830-1870) sampai dengan periode Liberal (1870-1875). Meskipun lahan
perkebunannya tidak begitu luas, tetapi hasilnya masih merupakan komoditi
Perkebunan kelapa menempati posisi pertama dengan lahan yang sangat luas,
hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Grobogan membudidayakan kelapa.
Sebagian besar hasilnya diolah menjadi santan atau bahkan ada yang diolah
menjadi minyak kelapa. Sedangkan untuk perkebunan lainnya hanya terdapat di
beberapa kecamatan saja dengan lahan yang tidak begitu luas bahkan sempit,
seperti lahan untuk perkebunan kopi yang hanya seluas 19 Ha.
Untuk lebih rinci, hasil-hasil perkebunan tersebut dapat dilihat dalam tabel
berikut;
Tabel 2 Profil Komoditi No. Sektor/ Komoditi Unggulan/ Tidak Deskripsi 1. Primer-Perkebunan: Kelapa
Unggulan Produksi tahun terakhir (2006): 1,579.00 ton.
2. Primer-Perkebunan: Tebu
Unggulan Produksi tahun terakhir (2006): 1, 258.00 ton.
3. Primer-Perkebunan: Tembakau
Unggulan Produksi tahun terakhir (2006): 833.00 ton.
4. Primer-Perkebunan: Kapas
Unggulan Produksi tahun terakhir (2006): 248.00 ton.
5. Primer-Perkebunan: Jambu Mete
Unggulan Produksi tahun terakhir (2006): 99.00 ton.
6. Primer-Perkebunan: Kopi
Non Unggulan Produksi tahun terakhir (2006): 3.00 ton.
7. Sekunder- Industri: Industri Pengalengan Ikan
Unggulan Melalui satu pelabuhan perikanan pantai dan dua tempat pendaratan ikan kabupaten Demak mendapatkan jumlah produksi ikan tangkap yang dapat diolah lebih lanjut untuk industri pengalengan ikan.
Bahan baku & Ketersediaan di daerah (Kom. Sekunder Tersier) Perikanan Tangkap (1,632.00 ton).
Sumber: Data Statistik Perkebunan Indonesia 2006-2008. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan Jakarta 2007.
Pada periode ini, penduduk di Kabupaten Grobogan lebih mempunyai
variasi dalam membudidayakan jenis-jenis tanaman di lahan-lahan perkebunan
yang tersedia. Hal ini karena sudah tidak adanya ketentuan-ketentuan yang
mengatur jenis tanaman apa saja yang boleh ditanam oleh petani, seperti yang
terjadi pada masaCultuurstelsel maupun masa liberal. Pada masaCultuurstelsel,
petani terikat oleh ketentuan-ketentuan pemerintah Hindia-Belanda dalam
pengolahan lahan pertanian mereka dan jenis-jenis tanaman perkebunan yang
harus dibudidayakan. Sedangkan pada masa liberal, pihak swasta menggantikan
posisi pemerintah Hindia-Belanda. Tuntutan pasar yang menentukan jenis-jenis
tanaman perkebunan pada masa itu. Kemudian pada periode ini (2006-2008) juga
jenis-jenis tanaman perkebunannya mengikuti tuntutan pasar, tetapi berbeda
dengan pada masa liberal. Petani bekerja dengan lebih bebas dalam mencapai
hasil yang telah ditargetkan dan perhitungan untung-rugi pun tidak begitu
dominan dalam prinsip usaha perkebunan pada masa ini.
Pada periode ini (2006-2008) terdapat penambahan jenis perkebunan,
seperti perkebunan kelapa, perkebunan jambu mete dan perkebunan kapas yang
juga merupakan perkebunan primer. Bahkan perkebunan kelapa menjadi
perkebunan dengan hasil paling banyak diantara perkebunan-perkebunan lainnya.
Selain perkebunan-perkebunan primer tersebut masih terdapat beberapa jenis
perkebunan lainnya seperti perkebunan jarak pagar.
Perkembangan perkebunan pada masa ini tentu tak bisa terlepas begitu
saja dengan perkebunan-perkebunan sebelumnya. Terbukti dengan masih
tembakau dan perkebunan kopi yang juga merupakan perkebunan-perkebunan
penting pada masaCultuurstelselmaupun masa liberal.
