UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
C. PENEGAKAN HUKUM
Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan selalu muncul setiap saat. Hal ini sebagai dampak dari kegiatan/ aktitifitas manusia termasuk di dalamnya kegiatan industri, pelayanan kesehatan dan jasa pariwisata serta kegiatan lainnya merupakan sumber pencemar yang perlu melaksanakan pengendalian sejak awal karena tanpa ada langkah-langkah pencegahan akan menimbulkan masalah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Di sisi lain sekarang masyarakat sangat sensitif terhadap berbagai permasalahan hukum dan berkecenderungan berbuat menurut caranya sendiri dengan mengerahkan masa mendatangi kegiatan usaha yang mereka anggap sebagai penyebab pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Bertolak dari itu dirasakan betapa pentingnya peran pemerintah yang berfungsi sebagai fasilitator serta mediator untuk menjadi penengah dalam menyelesaikan berbagai kasus permasalahan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk itu Pemerintah Propinsi DIY dalam hal ini Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta bersama dengan Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa bersama-sama dengan Kepolisian Daerah Provinsi DIY dan Kejaksaan Tinggi Provinsi DIY melakukan koordinasi penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui suatu wadah yaitu Tim Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu.
Tim Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu Provinsi DIY dibentuk sebagai tindak lanjut Keputusan Bersama Kementerian Lingkungan Hidup, Kejaksaaan Agung dan Kepolisian RI dengan Nomor Kep-04/Men.LH/04/2004, Kep-208/A/J.A/2004, Kep-19/4/2004 tentang Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu (satu atap), yang kemudian di DIY
dibuatlah Keputusan Bersama Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa dengan Nomor: 25 Tahun 2006, Kep 76/04.1/09/06, B/2836/X/2006, Kep 23/ PPLH-REG. 4/09/2006 Tentang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu. Dalam Pelaksanaannya, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu dikoordinasikan oleh Badan Lingkuingan Hidup Provinsi DIY sebagai instansi pembantu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan. Pada tahun 2011 permasalahan yang muncul dan ditangani oleh Badan Lingkungan Hidup Provinsi DIY bersama instansi terkait dan Tim Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu adalah 7 (tujuh) kasus yaitu :
1. Dugaan Pencemaran Air Sungai Bedog Yang Diduga dari PS Madubaru Kasihan Bantul
2. Pencemaran Bau Yang Diduga Bersumber dari PT. Samitex Sewon Bantul 3. Dugaan Pelanggaran dan Kejahatan Lingkungan Oleh PT Asatex Piyungan Bantul 4. Penimbunan Limbah B3 Fly Ash dan Bottom Ash sebagai Tanah Urug di Mlati
Sleman
5. Pencemaran Bau dan Debu dari Kegiatan Mebel di Cupu Watu Kalasan Sleman 6. Pencurian Termbu Karang di Pantai Sadranan Ngandong Gunungkidul
7. Penebangan Pohon Cemara Udang di Patehan Sanden Bantul
Adapun proses penyelesian masing-masing kasus pengadauan lingkungan hidup tersebut adalah sebagai berikut :
1. Dugaan Pencemaran Air Sungai Bedog Yang Diduga dari PS Madubaru Kasihan Bantul Kasus dugaan pencemaran ini diperoleh dari Harian Radar Jogja yang terbit Hari rabu Tanggal 3 Agustus 2011. Berdasarkan informasi telah terjadi pencemaran air oleh limbah PS. Madubaru yang mengakibatkan banyak ikan mati di aliran Sungai Bedog, maka Tim BLH Provinsi DIY menuju lokasi kejadian dan merunut sampai out letnya PS Madubaru Hasil Lapangan :
a. Informasi dari masyarakat di sekitar sungai Bedog dekat outlet Limbah PS Madubaru bahwa tidak ada ikan mati meskipun limbah PS. Madubaru membuat keruh air sungai ketika air dari out let mengalir . Hanya saja bau yang menyengat dan busa yang keluar dari out let sangat mengganggu masyarakat sekitar terutama malam hari.
b. Pada saat kunjungan lapangan tersebut ada seorang warga sedang memancing dan memperoleh beberapa ikan.
c. Informasi selanjutnya diperoleh dari warga Wijirejo, dimana disekitar sungai Bedog terdapat beberapa kolam ikan milik kelompok petani ikan yang dikabarkan bahwa banyak ikan mati akibat limbah PS. Madukismo. Dari mereka diperoleh keterangan bahwa .di Kolam sekitar sungai Bedog tersebut tidak terjadi kematian ikan seperti berita yang ada. Ikan yang mati terjadi di perairan Sungai Bedog.
d. Selanjutnya untuk melengkapi data dilakukan pengambillan sampel baik di out let maupun di aliran sungai, yaitu 1 titik di outlet dan .1 titik di utara dan selatan outlet Desa Mrisi . Dan di utara jembatan sungai Bedog desa Sindon serta aliran sungai bedog yang ada di Desa Kadisoro.
