• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makian dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Makian dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur - USD Repository"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

i

MAKIAN DALAM BAHASA MANGGARAI DIALEK COLOL MANGGARAI TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh :

Maria Julmitri Grey Wendardins Ranus

NIM: 154114024

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.

Aku dapat melakukan segala sesuatu melalui Dia yang memberi kekuatan kepadaku.

Segala sesuatu aku cakap menanggung di dalam Dia yang menguatkan aku”.

(Filipi 4: 13)

Skripsi ini saya persembahkan untuk yang selalu membuat saya mengerti apa itu perjuangan:

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa atas berkat dan rahmat

yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan lancar. Skripsi yang berjudul “Makian Dalam Bahasa Manggarai

Dialek Colol Manggarai Timur” dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari tidak bisa menyelesaikan skripsi tanpa

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang dengan caranya masing-masing telah

membantu penulis dalam proses menyusun skripsi.

Pertama-tama penulis mengucapkan terima kasih terhadap kedua orang tua

tercinta, Alm. Bapak Albert Ranus dan Mama Yustince S. Mindjo, kakak Berry

Ranus, kakak Ekka Layla, keponakan Hector, kakak Jerry Ranus dan adik Wendy

Ranus yang selalu mendukung dan mendoakan penulis sehingga tulisan ini bisa

selesai sesuai waktu yang ditentukan. Kedua, penulis mengucapkan terima kasih

kepada Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum dan Ibu Maria Magdalena Sinta

Wardani, S.S, M. A selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II skripsi yang

selalu memotivasi dan membimbing penulis selama penyusunan skripsi. Ketiga,

ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Peni S. Adji, S.S, M. Hum,

selaku Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Keempat, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada

(8)

viii

Yogyakarta, Bapak Drs. Herry Antono, M. Hum (alm) selaku dosen pembimbing

angkatan 2015, Bapak Dr. Ari Subagyo, M. Hum (alm), Bapak Dr. Yoseph Yapi

Taum, M. Hum, Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum, dan Bapak Sony Christian

Sudarsono, S.S, M. A., serta semua dosen pengampu mata kuliah di Program

Studi Sastra Indonesia yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Kelima,

penulis mengucapkan terima kasih terhadap masyarakat desa Colol, Manggarai

Timur, Flores, NTT yang menetap di Yogyakarta yang telah bersedia menjadi

narasumber pengumpulan data dalam skripsi ini.

Keenam, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh staf

sekretariat Fakultas Sastra dan staf pengurus Biro Administrasi Akademik

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu penulis

melancarkan urusan perkuliahan. Ketujuh, ucapan terima kasih penulis sampaikan

untuk seluruh staf perpustakaan yang telah membantu menyediakan buku-buku

referensi yang penulis perlukan. Kedelapan, penulis menyampaikan ucapan terima

kasih kepada Lucia Erline, Phelvine Immanuela, Amanda, Veronica Larasati,

Maria Navalia Lamudin, Restanti Kristiani, Intan Sebatu, Rio Selamat, Egi besli,

Gery Gunawan, Harty yang sudah mendukung, memotivasi, mendoakan serta

menemani penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Terakhir, ucapan terima kasih

penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman mahasiswa di Prodi Sastra

Indonesia, khususnya angkatan 2015 yang selalu mendukung dan mendoakan

(9)
(10)

x ABSTRAK

Ranus, Maria Julmitri Grey Wendardins. 2018. “ Makian dalam Bahasa

Manggarai Dialek Colol Manggarai Timur”. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas makian dalam Bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur dengan fokus masyarakat desa Colol, Kecamatan Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuan dalam penelitian ini adalah (i) mendeskripsikan sejarah masyarakat Manggarai, keadaan geografis, penduduk, dan keadaan bahasa Manggarai, (ii) menjelaskan jenis-jenis makian menurut referennya dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur, (iii) menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi makian dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur.

Jenis penelitian ini dalah penelitian deskriptif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semantik dan teori sosiolinguistik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap dan metode simak. Metode yang digunakan pada tahap analisis data adalah metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode yang digunakan pada tahap penyajian hasil analisis data adalah metode formal dan informal.

Dalam penelitian ini, ditemukan sebelas jenis makian dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur. Jenis-jenis makian tersebut, yaitu: (i) makian yang menunjuk pada binatang, (ii) makian yang menunjuk pada tubuh binatang, (iii) makian yang menunjuk pada sikap atau watak jelek manusia, (iv) makian yang menunjuk pada bagian tubuh manusia, (v) makian yang menunjuk pada makhluk halus, (vi) makian Manggarai dialek Colol Manggarai Timur menggunakan makian, yaitu (i) menunjukkan keakraban, (ii) mengungkapkan emosi, (iii) menghina, dan menciptakan kesetaraan sosial.

(11)

xi ABSTRACT

Ranus, Maria Julmitri Grey Wendardins. 2018.”Invective in Manggarai

Language Colol’s Dialect of East Manggarai”. Thesis. Yogyakarta: Course of Study Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata DharmaUniversity

This research is disscuses Invective in Manggarai Language Colol’s Dialect of East Manggarai focusing on people at Colol village, Poco Ranaka’s Sub-district, Manggarai’s District, Nusa Tenggara Timur. The purposes of this research are (i) describe the history Manggarai’s people, geographical condition, people and Manggarai Language’s condition, (ii) explain the variety of invective according to the referent in the Manggarai’s Language Colol’s dialect of East Manggarai, (iii) explain the factors of that affect the invective in Manggarai’s Language Colol’s dialect of East Manggarai.

This type of research was descriptive with semantic and sosiolinguistic approach. Data collection methods that used in this research are speaking and listening method. Phase referral and pragmatic reference methods were used for the data analysis. The method that used in presentation’s stage of data’s analyzing results are formal and informal method.

In this reasearch, are founded eleven kinds of invective in Manggarai’s Language Colol’s dialect of East Manggarai. The kinds of the invective are : (i) the invective that refers to animals, (ii) the invective that refers to animals’s body, (iii) the invective that refers to human’s attitude or bad characters of human, (iv) the invective that refers to human’s body, (v) the invective that refers to spirits or outsiders. (vi) the invective that refers to humiliated job, (vii) the invective that refers to things or inanimate objects, (viii) the invective that refers to the certain condition, (ix) the invective that refers to sexual things (x) the invective that refers to skin’s colour, (xi) the invective that refers to weight. There are four factors that affect the speaker of Manggarai’s Language Colol’s Dialect of East Manggarai in using the invective, namely (i) showing the intimates, (ii) express the feelings, (iii) insulting, and create the social equality.

(12)

xii

DAFTAR ISI

MAKIAN DALAM BAHASA MANGGARAI DIALEK COLOL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMANPERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMANPERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR DAN DIAGRAM ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 5

1.5 Tinjauan Pustaka ... 6

1.6 Landasan Teori ... 9

1.6.1 Pengertian Makian ... 10

1.6.2 Semantik dan Teori tentang referennya ... 11

1.6.3 Faktor munculnya penggunaan pengungkapan kata makian ... 13

1.7 Metode Penelitian ... 15

1.7.1 Metode Pengumpulan Data ... 15

1.7.2 Metode Analisis Data ... 16

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 17

1.8 Sistematika Penyajian... 18

BAB II SEJARAH MASYARAKAT MANGGARAI,KEADAAN GEOGRAFIS,PENDUDUK DAN KEADAAN BAHASA ... 19

2.1 Sejarah Masyarakat Manggarai ... 19

(13)

xiii

2.3 Penduduk ... 31

2.3.1 Jumlah Penduduk ... 31

2.3.2 Agama ... 32

2.3.3 Keadaan Budaya dan Tradisi ... 32

2.4Keadaan Bahasa ... 36

BAB III JENIS KATA MAKIAN DALAM BAHASA MANGGARAI DIALEK COLOL MANGGARAI TIMUR ... 40

3.1 Pengantar ... 40

3.2 Makian yang Menunjuk pada Binatang ... 40

3.3 Makian yang menunjuk pada Bagian Tubuh Binatang ... 42

3.4 Makian yang Menunjuk pada Sifat atau Watak Jelek Manusia ... 44

3.5 Makian yang Menunjuk pada Bagian Tubuh Manusia ... 45

3.6 Makian yang Menunjuk pada Mahkluk Halus ... 46

3.7 Makian yang Menunjuk pada Tindakan Nista ... 47

3.8 Makian yang Menunjuk pada Benda Mati ... 48

3.9 Makian yang Menunjuk pada Keadaan Tertentu ... 49

3.10 Makian yang Menunjuk pada Hubungan Seksual ... 50

3.11 Makian yang Menunjuk pada Warna Kulit ... 51

3.12 Makian yang Menunjuk pada Ukuran Badan ... 52

BAB IVFAKTOR-FAKTOR SITUASIONAL YANG MEMENGARUHI PENGGUNAAN KATA MAKIAN DALAM BAHASA MANGGARAI DIALEK MANGGARAI TIMUR ... 55