Pada masaCultuurstelsel, kabupaten Grobogan juga merupakan salah satu
pusat perkebunan milik pemerintah kolonial. Pada masa ini, rakyat diharuskan
menyerahkan 1/5 bagian dari lahan pertaniannya untuk ditanami dengan tanaman
komersial yang jenisnya ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah mewajibkan
rakyat untuk menanam tanaman-tanaman seperti tebu, tembakau dan kopi yang
selanjutnya hasilnya diserahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda. Belanda
memperoleh pendapatan yang sangat besar dari pelaksanaanCultuurstelsel.
Akan tetapi, beban rakyat semakin besar dengan adanya berbagai jenis
kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Selain
harus menanam tanaman ekspor, mereka masih harus menjalani kerja rodi
membangun sarana-prasarana umum, juga masih harus membayar pajak terhadap
pemerintah. Penderitaan petani akibat eksploitasi selama periode Cultuurstelsel
akhirnya memuncak pada akhir tahun 1840-an dengan terjadinya bencana
kelaparan dan wabah penyakit. Bencana tersebut menyebabkan berkurangnya
jumlah penduduk di beberapa wilayah di Jawa. Sebagai contoh adalah wilayah
Demak dan Grobogan yang mengalami penurunan jumlah penduduk yang sangat
drastis. Di Grobogan, penduduknya semula berjumlah sekitar 89.500 jiwa, pada
akhir tahun 1840-an berkurang menjadi sekitar 9.000 jiwa.
Banyaknya angka pengurangan tersebut (sekitar 80.500 jiwa) disebabkan
karena ketidakmampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka
lebih banyak menghabiskan waktu untuk menanam tanaman-tanaman wajib dari
pemerintah daripada menanam tanaman-tanaman pangan, seperti padi ataupun
jagung. Sedangkan bekerja wajib pada pemerintah tidaklah mendapatkan upah
bahkan petani masih mempunyai kewajiban untuk membayar pajak.
Dengan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan
Cultuurstelsel, banyak kritikan yang muncul dari negeri Belanda yang menuntut
penghapusan Cultuurstelsel terutama kritikan dari kaum liberal dan kaum
humanis. Kaum liberal berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak ikut
campur dalam urusan ekonomi, pihak swastalah yang lebih tepat mengurusi
bidang tersebut sedang pemerintah fungsinya adalah menjadi pelindung warga
negara, penyedia prasarana, penegak hukum, dan pengatur keamanan dan
ketertiban. Sedang kaum humanis mengkritik masalah kemiskinan petani.
Kritikan kaum humanis ini berangkat dari adanya kasus kelaparan yang menimpa
petani di Jawa pada akhir tahun 1840-an.
Kasus kelaparan dan wabah penyakit yang menimpa petani di Jawa,
termasuk di Grobogan disebabkan oleh ketidaksiapan petani dalam menghadapi
bencana kelaparan. Adapun beberapa alasan mengapa petani di kabupaten
Grobogan pada saat itu tidak siap menghadapi bencana kelaparan dan wabah
penyakit yang menyerang pada akhir tahun 1840-an ialah karena; pertama,
ketentuan Cultuurstelsel yang mewajibkan rakyat untuk menyediakan 1/5 bagian
dari lahan pertaniannya untuk ditanami tanaman komersial membuat
berkurangnya lahan pertanian yang digunakan untuk menanam tanaman pangan,
Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk tidak adanya lagi lahan untuk tanaman
pangan, karena petani akhirnya memilih untuk menanami seluruh lahan
pertaniannya dengan tanaman perkebunan. Pemikiran ini didasari oleh tingginya
harga hasil-hasil perkebunan dan juga tingkat keberhasilan lahan bertanaman
campuran. Tanaman pangan seperti padi pada akhirnya hanya ditanam sekedar
untuk pemenuhan kebutuhan pokok atau untuk kebutuhan sehari-hari saja karena
tanaman pangan seperti padi tidak termasuk dalam tanaman ekspor, sedangkan
tanaman perkebunan memang ditujukan sebagai komditi ekspor yang tentu saja
dapat dijamin memiliki harga yang jauh lebih tinggai, terutama untuk tanaman
tebu. Permintaan terhadap ekspor gula tebu sangat tinggi pada masa ini,
konsumen di Eropa sangat menyukai ekspor gula tebu dari Hindia-Belanda.
