MAKIAN DALAM BAHASA SIKKA
DIALEK LELA SIKKA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Anna Asi Karwayu NIM: 134114003
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Makian dalam Bahasa Sikka Dialek Lela Sikka” ini. Penyusunan skripsi ini
dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra
Indonesia di Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang dengan caranya masing-masing telah
membantu penulis dalam menyusun skripsi ini:
1. Bapak Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum. selaku dosen pembimbing dalam
penulisan skripsi ini atas ilmu, bimbingan, motivasi, dan nasihat yang telah
diberikan.
2. Ibu S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum. selaku Ketua Program Studi Sastra
Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. selaku dosen pembimbing akademik
mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia 2013 atas ilmu, dan semangat
yang telah diberikan selama berdinamika bersama di Prodi Sastra Indonesia,
baik dalam hal perkuliahan maupun hal-hal yang menyangkut masa depan.
4. Bapak Drs. A. Hery Antono, M.Hum.(alm.) yang dengan sabar membagikan
ilmu, pengalaman dan makna hidup yang sesungguhnya, serta segala bentuk
perhatian kepada penulis hingga akhir hayatnya.
5. Bapak dan Ibu dosen Sastra Indonesia: Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Prof. Dr.
vi
Sudarsono, S.S., M.A. atas tuntunan dan kesempatan untuk berdinamika
bersama selama penulis menimba ilmu di Program Studi Sastra Indonesia.
6. Staf Sekretariat Fakultas Sastra yang membantu penulis untuk memperoleh
informasi dan layanan akademik selama menjalani studi.
7. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu penulis
dalam penyediaan rujukan untuk skripsi ini.
8. Bapa Laurensius Yustianus Karwayu dan Mama Maria Abdonata Sogen,
Baba Orang Paseli Karwayu, adik Anna Agnes Karwayu, Yosefina Ade Irma
Suryani Karwayu, Antonia Margaretis, Yoseph Antonio Chonstantino atas
cinta yang begitu besar.
9. Tu‟ang Polu Kelen Petrus, Na‟a Yosefina Wienfrida Dagomes, Abang Bastian Nikomes, dan Adik Lisa JawaNias Kelen atas segala dukungannya.
10. Teman-teman KKN kelompok 21 angkatan 52, atas sepenggal kisah menarik
selama di Watulawang.
11. Keluarga besar Sastra Indonesia 2013 atas rangkaian kisah indah petualangan
belajar bahasa, sastra dan budaya Indonesia di Universitas Sanata Dharma.
Semoga kebersamaan dan persaudaraan kita tetap terjalin sampai nanti.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
skripsi ini. Namun, tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan tersebut sepenuhnya
menjadi tanggung jawab penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat
Yogyakarta, 31 Juli 2017 Penulis
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Mo’a Petrus P.
viii DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
PERSEMBAHAN ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL, GAMBAR, DIAGRAM ... x
ABSTRAK ... xi
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 4
1.5 Tinjauan Pustaka... 5
1.6 Kerangka Teori ... 7
1.6.1 Pengertian Makian ... 7
1.6.2 Semantik dan Teori tentang Makna ... 10
1.6.3 Pragmatik dan Teori tentang Maksud ... 12
1.7 Metode Penelitian ... 13
1.7.1 Metode Pengumpulan Data ... 13
1.7.2 Metode Analisis Data ... 15
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data ... 16
1.8 Sistematika Penyajian ... 16
BAB II DESKRIPSI KEADAAN BAHASA SIKKA 2.1 Sejarah Masyarakat Sikka ... 17
ix
2.3 Penduduk ... 20
2.3.1 Jumlah Penduduk ... 20
2.3.2 Mata Pencaharian ... 20
2.3.3 Pendidikan ... 21
2.3.4 Keadaan Budaya atau Tradisi ... 21
2.3.5 Keadaan Bahasa ... 23
BAB III JENIS MAKIAN DALAM BAHASA SIKKA DIALEK LELA SIKKA 3.1 Pengantar ... 27
3.2 Jenis-Jenis Makian ... 28
3.2.1 Makian yang Menunjuk pada Binatang ... 28
3.2.2 Makian yang Menunjuk pada Bagian Tubuh Binatang ... 29
3.2.3 Makian yang Menunjuk pada Sifat atau Watak Jelek Manusia ... 30
3.2.4 Makian yang Menunjuk pada Bagian Tubuh Manusia ... 31
3.2.5 Makian yang Menunjuk pada Tumbuhan... 32
3.2.6 Makian yang Menunjuk pada Mahkluk Halus ... 32
3.2.7 Makian yang Menunjuk pada Pekerjaan Nista ... 33
3.2.8 Makian yang Menunjuk pada Kotoran Hewan ... 34
3.2.9 Makian yang Menunjuk pada Benda Mati ... 34
3.2.10Makian yang Menujuk pada Keadaan Tertentu ... 35
3.2.11Makian yang Menunjuk pada Hubungan Seksualitas... 35
3.2.12Makian yang Menunjuk pada Warna Kulit ... 36
3.2.13Makian yang Menunjuk pada Ukuran Badan ... 36
3.3 Tabel Rekapitulasi ... 37
BAB IV FAKTOR-FAKTOR SITUASIONAL YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN MAKIAN 4.1 Pengantar ... 41
4.2 Menunjukkan Keakraban... 41
4.2.1 Keakraban dalam Keluarga ... 42
x
4.3 Mengungkapkan Emosi... 47
4.4 Menghina ... 53
4.5 Menciptakan Kesetaraan Sosial ... 55
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 60
5.2 Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
LAMPIRAN ... 64
DAFTAR TABEL, GAMBAR, DIAGRAM Tabel 1. Luas Daerah Kabupaten Sikka Menurut Pulau...19
Tabel 2. Jumlah Penduduk di Kabupaten Sikka.. ... ………....20
Tabel 3. Luas Panen, Produktifitas Tanaman Pangan di kabupaten Sikka ... 21
Tabel 4. Produksi Perikanan Tangkap dikabupaten Sikka (ton) ... 21
Tabel 5. Jumlah Sekolah, Guru, dan Murid di Sikka ... 21
Tabel 6. Rekapitulasi...37
Gambar 1.Segitiga Semantik...11
Gambar 2.Wilayah Administrasi Kabupaten Sikka... ... ...20
Gambar 3. Peta Lokasi Kasus Penelitian...26
Gambar 4. Dialek Berdasarkan Peta Lokasi Kasus Penelitian...26
xi ABSTRAK
Karwayu, Anna Asi, 2017, “Makian dalam Bahasa Sikka Dialek Lela Sikka”.
Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tugas akhir ini membahas makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka. Rumusan masalah dalam penelitian ini ada dua yaitu: (i) apa saja jenis makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka dan (ii) apa faktor situasional yang mempengaruhi penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka menggunakan makian.
Berdasarkan permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini adalah (i)
mendeskripsikan jenis-jenis makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka dan (ii)
mendeskripsikan faktor-faktor situasional yang mempengaruhi penutur
menggunakan makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap dan metode simak. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan referensial dan padan pragmatis. Metode penyajian hasil analisis data yang digunakan adalah informal dan formal.
Dalam penelitian ini, ditemukan tiga belas jenis makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka. Jenis-jenis makian tersebut yaitu: (i) makian yang menunjuk pada binatang, (ii) makian yang menunjuk pada bagian tubuh binatang, (iii) makian yang menunjuk pada bagian tubuh manusia, (iv) makian yang menunjuk tumbuhan, (v) makian yang menunjuk pada mahkluk halus, (vi) makian yang menunjuk pada pekerjaan nista, (vii) makian yang menunjuk pada kotoran hewan, (viii) makian yang menunjuk pada benda mati, (ix) makian yang menunjuk pada keadaan tertentu, (x) makian yang menunjuk pada sifat atau watak jelek manusia, (xi) makian yang menunjuk pada hubungan seksualitas, (xii) makian yang menunjuk pada warna kulit, (xiii) makain yang menunjuk pada ukuran badan. Jika dikaitkan dengan tingkat kekasaran penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka terdapat empat faktor yang mempengaruhi penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka menggunakan makian yaitu (i) faktor keakraban, (ii) emosi, (iii) menghina dan (iv) sosial.
xii ABSTRACT
Karwayu, Anna Asi, 2017, “Cursing in Lela Sikka Dialect of Sikka
Language”. An Undergraduate Thesis on Department of Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, Yogyakarta. This thesis deals to cursing in Sikka language Lela Sikka dialect. There are two problems in this research: (i) what are the kinds of curse in Sikka language Lela Sikka dialect, and (ii) what are the situational factors that influence the speaker to use curse in Sikka language Lela Sikka dialect.