4.1 Pengantar ... 55

4.2 Keakraban ... 56

4.2.1 Menunjukkan keakraban dalam keluarga ... 59

4.2.2 Menunjukkan Keakraban antar Teman ... 61

4.3 Mengungkapkan Emosi ... 56

4.4 Menghina ... 62

4.5 Menciptakan Kesetaraan Sosial ... 64

BAB V PENUTUP ... 67

5.1 Kesimpulan ... 67

(14)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ... 70

(15)

xv

DAFTAR TABEL

2.1 Unsur Bahasa yang Mempunyai Kesamaan Antara Suku Manggarai dengan

Goa/Makasar/Bugis ... 24

2.2 Luas Daerah Kabupaten Manggarai Timur Berdasarkan Kecamatan ... 26

2.3 Jumlah Penduduk di Kabupaten Manggarai Timur ... 29

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR DAN DIAGRAM

2.1 Gambar Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Manggarai Timur ... 28

2.2 Gambar Pembagian Dialek di Indonesia Provinsi Nusa Tenggara ... 34

3.1Diagram Tingkat Kekerasan Makian dalam Bahasa Manggarai Dialek

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Objek penelitian ini adalah makian yang terdapat di daerah Manggarai

khususnya yang berada di daerah Colol Kabupaten Manggarai Timur. Bahasa

Manggarai adalah bahasa yang digunakan masyarakat Manggarai untuk

berkomunikasi sehari-hari. Ketika bertemu dengan sesama, masyarakat Manggarai

tidak segan untuk saling menyapa atau menanyakan kabar tanpa membedakan

status sosial, usia, maupun hubungan keakraban. Orang yang lebih muda tidak

harus menyapa terlebih dahulu orang yang lebih tua karena budaya saling sapa

dalam masyarakat Manggarai lebih kepada siapa yang melihat duluan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugono 2008: 863) maki adalah mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya)

sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel dan sebagainya. Sementara,

kata makian adalah kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya.

Makian mempunyai arti yang tidak jauh berbeda dengan kata umpatan, yaitu

'perkataan yang keji-keji atau kotor yang diucapkan karena marah, jengkel atau

(18)

Menurut Baryadi (1983: 37) bahasa merupakan salah satu lembaga

kemasyarakatan, yang sama dengan masyarakat yang lain, seperti perkawinan,

pewarisan harta peninggalan dan sebagainya. Sebagai alat komunikasi, Bahasa

Manggarai digunakan oleh penuturnya untuk berinteraksi. Masyarakat

mempunyai kebiasaan, watak, dan cara hidup yang berbeda-beda, yang tidak

disadari telah mempengaruhi pemilihan perbendaharaan kata. Dalam berinteraksi,

penutur kadang-kadang melibatkan emosi secara verbal maupun nonverbal. Emosi

tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai faktor baik faktor dari dalam dirinya

maupun faktor dari luar dirinya yaitu lingkungan sekitar. Kadang emosi tersebut

diungkapkan secara verbal dengan cara yang berlebihan dalam bentuk sebuah

makian atau dalam bahasa Manggarai disebut tida.

Memaki sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan marah, jengkel, dan

untuk menunjukkan keakraban rupanya dapat pula menjadi cermin dari nilai-nilai

yang berkembang di masyarakat itu, tetapi sekaligus juga menggambarkan

seberapa jauh penutur bahasa tertentu telah mengeksploitir bahasanya untuk

mengungkapkan perasaan yang dalam (Sunaryono, 1983: 6 dikutip oleh Baryadi

1983: 38). Setiap bahasa memiliki kata makian tersendiri yang berbeda dengan

kata makian yang ada dalam bahasa lain. Dalam penelitian ini dibicarakan

kata-kata makian dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai timur.

Berikut ini contoh kata makian dalam bahasa Manggarai dialek Colol

Manggarai Timur yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-sehari:

(19)

“Anjing siapa yang mengambil barang saya?”

(2) Haer keta nggolo dandang ranga hitu a Sama seperti pantat dandang muka itu a “Mukamu seperti pantat dandang”

Pada contoh (1) terdapat kata makian yaitu acu yang berarti anjing. Makian acu (anjing) termasuk dalam jenis makian yang menunjuk pada binatang.

Pada contoh (1) kata makian tersebut digunakan adalah untuk mengungkapkan

kemarahan atau emosi.

Pada contoh (2) terdapat kata makian nggolo yang berarti pantat. Makian ini termasuk dalam jenis makian yang menunjuk pada bagian tubuh manusia. Pada

contoh (2) kata makian tersebut digunakan dalam konteks bercanda ( apabila telah

akrab) dan konteks menyindir.

Berdasarkan contoh kata makian (1) dan (2) di atas, ada tiga masalah yang

akan dijawab dari penelitian ini. Pertama, sejarah masyarakat Manggarai, keadaan

geografis, penduduk dan keadaan bahasa Manggarai. Kedua, apa saja jenis makian

dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur. Ketiga, apa saja

faktor-faktor situasional yang memengaruhi penutur bahasa Manggarai dialek Colol

Manggarai Timur dalam menggunakan kata makian.

Peneliti memilih topik makian dalam bahasa Manggarai dialek Colol

Manggarai Timur karena fenomena budaya masyarakat yang khas atau unik di

daerah Manggarai khususnya daerah Manggarai Timur. Dikatakan unik karena

(20)

keakraban atau kedekatan dengan seseorang, topik mengenai makian dalam

bahasa Manggarai belum pernah diteliti, dan peneliti sendiri merupakan penutur

bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut.

a. Bagaimana sejarah masyarakat Manggarai, keadaan geografis,

penduduk, dan keadaan bahasa Manggarai?

b. Apa saja jenis-jenis makian menurut referennya dalam bahasa

Manggarai dialek Colol Manggarai Timur?

c. Faktor-faktor situasional apa saja yang mempengaruhi makian dalam

bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan penggunaan makian dalam

bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur. Tujuan tersebut dapat dirinci

sebagai berikut.

a. Mendeskripsikan sejarah masyarakat Manggarai, keadaan geografis,

penduduk, dan keadaan bahasa Manggarai.

b. Menjelaskan jenis-jenis makian menurut referennya dalam bahasa

(21)

c. Menjelaskan faktor-faktor situasional apa saja yang mempengaruhi

makian dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini berupa deskripsi mengenai jenis-jenis makian bahasa

Manggarai dialek Colol Manggarai Timur berdasarkan referennya, dan deskripsi

faktor-faktor situasional yang mempengaruhi penutur bahasa Manggarai dialek

Colol Manggarai Timur dalam menggunakan makian. Hasil penelitian ini

memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis dalam

semantik adalah untuk memahami referen atau objek yang digunakan dalam

makian bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur. Selain itu hasil

penelitian ini juga memberikan sumbangan teoretis dalam ilmu sosiolinguistik

yaitu, untuk mempelajari hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor

kemasyarakatan.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan referensi untuk

penelitian selanjutnya sekaligus untuk memahami kekhasan budaya komunikasi

dan pola relasi masyarakat penutur bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai

Timur. Kekhasan tersebut lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan emosi

(22)

1.5 Tinjauan Pustaka

Purnama (2008) meneliti tentang makian dalam bahasa Melayu

Palembang: studi tentang bentuk, referen, dan konteks sosiokulturalnya. Menurut

Purnama, makian lazim digunakan oleh penutur sebagai sarana pengungkapan

emosi, di mana makian tersebut terdapat dalam bahasa sehari-hari. Makian dalam

bahasa Melayu Palembang digolongkan menjadi tiga, yakni berdasarkan bentuk,

referen, dan konteks sosiokultural.