Artinya, ketika tanaman pangan ditanam bercampuran dengan tanaman
perkebunan maka ada kemungkinan bahwa hanya tanaman perkebunan saja yang
tumbuh dengan subur.
Kedua, perawatan tanaman perkebunan menyita banyak waktu sehingga
petani tidak lagi mempunyai waktu untuk mengurusi lahan pertaniannya. Berbeda
dengan tanaman pertanian, contohnya padi, yang tidak memerlukan perawatan
khusus hingga tiba saatnya dipanen. Sedangkan untuk tanaman perkebunan,
contohnya tembakau, memerlukan perawatan dan pemeliharaan yang kompleks.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan banyak petani yang memilih untuk
menanami seluruh lahan pertaniannya dengan tanaman perkebunan. Ketiga,
sebagai akibat dari terabainya tanaman pangan, terutama padi, membuat harga
seperti padi masih merupakan konsumsi pokok masyarakat di Hindia-Belanda.
Sementara itu, daya beli petani sangat rendah. Kelangkaan padi dan rendahnya
daya beli petani mengakibatkan ketidaksiapan ketika bencana kelaparan melanda.
Kurangnya pemenuhan terhadap kebutuhan pokok ini tentu saja kemudian juga
mengakibatkan petani lebih mudah terserang berbagai penyakit. Oleh karena itu,
ketika terjadi bencana kelaparan dan wabah penyakit malaria yang melanda Jawa
pada masa Cultuurstelsel, petani tidak dapat mengatasinya. Hal inilah yang
kemudian mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah penduduk di kabupaten
Grobogan secara drastis, yaitu dari penduduk yang semula berjumlah 89.500 jiwa
setelah terjadinya bencana kelaparan dan wabah penyakit berkurang menjadi
hanya 9.000 jiwa saja. Angka pengurangan yang sangat besar ini menunjukkan
bagaimana buruknya kesejahteraan hidup petani di kabupaten Grobogan pada
masaCultuurstelsel.
Masalah kesejahteraan hidup petani di Hindia-Belanda yang tetap
memprihatinkan akhirnya mengundang berbagai kritikan di Belanda. Kritikan
yang paling menonjol ialah dari kaum humanis yang beranjak dari kasus
kelaparan dan wabah penyakit yang melanda petani di Jawa, khususnya di
Grobogan dan Demak pada akhir tahun 1840-an. Kritikan-kritikan dari kaum
humanis harus disampaikan dalam rapat parlemen agar tujuan untuk
menghapuskan Cultuurstelsel dapat tercapai. Dengan demikian, kaum liberal
merupakan tokoh yang dapat menyuarakan kritikan tersebut di parlemen. Kaum
liberal yang juga sudah lama menentang kaum konservatif akhirnya
di Hindia-Belanda, yaitu Sistem Liberal. Dimulainya Sistem Liberal berarti juga
penghapusan Cultuurstelsel secara resmi pada tahun 1870. Sistem Liberal dapat
diartikan sebagai pengambilalihan kuasa ekonomi dari tangan pemerintah oleh
kaum liberal. Perekonomian bukan lagi dikuasai oleh pemerintah melainkan oleh
pihak swasta atau pemilik modal. Liberalisme berarti terbukanya peluang bagi
modal swasta untuk mengusahakan kegiatan di Hindia-Belanda. Hal ini juga dapat
disebut sebagai komersialisasi Hindia-Belanda, terlebih lagi dengan
dikeluarkannyaAgrarische Wet pada tahun 1870. Jadi, pada tahun 1870 ini dapat
dikatakan bahwa pemerintah Hinda-Belanda menerapkan “politik pintu terbuka”.
Menurut Ramadhan, gagasan ekonomi liberal didasarkan pada sebuah
pandangan bahwa setiap individu harus diberi akses seluas mungkin untuk
melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya, tanpa ada campur tangan dari negara.