Data collection method that used in this research are Cakap and Simak.
Data analysis method used are Padan Referensial and Padan Pragmatis (identity
method). Presentation of the results of data analysis method used are informal and formal methods.
This research, founds 13 kinds of curse in Sikka language Lela Sika dialect. They are, curse using (i) the animal, (ii) the body part of animal, (iii) the body part of human, (iv) plant, (v) the ghost, (vi) bad job, (vii) fesses of animal, (viii) things, (ix) the current situation, (x) bad character of human, (xi) sex, (xii) skin color, and (xiii) the body size. Based on native speaker, there are four level of rudeness that influence the native speaker of Skka laguage. There are (i) solidarity factor, (ii) emotion, (iii) insulting and (iv) social.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kedudukan bahasa sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Bahasa
merupakan sarana untuk berkomunikasi. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan bermasyarakat. Tanpa bahasa masyarakat tidak akan tebentuk. Menurut
Baryadi (1983: 37) bahasa merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan, yang
sama dengan masyarakat yang lain, seperti perkawinan, pewarisan harta
peninggalan dan sebagainya. Sebagai objek kajian sosiolinguistik, bahasa tidak
dilihat atau didekati sebagaimana yang dilakukan oleh linguistik umum,
melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam
masyarakat manusia. Dapat dikatakan bahwa masyarakat tercermin dalam
bahasanya (Trudgill, 1974: 28, dikutip oleh Baryadi 1983: 38). Bahasa dapat
menjadi cermin dari struktur sosial tertentu, dari lingkungan sosial tertentu, dan
dari nilai- nilai sosial tertentu. Masyarakat mempunyai kebiasaan, watak, dan cara
hidup yang berbeda- beda, yang tidak disadari telah mempengaruhi pemilihan
perbendaharaan kata. Kata merupakan salah satu unsur bahasa yang sangat
penting. Kata dapat digunakan untuk berpikir, menyatakan perasaan, serta
gagasan. Melalui kata-kata orang menjalin persahabatan. Namun, fungsi kata
sebagai alat komunikasi dapat pula menyebabkan suatu pertengkaran bahkan
Kata yang digunakan pada situasi santai akan berbeda dengan kata yang
digunakan pada situasi formal. Kata-kata yang dipakai pada situasi tegang, emosi,
perasaan jengkel atau marah, akan tidak sama dengan kata-kata yang digunakan
pada situasi komunikasi biasa, tanpa perasaan jengkel atau marah. Pada saat si
pembicara itu marah atau jengkel terhadap lawan bicara, seringkali kata-kata yang
digunakan untuk mengekspresikan atau melampiaskan kejengkelan atau
kemarahannya itu adalah khas dan unik. Sejumlah kata, frasa atau pun kalimat
yang dipakai oleh penutur bahasa tertentu untuk menyatakan berbagai perasaan
seperti jengkel atau marah itulah yang disebut kata-kata pisuhan atau makian
(Sunaryono, 1983: 6, dikutip oleh Baryadi 1983: 37). Kata-kata makian dikatakan
unik karena dapat bermakna sama walaupun dengan kata yang berbeda. Selain itu,
kata makian tersebut juga mempunyai makna berbeda tergantung dari konteks,
suasana hati, dan hubungan antara penutur dan mitra tutur walaupun
pengungkapannya menggunakan kata yang sama.
Memaki sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan marah, jengkel dan
untuk menunjukkan keakraban rupanya dapat pula menjadi cermin dari nilai- nilai
yang berkembang di dalam masyarakat itu, tetapi sekaligus juga menggambarkan
seberapa jauh penutur bahasa tertentu telah mengeksploitir bahasanya untuk
mengungkapkan perasaan yang dalam (Sunaryono, 1983: 6 dikutip oleh Baryadi
1983: 38). Setiap bahasa memiliki kata makian tersendiri yang berbeda dengan
kata makian yang ada dalam bahasa lain. Dalam penelitian ini khusus dibicarakan
Berikut ini contoh makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka yang
digunakan dalam komunikasi sehari-hari.
(1) Ahu ei nala ata ngawung rewong poi anjing ini ambil orang barang sembarang saja
‘Anjing ini mengambil barang orang sembarangan’
(2) Ubeng goa baa ko laeng? pantat makan sudah atau belum?
‘Pantat sudah makan atau belum?’
Pada contoh (1) terdapat kata makian yaitu ahu yang berarti anjing.
Makian ahu (anjing) termasuk dalam jenis makian yan menunjuk pada binatang.
Faktor situasioanal yang mempengaruhi penutur menggunakan makian pada
contoh (1) adalah untuk mengungkapkan emosi.
Pada contoh (2) terdapat kata makian ubeng. Makian ubeng (pantat)
termasuk dalam jenis makian yang menunjuk pada bagian tubuh manusia. Faktor
situasional yang mempengaruhi penutur menggunakan makian pada contoh (2)
adalah untuk menunjukkan keakraban.
Berdasarkan contoh makian pada tuturan (1) dan (2) diatas, ada dua
masalah yang akan dijawab dari penelitian ini. Pertama, apa jenis makian dalam
bahasa Sikka dialek Lela Sikka. Kedua apa faktor- faktor situasioanal yang
mempengaruhi penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka menggunakan makian.
Peneliti memilih topik makian dalam bahasa Sikka, dialek Lela Sikka
karena fenomena budaya masyarakat yang khas atau unik di daerah Sikka, makian
dalam bahasa Sikka dialek Sikka dikatakan unik karena kata makian ini digunakan
seseorang, topik mengenai makian dalam bahasa Sikka ini belum pernah diteliti,
dan peneliti sendiri merupakan penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan bahasa Sikka?
2. Apa saja jenis-jenis makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka?
3. Apa saja faktor-faktor situasional yang mempengaruhi penutur bahasa?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumasan masalah tersebut tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan keadaan bahasa Sikka
2. Mendeskripsikan jenis-jenis makian dalam bahasa Sikka, dialek Lela
Sikka
3. Mendeskripsikan faktor-faktor situasional yang mempengaruhi penutur
bahasa Sikka dialek Lela Sikka menggunakan makian
1.4Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini berupa deskripsi mengenai jenis-jenis makian bahasa
Sikka dialek Lela Sikka berdasarkan referennya, dan deskripsi faktor- faktor
situasional yang mempengaruhi penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka
manfaat praktis. Manfaat teoretis dalam semantik adalah untuk memahami referen
atau objek yang digunakan dalam makian bahasa Sikka dialek Lela Sikka. Selain
itu hasil penelitian ini juga memberikan sumbangan teoretis dalam ilmu pragmatik
yaitu, untuk memahami maksud atau makna makian melalui ujaran atau tuturan
seseorang.
Manfaat praktis dari penelitan ini adalah dapat dijadikan referensi untuk
penelitian selanjutnya sekaligus untuk memahami kekhasan budaya komunikasi
dan pola relasi masyarakat penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka. Kekhasan
tersebut yaitu makaian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka lebih banyak
digunakan untuk mengungkapkan emosi kepada mitra tutur.
1.5Tinjauan Pustaka
Perihal makian pernah dibahas oleh Baryadi (1983), Sukarsa (2006), dan
Wuwur (2013). Baryadi (1983) meneliti kata-kata pisuhan atau makian dalam
bahasa Jawa. Baryadi membicarakan ciri-ciri kata makian dalam hubungannnya
dengan kata-kata afektif dalam bahasa Jawa, kemudian membicarakan satuan
lingual yang biasa digunakan untuk memaki, aneka jenis kata makian dalam
bahasa Jawa, kata makian dengan bentuk–mu serta kata makian dan ragam tutur.