Bentuk makian dalam bahasa Melayu Palembang dibagi menjadi tiga,

yaitu makian berbentuk kata, makian berbentuk frasa, dan makian berbentuk

klausa. Makian yang berbentuk kata seperti kampang ‘anak haram’, burit ‘pantat’, bengak ‘bodoh’, pilat ‘kotoran pada kelamin pria’, tai ‘hasil sisa metabolisme’. Makian yang berbentuk frasa dalam bahasa Melayu Palembang dibentuk dengan

dua cara, yaitu dasar + (makian), dan woi + (makian). Terdapat keunikan dalam

makian bentuk frasa ini, yaitu adanya pemakaian suku atau etnis tertentu yang

sering digunakan oleh masyarakat untuk memaki. Hal itu disebabkan

ketidakterimaan masyarakat Palembang terhadap suku atau etnis tersebut. Etnis

atau suku yang dimaksud adalah Cina, Batak, dan Jawa. Pada makian berbentuk

klausa, makian dibentuk dengan menambahkan pronomia di belakang makian.

Berdasarkan referennya, makian dalam bahasa Melayu Palembang dibagi

menjadi sembilan, yaitu makian yang memiliki referen keadaan, makian yang

memiliki referen sifat, makian yang memiliki referen etnis, makian yang memiliki

referen binatang, makian yang memiliki referen makhluk halus, makian yang

(23)

memiliki referen aktifitas, dan makian yang memiliki referen profesi. Referen

keadaan yang dimaksud adalah keadaan mental, keadaan yang tidak sesuai dengan

norma agama dan adat, dan keadaan yang berhubungan dengan hal-hal buruk.

Makian yang memiliki referen sifat menunjuk pada sifat buruk yang

dimiliki mitra tutur. Makian yang memiliki referen etnis biasanya dikaitkan

dengan sifat etnis tertentu berdasarkan pandangan masyarakat Palembang.

Misalnya, sifat etnis Batak yang rakus, sifat etnis Cina yang pelit, dan etnis Jawa

yang suka bergaya. Referen binatang yang sering digunakan untuk memaki ialah

binatang yang dipandang tidak baik, misalnya buayo ‘buaya’, beruk ‘kera besar berekor pendek dan kecil’, babi dan anjing. Makian yang memiliki referen

makhluk halus yang sering digunakan oleh masyarakat Palembang untuk memaki

adalah belis dan taun, kedua makhluk halus ini dianggap sebagai musuh umat beragama. Makian yang memiliki referen berupa bagian tubuh misalnya

masyarakat Palembang sering menggunakan organ seksual untuk memaki, seperti

kontol, peler, pepek, memek, tempek, puki, dan jembut. Makian yang memiliki referen aktifitas seksual yang sering digunakan untuk memaki yaitu kacok, ngentot, dan ngancit. Makian yang memiliki referen profesi yang sering digunakan yaitu lonte dan lonte lanang (gigolo).

Pengkajian konteks sosiokultural makian bahasa Melayu Palembang mencakup

agama, adat, kondisi sosial, dan status sosial.

Puspitasi (2010) dalam tugas akhirnya meneliti tentang Makian dalam

Bahsa Indonesia (Suatu Kajian Bentuk dan referensi pada Komik). Dalam

(24)

pada saat marah, tetapi juga digunakan pada situasi santai atau akrab. Selain itu,

kata makian memiliki tujuan untuk menghina, meremehkan, mengungkapkan

kekecewaan, keheranan,, dan simbol keakraban. Bentuk-bentuk makian yang

ditemukan dalam pada komik yang diteliti adalah makian berbentuk kata yang

dibagi menjadi dua, yaitu makian bentuk dasar yang berwujud kata-kata

monomorfemik dan makian bentuk kata jadian atau tuturan atau berbentuk

polimorfemik yang kemudian dibedakan menjadi dua jenis yaitu makian berafiks

dan makian bentuk majemuk, makian berbentuk frasa, dan makian berbentuk

klausa. Pada bentuk referensi, kata makian dalam komik berupa referen benda,

referen binatang, referen berupa kekerabatan, referen berupa makhluk

halus,referen berupa organ tubuh, referen berupa aktivitas, referen berupa profesi,

dan referen berupa keadaan.

Wuwur (2013) dalam tugas akhirnya meneliti jenis-jenis umpatan dalam

tutur berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya dan

maksud umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Sumba

Barat. Wuwur menemukan empat jenis umpatan berdasarkan referennya yaitu

jenis umpatan yang memiliki referen berupa manusia, hewan, tumbuhan, dan

benda mati. Jika dikaitkan dengan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat,

terdapat empat maksud yang terkandung di dalam umpatan-umpatan tersebut,

yaitu umpatan yang bermaksud bercanda, menyindir, marah, dan menghina.

Karwayu (2017) dalam tugas akhirnya meneliti tentang jenis-jenis kata

makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka. Karwayu menemukan 13 jenis

(25)

pada binatang, (ii) makian yang menunjuk pada bagian tubuh binatang, (iii)

makian yang menunjuk pada bagian tubuh manusia, (iv) makian yang menunjuk

tumbuhan, (v) makian yang menunjuk pada mahluk halus, (vi) makian yang

menunjuk pada mahluk halus, (vii) makian yang menunjuk pada kotoran hewan,

(viii) makian yang menunjuk pada benda mati, (ix) makian yang menunjuk pada

keadaan tertentu, (x) makian yang menunjuk pada sifat atau watak jelek manusia,

(xi) makian yang menunjuk pada hubungan seksualitas, (xii) makian yang

menunjuk pada warna kulit, (xiii) makian yang menunjuk pada ukuran badan.

Dalam penelitian tersebut juga terdapat empat faktor situsional yang

mempengaruhi penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka menggunakan makian,

yaitu: menunjukkan keakraban, mengungkapkan emosi, menghina, dan

menciptakan kesetaraan sosial.

Berdasarkan beberapa penelitian mengenai makian seperti yang telah

disebutkan di atas belum pernah ada yang meneliti mengenai makian dalam

bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur.

1.6 Landasan Teori

Berdasarkan topik penelitian ini akan dipaparkan teori-teori tentang (a)

pengertian makian, (b) semantik dan teori tentang makna, (c) faktor-faktor

situasional yang mempengaruhi munculnya penggunaan pengungkapan kata

(26)

1.6.1 Pengertian Makian

Kata makian merupakan ungkapan yang dilihat sebagai saluran dari emosi

dan sikap penutur yang menggunakan kata-kata tabu dalam cara yang nonteknis

dan bersifat emotif.

Baryadi (1983: 38) menyebutkan bahwa kata makian termasuk di dalam

kata-kata afektif, karena kata makian mengandung nilai rasa tertentu dari penutur

yaitu rasa marah, atau jengkel. Ciri-ciri kata afektif adalah sebagai berikut.

Pertama selalu berkaitan dengan “segala sesuatu” yang pada dasarnya telah

mengandung afek (rasa). Kedua, berkaitan dengan pendengar yang secara

emosional rentan atau merangsang perasaannya terhadap kata tertentu yang

digunakan dalam setting yang tidak selaras dengan kelayakan penggunaan kata itu. Ketiga, berkaitan dengan pembicara yang dalam kondisi kejiwaan tertentu

harus melampiaskan, menumpahkan atau menyalurkan gejolak perasaannya lewat

kata-kata. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa kata makian

digunakan pada saat pembicaraan dalam kondisi kejiwaan sedang tegang, jengkel

atau marah. Selain perasaan marah, tegang atau jengkel seorang dapat pula

memaki pada saat sedang menyesal.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Sugono 2008: 863) maki adalah

mengeluarkan kata-kata (ucapan) keji (kotor, kasar, dan sebagainya) sebagai

pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel dan sebagainya. Sementara, kata makian

adalah kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya. Makian

mempunyai arti yang tidak jauh berbeda dengan kata umpatan, yaitu 'perkataan

(27)

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

makian merupakan kata-kata khas atau unik, cercaan dan ejekan yang diucapkan

oleh penutur untuk mengungkapkan emosi kepada mitra tutur, diri sendiri atau

memaki sebuah objek.

1.6.2 Semantik dan Teori tentang referennya

Semantik memiliki arti tanda atau lambang. Semantik menelaah

lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna

yang satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat.

Oleh karena itu, semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya, dan

perubahannya (Tarigan, 1986: 18). Dalam kacamata semantik, ada tiga elemen

bahasa, yaitu bentuk, makna, dan referen. Bentuk-bentuk kebahasaan memiliki

hubungan dengan makna yang dinyatakan. Hubungan antara bentuk dan makna

bersifat arbitrer dan konvensional. Sifat arbitrer mengandung pengertian tidak ada

hubungan kausal, logis, alamiah, ataupun historis, dan sebagainya antara bentuk

dan makna. Sedangkan sifat konvensional menyarankan bahwa hubungan antara

bentuk dan kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau

kesepakatan bersama (Wijana dan Rohmadi, 2011: 4).

Bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran

manusia yang disebut dengan makna (sense), dan konsep ini lazimnya

berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut referen

(28)

Referen tidak selalu sesuai dengan simbol, karena konsep sebuah referen

dapat dipahami jika sesuai dengan rujukan. Simbol (kata, rangkaian kata, gambar

gerak, isyarat dan semua representasi gambar maupun bunyi imitatif)

mengarahkan secara langsung, mengorganisasi, merekam, dan mengomunikasikan

pemikiran atau referensi tersebut. Simbol-simbol yang telah diproses di dalam

pemikiran atau referensi tersebut kemudian dikomunikasikan lagi dengan fakta

dan kejadian. Fakta dan kejadian inilah yang disebut referen (Wijana, 2004: 4)

Referen adalah objek atau hal yang ditunjuk peristiwa, fakta dalam dunia

pengalaman manusia (Djajasudarma, 1993: 24). Referen merupakan salah satu

bagian dari segitiga semiotik, selain simbol dan rujukan (Richards, 1923: 14).

Referen tidak selalu sesuai dengan simbol, karena konsep sebuah referen dapat

dipahami jika sesuai dengan rujukan. Pemikiran atau referensi sangat dipengaruhi

oleh bahasa dan simbol (Martinet, 2010: 78).

PEMIKIRAN ATAU REFERENSI (reference)

SIMBOL REFEREN (referent)

Simbol (kata, rangkaian kata, gambar, gerak, isyarat, dan semua

(29)

mengorganisasi, merekam, dan mengomunikasikan pemikiran atau referensi

tersebut. Simbol-simbol yang telah diproses di dalam pemikiran atau referensi

tersebut kemudian dikomunikasikan lagi dengan fakta dan kejadian. Fakta dan

kejadian inilah yang kemudian disebut referen.

Simbol dalam segitiga semiotik berfungsi untuk menggantikan referen,

karena simbol melakukan pentahbisan atau investitura. Ketika seseorang memahami apa yang dikatakan, maka suatu simbol akan membuat kita melakukan

suatu tindakan referensi, dan sekaligus membuat kita mengambil suatu sikap yang

sesuai dengan lingkungan yang mirip atau mendekati tindakan dan sikap lokutor.

Selain menggantikan referean, simbol juga memiliki satu relasi tidak langsung.

Misalnya, kata “anjing” tidak memiliki hubungan lain dengan “beberapa objek

umum tertentu yang terdapat di jalanan” kecuali berkaitan dengan fakta yang

sering kita gunakan ketika merujuk pada suatu binatang (Martinet, 2010: 79).

1.6.3 Faktor Munculnya Penggunaan Makian

Dilihat dari faktor psikologi, menurut Watson (dalam Dirgagunarsa 1978:

81), emosi timbul sebagai akibat adanya perubahan-perubahan dari mekanisme

tubuh secara keseluruhan, terutama pada alat-alat dalam dan kelenjar-kelanjar.

Emosi adalah suatu bentuk dari perilaku tersirat (implicit behavior), di mana

terjadi perubahan-perubahan pada alat-alat dalam (visceral) yang tersembunyi

(tidak dirasakan) yang mengakibatkan perubahan-perubahan lebih lanjut pada

(30)

Mandler (dalam Hardy dan Heyes 1985: 160) menjelaskan emosi terjadi

pada saat sesuatu yang tidak diharapkan atau pada saat kita mendapat rintangan di

dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Seseorang dapat memperlihatkan

perubahan emosi secara ekstrem, misalnya bergembira atau bergairah pada suatu

saat, dan mengalami depresi atau marah pada saat berikutnya, sesuai dengan

perubahan situasi.

Selain faktor psikologi, pemakaian ungkapan emosi negatif juga

dipengaruhi oleh faktor sosial. Dilihat faktor sosial, pemakaian ungkapan emosi

negatif yang diungkapkan melalui bahasa tersebut dapat dikaji melalui kajian

sosiolinguistik. Menurut Sumarsono (2004: 61), sosiolinguistik tidak hanya

mengkaji hubungan bahasa di dalam masyarakat, tetapi juga mengkaji hubungan

antara gejala-gejala bahasa (fonem, kata, morfem, frase, klausa, kalimat) dan

gejala-gejala sosial (umur, jenis kelamin, kelas sosial, tempat tinggal pendidikan,

pekerjaan, sikap, dan sebagainya).

Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya

ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi juga oleh faktor-faktor

nonlinguistik, antara lain adalah faktor-faktor sosial. Faktor-faktor sosial yang

memengaruhi pemakaian bahasa misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur,

tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Selain itu, pemakaian bahasa

juga dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional, yaitu siapa berbicara, dengan

bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai masalah apa (Fishman

(31)

Faktor-faktor yang memengaruhi pemakaian ungkapan emosi negatif

yaitu faktor psikologi dan faktor sosial yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat

ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan

data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Tahap tersebut

kemudian diuraikan sebagai berikut.

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah makian dalam bahasa Manggarai dialek Colol

Manggarai Timur. makian tersebut terdapat dalam data berupa tuturan bahasa

Manggarai dialek Manggarai Timur.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode cakap dan metode simak.

Metode cakap atau percakapan atau percakapan karena memang berupa

percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti, penutur selaku

narasumber (Sudaryanto, 2015:208). Metode cakap diterapkan melalui teknik

dasar yang disebut “teknik pancing”, yaitu dengan “memancing” narasumber agar

berbicara.

Metode berikutnya adalah metode simak. Metode simak adalah metode

(32)

bahasa (Sudaryanto, 2015: 203). Metode simak diterapkan dengan teknik simak

libat cakap atau observasi berpartisipasi dan teknik simak bebas libat cakap atau

observasi tidak berpartisipasi. Teknik simak libat cakap merupakan kegiatan

pengguna bahasa dengan berpartisipasi sambil menyimak, atau si peneliti terlibat

langsung dalam dialog. Teknik simak bebas libat cakap dilakukan dengan tidak

berpartisipasi dalam percakapan atau dialog. Peneliti tidak bertindak sebagai

pembicara yang berhadapan dengan mitra-bicara atau sebgai pendengar

(Sudaryanto, 2015: 204).

Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara mengamati dan

meneliti makian-makian yang sering digunakan oleh mahasiswa atau Masyarakat

yang berdomisili di Yogyakarta yang berasal dari daerah Manggarai khususnya

daerah Manggarai timur dalam percakapan sehari-hari.

1.7.2 Metode Analisis Data

Metode untuk menganalisis data pada penelitian adalah metode padan.

Menurut (Sudaryanto, 1993) metode padan atau metode identitas atau metode

analisis data yang digunakan untuk menentukan identitas objek penelitian dengan

alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa

(langue) yang diteliti. Metode padan yang digunakan untuk menganalisis data ini

adalah metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan

refensial adalah metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa yakni

(33)

dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur sedangkan metode padan

pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya berupa lawan atau mitra

bicara yakni untuk menjawab rumusan masalah (b) apa saja faktor-faktor

situasional yang mempengaruhi penutur bahasa Manggarai dialek Colol

Manggarai Timur menggunakan makian.

(3) Ela pande apam hau nitu? babi buat apa kau di situ?

‘Babi apa yang lakukan di situ?’

(4) Oe puki molor koe ba weki hitu!

oe alat kelamin perempuan benar sedikit bawa diri itu!

‘Alat kelamin perempuan yang benar pembawaan dirimu!’

Contoh pada tuturan (3) dan (4) merupakan penerapan pada kata makian

yang digunakan pada tuturan (3) menunjuk pada binatang, sedangkan pada tuturan

(4) menunjuk kepada bagian tubuh manusia. Faktor yang mempengaruhi penutur

menggunakan makian pada tuturan (3) adalah faktor keakraban, sedangkan pada

tuturan (4) adalah faktor emosi.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan

dua metode, yaitu metode informal dan metode formal. Metode penyajian formal

adalah perumusan dengan apa yang umum dikenal sebagai tanda dan

(34)

tabel, dan gambar, sedangkan metode penyajian informal adalah perumusan

dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya

(Sudaryanto, 2015 : 241).

1.8 Sistematika Penyajian

Laporan penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab 1 berisi pendahuluan.

