• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH MASYARAKAT MANGGARAI,KEADAAN

2.1 Sejarah Masyarakat Manggarai

Terdapat dua sumber yang bisa ditelusuri untuk menemukan sejarah Manggarai yang otentik, yakni sumber lisan dan sumber tertulis berdasarkan kajian-kajian para peneliti yang mencoba merekonstruksi kembali sejarah Manggarai yang ternyata memiliki pluralitas dalam asal usul keturunannya (Deki, 2011:29). sumber lisan memiliki keterbatasan karena sering terkait dengan mitologi yang sudah bercampur dengan pelbagai unsur sastra, khususnya dengan maksud didaktis.

Dilihat dari sisi mitologi ada banyak kisah yang tersebar luas. Namun umumnya menurut orang Manggarai secara mitologi, dunia ini pada mulanya kosong dan tidak memiliki apa-apa sehingga disebut tana lino. Tana berarti tanah atau bumi dan lino berarti kosong. Tana lino berarti tanah atau bumi yang kosong. Kehidupan, menurut masyarakat Manggarai berasal dari perkawinan Ame/ Ema Eta ( Ayah di atas atau langit) dan Ine/ Ende Wa (harafiah: ibu di bawah atau bumi) sebagaimana nyata dalam pelbagai mitologi (Raho, 2003: 3).

Selain itu, ada sumber-sumber tertulis yang cukup membantu, khususnya arsip-arsip kerajaan Manggarai, Bima, dan Belanda seperti yang ditelusuri oleh

W. P. H. Coolhaas, Verheijen dan Dami N. Toda. Sumber tertulis ini juga memiliki keterbatasan karena tidak semua unsur penting dari sejarah orang Manggarai telah termuat dalam kajian-kajian itu.

Terdapat begitu banyak asal usul nama Manggarai dari perspektif historis. Berbagai usaha mengkaji etimologi nama tempat maupun penelusuran historis berdasarkan peristiwa yang terjadi pada saat itu telah dibuat. Sekurang-kurangnya ada tiga tokoh yang coba membuat penelusuran nama Manggarai dalam sejarah modern.

Usaha pertama dibuat oleh Van Bekkum sebagaimana dikutip oleh Jilis Verheijen, seorang misionaris dan pakar budaya yang banyak membuat penelitian tentang Manggarai dan kebudayaannya, khususnya tentang Wujud Tertinggi, bahasa, flora dan fauna Manggarai. Menurut Van Bekkum yang mengutip pernyataan orang Bima, “Manggarai” adalah gabungan dari kata mangga yang berarti sauh dan rai yang berarti lari, berpautan dengan satu peristiwa terdahulu. Selanjutnya, Verheijen mengacu pada Van Bekkum yang mengadopsi kisah lisan di Cibal tentang kisah tokoh yang bernama Mangga-Maci. Konon putra sulung Nunisa itu diutus Bima untuk menaklukkan Manggarai bersama tiga saudaranya yang bernama Nanga-Lere, Tulus-Kuru dan Jena-ili-Woha. Mereka memberi nama Manggarai kepada Nuca Lale (Toda, 1999: 68-69).

Orang kedua yang mencoba membuat telaahan tentang hal yang sama adalah Doroteus Hemo (Toda, 1999: 68-69). Menurut Hemo, konon pada waktu perahu Mangga-Maci bersaudara sedang membongkar sauh dan mendarat, tiba-tiba pasukan Cibal menyerang, memotong sauh hingga perahu-perahu itu hanyut.

Pasukan Bima pun terperanjat dan berteriak manga-rai (sauh berlari). Sejak peristiwa itulah Manggarai mendapat namanya sampai sekarang ini.