Menurut Baryadi, kata afektif selalu berkaitan dengan “segala sesuatu” yang pada
dasarnya telah mengandung afek (rasa). Dalam hal ini segala sesuatu yang
dimaksud adalah sikap, penilaian, atau pandangan penutur terhadap realitas yang
Baryadi (1983: 39) mengelompokkan jenis-jenis kata makian dalam
bahasa Jawa menjadi 13 jenis yaitu: kata yang menunjuk (a) binatang- binatang
tertentu yang dipandang memilii sifat jelek, (b) mahluk tertentu, (c) profesi
tertentu dalam masyarakat, (d) nama makanan tertentu, (e) benda tertentu, (f)
keadaan tertentu, (g) nama kekerabatan, (h) aktivitas tertentu, (i) bagian tubuh, (j)
kotoran, (k) alat kelamin, baik pria maupun wanita, (l) kata makian yang
menunjuk sifat atau watak jelek manusia, (m) makian yang lain. Baryadi juga
menyebutkan bahwa kadang-kadang kata-kata tersebut diperluas menjadi frasa,
misalnya asu elek, setan laknat, asem kecut dan lain-lain. Kata makian dengan
bentuk–mu misalnya ndhasmu, mbahmu dan sebagainya. Kata makian dan ragam
tutur menurut Baryadi ialah pemakain kata-kata makian yang ditentukan oleh
situasi perasaan penutur dan situasi pembicaraan antara si pembicara dengan
lawan bicara.
Sukarsa (2006) dalam tugas akhirnya meneliti jenis umpatan dan tingkat
kekasarannya dalam bahasa Sunda di Kuningan. Terdapat 10 jenis umpatan yang
digunakan oleh masyarakat Sunda, yaitu (a) umpatan yang menunjuk pada
binatang, (b) bagian tubuh, (c) profesi, (d) sifat negatif, (e) mahkluk halus, (f)
status sosial rendah, (g) keadaan tertentu, (h) nama alat kelamin manusia, (i) jenis
kelamin, dan (j) kotoran. Sukarsa menyebutkan bahwa tingkat kekasaran umpatan
bahasa Sunda dibedakan berdasarkan arti umpatan dan nilai rasa yang timbul
akibat penggunaannya. Munculnya berbagai arti umpatan dan nilai rasa
dipengaruhi oleh konteks kata-kata umpatan yang berbeda. Hal tersebut juga
Wuwur (2013) dalam tugas akhirnya meneliti jenis-jenis umpatan dalam
tuturan berbahasa Indonesia di masyarakat Sumba Barat berdasarkan referennya
dan maksud umpatan tersebut berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Sumba
Barat. Wuwur menemukan empat jenis umpatan berdasarkan referennya yaitu
jenis umpatan yang memiliki referen berupa manusia, hewan, tumbuhan, dan
benda mati. Jika dikaitkan dengan konteks kehidupan masyarakat Sumba Barat,
terdapat enam maksud yang terkandung di dalam umpatan-umpatan tersebut yaitu,
umpatan yang bermaksud bercanda, menyindir, marah, dan menghina.
Berdasarkan beberapa penelitian mengenai makian seperti yang telah
disebutkan di atas belum pernah ada yang meneliti mengenai makian dalam
bahasa Sikka dialek Lela Sikka.
1.6Kerangka Teori
Berdasarkan topik penelitian ini perlu dipaparkan teori-teori tentang (a)
pengertian makian, (b) semantikdan teori tentang makna, dan (c) pragmatik dan
teori tentang maksud.
1.6.1 Pengertian Makian
Kata makian merupakan ungkapan yang dapat dilihat sebagai saluran dari
emosi dan sikap penutur yang menggunakan kata-kata tabu dalam cara yang
nonteknis dan bersifat emotif (Ljung, dalam Yuwono, 2010). Pengertian ini
menunjukkan bahasa makian merupakan media untuk mengekspresikan perasaan
Menurut Poerwadarminta umpatan atau makian adalah (1) perkataan yang
memburuk-burukan orang dan (2) sesalan, cercaan (yang diucapkan karena marah,
menyesal dan sebagainya, terhadap atau kepada orang yang dianggap salah, dan
sebagainya).
Baryadi (1983: 38) menyebutkan bahwa kata makian termasuk di dalam
kata-kata afektif, karena kata makian mengandung nilai rasa tertentu dari penutur
yaitu rasa marah, atau jengkel. Ciri- ciri kata afektif adalah sebagi berikut. Pertama selalu berkaiatan dengan “segala sesuatu” yang pada dasarnya telah
mengandung afek (rasa). Dalam hal ini segala sesuatu yang dimaksud adalah
sikap, penilian atau pandangan penutur terhadap realitas yang dihadapinya. Hal
tersebut dapat dilihat dari contoh berikut ini: seseorang melontarkan makian
seperti Bajingan! Asu! dan sebagainya untuk melampiaskan rasa marah.
Kedua, berkaiatan dengan pendengar atau persona kedua yang secara
emosional rentan atau merangsang perasaannya terhadap kata tertentu yang
digunakan dalam setting yang tidak selaras dengan kelayakan penggunaan kata
itu. Makian yang dikatakan pembicara dapat merangsang perasaan lawan bicara
terhadap kata-kata itu. Hal tersebut dipengaruhi oleh makian yang dilontarkan si
pembicara itu menyebabkan kejengkelan lawan bicara, sehingga lawan bicara
membalas dengan makian kepada pembicara. Dalam hal ini antara si pembicara
dan lawan bicara saling memaki.
Ketiga, berkaitan dengan pembicara yang dalam kondisi kejiwaan tertentu
harus melampiaskan, menumpahkan atau menyalurkan gejolak perasaannnya
digunakan pada saat pembicara dalam kondisi kejiwaan sedang tegang, jengkel
atau marah. Selain perasaan marah, tegang, atau jengkel seorang dapat pula
memaki pada saat sedang menyesal.
Menurut Sunaryono (dalam Baryadi, 1983: 6) makian adalah sejumlah
kata, frasa ataupun kalimat khas atau unik yang dipakai oleh penutur bahasa
tertentu untuk menyatakan atau mengekspresikan atau melampiaskan berbagai
perasaan seperti jengkel atau marah kepada mitra tuturnya. Memaki sebagai alat
untuk mengekspresikan perasaan marah atau jengkel rupanya dapat pula menjadi
cermin dari nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat itu, tetapi sekaligus
juga menggambarkan seberapa jauh penutur bahasa tertentu telah mengeksploitir
bahasanya untuk mengungkapkan perasaan yang dalam.
Slametmuljana (1964: 48) menyebut kata makian sebagai kata ejekan.
Kata ejekan ialah kata-kata yang biasa digunakan sebagai ejekan dalam suasana
kejengkelan yang maknanya tidak baik. Ia juga menyebutkan kata ejekan sebagai
kata ejekan pinjaman. Penyebutan itu digunakan karena kata ejekan dapat
meminjam nama berbagai jenis kata, termasuk kata asing. Ia juga mengatakan
bahwa pemakaian kata ejekan yang dirasa kasar dapat dihindari dengan mengubah
bunyi katanya atau memenggal bunyi kalimat menjadi kalimat elips. Peminjaman
kata dan penghindaran pemakaian kata yang dirasakan kasar tersebut tidak akan
menimbulkan salah paham karena maknanya telah ditetapkan oleh suasana
pemakaian bahasa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dendy,Sugono 2008: 863),
sebagai pelampiasan kemarahan atau rasa jengkel‟. Memaki berarti
„mengungkapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang adat untuk menyampaikan
kemarahan atau kejengkelan‟. Makian berarti „kata keji yang diucapkan karena
marah dan sebagainya‟.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
makian merupakan kata-kata khas atau unik, cercaan atau ejekan yang diucapakan
oleh penutur untuk mengungkapkan emosi kepada mitra tutur.
1.6.2 Semantik dan Teori tentang Makna
Semantik adalah telaah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau
tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang
lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Semantik mencakup
makna-makna kata, perkembangannya, dan perubahannya (Tarigan, 1986: 18).
Dalam kacamata semantik, ada tiga elemen bahasa, yaitu bentuk, makna,
dan referen. Bentuk-bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan makna yang
dinyatakan. Hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer dan
konvensional. Sifat arbitrer mengandung pengertian tidak ada hubungan kausal,
logis, alamiah, ataupun historis, dan sebagainya antara bentuk dan makna.
Sedangkan sifat konvensional menyarankan bahwa hubungan antara bentuk dan
kebahasaan dan maknanya terwujud atas dasar konvensi atau kesepakatan
bersama (Wijana, 2011: 4). Bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan
lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada diluar bahasa yang
disebut referen (referent) (Wijana, 2011: 4).
Referen adalah objek atau hal yang ditunjuk peristiwa, fakta dalam dunia
pengalaman manusia (Djajasudarma, 1993: 24). Referen merupakan salah satu
bagian dari segitiga semiotik, selain simbol dan rujukan (Richards, 1923: 14).