Pada bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,

dan sistematika penulisan. Bab II memaparkan deskripsi keadaan bahasa

Manggarai. Bab III berisi uraian tentang jenis makian menurut referennya. Bab

IV berupa faktor-faktor situasional yang mempengaruhi penggunaan kata makian

dalam bahasa Manggarai dialek Colol Manggarai Timur. bab V berisi penutup

(35)

BAB II

SEJARAH MASYARAKAT MANGGARAI, KEADAAN GEOGRAFIS, PENDUDUK, DAN KEADAAN BAHASA

MANGGARAI.

2.1 Sejarah Masyarakat Manggarai

Terdapat dua sumber yang bisa ditelusuri untuk menemukan sejarah

Manggarai yang otentik, yakni sumber lisan dan sumber tertulis berdasarkan

kajian-kajian para peneliti yang mencoba merekonstruksi kembali sejarah

Manggarai yang ternyata memiliki pluralitas dalam asal usul keturunannya (Deki,

2011:29). sumber lisan memiliki keterbatasan karena sering terkait dengan

mitologi yang sudah bercampur dengan pelbagai unsur sastra, khususnya dengan

maksud didaktis.

Dilihat dari sisi mitologi ada banyak kisah yang tersebar luas. Namun

umumnya menurut orang Manggarai secara mitologi, dunia ini pada mulanya

kosong dan tidak memiliki apa-apa sehingga disebut tana lino. Tana berarti tanah

atau bumi dan lino berarti kosong. Tana lino berarti tanah atau bumi yang kosong.

Kehidupan, menurut masyarakat Manggarai berasal dari perkawinan Ame/ Ema Eta ( Ayah di atas atau langit) dan Ine/ Ende Wa (harafiah: ibu di bawah atau bumi) sebagaimana nyata dalam pelbagai mitologi (Raho, 2003: 3).

Selain itu, ada sumber-sumber tertulis yang cukup membantu, khususnya

(36)

W. P. H. Coolhaas, Verheijen dan Dami N. Toda. Sumber tertulis ini juga

memiliki keterbatasan karena tidak semua unsur penting dari sejarah orang

Manggarai telah termuat dalam kajian-kajian itu.

Terdapat begitu banyak asal usul nama Manggarai dari perspektif

historis. Berbagai usaha mengkaji etimologi nama tempat maupun penelusuran

historis berdasarkan peristiwa yang terjadi pada saat itu telah dibuat.

Sekurang-kurangnya ada tiga tokoh yang coba membuat penelusuran nama Manggarai

dalam sejarah modern.

Usaha pertama dibuat oleh Van Bekkum sebagaimana dikutip oleh Jilis

Verheijen, seorang misionaris dan pakar budaya yang banyak membuat penelitian

tentang Manggarai dan kebudayaannya, khususnya tentang Wujud Tertinggi,

bahasa, flora dan fauna Manggarai. Menurut Van Bekkum yang mengutip

pernyataan orang Bima, “Manggarai” adalah gabungan dari kata mangga yang

berarti sauh dan rai yang berarti lari, berpautan dengan satu peristiwa terdahulu. Selanjutnya, Verheijen mengacu pada Van Bekkum yang mengadopsi kisah lisan

di Cibal tentang kisah tokoh yang bernama Mangga-Maci. Konon putra sulung

Nunisa itu diutus Bima untuk menaklukkan Manggarai bersama tiga saudaranya

yang bernama Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-ili-Woha. Mereka memberi

nama Manggarai kepada Nuca Lale (Toda, 1999: 68-69).

Orang kedua yang mencoba membuat telaahan tentang hal yang sama

adalah Doroteus Hemo (Toda, 1999: 68-69). Menurut Hemo, konon pada waktu

perahu Mangga-Maci bersaudara sedang membongkar sauh dan mendarat,

(37)

Pasukan Bima pun terperanjat dan berteriak manga-rai (sauh berlari). Sejak peristiwa itulah Manggarai mendapat namanya sampai sekarang ini.

Orang ketiga, Dami N. Toda juga melakukan studi yang sama. Menurut

Toda, asal usul nama Manggarai dari Freijss maupun Wilhelmus Van Bekkum

yang kemudian diikuti oleh Verheijen maupun Hemo tetap saja berisi kisah

kekeliruan yang telah berdampak politis tatkala dihubungkan dengan istilah ata raja dengan semiotic souveniritas Raja Bima atas Manggarai dan diakui oleh pemerintah colonial Belanda. Menurut Toda, kata Manggarai sebenarnya berasal

dari sebutan Manga dan Raja. Kata Manggarai “manga” berarti “ada” tetapi kata

“raja” sama sekali tidak bersinonim dengan kata “raja” dalam bahasa Melayu

-Indonesia. Dalam Bahasa Manggarai, kata raja berarti sebab musabab, masalah, biasa, manusiawi nyata (sebagai lawan kata: yang bersifat seberang sana, asing)

(Toda, 1999: 68-69).

Lebih lanjut, Toda membuat perluasan arti dari manga raja. Pasangan kata manga raja berarti: “ada (memiliki) sebab musabab” hanyalah sebuah frase yang bila dihidupkan akan menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis,

misalnya manga rajan “ada sebab musabab, alasan, manga rajag “ada sebab musabab alasanku”. Ata raja dalam bahasa Manggarai tidak dimaksudkan dengan terjemahan “ada raja” seperti yang dibuat oleh Freijss, melainkan berarti ada

orang, manusia biasa yang memiliki raga. Kata ini berlawanan dengan sebutan ata

pele sina yang berarti orang (manusia) dari dunia seberang, manusia roh, mahluk halus (Toda, 1999: 68-69). Jika istilah ini yang dipakai dalam pemahaman tentang

(38)

atas Manggarai merupakan sebuah pencaplokan atas suatu bangsa tertentu. Sebab,

Manggarai sebagai suku bangsa tertentu akan memiliki identitas, sistem

pemerintahan, budaya dan semua unsur yang mencirikan mereka sebagai suatu

suku bangsa yang berdaulat. Kata Manggarai lebih merupakan pengakuan

sekaligus pemakluman bahwa “kami ada” dan karena itu kami memiliki otonomi

atas diri dan kehidupan kami sendiri.

Peristiwa pada abad ke-18 tidak memiliki kecocokan historis dengan

peristiwa kedatangan Mangga-Maci. Kedatangan formal ekspedisi Bima menuju

pelabuhan Adak Todo (Kerajaan Todo) di pantai selatan Manggarai yang bernama

Nanga Ramut pada 6 November 1716 melayani permintaan bantua Todo ke Bima

(Toda, 1999:68-69).

Meskipun ada ketidaksamaan pemahaman dalam mengartikan

Manggarai, sebenarnya “Manggarai” sebelum abad ke-18 disebut dengan nama

Nuca Lale. Nuca berarti pulau dan Lale adalah nama pohon kerbang (artocarpus eastica) yang memiliki warna kekuning-kuningan. Menurut pengakuan para petani, pohon Lale merupakan lambang kesuburan.

Penelitian Dr. Verhoeven memberikan petunjuk tentang adanya

kehidupan pada zaman purba di Manggarai. Tempat hidup manusia purba antara

lain ditemukan di Labuan Bajo, sedangkan alat-alat batu yang pada umumnya

berbentuk mikrolit (flake and blade) ditemukan di Golo Bekkum, Liang Momer

dan Liang Panas. Pada tahun 1951 tim yang sama membuat penggalian di

(39)

ditemukan tulang belulang manusia manusia purba yang ditetapkan sebagai

manusia Protonegrito (Hemo, 1990: 25).

Pada masa sekarang bekas perkampungan atau tempat tinggal manusia

serupa oleh para ahli prehistori disebut abris sous roches (tempat-tempat perlindungan di bawah karang). Tempat-tempat ini merupakan gua-gua atau

karang-karang dengan himpunan tanah pada dasarnya, yang mengandung

bekas-bekas alat-alat batu, tulang dan kerang dari zaman lampau. Tempat semacam ini

banyak ditemukan di Flores Barat dan Irian (Koentjaraningrat, 2002: 5).

