• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH MASYARAKAT MANGGARAI,KEADAAN

2.3 Penduduk

Hal-hal yang akan dijelaskan dalam penduduk ini yaitu jumlah penduduk, agama, keadaan budaya dan tradisi dan keadaan bahasa Manggarai.

2.3.1 Jumlah Penduduk

Adapun jumlah penduduk yang terdapat di Kabupaten Manggarai Timur pada tahun 2016 yang tersebar di Sembilan Kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk di Kabupaten Manggarai Timur

No Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Kecamatan Borong 36.076

2 Kecamatan Elar 15.006

3 Kecamatan Elar Selatan 17.065 4 Kecamatan Kota Komba 48.702 5 Kecamatan Lamba Leda 33.818 6 Kecamatan Poco Ranaka 32.547 7 Kecamatan Poco Ranaka Timur 26.582 8 Kecamatan Rana Mese 27.081 9 Kecamatan Sambi Rampas 26.265

Total 263.142

2.3.2 Agama

Jumlah pemeluk agama di Kabupaten Manggarai Timur sampai dengan bulan April 2018 sebanyak 278. 294 jiwa, terdiri dari 257. 051 jiwa beragama Katholik, 20.400 jiwa beragama Islam, 795 jiwa baragama Kristen Protestan, dan 48 jiwa beragama Hindu.

Tabel 2.4 Jumlah Penganut Agama di Kabupaten Manggarai Timur

No Penganut Masing-Masing Agama Jumlah

1 Penganut Agama Katholik 257. 051 2 Penganut Agama Islam 20.400 3 Penganut Agama Kristen Protestan 795

4 Penganut Agama Hindu 48

5 Rohaniwan/Rohaniwati Budha

-Total 278. 294

(sumber: Kantor Departemen Agama Kab. Manggarai Timur, 2018)

2.3.3 Keadaan Budaya dan Tradisi

Pada umumnya gambaran Masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai. Sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yaitu sistem religi,

sub-sistem organisasi, sub-sub-sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sub-sistem mata pencaharian atau ekonomi, dan sistem teknologi (Bagul, 2008: 21-23).

Ada beberapa tradisi dan budaya yang dimiliki masyarakat Manggarai dalam mempertahankan budaya serta tradisi yang telah diwariskan nenek moyang. Tradisi yang dimiliki masyarakat Manggarai tersebut dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama, tadisi Tarian Caci: merupakan tarian perang sekaligus permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk dan perisai. Lawan memukul dengan cemeti sedang yang satu menangkis dengan menggunakan tameng berbentuk bulat yang terbuat dari kulit kamping, kerbau dan sapi. Keunikan dari tarian ini adalah menari-nari sambil melantunkan nyanyian lokal. Tarian ini mengungkapkan kegembiraan dari masyarakat Manggarai terhadap ritual adat seperti syukuran atas tabisan Imam, peresmian rumah adat, serta acara adat besar lainnya. Dalam tarian ini, tidak ada permusuhan yang terjadi setelah bagian badan seseorang terkena cambukan. Tarian caci ini memegang nilai persatuan dan kesatuan serta keperkasaan seorang laki-laki dalam berperang dan melindungi diri.

Kedua, Penti: merupakan tradisi yang dapat diartikan sebagai syukuran. Acara penti ini dilaksanakan satu kali dalam setahun. Acara ini dilaksanakan untuk mensyukuri hasil panen yang telah didapat oleh masyarakat suatu kampong. Semua masyarakat dari beberapa suku dalam satu kampung akan berkumpul

dalam rumah adat yang disebut Mbaru Gendang untuk bertemu satu sama lainnya. Penti ini sering dilaksanakan pada awal tahun atau pertengahan tahun.

Ketiga, Arsitek Rumah Gendang Manggarai atau yang biasa disebut Mbaru Gendang. Rumah adat atau Mbaru Gendang ini atapnya berbentuk kerucut dan selalu mengerucut ke langit. Atap rumah gendang ini dibuat menggunakan bahan wunut atau ijuk, sehingga rumah adat ini sering disebut Mbaru Gendang atau Mbaru Wunut.

Keempat, Sanda, Mbata dan Danding merupakan seni olah vokal dan permainan kata-kata dalam bentuk lagu yang dinyanyikan oleh pria dan wanita yang berisi pantun kehidupan, syair tentang cinta, persahabatan, nasihat atau kisah kehidupan lainnya. Sanda dinyanyikan sambil berdiri membentuk lingkaran dan gerak berputar dan sesekali disertai sentakan kaki seirama namun dinyanyikan tanpa diiringi alat musik. Mbata dinyanyikan sambil duduk melingkar atau membentuk suatu barisan sambil diiringi pukulan gong dan gendang. Sedangkan Danding juga dinyanyikan secara berkelompok sambil berdiri atau bergerak mengitari lingkaran. Danding dipimpin oleh seorang yang disebut nggejang, yang terdiri ditengah lingkaran untuk mengatur gerakan serta hentakan kaki. Hampir sama seperti Sanda, Danding dinyanyikan tanpa iringan musik, namun irama pada Danding lebih cepat dan lebih bersemangat. (sumber: Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Kabupaten Manggarai Timur. 2017).

Kebudayaan masyarakat Manggarai juga dapat diwujudkan, salah satunya, dalam tradisi lisan. Tradisi lisan adalah sebuah kebudayaan yang diwariskan

terutama melalui aspek kelisanan (oral traditional) (Takari, 2013: 2). Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non-verbal) (Sibarani, 2015: 7). Salah satu bentuk tradisi lisan adalah ungkapan tradisional. Ungkapan tradisional adalah salah satu kajian folklore lisan yang perlu dilestarikan karena ungkapan-ungkapan tradisional ini banyak mengandung pengajaran-pengajaran, nasihat-nasihat, pendidikan, norma-norma, yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat (Purba, 2005:2).

Ungkapan tradisional ini sering disebut dengan pribahasa, pepatah, atau bidal dan dalam bahasa Manggarai disebut go’et. Go’et umumnya sering diartikan sebagai peribahasa, namun arti yang sesungguhnya lebih dari itu. Go’et dalam bahasa Manggarai tidak digunakan secara bebas. Go’et sering digunakan dalam pembicaraan resmi (upacara adat) yang berorientasi untuk mendidik dan mengajar. Namun hal tersebut dinyatakan secara implisit. Artinya makna, maksud, dan nilai yang hendak diajarkan tidak disampaikan secara gamblang. Go’et umumnya hanya terdiri dari dua baris dan bahkan ada yang terdiri dari satu baris. Isi dan pesan yang ingin disampaikan lewat go’et menyentuh berbagai dimensi kehidupan manusia pada umumnya dan masyarakat Manggarai pada khususnya. Hubungan keluarga, hubungan antar sesama dalam masyarakat, sikap orang tua terhadap anak, sikap anak terhadap orang tua serta berbagai bentuk tindak tanduk hidup manusia dalam masyarakat lain umumnya termuat dalam go’et. Oleh karena itu, go’et yang ada dalam budaya Manggarai lahir dari situasi dan persoalan hidup

masyarakat Manggarai sendiri dan disandingkan dengan realitas alam yang tampil memesona sebagai bentuk pengajarannya.

Dokumen terkait