Referen tidak selalu sesuai dengan simbol, karena konsep sebuah referen dapat
dipahami jika sesuai dengan rujukan. Pemikiran atau referensi sangat dipengaruhi
oleh bahasa dan simbol (Martinet, 2010: 78).
Gambar 1. Segitiga semantik
Simbol (kata, rangkaian kata, gambar gerak, isyarat dan semua
representasi gambar maupun bunyi imitatif) mengarahkan secara langsung,
mengorganisasi, merekam dan mengomunikasikan pemikiran atau referensi
tersebut kemudian dikomunikasikan lagi dengan fakta dan kejadian. Fakta dan
kejadian inilah yang disebut referen.
Simbol dalam segitiga semiotik berfungsi menggantikan referen, karena
simbol melakukan pentahbisan atau investitura. Ketika seseorang memahami apa
yang dikatakan, suatu sombol akan membuat kita melakukan suatu tindakan
referensi, dan sekaligus membuat kita mengambil suatu sikap yang sesuai dengan
lingkungan yang mirip atau mendekati tindakan dan sikap lokutor. Selain
menggantikan referen, simbol juga memiliki satu relasi tidak langsung. Misalnya
kata anjing tidak memiliki hubungan lain dengan „beberapa objek umum tertentu
yang terdapat di jalanan‟ kecuali berkaitan dengan fakta yang sering kita gunakan
ketika menunjuk pada suatu binatang (Martinet, 2010:79).
1.6.3 Pragmatik dan Teori tentang Maksud
Menurut Yule George (1996: 3), pragmatik merupakan studi tentang makna
yang disampaikan oleh penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar atau
pembaca. Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis
tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan- tuturannya daripada dengan
makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri.
Melalui pragmatik seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudan
orang , asumsi mereka, maksud dan tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan.
Maksud merupakan suatu gejala luar ujaran, selain informasi. Informasi
dan maksud sama-sama suatu yang luar ujaran. Bedanya informasi merupakan
sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara atau pihak
subjeknya. Di sini orang yang berbicara itu mengujarkan sesuatu entah berupa
kalimat maupun frasa, tetapi maksudnya tidak sama dengan maksud lahiriah
ujaran itu sendiri (Chaer, 1990: 35-36).
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data,
tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Berikut diuraikan
masing-masing tahap tersebut.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Objek penelitian ini adalah makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka.
Makian tersebut terdapat dalam data berupa tuturan bahasa Sikka dialek Lela
Sikka.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode cakap, dan metode simak.
Metode cakap atau percakapan karena memang berupa percakapan dan terjadi
kontak antara peneliti selaku peneliti penutur selaku narasumber (Sudaryanto
2015: 208). Pada praktiknya, percakapan atau metode cakap itu diwujudkan
dengan pemancingan. Maksudnya, peneliti untuk mendapatkan data,
pertama-tama harus dengan segenap kecerdikan dan kemauannya memancing seseorang
atau beberapa orang untuk berbicara (Sudaryanto 2015: 209).
Metode berikutnya adalah metode simak. Metode simak adalah metode
bahasa (Sudaryanto, 2015: 203). Pada metode simak, peneliti menggunakan
teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap. Menurut
(Sudaryanto, 2015: 204) teknik simak libat cakap merupakan kegiatan menyadap
pengguna bahasa dengan berpartisipasi sambil menyimak, atau si peneliti terlibat
langsung dalam dialog. atau Peneliti sendiri sebagai alat penentu karena terlibat
langsung dalam membentuk dan memunculkan calon data. Peneliti menyimak
percakapan dari penutur selaku narasumber (Laurentius Vianey dan beberapa
penutur bahasa Sikka dilaek Lela Sikka yang berdomisili di Yogyakarta).
Teknik simak bebas libat cakap dilakukan dengan tidak berpartisipasi
dalam percakapan atau dialog. Peneliti tidak bertindak sebagai pembicara yang
berhadapan dengan mitra-wicara atau sebagai pendengar. Peneliti hanya sebagai
pemerhati yang penuh minat tekun mendengarkan apa yang dikatakan dan bukan
apa yang dibicarakan oleh orang-orang yang hanyut dalam proses berdialog.
Seperti halnya dalam teknik simak libat cakap, dalam teknik simak bebas
libat cakap pun alat yang digunakan adalah diri peneliti sendiri. Hanya dalam
teknik simak bebas libat cakap peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut
menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya sebagai
pemerhati saja, pemerhati terhadap calon data yang terbentuk dan muncul dari
peristiwa kebahasaan yang berada di luar dirinya (Sudaryanto, 2015: 204-205)
Peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara mengamati dan
meneliti makian-makian yang sering digunakan oleh mahasiswa atau masyarakat
1.7.2 Metode Analisis Data
Metode untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah metode padan.
Menurut (Sudaryanto, 1993: 13) metode padan adalah metode ananlisis data yang
digunakan untuk menentukan identitas objek penelitian dengan alat penentunya
diluar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan.
Metode padan yang digunakan untuk menganalisis data ini adalah metode padan
referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan referensial adalah metode
padan yang alat penentunya berupa referen bahasa yakni untuk menjawab
rumusan masalah (a) apa saja jenis makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sika,
sedangkan metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya
berupa lawan atau mitra bicara yakni untuk menjawab rumusan masalah (b) apa
saja faktor-faktor situasional yang mempengaruhi penutur bahasa Sikka dialek
Lela Sikka menggunakan makian.
(3) E siput au dena apa ia? e siput kamu melakukan apa itu?
„E siput apa yang sedang kamu lalukan?‟
(4) Alang korak lopa tutur rewong poi. tengkorak jangan berbicara sembarang saja „Tengkorak jangan asal bicara‟
Contoh pada tuturan (3) dan (4) merupakan penerapan metode padan Kata
makian yang digunakan pada tuturan (3) menunjuk pada binatang, sedangkan
pada tuturan (4) menunjuk pada bagian tubuh manusia. Faktor yang
mempengaruhi penutur menggunakan makian pada tuturan (3) adalah faktor
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunkan dua
metode, yaitu metode informal dan formal. Metode Penyajian informal adalah
perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis
sifatnya, sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan apa yang umum
dikenal sebagai tanda dan lambang- lambang. Tanda dan lambang- lambang
tersebut berupa rumus, bagan, diagram, tabel, dan gambar (Sudaryanto, 2015:
241).
1.8 Sistematika Penyajian
Laporan penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab 1 berisi pendahuluan.
Dalam bab ini, diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II memaparkan deskripsi keadaan
bahasa Sikka. Bab III berisi uraian tentang jenis makian berdasarkan referennya.
Bab IV berupa faktor-faktor situasional penggunaan makian dalam bahasa Sikka
BAB II
DESKRIPSI KEADAAN BAHASA SIKKA
2.1 Sejarah Masyarakat Sikka
Menurut penduduk asli dan pendatang dari Benggala (kini Bangladesh),
yakni Mo‟ang Ra‟e Raja dan istrinya Du‟a Guru Merang yang melahirkan
raja-raja Kangae, nama kabupaten Sikka berasal dari nama seorang Dewi yaitu Dewi
Sikh seorang Dewi Padi dari India.
Selain Bangladesh, leluhur orang Sikka pun diyakini berasal dari Malaka,
kini Semenanjung Malaysia. Menurut cerita rakyat, leluhur itu adalah seorang
pelaut, yang bernama Laka dari kata Malaka. Lantaran kapalnya rusak dan
terdampar di Paga Mbegu, lalu mengawini perempuan setempat dan keturunannya
kini tinggal dibagian barat kabupaten Sikka, yakni Paga, Mauloo, dan Wolowiro.
Para antropolog dan arkeolog mengatakan orang Sikka penghuni Pulau
Flores bagian tengah ini berasal dari lembah Dong Son di hulu Sungai Mekong
dan Hoang Ho China. Para penulis sejarah seperti Oscar Mandalangi Parera,
Dominicus Dionitius Kondi pareira dan A. Boer berpendapat bahwa orang Sikka
berasal dari penghuni asli dan pendatang seberang lautan. Para penghuni asli ini
disebut Ata Teri Nian E‟ra Natar atau Ata Tawatana atau Bapak Pengasal (Boer,
dkk. 2008: 22)
Sikka tumbuh kembang dalam empat era, yakni era pra-kolonial, era
menunjukkan kronk sikka dalam silang budaya yang sangat kental. Mulai dari silang budaya dengan India, Portugis hingga budaya modern saat ini.