Dari hasil analisis laboratorium diperoleh data bahwa di semua titik untuk parameter BOD dan COD nya melampaui baku mutu yang telah ditetapkan.
Pada tanggal 4 November 2011 BLH Provinsi bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup melakukan pengawasan ke PS Madu Baru dan Hasilnya sebagai berikut:
a. Pabrik sedang tidak operasional
b. Pelaporan swa pantau dan pelaksanaan RKL-RPL belum dilaksanakan rutin dan hasil swa pantau yang ada untuk parameter BOD, COD, TSS melampaui baku mutu yang ditetapkan.
c. Sisa batu bara (Fly ash dan Bottom ash) tidak dikelola sesuai aturan
d. Dokumen MoU dan manifest pengiriman dan pengelolaan limbah B3 dengan pihak ke 3 yang berijin tidak komplit.
Setelah melalui pengawasan dan mempertimbangkan seringnya kasus muncul akibat limbah cair PS Madubaru, maka pada hari Rabu tanggal 28 Desember BLH DIY mengundang PS Madubaru dan Instansi teknis terkait yaitu BLH Bantul, Dinas Pertanian, Dinas Perikanan Kabupaten Bantul dan Provinsi DIY. Rapat menghasilkan kesepakatan yaitu:
a. PS. Madu Baru/ Madukismo sanggup memperbaiki kinerja IPAL nya.
b. Manajemen segera akan membuat TPA yang representatif yang terlindung dari hujan dan sinar matahari serta lantainya kedap air.
c. Disarankan agar PS. Madubaru menebar bibit ikan di Sungai Bedog sebagai bentuk kepeduliannnya terhadap lingkungan karena Sungai Bedog sebagai media pembuangan limbah cair dari pabriknya.
2. Pencemaran Bau Yang Diduga Bersumber dari PT. Samitex Sewon Bantul
BLH mengadakan rapat pada tanggal 8 April 2011 untuk menindak lanjuti surat tembusan BLH. Kota Yogyakarta yang berisi laporan Sdr. Murtidjo , Perumahan Klidungkiron, Gedongkiwo, Mantrijeron, Yogyakarta tentang adanya bau menyengat, seperti bau amoniak/bau dari septictank yang diduga berasal dari PT. SAMITEX.
Terutama setiap malam sekitar pukul 2 - 3 dan jam 7 - 8 pagi. Hal tersebut telah berlangsung kurang lebih 2 bulan.
Kesimpulan :
a. Informasi dari BLH Kota Yogyakarta yang telah melakukan verifikasi lapangan pada siang hari dan menunggu sampai sore hari, ternyata bau yang dikeluhkan tersebut tidak tercium.
b. Informasi dari TIM Pengawas PROPER yang pada tanggal 23 Maret 2011 melakukan Pengawasan bahwa PT. SAMITEX telah melakukan pengelolaan Lingkungannya dengan baik dan benar berkait dengan ketentuan Baku Mutu yang dipersyaratkan, , namun untuk parameter kebauan tidak dipersyaratkan dalam PROPER..Apabila dari hasil tersebut masih timbul bau, kemungkinan bau tersebut diakibatkan oleh pembakaran dari Batu Bara yang kualitasnya kurang baik.
c. PT. Samitex agar melakukan introspeksi / pengawasan internal ke dalam meskipun hasil pengawasan PROPER menunjukkan kondisi yang baik.
d. Untuk mendukung hasil pengawasan PROPER, agar PT. SAMITEX melakukan uji kualitas udara untuk parameter kebauan selama 24 jam .
e. Setelah pertemuan ini Sdr. Murtijo/warga di sekitar PT. SAMITEX diharapkan melakukan pengamatan dalam radius tertentu, sehingga dapat diketahui sumber bau tersebut. Selanjutnya apabila masih tercium bau tersebut segera memberitahukan ke BLH Prov. DIY / BLH. Bantul atau BLH Kota Yogyakarta.