Orang ketiga, Dami N. Toda juga melakukan studi yang sama. Menurut Toda, asal usul nama Manggarai dari Freijss maupun Wilhelmus Van Bekkum yang kemudian diikuti oleh Verheijen maupun Hemo tetap saja berisi kisah kekeliruan yang telah berdampak politis tatkala dihubungkan dengan istilah ata raja dengan semiotic souveniritas Raja Bima atas Manggarai dan diakui oleh pemerintah colonial Belanda. Menurut Toda, kata Manggarai sebenarnya berasal dari sebutan Manga dan Raja. Kata Manggarai “manga” berarti “ada” tetapi kata “raja” sama sekali tidak bersinonim dengan kata “raja” dalam bahasa Melayu -Indonesia. Dalam Bahasa Manggarai, kata raja berarti sebab musabab, masalah, biasa, manusiawi nyata (sebagai lawan kata: yang bersifat seberang sana, asing) (Toda, 1999: 68-69).

Lebih lanjut, Toda membuat perluasan arti dari manga raja. Pasangan kata manga raja berarti: “ada (memiliki) sebab musabab” hanyalah sebuah frase yang bila dihidupkan akan menjadi kalimat harus memperoleh proses morfologis, misalnya manga rajan “ada sebab musabab, alasan, manga rajag “ada sebab musabab alasanku”. Ata raja dalam bahasa Manggarai tidak dimaksudkan dengan terjemahan “ada raja” seperti yang dibuat oleh Freijss, melainkan berarti ada orang, manusia biasa yang memiliki raga. Kata ini berlawanan dengan sebutan ata pele sina yang berarti orang (manusia) dari dunia seberang, manusia roh, mahluk halus (Toda, 1999: 68-69). Jika istilah ini yang dipakai dalam pemahaman tentang asal-usul kata Manggarai maka pengakuan akan souveniritas Bima dan Belanda

atas Manggarai merupakan sebuah pencaplokan atas suatu bangsa tertentu. Sebab, Manggarai sebagai suku bangsa tertentu akan memiliki identitas, sistem pemerintahan, budaya dan semua unsur yang mencirikan mereka sebagai suatu suku bangsa yang berdaulat. Kata Manggarai lebih merupakan pengakuan sekaligus pemakluman bahwa “kami ada” dan karena itu kami memiliki otonomi atas diri dan kehidupan kami sendiri.

Peristiwa pada abad ke-18 tidak memiliki kecocokan historis dengan peristiwa kedatangan Mangga-Maci. Kedatangan formal ekspedisi Bima menuju pelabuhan Adak Todo (Kerajaan Todo) di pantai selatan Manggarai yang bernama Nanga Ramut pada 6 November 1716 melayani permintaan bantua Todo ke Bima (Toda, 1999:68-69).

Meskipun ada ketidaksamaan pemahaman dalam mengartikan Manggarai, sebenarnya “Manggarai” sebelum abad ke-18 disebut dengan nama Nuca Lale. Nuca berarti pulau dan Lale adalah nama pohon kerbang (artocarpus eastica) yang memiliki warna kekuning-kuningan. Menurut pengakuan para petani, pohon Lale merupakan lambang kesuburan.

Penelitian Dr. Verhoeven memberikan petunjuk tentang adanya kehidupan pada zaman purba di Manggarai. Tempat hidup manusia purba antara lain ditemukan di Labuan Bajo, sedangkan alat-alat batu yang pada umumnya berbentuk mikrolit (flake and blade) ditemukan di Golo Bekkum, Liang Momer dan Liang Panas. Pada tahun 1951 tim yang sama membuat penggalian di beberapa situs antara lain Liang Momer dan Liang Panas. Pada tempat itu

ditemukan tulang belulang manusia manusia purba yang ditetapkan sebagai manusia Protonegrito (Hemo, 1990: 25).

Pada masa sekarang bekas perkampungan atau tempat tinggal manusia serupa oleh para ahli prehistori disebut abris sous roches (tempat-tempat perlindungan di bawah karang). Tempat-tempat ini merupakan gua-gua atau karang-karang dengan himpunan tanah pada dasarnya, yang mengandung bekas-bekas alat-alat batu, tulang dan kerang dari zaman lampau. Tempat semacam ini banyak ditemukan di Flores Barat dan Irian (Koentjaraningrat, 2002: 5).