Tonggak sejarah Sikka dilakukan oleh Raja Don Alexius Ximenes da Silva
pada awal tahun 1.600-an sebagai peletak agama Katholik di Sikka, Ratu Dona
Agnesia dan Ratu Dona Maria (1613-1620) sebagai peletak emansipasi wanita,
Raja Don Thomas Ximenes da Silva sebagai peletak Sikka modern. Adat istiadat
dalam bidang pemerintahan telah lebur dalam tata cara pemerintahan Republik
pada pertengahan tahun 1950-an dengan Raja terakhir yang secara adat maupun
adaministratif diakui. Pada tahun 1958 terbit ketetapan pemerintah Republik
Indonesia mengenai (Swapraja) kabupaten Sikka. Tahun 2002 kabupaten Sikka
sesuai UU no. 24/99 dan 34/2003 otomatis sebagai daerah otonom.
2.2 Letak Geografis
Secara geografis wilayah Kabupaten Sikka terletak di antara 8°22 s.d.
8°50 derajat Lintang Selatan, dan 121º55‟40” s.d. 122º41‟30” Bujur Timur.
Kabupaten Sikka merupakan salah satu dari 22 kabupaten/kota yang terdapat di
Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut.
Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Flores Timur, sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Ende, sebelah utara berbatasan dengan Laut
Flores,dan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Sawu. Kabupaten Sikka
merupakan daerah kepulauan dengan total luas daratan 1.731,91 km². Kabupaten
Sikka beriklim tropis yang kering, dengan suhu udara relatif tinggi. Kabupaten
Sikka meliputi 10 pulau besar dan beberapa pulau kecil dengan luas
Tabel 1. Luas Daerah Kabupaten Sikka Berdasarkan Pulau
No. Pulau Luas Daerah (Km2) Persetase (%)
1 Sikka 1613,18 93,14
2 Babi 5,63 0,33
3 Pangabatang 0,4 0,02
4 Kambing 0 0
5 Damhila 6,25 0,36
6 Permaan 0,35 0,02
7 Besar 53,13 3,07
8 Palue 41 2,37
9 Sukun 5 0,29
10 Pemana besar 6,6 0,38
11 Lainnya 0,37 0,02
Total 1731,91 100 %
(Sumber: BPS Kabupaten Sikka 2016)
Kabupaten Sikka terdiri dari 21 kecamatan, yakni: Alok, Alok Barat, Alok
Timur, Bola, Doreng, Hewokloang, Kangae, Kewapante, Koting, Lela,
Magepanda, Mapitara, Mego, Nelle, Nita, Paga, Palue, Talibura, Tana Wawo,
Waiblama, dan Waigete dalam peta sebagai berikut (sumber: www.google.com):
2.3 Penduduk
2.3.1 Jumlah Penduduk
Adapun jumlah penduduk yang terdapat di Kabupaten Sikka pada tahun
2016 yang tersebar di 21 Kecamatan dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 1. Jumlah Penduduk di Kabupaten Sikka
(Sumber: BPS Kabupaten Sikka 2016)
2.3.2 Mata Pencaharian
Mata pencaharian mayoritas penduduk di Kabupaten Sikka adalah bertani.
Sesuai dengan iklim daerahnya mayoritas mereka adalah petani lahan kering,
sisanya adalah nelayan, wiraswastawan dan pegawai, baik negeri maupun swasta. No. Kecamatan Jumlah Penduduk
Tabel 2. Luas Panen, Produktivitas Tanaman Pangan Kabupaten Sikka
Tabel 3. Produksi Perikanan Tangkap dikabupaten Sikka (ton) No Jenis Perikanan Jumlah
1 Perikanan laut 13800,24
2 Perairan umum -
No Tingkat Pendidikan Sekolah Guru Murid
Pertama, Adat Budaya Lio: masyarakat yang mendiami bagian barat
Kabupaten Sikka. Pakaian adat Lio busana wanita dikenal dengan lawo-lambu dan
busana pria dikenal dengan regi-semba-lesu. Kesenian khas adalah tarian ga’i
atau gawi yang mengungkapkan pentingnya kebersamaan dalam menantang alam
dan merenda kehidupan. Ga’i atau gawi aslinya ditarikan dengan iringan
tempurung kelapa.
Kedua, Adat Budaya Sikka Krowe: masyarakat yang mendiami bagian
tengah kabupaten Sikka. Busana adat perempuan Sikka-Krowe terdiri dari utang,
dong, dan labu. Tatanan rambut disebut konde. Sementara busana pria terdiri dari
lipa/ragi, lensu dan labu. Tarian adatnya disebut soka hegong, yang diiringi
musik tradisioanal gong waning.
Ketiga, Adat Budaya Palue: masyarakat yang mendiami pulau Palue.
Masyarakat Palue memiliki ritus adat unik Patikarapau yakni upacara pemberian
makan kepada nenek moyang berupa penyembelihan kerbau. Acara ini kerap
disatukan dengan peresmian perahu besar yang dibuat digunung, dan pada saat
ritual Patikarapau perahu ini digotong kelaut. Busana adat Palue disebut Tama
Koka. Terdapat dua tarian besar di Palue yaitu tarian Misa dan Togo.
Keempat, Adat Budaya Muhang/Tana Ai: masyarakat yang mendiami
bagian paling timur Kabupaten Sikka. Pakaian dan tarian budaya Muhang sama
dengan Sikka Krowe, yang membedakan adalah dialek bahasa dan ritual adat.
Kelima, Adat Budaya Bajo/Bugis: umumnya mendiami pesisir pantai.
di Sulawesi Selatan. Namun kini kesemua kelompok budaya dan etnis tersebut
umumnya hidup berbaur bersama.
Salah satu tradisi yang masih melekat di dalam kehidupan masyarakat
kabupaten Sikka hingga saat ini adalah menenun. Hasil dari menenun yaitu tenun
ikat yang biasa disebut dengan utang dan lipa (sarung). Tenun ikat tidak hanya menghasilkan tekstil semata, namun setiap motif tenun ikat selalu punya makna
simbolis, bahkan pada jaman kerajaan menjadi penanda status adat dan sosial.
Budaya Sikka juga sangat kaya akan barang-barang pusaka, baik yang asli dari
kerajaan Sikka sebelum maupun sesudah Portugis. Benda pusaka
budaya antara lain: benda peninggalan pra-sejarah (Tempayan Dongson, Replika
Perahu Perak Dobo), benda-benda peninggalan kebesaran kerajaan misalnya
Regalia, dan Patung keagamaan (Patung Bayi Yesus, Watu Cruz).
2.3.5 Keadaan Bahasa
Bahasa Sikka merupakan salah satu dari 35-an bahasa daerah yang
terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah 1977:26). Bahasa Sikka
digunakan oleh masyarakat Sikka. Penggunaan bahasa Sikka selain untuk
berkomunikasi, juga untuk mempererat hubungan antar sesama. Dalam
percakapan sehari-hari terdapat beberapa dialek yang menjadi ciri khas dari suatu
wilayah di kabupaten Sikka. Dialek tersebut cenderung berbeda di setiap etnis hal
itu dipengaruhi oleh unsur kebahasaan yang disebut unsur suprasegmental.
rendahnya suara (nada), panjang-pendeknya ucapan (durasi) dan jarak waktu
pengucapannya (jeda) (Wijana dan Rohadi (2011: 2)).
Berikut pembagian dialek yang terdapat di Kabupaten Sikka berdasarkan
etnisnya:
a. Etnis Sikka Krowe.
Kelompok etnis yang menggunakan bahasa Sikka Krowe adalah yang
mendiami sebagian besar wilayah kabupaten Sikka yang terdiri dari sub etnis
Sikka Lela, Nita Koting, Nelle Baluele, Habi, Ili, Wetakara, Bola, Wolomude,
Wolonwaru, Doreng, Halelebing. Dialek yang digunakan oleh etnis ini sesuai
dengan kecamatan masing- masing. Misalnya masyarakat Sikka dan Lela
menggunakan dialek Lela Sikka, dan masyarakat Nita mengunakan dialek Nita,
dst. Perbedaan dialek disetiap kecamatan ini merupakan pengaruh dari tinggi
rendahnya suara, kerasnya ucapan, dan panjang pendeknya ucapan.
b. Etnis Sikka Muhan.