Selain itu agar selalu dilakukan komunikasi dengan pihak PT. SAMITEX sehingga permasalahan dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Karena pihak perusahaan ( BP. Darsono, penanggung jawab Lingkungan ) sangat terbuka menerima informasi maupun keluhan dari masyarakat. Selain itu penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat adalah penyelesaian sengketa yang diutamakan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Dugaan Pelanggaran dan Kejahatan Lingkungan oleh PT. Agung Saputra Tex (Asatex) Piyungan Bantul.
Kasus PT Asatex bermula dari pengawasan rutin yang dilakukan BLH Provinsi bersama dengan tim terkait, dari hasil pengawasan ditemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yaitu:
a. Perusahaan belum memiliki dokumen lingkungan hidup
b. Tidak melakukan pemantauan kualitas lingkungan baik limbah cair maupun emisi gas buangnya
c. Limbah B3 dari fly ash dan bottom ash tidak dikelola dengan baik hanya disimpan di area pabrik tidak terlindung dari air hujan dan sengatan sinar matahari dan lantainya tidak kedap air. Selain itu belum ada pencatatan yang baik tentang kebutuhan dan sisa batu baru yang dihasilkan (neraca limbah B3 tidak dibuat)
d. Limbah B3 yang ditumpuk di halaman pabrik jika sudah banyak digunakan sebagai urug oleh masyarakat
e. Perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya untuk melaporkan pengelolaan lingkungannya secara rutin baik yang 3 bualanan maupun 6 bulanan.
Pada saat pengawasan sudah dibuat berita acara berkait dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pabrik dan saran yang harus ditindaklanjuti. Selain itu juga dilakukan teguran lisan langsung, namun setelah jangka waktu kurang lebih 2 bulan dari pengawasan tidak ada tindak lanjut maka Badan Lingkungan Hidup memberikan sanksi administrasi berupa teguran tertulis sampai dua kali. Setelah tidak ada tanda-tanda adanya upaya perbaikan / tindak lanjut dari pelanggaran yang dilakukan maka dilakukan proses penyidikan bersama dengan Polda. Penyidikan untuk kasus Asatex ini sudah memasuki pemeriksaan saksi-saksi, tersangka dan saksi ahlinya. Saksi-saksi tersebut adalah Fatah operator boiler, King manajer pabrik, Ruruh Haryata Ka Sub Bid Penaatan Lingkungan sebagai petugas yang melakukan pengawasan dari BLH Provinsi DIY. Untuk tersangka yang diperiksa adalah Nggala Hartono sebagai pemilik sedangkan Saksi ahli dikirim dari Kementerian Lingkungan hidup yaitu Dr. Tejo Wulan ahli limbah B3 dan Ansor, ST ahli perundangan B3. Saksi Ahli dari Kementerian Lingkungan Hmbah hidup menyarankan untuk mendukung pembuktian di pengadilan maka limbah B3 yang ada harus dianalisis di laboratorium untuk membuktikan apakah memang limbah tersebut ada unsur B3 nya atau tidak.
4. Penimbunan Limbah B3 Fly Ash dan Bottom Ash sebagai Tanah Urug di pinggir jalan Dusun Temon, Pendowoharjo Sleman
Kasus ini bermula dengan adanya aduan dari Sdr Ginting yang bersebelahan dengan lokasi tempat yang diurug dengan fly ash dan bottom ash. Karena kebetulan Pak ginting dan istri mempunyai penyakit asma maka sangat sensitif dengan bau belerang dari sisa batu bara. Dari hasil verifikasi bersama dengan KLH sleman ditemukan beberapa fakta yaitu:
a. Tanah urug yang diduga berupa limbah padat B3 terletak di tanah kosong, pinggir jalan umum di desa Temon, Pendowoharjo, Sleman.
b. Secara fisik terlihat tanah tersebut bukan material pasir, tapi seperti pecahan arang dan masih terlihat potongan menyerupai batubara yang besar.
c. Menurut informasi Bpk. Ginting yang rumahnya berdekatan dengan lahan tempat penimbunan/ pengurugan limbah tersebut, bahwa pengurugan dilakukan pada waktu malam hari.
d. Menurut Informasi Bp. Muji sebagai pemilik lahan, sampai saat ini telah membeli sebanyak 3 truk @ Rp. 175.000,- dari jasa penjualan tanah urug yang berasal dari Semarang. Namun tidak diketahui bahwa tanah urug tersebut adalah limbah B3.
e. Untuk mengetahui apakah tanah urug tersebut mengandung limbah B3, telah dilakukan sampling terhadap tanah urug tersebut dan sumur milik Bapak Ginting.
Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa dalam tanah urug dari fly ash dan bottom ash batu bara banyak sekali unsur logam berat dan kandungan terbesarnya adalah silika.
Pada tanggal 18 Oktober diadakan rapat koordinasi penyelesaian kasus di KLH Sleman dengan mengundang kedua belah pihak (Pak Ginting sebagai pengadu dan Pak Muhjiono pemilik lahan) berserta instansi teknis terkait, Polsek, Kecamatan dan Desa.
Dalam forum itu dicapai kesepakatan sebagai berikut:
Pak Muhjiono sanggup untuk memindahkan limbah B3 batu bara itu dari mpat yang lokasi tempat penimbunan.
Supaya tidak menimbulkan pencemaran fly ash dan bottom ash tersebut harus dikarungi dan ditempatkan terlindung dari hujan dan cahaya matahari.
Upaya pemindahan itu harus sudah selesai dilaksanakan sebelum musim hujan tiba (maksimal 3 bulan sejak hari ini)
Aparat pemerintah desa bertanggung jawab ikut mengawasi proses pemindahan tersebut.
5. Pencemaran Bau dan Debu dari Kegiatan Mebel di Cupu Watu Kalasan Sleman
Kasus pencemaran debu dan bau ini berawal dari pengaduan Gunawan melalui website BLH Provinsi DIY, kemudian ditindaklanjuti dengan kunjungan lapangan pada tanggal 1 November 2011.
a. Kunjungan dilakukan pertama di rumah Ibu Gunawan selaku pelapor, dan hadir pula Kadus Cupuwatu. Posisi rumah Ibu Gunawan berada disebelah utara usaha mebel yang dilaporkan.
- Informasi dari Ibu Gunawan bahwa : aktivitas perusahaan mebel sangat mengganggu warga sekitar, yaitu bising dan bau cat yang menyengat terutama diatas jam 14.00 WIB.
- Warga telah minta diadakan pertemuan dengan pengurus desa dan pemilik usaha mebel, tapi tidak pernah terlaksana karena pemilik mebel tidak pernah datang dalam pertemuan tersebut.
- Informasi Kadus bahwa pemilik usaha mebel telah dipanggil ke kantor kelurahan, dan berjanji akan membuat cerobong dalam waktu 3 bulan setelah lebaran.
b. Selanjutnya dilakukan kunjungan ke usaha mebel tersebut.
- Usaha mebel tersebut tidak memiliki ijin usaha dan berskala kecil, lebih banyak menerima jasa pembuatan pintu/jendela dengan bahan bekas.
- Di Ruang pelapisan /penyemprotan melamin telah dipindah dari sisi utara ke selatan dan dilengkapi penyaring udara.
c. Dari data yang diperoleh tersebut, disarankan penyelesaian tersebut di tingkat kelurahan Cupuwatu, dan diminta ibu Gunawan untuk bersabar sampai waktu yang dijanjikan oleh pengusah mebel untuk membuat cerobong udaranya.
6. Pencurian Terumbu Karang di Pantai Sadranan Ngandong Gunungkidul.
Kasus ini bermula dari ditangkap dan dimintai keterangannya saudara Sadiman alias Doman yang tertangkap tangan oleh petugas Polsek membawa hasil curian berupa terumbu karang.