Atas dasar tersebut, maka campur tangan negara tidak diperlukan lagi.3Meskipun
di Hindia-Belanda sudah mulai berjalan politik “pintu terbuka”, tetapi para
pemilik modal masih enggan menanamkan modalnya terutama pada sektor
perkebunan. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu belum ada perangkat
hukum yang menjamin keberhasilan usaha perkebunan dalam skala besar.
Tidak berbeda jauh dengan masa Cultuurstelsel, pada masa Liberal
kabupaten Grobogan pun menjadi salah satu wilayah yang menjadi pilihan para
pemilik modal swasta untuk mendirikan usaha-usaha perkebunan mereka. Faktor
geografis dan ketersediaan tenaga kerja tetap memegang peranan penting sebagai
3
Ramadhan, Syamsudin, Liberalisme, (2006), dalam http://www.syariahpublications.com.
faktor yang menyebabkan kabupaten Grobogan menjadi daerah perkembangan
usaha-usaha perkebunan pihak swasta.
Dengan latar belakang demikian, maka tidak mengherankan ketika melihat
keberadaan sektor perkebunan di kabupaten Grobogan yang masih berlangsung
35
Jauh sebelum perkebunan milik swasta berkembang pesat pada abad
ke-19, usaha ekspor sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Perdagangan antar dunia
sudah dimulai sejak abad ke-16, ketika bangsa-bangsa Eropa mulai berlayar ke
Asia Tenggara. Komoditi-komoditi perdagangan pasar dunia tersedia dalam
jumlah yang banyak di Asia Tenggara, sehingga semakin lama bangsa-bangsa
Eropa semakin banyak berdatangan ke Asia. Mulai dari Spanyol, Portugis,
Inggris, sampai Belanda berlomba-lomba menguasai nusantara (sebutan Indonesia
jaman dulu). Pada akhirnya Belanda berhasil menguasai nusantara pada tahun
1602 melalui VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC dikenal dengan
monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di nusantara. Pada akhir abad
ke-18, VOC mengalami kebangkrutan. Kekuasaan terhadap nusantara beralih ke
tangan pemerintah negeri induk.
Beberapa komoditi seperti lada, pala, cengkeh, dan kayu manis yang
sebelumnya hanya dikumpulkan dari tanaman liar mulai dibudidayakan oleh
penduduk di berbagai daerah di Hindia-Belanda. Gejala ini menunjukkan bahwa
usaha perkebunan sudah dimulai. Negara sejak awal telah menjadi penguasa
utama yang memonopoli usaha perkebunan, baik sebagai pemilik maupun sebagai
pedagang hasil perkebunan. Proses produksi dan pemasaran ditentukan oleh
institusi tradisional, sementara itu rakyat hanya berfungsi sebagai penyedia tenaga
kerja dan tidak memiliki kekuatan tawar menawar untuk menentukan besar
kecilnya nilai dan hasil produksi.
Perkebunan di Hindia-Belanda, terutama di Jawa dan Sumatera, telah
tumbuh dan berkembang sejak masaCultuurstelsel(1830). Pada masa itu, van den
Bosch memutuskan untuk menerapkanCultuurstelseldan mengembangkan sektor
perkebunan semaksimal mungkin. Langkah van den Bosch tersebut adalah untuk
menyelamatkan perekonomian Hindia-Belanda dan juga negeri induk yang sedang
mengalami krisis dan ancaman kebangkrutan. Pada masa itu terjadi eksploitasi
dalam sektor perkebunan secara besar-besaran dan hal tersebut dikuasai
sepenuhnya oleh pemerintah.
Setelah kebijakan Culturstelsel yang diterapkan oleh van den Bosch
(1830), usaha perkebunan menjadi sumber keuangan yang penting untuk
pemerintah kolonial di Hindia-Belanda. Oleh karena itu, pemerintah sangat
memperhatikan bidang tersebut. Pemerintah Hindia-Belanda mempunyai kuasa
penuh untuk melakukan eksploitasi dalam bidang tersebut, baik eksploitasi
terhadap tanah, tenaga kerja, maupun hasilnya.