Kelompok etnis yang menggunakan bahasa Sikka Muhan adalah
kelompok etnis Tana Ai yang mendiami wilayah sekitar Kringa dan Werang, atau
bagian timur kabupaten Sikka, wilayah perbatasan dengan kabupaten Flores
Timur. Kelompok etnis ini merupakan penganut sistem kekerabatan matrilinear.
Dialek yang digunakan adalah dialek Sikka Muhan
c. Etnis Lio.
Kelompok etnis ini menggunakan bahasa Lio. Etnis Lio mendiami bagian
barat kabupaten Sikka seperti Mblengu, Mego, Nualolo, dan Bu. Dialek yang
d. Etnis Palue
Kelompok etnis ini menggunakan bahasa Palue. Etnis Palue mendiami
pulau Palue antara lain Lajangawawi, Lajakarapau, Suria, Kimalaja, Cinde, Piwa,
dan Uwi Muri. Dialek yang digunakan adalah dialek Palue.
e. Etnis Tidung
Kelompok etnis ini menggunakan bahasa Bajo. Kelompok etnis ini berasal
dari Sulawesi Selatan yang mendiami pulau-pulau sekitar teluk Maumere dan
sepanjang Pantai Utara seperti Magepanda, Alok, Kewapante, Waigete, dan
Talibura. Dialek yang digunakan adalah dialek Tidung.
Dari contoh-contoh dialek berdasarkan etnis yang tersebut di atas yang
akan dibahas dalam penelitian ini adalah makian bahasa Sikka dialek Lela Sikka.
Bahasa Sikka dialek Lela Sikka digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Sikka
Krowe dialek Lela Sikka, yaitu sebanyak 12.138 jiwa yang berdomisili di
Kecamatan Lela, antara lain masyarakat Desa Baopaat, Du, Hepang, Iligai,
Kolidetung, Korowuwu, Lela, Sikka, dan Watutedang. Gambar 3 dan 4 berikut
Gambar 3. Peta Lokasi Kasus Penelitian
(Sumber: www.google.com diolah oleh Penulis, 2017)
Gambar 4. Dialek Berdasarkan Peta Lokasi Kasus Penelitian
BAB III
JENIS MAKIAN DALAM BAHASA SIKKA DIALEK LELA SIKKA
3.1 Pengantar
Dalam berkomunikasi, sering kali kita temui berbagai cara penutur untuk
melampiaskan emosi kepada mitra tuturnya, seperti marah, jengkel, senang dan
lain-lain. Pada saat si pembicara marah atau jengkel terhadap lawan bicara,
seringkali bahasa yang dipergunakan untuk mengekspresikan kemarahan atau
kejengkelannya itu adalah khas (unik). Sejumlah kata, frasa ataupun kalimat yang
dipakai oleh penutur bahasa tertentu untuk menyatakan berbagai perasaan seperti
jengkel atau marah itulah yang disebut kata-kata pisuhan atau makian (Sunaryono,
1983:6, dikutip oleh Baryadi 1983: 37).
Setiap bahasa memiliki kata makian tersendiri yang berbeda dengan kata
makian yang ada dalam bahasa lain. Dalam penelitian ini khusus dibicarakan
kata-kata makian yang masih sering digunakan oleh penutur bahasa daerah Sikka
dialek Lela Sikka. Hal yang dibicarakan meliputi jenis-jenis kata makian yang
digunakan oleh penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka menggunakan makian.
Di dalam bahasa Sikka, dialek Lela Sikka terdapat 13 (tiga belas) jenis kata
makian, yaitu: (a) makian yang menunjuk pada binatang, (b) makian yang
menunjuk pada bagian tubuh binatang, (c) makian yang menunjuk pada watak
atau sifat jelek manusia, (d) makian yang menunjuk pada bagian tubuh manusia,
yang menunjuk pada pekerjaan nista, (h) makian yang menunjuk pada kotoran
hewan, (i) makian yang menunjuk pada benda mati, (j) makian yang menunjuk
aktivitas tertentu, (k) makian yang menunjuk pada hubungan seksualitas, (l)
makian yang menunjuk pada warna kulit dan (m) ukuran badan. Temuan ini
menunjukkan kekhasan jenis kata makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka.
Dibandingkan dengan makian dalam bahasa lain, misalnya bahasa Jawa (bdk.
Baryadi 1983:39), makian dalam bahasa Sikka dialek Lela Sikka memiliki
kekhasan pada jenis (l) dan (m) yang tidak ditemukan dalam bahasa Jawa.
3.2 Jenis-Jenis Makian
3.2.1 Makian yang Menunjuk pada Binatang
Makian yang menunjuk pada binatang umumnya digunakan disetiap
daerah di Indonesia. Masyarakat Sikka menggunakan makian yang menunjuk
pada binatang karena binatang dianggap memiliki sifat buruk dan najis. Makian
dalam jenis ini sebanyak tujuh makian, yang mencakup (a) ahu (anjing), (b) wawi
(babi), (c) jarang (kuda), (d) widing (kambing), (e) roang (monyet), (f) siput
(siput) dan (g) sapi (sapi). Berikut contoh makian tersebut.
(5) Ahu ei nala ata ngawung rewong naing poi
anjing ini ambil orang barang seenaknya saja
„Anjing ini mengambil barang orang seenaknya saja‟
(6) Wawi ata tutur ia rena!
babi orang bicara itu dengar
„Babi dengarkan orang yang sedang berbicara‟
(7) Jarang e lopa main gila bodoh! Au ele senang
kuda par jangan bercanda bodoh! Saya tidak suka
(8) Haiata widing nimung ei cantik golo
siapa kambing punya ini cantik sekali „Kambing milik siapa ini cantik sekali‟
(9) Dasar waeng ganu roang
dasar muka seperti monyet
„Dasar mukamu seperti monyet‟
(10) E siput au dena apa ia?
par siput kau buat apa itu? „E siput apa yang sedang kau lakukan?‟
(11) Heh sapi, du’e poi ele norang gu’a au lopa goa
par sapi, tidur saja tidak ada kerja kamu jangan makan Heh sapi, tidur terus tidak pernah bekerja, kamu jangan makan!
Kata-kata makian yang digunakan pada kalimat (5) s.d. (11) adalah
sebagai berikut. Pada contoh (5) kata makian ahu artinya anjing, pada contoh (6)
kata makian wawi artinya babi, pada contoh (7) kata makian jarang artinya kuda,
pada contoh (8) kata makian widing artinya kambing, pada contoh (9) kata makian
roang artinya monyet, pada contoh (10) kata makian siput artinya siput, dan pada contoh (11) kata makian sapi artinya sapi.
3.2.2 Makian yang Menunjuk pada Bagian Tubuh Binatang
Tubuh binatang merupakan anggota tubuh yang melekat pada binatang.
Anggota tubuh binatang digunakan oleh penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka
untuk memaki. Bahkan penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka lebih sering
menggunakan makian yang menunjuk pada bagian tubuh binatang, yaitu wawi
(12) Wawi alang lopa bai alang watu rakang
„Heh kelamin kuda jika ada tamu bersikaplah yang sopan‟
(14) Jarang lahar ei ata ina ama tutur ele depo
sebagai berikut. Pada contoh (12) kata makian wawi alang artinya tengkorak, pada
contoh (13) dan (14) kata makian jarang erang dan jarang lahar artinya alat
kelamin kuda, dan pada contoh (15) kata makian ahu erang artinya kelamin
anjing.
3.2.3 Makian yang Menunjuk pada Sifat atau Watak Jelek Manusia
Sifat merupakan ciri khas yang ada pada seseorang yang dibawa sejak
lahir yang menentukan dan mencerminkan bagaimana seseorang terhadap yang
lainnya atau terhadap lingkugannya. Masyarakat Sikka sering menggunakan sifat-
sifat negatif pada manusia untuk memaki misalnya.
(16) Dasar ngangang ata tutur ulang-ulang ele mengerti
dasar bodoh orang kasihtahu ulang-ulang tidak mengerti
(17) Ukuaka mala ata ngawungeleraintang beli walong bodoh ambil orang barang tidak tahu kembalikan lagi
„Bodoh! mengambil barang tetapi tidak tahu mengembalikannya lagi‟
(18) Topo puang sena ele rena, dasar peke!
panggil sejak tadi, tidak mendengarkan dasar tuli
„Dipanggil sejak tadi tidak mendengarkan dasar tuli‟
Kata-kata makian yang digunakan pada kalimat (16) s. d. (18) adalah
sebagai berikut. Pada contoh (16) kata makian ngangang artinya bodoh, pada
contoh (17) kata makian ukuaka artinya bodoh atau tidak tahu apa-apa, dan pada
contoh (18) kata makian peke artinya tuli.