Selain itu, hingga saat ini kajian tentang historitas Orang Manggarai masih berlanjut. Meskipun demikian studi-studi kritis yang menelusuri sumber-sumber sejarah berusaha meluruskan sejarah yang di disorientasikan. Ada satu kesalahan dalam pelajaran sejarah yang menyatakan seakan-akan orang-orang Manggarai berasal dari satu suku dan satu nenek moyang. Penelitian-penelitian ilmiah atas temuan-temuan fosil serta kontak yang tetap dengan pihak luar melalui perdagangan menunjukkan dengan tegas bahwa orang-orang Manggarai berasal dari suku dan keturunan yang berbeda. Dami N. Toda dalam hasil studinya menyebutkan keturunan-keturunan itu yakni asal keturunan Sumba, Mandosawu, Pong Welak, imigran Sulawesi Selatan dan Bima, keturunan Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, dan Tanah Dena (Toda, 1999: 246).

Keturunan-keturunan yang beranekaragam ini kemudian tersebar di seluruh Manggarai. Keturunan Wangsa Kuleng (Mandosawu) mengasalkan nenek moyang mereka dari Turki, dan dari kepandaian yang mereka miliki, jelas bahwa mereka bukan berasal dari kebudayaan batu melainkan keturunan manusia yang

sudah mengenal kepandaian menyepuh logam. Maka amat mungkin orang-orang Turki ini adalah pedagang-pedagang yang terdampar dan menetap di Manggarai pada abad ke-16. Wangsa Kuleng inilah yang mengasalkan adak (kerajaan yang membawahi kedaluan) Cibal dan adak Lamba Leda dan keturunannya tersebar di Riwu, Sita, Ruteng, Ngkaer, Desu, Kolang-Torok.

Keturunan Sumba membuat adak Bajo yang berpusat di Tangge dan membawahi sejumlah wilayah Selatan Barat Daya dan Barat gelarang-gelarang adak da nada beberapa kedaluan seperti Dalu Kolang, Lo’ok Wontong, Munting Welak, Matawae, dan Ramut. Menurut Damian N. Toda, keturunan Sumba di Kedaluan Matawae masih dapat mengingat 20 lapis keturunan.

Selain keturunan Sumba dan Turki, ada pula imigran asal Sulawesi Selatan dan Bima yang menetap di Manggarai, baik di bagian Barat maupun di Pantai Utara dan sedikit di Selatan. Diduga kuat, migrasi ini terjadi pada abad ke-16 tatkala kerajaan Luwu’ dan Goa Berjaya dan memperluas kerajaannya. Pada saat itu gelombang migrasi terjadi selain karena keinginan sukarela, juga karena adanya tekanan politik. Para lawan politik Raja Goa pertama yang Islam, Sultan Alauddin, tak tahan berada dibawah paksaan lalu menjadi pelarian politik ke pulau-pulau lain, termasuk Manggarai. Tetapi, gelombang-gelombang migrasi besar-besaran berupa pelarian politil terjadi setelah Perjanjian Bungaya 18 November 1667 antara Belanda sebagai pemenang dan Goa-Tallo (Sultan Hasanudin) sebagai pihak yang kalah. Sultan Goa-Tallo sempat menempatkan perwakilannya di Reok dan Pota (Toda, 1999: 323).

Sedangkan keturunan Bima kebanyakan bermukim di Reok setelah secara politis Bima membawahi sejumlah kedaluan di pantai utara Manggarai seperti Kedaluan Pacar, Kedaluan Berit, Kedaluan Rembong, Kedaluan Rembong, Kedaluan Rego, Kedaluan Nggalak, Kedaluan Cibal, Kedaluan Lambaleda, Kedaluan Congkar, Kedaluan Biting, dan Pasat serta 14 kedaluan lainnya di bagian barat dengan pusat perwakilannya di Labuan Bajo.

Pendatang Melayu-Minangkabau mendapat tempat tersendiri dalam sejarah Manggarai, karena selain tersebar luas di wilayah Manggarai, mereka juga kemudian menduduki posisi-posisi kepemimpinan di wilayah ini sejak zaman sebelum kolonialisme bangsa Belanda hingga periode tahun 1980-an. Kelompok yang lazim diakui sebagai keturunan langsung dari Minangkabau adalah keturunan Todo-Pongkor yang sekarang telah menyebar ke berbagai tempat di Manggarai.