Selain itu, hingga saat ini kajian tentang historitas Orang Manggarai

masih berlanjut. Meskipun demikian studi-studi kritis yang menelusuri

sumber-sumber sejarah berusaha meluruskan sejarah yang di disorientasikan. Ada satu

kesalahan dalam pelajaran sejarah yang menyatakan seakan-akan orang-orang

Manggarai berasal dari satu suku dan satu nenek moyang. Penelitian-penelitian

ilmiah atas temuan-temuan fosil serta kontak yang tetap dengan pihak luar melalui

perdagangan menunjukkan dengan tegas bahwa orang-orang Manggarai berasal

dari suku dan keturunan yang berbeda. Dami N. Toda dalam hasil studinya

menyebutkan keturunan-keturunan itu yakni asal keturunan Sumba, Mandosawu,

Pong Welak, imigran Sulawesi Selatan dan Bima, keturunan Melayu-Malaka,

Melayu-Minangkabau, dan Tanah Dena (Toda, 1999: 246).

Keturunan-keturunan yang beranekaragam ini kemudian tersebar di

seluruh Manggarai. Keturunan Wangsa Kuleng (Mandosawu) mengasalkan nenek

moyang mereka dari Turki, dan dari kepandaian yang mereka miliki, jelas bahwa

(40)

sudah mengenal kepandaian menyepuh logam. Maka amat mungkin orang-orang

Turki ini adalah pedagang-pedagang yang terdampar dan menetap di Manggarai

pada abad ke-16. Wangsa Kuleng inilah yang mengasalkan adak (kerajaan yang membawahi kedaluan) Cibal dan adak Lamba Leda dan keturunannya tersebar di

Riwu, Sita, Ruteng, Ngkaer, Desu, Kolang-Torok.

Keturunan Sumba membuat adak Bajo yang berpusat di Tangge dan membawahi sejumlah wilayah Selatan Barat Daya dan Barat gelarang-gelarang

adak da nada beberapa kedaluan seperti Dalu Kolang, Lo’ok Wontong, Munting Welak, Matawae, dan Ramut. Menurut Damian N. Toda, keturunan Sumba di

Kedaluan Matawae masih dapat mengingat 20 lapis keturunan.

Selain keturunan Sumba dan Turki, ada pula imigran asal Sulawesi

Selatan dan Bima yang menetap di Manggarai, baik di bagian Barat maupun di

Pantai Utara dan sedikit di Selatan. Diduga kuat, migrasi ini terjadi pada abad

ke-16 tatkala kerajaan Luwu’ dan Goa Berjaya dan memperluas kerajaannya. Pada

saat itu gelombang migrasi terjadi selain karena keinginan sukarela, juga karena

adanya tekanan politik. Para lawan politik Raja Goa pertama yang Islam, Sultan

Alauddin, tak tahan berada dibawah paksaan lalu menjadi pelarian politik ke

pulau-pulau lain, termasuk Manggarai. Tetapi, gelombang-gelombang migrasi

besar-besaran berupa pelarian politil terjadi setelah Perjanjian Bungaya 18

November 1667 antara Belanda sebagai pemenang dan Goa-Tallo (Sultan

Hasanudin) sebagai pihak yang kalah. Sultan Goa-Tallo sempat menempatkan

(41)

Sedangkan keturunan Bima kebanyakan bermukim di Reok setelah

secara politis Bima membawahi sejumlah kedaluan di pantai utara Manggarai

seperti Kedaluan Pacar, Kedaluan Berit, Kedaluan Rembong, Kedaluan Rembong,

Kedaluan Rego, Kedaluan Nggalak, Kedaluan Cibal, Kedaluan Lambaleda,

Kedaluan Congkar, Kedaluan Biting, dan Pasat serta 14 kedaluan lainnya di

bagian barat dengan pusat perwakilannya di Labuan Bajo.

Pendatang Melayu-Minangkabau mendapat tempat tersendiri dalam

sejarah Manggarai, karena selain tersebar luas di wilayah Manggarai, mereka juga

kemudian menduduki posisi-posisi kepemimpinan di wilayah ini sejak zaman

sebelum kolonialisme bangsa Belanda hingga periode tahun 1980-an. Kelompok

yang lazim diakui sebagai keturunan langsung dari Minangkabau adalah

keturunan Todo-Pongkor yang sekarang telah menyebar ke berbagai tempat di

Manggarai.

Menurut Dami N. Toda, “orang asli” (ata ici tana) Manggarai senantiasa

dikisahkan tradisi pelisanan sebagai mahluk berbadan bulu, berpakaian kulit kayu,

memakan makanan mentah, dan belum mengenal api (Toda, 1999: 221). Menurut

hasil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa subklan yang nenek

moyangnya sebagai pendatang dari luar, antara lain Bugis, Goa, Makasar, Serang,

Sumba, Bima dan Boneng Kabo (1991: 23). Itu artinya bahwa moyang Manggarai

berasal dari banyak suku yang datang dari luar. Kurangnya data tertulis

menyebabkan sulit dipastikan pengelompokkan klan-klan di Manggarai berdasar

suku asalnya, baik yang datang dari luar maupun suku asli Manggarai. Hampir

(42)

Manggarai memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, meskipun bahasa daerah

tetap satu yaitu bahasa Manggarai. Melihat hal itu, Verheijen berkesimpulan

bahwa tidaklah jelas apakah golongan bangsawan (keraeng) pada umumnya

berasal dari satu kelompok imigran tertentu (Verheijen, 1991: 24).

Suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai kebanyakan berasal dari

Sulawesi Selatan (Kerajaan Goa/Makasar/Bugis). Misalnya istilah Keraeng sesungguhnya merujuk pada sebutan bangsawan yang sama dengan yang

digunakan di Makasar (Goa). Hanya sedikit perbedaan dari segi penulisan dan

pelafalannya. Orang Manggarai menyebutnya keraeng (ke-ra-eng), sedangkan orang Makasar menyebutnya karaeng (ka-ra-eng). Mengapa istilah itu dijadikan pertimbangan yang kuat, hal itu dikarenakan istilah tersebut mengarah pada istilah

bangsawan. Bangsawan merupakan status sosial masyarakat yang terhormat.

Golongan bangsawan sebagai pemangku adat/tua adat untuk mengatur tata hidup

sosial.

Ada beberapa pertimbangan lain yaitu berupa unsur bahasa yang

mempunyai kesamaan antara suku Manggarai dengan Goa/ Makasar/ Bugis,

antara lain:

Tabel 2.1 Unsur Bahasa yang Mempunyai kesamaan antara suku Manggarai dengan Goa/ Makasar/ Bugis

Bugis Goa/ Makasar Manggarai Indonesia

Manuk - Manuk Ayam

(43)

Kasiasi - Kasiasi Miskin

- Somba Opu Somba Opu Menghormati

Leluhur

- Lampa Lampa Jalan / Melangkah

- Karaeng Keraeng Bangsawan

- Nyarang Jarang Kuda

Bembe Bembe Bembe/ Mbe Kambing

(Nggoro, 2006: 27)

Dari uraian yang menyelisik asal usul ini dapat disimpulkan bahwa orang

Manggarai tidak berasal dari satu keturunan saja. Mereka datang dari Sumba,

Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, Sulawesi Selatan, Bima dan bahkan dari

Turki dengan pemukiman dan persebaran utamanya yang berbeda-beda pula.

(Mirsel dan Embu, 2004: 8).

Kabupaten Manggarai timur lahir dari kesadaran dan cita-cita. Kesadaran

akan fakta pembangunan yang belum maksimal dan cita-cita untuk mengubah

keadaan, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat serta pemerataan

pembangunan.

Dalam rekam peristiwa, wacana pembentukkan Kabupaten Manggarai

Timur telah digulirkan sejak 1986. Berbagai elemen masyarakat berjuang agar

Kabupaten Manggarai dibagi menjadi tiga yakni Manggarai Barat, Manggarai

Tengah dan Manggarai Timur. Wacana ini lahir dari kesadaran bahwa wilayah

Manggarai terlalu luas. Jika dimekarkan, kualitas pelayanan publik akan lebih

(44)

Pendekatan demi pendekatan gencar dilakukan. Puncak dari perjuangan

ini adalah lahirnya Undang Undang Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pembentukan

Kabupaten Manggarai Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang disahkan

pada tanggal 17 Juli 2007.