3.2.4 Makian yang Menunjuk pada Bagian Tubuh Manusia
Tubuh manusia merupakan keseluruhan struktur fisik organisme manusia.
Anggota tubuh manusia yang sering digunakan untuk memaki adalah anggota
tubuh yang berkaitan erat dengan aktifitas seksual. Aktifitas seksual bersifat
sangat pribadi dan kurang sopan jika dibicarakan oleh orang lain. Organ-organ
tubuh yang sangat penting juga bahkan sering digunakan untuk memaki, selain itu
organ tubuh yang tergolong penting juga dipakai untuk memaki. Anggota tubuh
yang sering digunakan untuk memaki adalah sebagai berikut.
(19) Alang korak e wai pehang lopa tutur rewong poi
tengkorak par lain kali jangan bicara sembarang „Heh tengkorak lain kali jangan asal bicara‟
(22) Heh Telor ei, ata kuliah apana au du’e
par Kelamin laki-laki ini orang kuliah kenapa kamu tidur
„heh kelamin laki-laki kenapa kamu tidur orang sedang kuliah‟
(23) Lahar mai goa sai
lahar ayo makan dulu „lahar ayo makan‟
Kata-kata makian yang digunakan pada kalimat (19) s.d. (23) adalah
sebagai berikut. Pada contoh (19) kata makian alang korak artinya tengkorak,
pada contoh (20) kata makian ubeng artinya pantat, pada contoh (21) kata makian
erang artinya alat kelamin wanita, pada contoh (22) dan (23) kata makian lahar
dan telor artinya alat kelamin laki-laki.
3.2.5 Makian yang Menunjuk pada Tumbuhan
Selain manusia dan binatang, tumbuhan juga sering digunakan untuk
memaki karena penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka menganggap adanya
persamaan bentuk antara tumbuhan tersebut dan objek yang dimaki. Contoh
tumbuhan yang digunakan untuk memaki adalah.
(24) Tuka au hui baa ko laeng?
ubi jalar kau mandi sudah belum
„Ubi jalar apakah kamu sudah mandi atau belum?‟
Kata makian yang digunakan pada kalimat (24) adalah tuka artinya ubi jalar.
3.2.6 Makian yang Menunjuk pada Mahkluk Halus
Mahkluk halus atau mahkluk gaib adalah mahkluk yang tidak kasat mata
yang eksistensinya tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia. Meskipun
merupakan mahkluk yang tidak kasat mata, penutur bahasa Sikka, dialek Lela
(25) Setan ei, ganu bano ni’a epang-epang
„Setan jangan berkeliaran diluar rumah, ini sudah mahgrib
(26) kata makian u’eng artinya setan (orang yang menggunakan ilmu hitam untuk
menyakiti orang lain), dan pada contoh (27) kata makian du’a ponung artinya
hantu perempuan.
3.2.7 Makian yang Menunjuk pada Pekerjaan Nista
Kata- kata nista merupakan kata-kata hinaan, yang berhubungan dengan
aib seseorang. Pekerjaan nista adalah pekerjaan kotor atau tidak pantas. Orang
yang memiliki pekerjaan ini biasanya menjadi buah bibir atau bahan gosipan para
tetangganya. Orang yang melakukan pekerjaan nista biasanya tidak mudah
diterima oleh masyarakat. Kata-kata nista yang sering digunakan untuk memaki
adalah sebagai berikut.
(28) Dasar du’a gowa! gu’a aung huma ata lai rimung poi
dasar perempuan pelacur! kerja kamu rebut orang suami punya saja
(29) Ganu du’a hemu golo lerong ele bile ei oring
seperti perempuan pelacur saja setiap hari tidak tenang di rumah „Seperti pelacur saja! setiap hari tidak tenang di rumah‟
Kata-kata makian yang digunakan pada kalimat (28) s. d. (29) adalah
sebagai berikut. Pada contoh (28) dan (29) katan makian du’a gowa artinya
perempuan yang merebut suami orang lain, sedangkan du’a hemu artinya
perempuan yang sua mengganggu suami orang lain.
3.2.8 Makian yang Menunjuk pada Kotoran Hewan
Kotoran hewan merupakan kotoran yang dihasilkan oleh hewan. Kotoran
hewan merupakann sesuatu yang kotor dan menjijikan. Penutur bahasa Sikka
dialek Lela Sikka, memaki mengunakan kata-kata yang menunjuk pada kotoran
hewan misalnya.
(30) Wawi taing au riwa baa hutang aung apana au tagih laeng?
babi kotoran ini bayar sudah hutang saya kenapa kau minta masih
„Ta‟i babi ini! Saya sudah membayar hutangnya, kenapa masih minta?
Kata makian yang digunakan pada kalimat (30) wawi tai’ng artinya
kotoran yang dihasilkan oleh babi.
3.2.9 Makian yang Menunjuk pada Benda Mati
Benda mati merupakan benda atau barang atau benda yang tidak dapat
bergerak sendiri atau tidak dapat bernapas, atau benda yang tidak mengalami
gejala hidup. Benda mati digunakan oleh penutur bahasa daerah Sikka dialek Lela
(31) Dasar watu ata tutur ele depo golo
dasar batu orang kasih tahu tidak menurut pernah „Dasar batu dikasih tahu tetapi tidak pernah menurut‟
Kata makian pada kalimat (31) watu artinya batu.
3.2.10 Makian yang Menujuk pada Keadaan Tertentu
Keadaan tertentu merupakan suatu keadaan yang mana manusia bertindak
diluar kesadarannya. Keadaan tertentu kadang membuat orang berpikir tentang
sesuatu yang aneh mengenai seseorang. Contoh keadaan tertentu yang digunakan
oleh penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka untuk memaki misalnya.
(32) Dasar wauk gete baa di eleraintanghui bopo wing
dasar bau, besar sudah juga tidak tahu mengurus diri
„Huh dasar bau! sudah besar tetapi tidak tahu mengurus diri‟
(33) Waerumang, lopa gu’a naing rewong poi
gila, jangan kerja sembarang saja „Gila! jangan asal kerja saja‟
(34) Dasar iteng glet! bano! lopa bu ebaung!
dasar tidak waras! pergi! jangan mabuk disini
„Dasar tidak waras pergi! Jangan mabuk-mabukan disini!‟
Kata-kata makian pada kalimat (32) s.d. (34) adalah sebagai berikut. Pada
contoh (32) kata makian wauk artinya bau, busuk, pada contoh (33) kata makian
waerumang artinya gila, dan pada contoh (34) kata makian iteng glet artinya tidak waras.
3.2.11 Makian yang Menunjuk pada Hubungan Seksualitas
Hubungan seksualitas merupakan hubungan yang sangat sakral. Tetapi
(35) Gi’o ganu gai goa ia gu’a, ele d’ue poi ganu ia
gi‟o kalau mau makan itu kerja, bukan tidur saja seperti itu
„Gi‟o! kalau kamu mau makan harus kerja! bukan tidur-tiduran seperti itu!
Kata makian yang digunakan pada kalimat (35) adalah gi’o artinya
hubungan seksualitas.
3.2.12 Makian yang Menunjuk pada Warna Kulit
Warna kulit adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang. Di dalam
penuturan bahasa Sikka dialek Lela Sikka warna kulit menjadi pemicu seseorang
untuk memaki misalnya warna kulit yang gelap.
(36) Dasar mitak, nala ngawung aung rewong poi, ele raintang meang
dasar, hitam! ambil barang saya seenaknya saja tidak tahu malu
„Dasar hitam! mengambil barang saya seenaknya saja dasar tidak tahu
malu
Kata makian yang digunakan pada kalimat (36) adalah mitak artinya hitam.
3.2.13 Makian yang Menunjuk pada Ukuran Badan
Ukuran badan juga merupakan sesuatu yang melekat pada diri seseorang.
Penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka, menjadikan ukuran badan sebagai alasan
untuk memaki.