Memasuki abad ke-19, sebuah perubahan besar mulai terjadi dalam usaha
perkebunan di Indonesia. Berbeda dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang
bersifat terbatas, pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC
berusaha memaksimalkan potensi lahan-lahan yang subur, lahan-lahan yang
belum diolah, dan tenaga kerja penduduk lokal untuk menghasilkan berbagai jenis
Dengan masuknya modal swasta ke Belanda, maka
Hindia-Belanda menjadi sebuah koloni yang sangat komersial bagi negeri Hindia-Belanda. Untuk
mengatur modal-modal swasta yang masuk ke Hindia-Belanda, dewan menteri de
Waal mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria). Banyaknya
modal swasta yang masuk ke Hindia-Belanda telah menyebabkan tumbuh dan
berkembangannya bidang perkebunan. Sejak dikeluarkannya Agrarische Wet,
perkebunan-perkebunan besar mulai berdiri di Hindia-Belanda, khususnya di
Jawa dan Sumatera. Berbeda dengan eraCultuurstelsel, eksploitasi dalam sektor
perkebunan dikuasai oleh pemilik modal atau pihak swasta.
A. Cultuurstelseldan Pelaksanaan Sistem Liberal di Hindia-Belanda
Keadaan ekonomi di Hindia-Belanda sejak awal abad ke-19 dapat
dikatakan sedang berada dalam masa kritis. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab memburuknya keadaan ekonomi tersebut. Faktor pertama adalah
adanya Perang Jawa (1825-1830). Perang tersebut menyebabkan pemerintah
Hindia-Belanda harus mengeluarkan banyak uang untuk membiayai peperangan.
Pemerintah Hindia-Belanda berjuang sangat keras untuk menghentikan
peperangan, karena peperangan tersebut dianggap mengancam keberadaan
kolonial di Hindia-Belanda, khususnya di Jawa. Seharusnya masalah keuangan
tersebut dapat diatasi dengan pemasukan dari pajak yang telah diterapkan di Jawa,
akan tetapi pemasukan sektor ini belum optimal. Penarikan pajak belum berjalan
rakyat menyerahkan pajak dalam bentuk hasil bumi, tetapi pada masa kolonial
pajak dibebankan dalam bentuk uang.
Faktor kedua adalah hilangnya sumber kas negara. Kekuasaan Napoleon
Bonaparte atas wilayah Belanda sejak 1795–yang kemudian dibentuk menjadi
Kerajaan Belanda pada tahun 1806, sebelum akhirnya diinkorporasi ke dalam
Kekaisaran Perancis pada tahun 1810–telah menguntungkan Inggris untuk
menguasai beberapa koloni Belanda. Setelah Kongres Wina tahun 1815 Belanda
memperoleh kembali kemerdekaannya, tetapi Belgia yang masuk ke dalam
kedaulatannya memberontak pada tahun 1830. Pada akhirnya Belgia memisahkan
diri dari Belanda pada tahun 1839. Dengan pemisahan Belgia, Belanda kehilangan
industrinya. Belanda kehilangan tanah domein negara di Belgia yang disewakan
sebagai sumber keuangan. Tidak hanya kehilangan Belgia, Belanda juga
kehilangan Afrika Selatan dan Ceylon1. Keadaan tersebut tentu saja memperburuk
kondisi perekonomian Belanda.
Faktor ketiga adalah dominasi Inggris dalam bidang perdagangan. Belanda
kalah dalam persaingan perdagangan di pasar Eropa, terutama dalam bidang
ekspor. Inggris mempunyai modal yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
Belanda, sehingga dapat dengan mudah menguasai pasar Eropa. Modal Belanda
banyak terserap untuk membiayai Perang Jawa dan untuk mengatasi masalah
ekonomi di negeri Belanda sendiri.
Dari ketiga faktor di atas, dua faktor terakhir terlihat seakan-akan tidak
berhubungan dengan Hindia-Belanda. Tidak demikian jika dilihat secara
1
keseluruhan. Artinya, krisis-krisis seperti disebutkan di atas merupakan ancaman
kebangkrutan bagi negeri induk, yaitu Belanda. Hindia-Belanda, sebagaimana