2.2 Letak Geografis

Secara Geografis Kabupaten Manggarai Timur terletak antara 08°.14’ LS

- 09°.00 LS dan 120°.20’ BT - 120°.55’° BT. Kabupaten Manggarai Timur

merupakan salah satu kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara

Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut. Sebelah timur berbatasan

dengan Kabupaten Ngada, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Manggarai

Tengah, sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah selatan

berbatasan dengan Laut Sawu. Kabupaten Manggarai Timur memiliki Luas

Wilayah 2.642,93 km2. Iklim di Kabupaten Manggarai Timur merupakan iklim

daerah tropis, dalam setahun hanya ada 2 musim yaitu musim kemarau antara

bulan April sampai bulan September dan musim penghujan antara bulan Oktober

sampai bulan Maret. Temperatur udara rata-rata adalah 28,060C dengan suhu

perbulan minimum 24,10oC dan maksimum 31,70oC, sehingga Manggarai Timur

secara umum bersuhu udara panas. Kecepatan angin berkisar 4 knot dengan

kelembaban udara 80% sedangkan rata-rata curah hujan sebanyak 1.906 mm

(45)

sembilan kecamatan, 17 kelurahan dan 159 desa dengan luas tiap kecamatan

adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Luas Daerah Kabupaten Manggarai Timur Berdasarkan Kecamatan

No Nama Kecamatan Luas Daerah (Ha)

1 Kecamatan Borong 28.202

2 Kecamatan Elar 32.825

3 Kecamatan Elar Selatan 23.934

4 Kecamatan Kota Komba 49.194

5 Kecamatan Lamba Leda 34.943

6 Kecamatan Poco Ranaka 10.423

7 Kecamatan Poco Ranaka Timur 10.423

8 Kecamatan Rana Mese 20.824

9 Kecamatan Sambi Rampas 40.009

Total 251.855

(sumber: Badan perencanaan, penelitian, dan pengembangan Kabupaten Manggarai Timur 2016)

Kabupaten Manggarai Timur terdiri dari Sembilan kecamatan, yakni:

Borong, Elar, Elar Selatan, Kota Komba, Lamba Leda, Poco Ranaka, Poco

Ranaka Timur, Rana Mese, dan Sambi Rampas dalam peta sebagai berikut

(sumber: Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Kabupaten

(46)

Gambar 2.1 Gambar Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Manggarai Timur

(47)

2.3Penduduk

Hal-hal yang akan dijelaskan dalam penduduk ini yaitu jumlah

penduduk, agama, keadaan budaya dan tradisi dan keadaan bahasa Manggarai.

2.3.1 Jumlah Penduduk

Adapun jumlah penduduk yang terdapat di Kabupaten Manggarai Timur

pada tahun 2016 yang tersebar di Sembilan Kecamatan dapat dilihat pada tabel

berikut ini.

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk di Kabupaten Manggarai Timur

No Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Kecamatan Borong 36.076

2 Kecamatan Elar 15.006

3 Kecamatan Elar Selatan 17.065

4 Kecamatan Kota Komba 48.702

5 Kecamatan Lamba Leda 33.818

6 Kecamatan Poco Ranaka 32.547

7 Kecamatan Poco Ranaka Timur 26.582

8 Kecamatan Rana Mese 27.081

9 Kecamatan Sambi Rampas 26.265

Total 263.142

(48)

2.3.2 Agama

Jumlah pemeluk agama di Kabupaten Manggarai Timur sampai dengan

bulan April 2018 sebanyak 278. 294 jiwa, terdiri dari 257. 051 jiwa beragama

Katholik, 20.400 jiwa beragama Islam, 795 jiwa baragama Kristen Protestan, dan

48 jiwa beragama Hindu.

Tabel 2.4 Jumlah Penganut Agama di Kabupaten Manggarai Timur

No Penganut Masing-Masing Agama Jumlah

1 Penganut Agama Katholik 257. 051

2 Penganut Agama Islam 20.400

3 Penganut Agama Kristen Protestan 795

4 Penganut Agama Hindu 48

5 Rohaniwan/Rohaniwati Budha

-Total 278. 294

(sumber: Kantor Departemen Agama Kab. Manggarai Timur, 2018)

2.3.3 Keadaan Budaya dan Tradisi

Pada umumnya gambaran Masyarakat Manggarai bisa dilihat dari corak

maupun ragam budayanya yang tercermin dalam berbagai sistem atau sub-sistem

yang berlaku. Beragam sub-sistem yang hidup dalam masyarakat Manggarai yang

dapat memperlihatkan bagaimana sesungguhnya corak kebudayaan di Manggarai.

(49)

sub-sistem organisasi, sub-sub-sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sub-sistem mata

pencaharian atau ekonomi, dan sistem teknologi (Bagul, 2008: 21-23).

Ada beberapa tradisi dan budaya yang dimiliki masyarakat Manggarai

dalam mempertahankan budaya serta tradisi yang telah diwariskan nenek moyang.

Tradisi yang dimiliki masyarakat Manggarai tersebut dapat dirinci sebagai

berikut.

Pertama, tadisi Tarian Caci: merupakan tarian perang sekaligus

permainan rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan cambuk

dan perisai. Lawan memukul dengan cemeti sedang yang satu menangkis dengan

menggunakan tameng berbentuk bulat yang terbuat dari kulit kamping, kerbau dan

sapi. Keunikan dari tarian ini adalah menari-nari sambil melantunkan nyanyian

lokal. Tarian ini mengungkapkan kegembiraan dari masyarakat Manggarai

terhadap ritual adat seperti syukuran atas tabisan Imam, peresmian rumah adat,

serta acara adat besar lainnya. Dalam tarian ini, tidak ada permusuhan yang terjadi

setelah bagian badan seseorang terkena cambukan. Tarian caci ini memegang nilai

persatuan dan kesatuan serta keperkasaan seorang laki-laki dalam berperang dan

melindungi diri.

Kedua, Penti: merupakan tradisi yang dapat diartikan sebagai syukuran.

Acara penti ini dilaksanakan satu kali dalam setahun. Acara ini dilaksanakan

untuk mensyukuri hasil panen yang telah didapat oleh masyarakat suatu kampong.

(50)

dalam rumah adat yang disebut Mbaru Gendang untuk bertemu satu sama lainnya.

Penti ini sering dilaksanakan pada awal tahun atau pertengahan tahun.

Ketiga, Arsitek Rumah Gendang Manggarai atau yang biasa disebut

Mbaru Gendang. Rumah adat atau Mbaru Gendang ini atapnya berbentuk kerucut dan selalu mengerucut ke langit. Atap rumah gendang ini dibuat menggunakan

bahan wunut atau ijuk, sehingga rumah adat ini sering disebut Mbaru Gendang atau Mbaru Wunut.

Keempat, Sanda, Mbata dan Danding merupakan seni olah vokal dan

permainan kata-kata dalam bentuk lagu yang dinyanyikan oleh pria dan wanita

yang berisi pantun kehidupan, syair tentang cinta, persahabatan, nasihat atau kisah

kehidupan lainnya. Sanda dinyanyikan sambil berdiri membentuk lingkaran dan

gerak berputar dan sesekali disertai sentakan kaki seirama namun dinyanyikan

tanpa diiringi alat musik. Mbata dinyanyikan sambil duduk melingkar atau

membentuk suatu barisan sambil diiringi pukulan gong dan gendang. Sedangkan

Danding juga dinyanyikan secara berkelompok sambil berdiri atau bergerak

mengitari lingkaran. Danding dipimpin oleh seorang yang disebut nggejang, yang

terdiri ditengah lingkaran untuk mengatur gerakan serta hentakan kaki. Hampir

sama seperti Sanda, Danding dinyanyikan tanpa iringan musik, namun irama pada

Danding lebih cepat dan lebih bersemangat. (sumber: Badan Perencanaan,

Penelitian, dan Pengembangan Kabupaten Manggarai Timur. 2017).

Kebudayaan masyarakat Manggarai juga dapat diwujudkan, salah satunya,

(51)

terutama melalui aspek kelisanan (oral traditional) (Takari, 2013: 2). Tradisi lisan

adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun

temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu

berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan

(non-verbal) (Sibarani, 2015: 7). Salah satu bentuk tradisi lisan adalah ungkapan

tradisional. Ungkapan tradisional adalah salah satu kajian folklore lisan yang perlu

dilestarikan karena ungkapan-ungkapan tradisional ini banyak mengandung

pengajaran-pengajaran, nasihat-nasihat, pendidikan, norma-norma, yang berlaku

di dalam kehidupan bermasyarakat (Purba, 2005:2).