(37) Heh bomber, lopa goa gawang-gawan! dasar rakus
par bomber, jangan makan banyak-banyak! dasar rakus
„Bomber, jangan banyak makan! dasar rakus
(38) Dasar kalir ganu tiang listik
dasar kecil, lurus, kurus seperti tiang lisrtik „Dasar kurus seperti tiang listrik‟
(39) Hehlorak lopa cerewet. a’u woga le’u tebongaung ganu kageia
par lurus jangan cerewet. saya patah badan kamu seperti lidi itu 'Lorak! Jangan cerewet! saya akan patahkan badanmu yang seperti lidi
(40) Heh rugung bak lopacampur urusanaung urustebongaung ia
par ceking jangan campur urusan saya, urus badan kamu itu
„Heh ceking jangan mencampuri urusan saya! urus saja badan mu itu!‟
Kata-kata makian yang digunakan pada kalimat (37) s. d. (40) adalah
sebagai berikut. Pada contoh (37) kata makian bomber artinya gendut, besar, pada
contoh (38) kata makian kalir artinya kurus, pada contoh (39) kata makian lorak
artinya sangat kurus, dan pada contoh (40) kata makian rugung bak artinya sangat
ceking.
3.3 Tabel Rekapitulasi
Jenis-jenis makian dalam tuturan berbahasa Sikka dialek Lela Sikka dapat
dibuat tabel sebagai berikut.
Tabel 6 Jenis-jenis Makian dalam Tuturan Berbahasa Sikka Dialek Lela Sikka
No Jenis
Ahu (anjing) Ahu ei nala ata ngawung rewong
poi. (Anjing ini mengambil barang
orang seenaknya saja)
Widing (kambing) Widing ei cantik golo. (kambing
ini cantik sekali)
Roang (monyet) Dasar, waeng ganu roang. (dasar
muka seperti monyet)
Siput (siput) Siput, au dena apa ia. (siput apa
yang sedang kamu lakukan?)
Sapi (sapi)
Heh sapi, hogor gu’a, lopa du’e
2 Makian yang
Wawi alang e lopa bai alang watu rakang. (tengkorak, jangan terlalu keras kepala)
Jarangerang (kelamin kuda)
Jarang erang e, norang tamu ia raintang sopan kesikha. (jarang tutur ia. (jarang lahar, dengarkan apa yang sedang dibicarakan) ulang-ulang di ele mengerti. (dasar bodoh dikasihtahu berulang-ulang tutur rewong poi. (eh tengkorak, lain kali janga asal bicara saja)
Ubeng (pantat) Ubeng goa baa kolaeng? (pantat,
sudah akan atau belum?) Erang (kelamin
wanita)
Erang e, lopa bano sai gumang baa ei (erang e, jangan keluar
Tuka, mala beli mama pigang oti. (ubi jalar, tolong ambilkan piring untuk mama)
6 Makian yang
menunjuk
Setan (setan) Setan ei, bano epang-epang. (setan
pada mahkluk
halus Ueng (setan)
U’eng hewut baa tama oring sai,
gelir ei wina oring laeng temang poi. (setan, ini sudah sore, masih saja main di luar rumah)
Du‟a ponung (setan perempuan)
Heh, weta naing du’a ponung,
dena apa dara gahu ei utur ei. (heh, saya kira setan! sedang apa di hutan siang bolong begini)
huma ata lai rimung poi.(dasar pelacur, kerjaannya rebut suami orang saja)
Du‟a hemu (pelacur)
Ganu du’a hemu golo, lerong -lerong ele bile ei oring. (macam pelacur saja, setiap hari tidak bisa tenang di rumah)
Wawi taing e, au riwa baa hutang aung. Au tagih walong au hantam au. (wawi taing e, saya sudah membayar semua hutangnya. Jika kamu masih tagih kamu akan saya pukuli)
rewong poi. (heh, gila jangan asal kerja saja!
Iteng glet (tidak waras)
Dasar iteng glet. Bano lopa bu ebaung! (dasar tidak waras. Pergi! Jangan mabuk-mabukan disini)
Wauk (bau)
Huh dasar wauk. Gete baa di ele raintang hui bopo wing. (huh dasar bau. sudah besar tetapi tidak tahu mengurus diri
12 Makian yang
Dasar kalir ganu tiang listik, au lee teman ora au. (dasar kurus rakang. (heh ceking, jangan terlalu sombong)
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR SITUASIONAL YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAKAN MAKIAN DALAM BAHASA SIKKA DIALEK LELA
SIKKA 4.1 Pengantar
Dalam komunikasi sehari-hari, ditemui berbagai cara untuk
mengungkapkan pikiran, perasaan atau pun gagasan Dalam komunikasi pun juga
diwarnai berbagai perasaan misalnya marah, sedih, kaget, ataupun jengkel
terhadap oran lain, diri sendiri bahkan pada keadaan. Hal tersebutlah yang
biasanya diungkapkan dalam bentuk makian. Pemakaian kata-kata makian
ditentukan oleh situasi perasaan penutur dan situasi pembicaraan antara penutur
dan mitra tutur.
Berdasarkan penelitian, terdapat empat faktor yang mempengaruhi penutur
bahasa Sikka dialek Lela Sikka menggunakan makian, yaitu (a) menunjukan
keakraban, (b) mengungkapkan emosi, (c) menghina, dan (d) menciptakan
kesetaraan sosial.
4.2 Menunjukkan Keakraban
Akrab adalah dekat, erat (intim). Keakraban adalah hal atau kedekatan
yang erat seseorang dengan orang lain (Dendy, Sugono 2008: 28). Kedekatan itu
dapat dilihat dari saling berbagi dan terbuka mengenai hal apapun, kepada orang
yang dipercaya. Keakraban seseorang dengan orang lain dapat dilihat juga dari
cara berkomunikasi yang tidak melulu serius tapi dibawakan dengan candaan atau
Makian yang digunakan ini pun tidak bermaksud untuk menyinggung atau
menyakiti perasaan lawan bicara, sehingga dalam berkomunikasi tidak ada pihak
yang merasa disakiti, dan tidak terjadi perselisihan ataupun pertengkaran antara
yang satu dengan lainnya. Penutur bahasa Sikka dialek Lela Sikka sering
menggunakan kata-kata makian untuk bercanda antara satu dengan yang lain.
Contoh keakraban di dalam keluarga dan pertemanan.
4.2.1 Menunjukkan Keakraban dalam Keluarga
Di dalam keluarga makian hanya boleh digunakan oleh orang yang lebih
tua kepada yang lebih muda misalnya makian dari ibu atau bapak kepada
anakanya, dan dari kakak kepada adiknya.
(1) Aduh widing ei cantik golo „Orang gila ini semakin cantik saja ‟
(4) Anak ngangang ha ei cantik nang kesa poi
anak bodoh satu ini cantik tambah saja „Anak bodoh satu ini semakin cantik saja‟
(5) Tuka ei, gete kesa cantik nang kesa poi
ubi tatas ini, besar tambah, cantik tambah saja
„Tuka ini, semakin dewasa semakin cantik saja‟
Kata-kata makian pada contoh (1) s.d. (5) adalah makian yang digunakan
oleh seorang ibu untuk memuji anak gadisnya yang cantik. Kata makian (1)
waerumang artinya orang gila, kata makian (4) ngangang artinya bodoh, kata
Kata-kata makian pada contoh (6) s.d. (10) adalah makian yang digunakan
oleh bapak kepada anaknya, laki-laki maupun perempuan. Kata makian (6) lahar
artinya alat kelamin laki-laki, kata makin (7) momok artiinya elat kelamin
perempuan, kata makian (8) ahu artinya anjing, kata makian (9) mitak artinya
hitam, dan kata makian (10) setan artinya setan.
(11) Ubeng au goa baa ko laeng?
pantat kamu makan sudah atau belum „Pantat apakah kamu sudah makan atau belum‟
(12) Kalir goa baa ko laeng? kurus makan sudah atau belum
(13) Momok goa baa ko laeng? momok makan sudah atau belum
„Momok apakah kamu sudah makan atau belum‟
(14) Ukuaka e, goa baa ko laeng?
bodoh e, makan sudah atau belum
„Bodoh, apakah kamu sudah makan atau belum‟
(15) Waerumang, goa baa ko laeng? gila makan sudah atau belum
„Gila, apakah kamu sudah makan atau belum‟
Kata-kata makian pada contoh (11) s.d (15) adalah makian yang digunakan
oleh kakak kepada adiknya. Kata makian (11) ubeng artinya pantat, kata makian
(12) kalir artinya kurus, kata makian (13) momok artinya alat kelamin perempuan,
kata makian (14) ukuaka artinya bodoh, dan kata makian (15) waerumang artinya