Kemudian kasus ini dilakukan penyidikan bekerja sama antara Dinas Perikanan dan Kelautan, BLH Provinsi DIY dan Polairut. Tahapan penanganan tindak lanjut sebagai berikut:
a. Pemanggilan dan pemeriksaan kepada Sadiman sebagai pelaku dan Rudi Gunawan orang yang membeli terumbu karang itu sekaligus Pemilik toko aqurium.
b. Pemanggilan saksi ahli dari BKSDA (Tessa Rossanda dan amsul Bahri Lubis). Mereka memberi kesaksian bahwa terumbu karang yang diambil jenis Acropora SP termasuk tumbuhan yang tidak dilindungi. Di kawasan pantai selatan Gunungkidul tidak termasuk kawasan yang ditetapkan sebagai konservasi pantai.
c. Kasus diambil alih ke Polda bekerjasama dengan BLH mendatangkan saksi ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup (Dr. Budi Hascaryo dan Ir Benny) yang kemudian melakukan penyelaman ke dalam pantai. Dari saksi ahli disimpulkan beberapa hal yaitu:
- Benar bahwa terumbu karang ada yang sebagian rusak, tetapi kerusakan itu tidak hanya karena pencurian tetapi bisa karena diinjak wisatawan atau karena ulah nelayan yang mencari ikan karena pantainya dangkal.
- Sulit untuk membuktikan bahwa telah terjadi kerusakan terumbu karang karena belum ada rona lingkungan awal untuk terumbu karang di kawasan selatan pantai Gunungkidul.
d. Kasus ini kemudian dikembalikan ke Polairut untuk diteruskan ke Kejaksaan dengan dasar penuntutan Pasal 35 UU 27 Tahun 2007 tentang Pesisir Pantai.
7. Penebangan Pohon Cemara Udang di Patehan, Gading Sari, Sanden Bantul
Informasi kasus ini berasal dari Dinas Perijinan Bantul yang telah menemukan terjadinya penebangan pohon cemara laut untuk perluasan budi daya tambak udang Vanamei.
Temuan ini berawal dari permohonan ijin paralel (HO,IMB, SIUP dll) ke Dinas Perijinan atas nama YB Pratomo, Vanamei Lestari, untuk kegiatan Budidaya Udang Vanamei di Patehan, Gadingsari, Sanden, Bantul.
Informasi tersebut ditindaklanjuti Tim Perijinan dan BLH Bantul dengan kunjungan lapangan untuk verifikasi dengan hasil:
a. Telah terjadi penebangan pohon cemara laut +/- 200 batang pohon di lokasi yang luasnya 500 m2
b. Penebangan dilakukan oleh masyarakat (kel tani) atas perintah YB Pratomo dan mendapat ganti rugi Rp 15.000.000,00 dan digunakan oleh kelompok tani untuk membangun jalan usaha tani di kampung Patehan untuk bisa akses ke obyek wisata Gua Cemara.
BLH Bantul berkoordinasi dengan BLH Provinsi untuk ikut menyelesaikan kasus ini. Hal tersebut karena kepemilikan tanah yang mau digunakan untuk tambak udang adalah milik Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi DIY sedangkan yang melakukan penanaman pohon cemara laut adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY yang kemudian diserahkan
ke Kelompok Tani. Sehingga pada hari Jumat tanggal 21 Oktober 2011 diadakan rapat di BLH Provinsi DIY dengan mengundang Instansi Teknis terkait Kabupaten bantul dan Provinsi DIY.
Kesimpulan :
a. Penyelesaian kasus ini sepakat diselesaikan di luar pengadilan
b. Pihak yang melakukan pemotongan pohon (perusakan lingkungan) harus membayar ganti rugi atas lingkungan yang rusak (karena fungsi pohon cemara tersebut sebagi wind barrier agar pertanian di belakang ini terlindung dan terbentuk iklim mikro yang kondusif).
c. Pihak yang melakukan pemotongan pohon tersebut harus menanam kembali /mengganti pohon yang ditebang dengan pohon yang sama dengan jaminan sampai hidup dengan tinggi tegakan n(1,5 – 2) m
d. Proses penyelesaian selanjutnya akan di laksanakan di Bantul dengan melibatkan instansi teknis terkait dan akan dilakukan penandatangan Berita Acara Kesepakatan antara Pihak Perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan dan Pemerintah yang mewakili atas nama/ kepentingan Lingkungan Hidup.
Di Kabupaten Bantul telah dilakukan beberapa kali pertemuan dan telah dibuat Berita Acara Kesepakatan/Kesanggupan dengan koordinatornya Polisi Pamong Praja yang Isinya para pihak sepakat untuk menyelesaikan kasus ini melalui jalur di luar pengadilan dan pihak yang melakukan penebangan sanggup untuk mengganti pohon yang ditebang dengan menanam kembali pohon sebanyak 1000 batang sampai hidup.