Ungkapan tradisional ini sering disebut dengan pribahasa, pepatah, atau

bidal dan dalam bahasa Manggarai disebut go’et. Go’et umumnya sering diartikan

sebagai peribahasa, namun arti yang sesungguhnya lebih dari itu. Go’et dalam

bahasa Manggarai tidak digunakan secara bebas. Go’et sering digunakan dalam

pembicaraan resmi (upacara adat) yang berorientasi untuk mendidik dan

mengajar. Namun hal tersebut dinyatakan secara implisit. Artinya makna, maksud,

dan nilai yang hendak diajarkan tidak disampaikan secara gamblang. Go’et umumnya hanya terdiri dari dua baris dan bahkan ada yang terdiri dari satu baris.

Isi dan pesan yang ingin disampaikan lewat go’et menyentuh berbagai dimensi

kehidupan manusia pada umumnya dan masyarakat Manggarai pada khususnya.

Hubungan keluarga, hubungan antar sesama dalam masyarakat, sikap orang tua

terhadap anak, sikap anak terhadap orang tua serta berbagai bentuk tindak tanduk

(52)

masyarakat Manggarai sendiri dan disandingkan dengan realitas alam yang tampil

memesona sebagai bentuk pengajarannya.

2.4 Keadaan Bahasa

Bahasa Manggarai menjadi umum di Manggarai dan hamper dikuasai oleh

semua orang Manggarai di berbagai wilayah. Meskipun bahasa Manggarai

menjadi umum, namun dua wilayah timur yakni Rongga dan Rembong memiliki

bahasa yang khas dan berbeda dengan bahasa Manggarai. Menurut Fransiskus

Xaverius Do KoO, pembagian bahasa di Manggarai dapat ditelusuri dari

klasifikasi kata “tidak” (1984: 25). Orang Manggarai Tengah dan bahasa yang

digunakan di wilayah ini disebut bahasa Toe. Orang Rongga dengan bahasa Rongga menggunakan bahasa Mbaen. Orang Rembong dengan bahasa Rembong yang wilayahnya dekat dengan perbatasan Kabupaten Ngada menggunakan bahsa

Pae. Perbedaan yang paling mencolok ketiga jenis bahasa ini terletak dalam kosa kata, dialek, dan konsonan-vocal yang dimiliki tiap bahasa.

Sementara itu, di wilayah Manggarai Barat, hampir semua kata yang

digunakan sama dengan kosa kata yang di pakai di Manggarai Tengah. Perbedaan

yang cukup kentara terletak dalam dialek, sedangkan konsonan-vokal tidak

memiliki perbedaan yang mencolok. Verheijen melihat perbedaan itu dalam

kekhususan yang dimiliki setiap bahasa (Verheijen, 1978: 1430). Misalnya bunyi

(53)

Di MT kita temukan pada akhir kata bunyi [-ng], di MTi terdapat[-n] misalnya

MTi lantun pada kata yang sama di MT latung, maupun [-ng] MTi lasen, MT laseng (Verheijen, 1987: 1429). Di Manggarai Barat (MB) lafal-lafal bunyi menyerupai bunyi-bunyi di MT. Perubahan terjadi pada pronominal personal

misalnya di MT ami (kami), meu (kamu) menjadi hami, hemi di MB. Selain itu ada kosa kata yang berbeda, misalnya ciri yang dalam bahasa MT berarti jadi dan

kata yang sama diubah menjadi jiri di MB. Ada juga kata-kata pinjaman dari bahasa Bima seperti bisa (pandai), daha (senjata), disa (berani), kani (pakaian), ngango (rebut), dsb (Verheijen, 1987: 1263). Kata-kata ini tidak terdapat di MT dan MTi. Wilayah yang memiliki kekhususan bahasa di Manggarai Barat

hanyalah orang Komodo. Bahasa Komodo merupakan campuran antara bahasa

Manggarai dan bahasa Bima.

Menurut Verheijen (1950) menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat

enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Waerana di

Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke

Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong

dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk

bahasa Manggarai Timur. Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus

mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya

dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di

Manggarai adalah Wa’u (klan patrilineal) dan perkawinan pun ikut dan tinggal di

kampung asal suami (patrilokal). Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa

(54)

Bahasa Manggarai adalah bahasa yang digunakan suku Manggarai yang

berada di pulau Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bahasa Manggarai

merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di Indonesia. Bahasa

Manggarai digunakan oleh masyarakat Manggarai. Penuturnya terdapat di

kabupaten Manggarai Barat, Manggarai serta Manggarai Timur. Pengguna bahasa

Manggarai selain untuk berkomunikasi, juga untuk mempererat hubungan antar

sesama masyarakat. Dalam percakapan sehari-hari terdapat beberapa dialek yang

menjadi ciri khas dari suatu wilayah di Manggarai. Dialek tersebut cenderung

berbeda di setiap etnis hal itu dipengaruhi oleh unsur kebahasaan yang disebut

unsur suprasegmental. Unsur suprasegmental terdiri atas keras lemahnya suara (tekanan), tinggi rendahnya suara (nada), panjang-pendeknya ucapan (durasi) dan

jarak waktu pengucapannya (jeda) (Wijana dan Rohmadi, 2011: 2).

Pembagian dialek dalam bahasa Manggarai, yaitu dialek Manggarai

Barat, dialek Manggarai Tengah (Ruteng), dialek Manggarai Barat-Tengah, dan

Manggarai Timur. Bahasa Manggarai memiliki sekitar 43 subdialek. Dalam

laporannya dialek ini mirip dengan dialek Riung. Dialek di daerah Manggarai

dituturkan oleh 900.000 orang

(55)

Gambar 2.2 Gambar Peta Pembagian Dialek di Provinsi Nusa Tenggara Timur Indonesia

p

(56)

BAB III

JENIS KATA MAKIAN DALAM BAHASA MANGGARAI DIALEK COLOL MANGGARAI TIMUR

3.1 Pengantar

Pada bab ini dibahas jenis-jenis kata makian yang masih sering digunakan

oleh penutur bahasa daerah Manggarai dialek Colol Manggarai Timur. Di dalam

bahasa Manggarai, dialek Colol Manggarai Timur terdapat 11 (sebelas) jenis kata

makian, yaitu: (a) makian yang menunjuk pada binatang, (b) makian yang

menunjuk pada tubuh binatang, (c) makian yang menunjuk pada sifat atau watak

jelek manusia, (d) makian yang menunjuk pada bagian tubuh manusia, (e) makian

yang menunjuk pada makhluk halus, (f) makian yang menunjuk pada tindakan

nista, (g) makian yang menunjuk pada benda mati, (h) makian yang menunjuk

pada keadaan tertentu, (i) makian yang menunjuk pada hubungan seksual, (j)

makian yang menunjuk pada warna kulit, (k) makian yang menunjuk pada ukuran

badan.

3.2 Makian yang Menunjuk pada Binatang

Makian yang menunjuk pada binatang umumnya digunakan dalam makian

Gambar

Tabel 2.1 Unsur Bahasa yang Mempunyai kesamaan antara suku
Tabel 2.2 Luas Daerah Kabupaten Manggarai Timur Berdasarkan
Gambar 2.1 Gambar Peta Wilayah Administrasi Kabupaten
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk di Kabupaten Manggarai Timur
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuturan bahasa Osing yang dipilih dari penutur masyarakat di wilayah Kepatihan, Kabupaten Banyuwangi, Jawa

Tindak tutur melarang dalam bahasa Jawa dialek standar merupakan ungkapan dengan tujuan untuk melarang penutur kepada mitra tuturnya untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang

Perubahan Bahasa terjadi pada sebuah bahasa maupun dialek baik secara sinkronis maupun diakronis akan menciptakan satu maupun lebih variasi bahasa maupun dialek. Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada pengaturan tempat di Kampus Universitas Muhammadiyah Mataram dengan mahasiswa Manggarai Timur yang kulia di Kota Mataram yang

Ada pula faktor kedwibahasaan penutur yaitu pengunaan bahasa penutur pada latihan tersebut sangat mempengaruhi penggunaan variasi bahasa karena pelatih memimpin latihan

Fokus permasalahan penelitian ini adalah; (1) bagaimanakah gambaran penggunaan bahasa Kaili dewasa ini menurut ranah pergaulan sehari-hari?, (2) apakah penutur

Bentuk ujaran tindak tutur ilokusi bahasa Melayu dialek Sambas merupakan bentuk ujaran yang dituturkan oleh penutur atau masyarakat Melayu Sambas tersebut

Perbedaan bahasa Jawa dialek Jawa Timur dalam playlist Bondo Wani dengan bahasa Jawa baku pada tataran fonologi, morfologi, leksikal, serta fungsi bahasanya menjadi bahan yang menarik