Menurut Dami N. Toda, “orang asli” (ata ici tana) Manggarai senantiasa dikisahkan tradisi pelisanan sebagai mahluk berbadan bulu, berpakaian kulit kayu, memakan makanan mentah, dan belum mengenal api (Toda, 1999: 221). Menurut hasil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa subklan yang nenek moyangnya sebagai pendatang dari luar, antara lain Bugis, Goa, Makasar, Serang, Sumba, Bima dan Boneng Kabo (1991: 23). Itu artinya bahwa moyang Manggarai berasal dari banyak suku yang datang dari luar. Kurangnya data tertulis menyebabkan sulit dipastikan pengelompokkan klan-klan di Manggarai berdasar suku asalnya, baik yang datang dari luar maupun suku asli Manggarai. Hampir pada umumnya setiap wilayah distrik (dalu) atau wilayah kecamatan di

Manggarai memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, meskipun bahasa daerah tetap satu yaitu bahasa Manggarai. Melihat hal itu, Verheijen berkesimpulan bahwa tidaklah jelas apakah golongan bangsawan (keraeng) pada umumnya berasal dari satu kelompok imigran tertentu (Verheijen, 1991: 24).

Suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan (Kerajaan Goa/Makasar/Bugis). Misalnya istilah Keraeng sesungguhnya merujuk pada sebutan bangsawan yang sama dengan yang digunakan di Makasar (Goa). Hanya sedikit perbedaan dari segi penulisan dan pelafalannya. Orang Manggarai menyebutnya keraeng (ke-ra-eng), sedangkan orang Makasar menyebutnya karaeng (ka-ra-eng). Mengapa istilah itu dijadikan pertimbangan yang kuat, hal itu dikarenakan istilah tersebut mengarah pada istilah bangsawan. Bangsawan merupakan status sosial masyarakat yang terhormat. Golongan bangsawan sebagai pemangku adat/tua adat untuk mengatur tata hidup sosial.

Ada beberapa pertimbangan lain yaitu berupa unsur bahasa yang mempunyai kesamaan antara suku Manggarai dengan Goa/ Makasar/ Bugis, antara lain:

Tabel 2.1 Unsur Bahasa yang Mempunyai kesamaan antara suku Manggarai dengan Goa/ Makasar/ Bugis

Bugis Goa/ Makasar Manggarai Indonesia

Manuk - Manuk Ayam

Kasiasi - Kasiasi Miskin - Somba Opu Somba Opu Menghormati

Leluhur

- Lampa Lampa Jalan / Melangkah - Karaeng Keraeng Bangsawan - Nyarang Jarang Kuda Bembe Bembe Bembe/ Mbe Kambing

(Nggoro, 2006: 27)

Dari uraian yang menyelisik asal usul ini dapat disimpulkan bahwa orang Manggarai tidak berasal dari satu keturunan saja. Mereka datang dari Sumba, Melayu-Malaka, Melayu-Minangkabau, Sulawesi Selatan, Bima dan bahkan dari Turki dengan pemukiman dan persebaran utamanya yang berbeda-beda pula. (Mirsel dan Embu, 2004: 8).

Kabupaten Manggarai timur lahir dari kesadaran dan cita-cita. Kesadaran akan fakta pembangunan yang belum maksimal dan cita-cita untuk mengubah keadaan, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat serta pemerataan pembangunan.

Dalam rekam peristiwa, wacana pembentukkan Kabupaten Manggarai Timur telah digulirkan sejak 1986. Berbagai elemen masyarakat berjuang agar Kabupaten Manggarai dibagi menjadi tiga yakni Manggarai Barat, Manggarai Tengah dan Manggarai Timur. Wacana ini lahir dari kesadaran bahwa wilayah Manggarai terlalu luas. Jika dimekarkan, kualitas pelayanan publik akan lebih baik dan tepat sasaran.

Pendekatan demi pendekatan gencar dilakukan. Puncak dari perjuangan ini adalah lahirnya Undang Undang Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Manggarai Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang disahkan pada tanggal 17 Juli 2007.

Dokumen terkait