• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI. Laporan SLHD Prov DIY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DAFTAR ISI. Laporan SLHD Prov DIY"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Sambutan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ... ii

Daftar Isi ... iii

Daftar Gambar ... v

Daftar Tabel ... vii BAB I. PENDAHULUAN ... ...Bab I - 1

A. Kondisi Umum ...Bab I - 1 B. Permasalahan ...Bab I - 7 C. Isu Strategis Lingkungan Hidup Provinsi DIY...Bab I - 9

BAB II. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA...Bab II - 1 A. Lahan dan Hutan ...Bab II - 1 B. Keanekaragaman Hayati...Bab II - 4 C. Air ...Bab II - 7 D. Udara ...Bab II - 28 E. Laut, Pesisir dan Pantai ...Bab II - 36 F. Iklim ...Bab II - 43 G. Bencana Alam ...Bab II - 44

BAB III. TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN ...Bab III - 1 A. Kependudukan ...Bab III - 2 B. Permukiman ...Bab III - 9 C. Kesehatan ...Bab III - 18 D. Pertanian ...Bab III - 19 E. Industri ...Bab III - 29 F. Pertambangan ...Bab III - 30 G. Energi ...Bab III - 31 H. Transportasi ...Bab III - 32 I. Pariwisata ...Bab III - 34 J. Limbah B3 ...Bab III - 34

(2)

BAB IV. UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN ...Bab IV - 1 A. Rehabilitasi Lingkungan ...Bab IV - 1 B. Amdal ...Bab IV - 2 C. Penegakan Hukum ...Bab IV - 6 D. Peran Serta Masyarakat………... Bab IV - 14 E. Kelembagaan ………... Bab IV - 16

(3)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Grafik Status Mutu Air Sungai Winongo Tahun 2011 dengan

Metode Indeks Pencemaran ... Bab II-9 Gambar 2. Grafik Status Mutu Sungai Winongo Tahun 2011 pada Semua Titik

Pantau dengan Metode Storet ... Bab II-10 Gambar 3. Grafik Status Mutu Air Sungai Code Tahun 2011 dengan Metode

Indeks Pencemaran ... Bab II-11 Gambar 4. Grafik Status Mutu Sungai Code Tahun 2011 pada Semua Titik

Pantau dengan Metode Storet ... Bab II-13 Gambar 5. Grafik Status Mutu Air Sungai Gajahwong Tahun 2011

dengan Metode Indeks Pencemaran ... Bab II-14 Gambar 6. Grafik Status Mutu Air Sungai Gajahwong Tahun 2011 pada Semua

Titik Pantau dengan Metode Storet ... Bab II-15 Gambar 7. Grafik Status Mutu Air Sungai Bedog Tahun 2011dengan Metode

Indeks Pencemaran ... Bab II-17 Gambar 8. Grafik Status Mutu Air Sungai Bedog Tahun 2011 pada Semua Titik

Pantau dengan Metode Storet ... Bab II-18 Gambar 9. Grafik Status Mutu Air Sungai Tambakbayan Tahun 2011 dengan

Metode Indeks Pencemaran ... Bab II-20 Gambar 10. Grafik Status Mutu Sungai Tambakbayan Tahun 2011 pada Semua

Titik Pantau dengan Metode Storet ... Bab II-21 Gambar 11. Grafik Status Mutu Air Sungai Oyo Tahun 2011 dengan Metode

Indeks Pencemaran ... Bab II-22 Gambar 12. Grafik Status Mutu Air Sungai Oyo Tahun 2011 pada Semua Titik

Pantau dengan Metode Storet ... Bab II-23 Gambar 13. Pengambilan Sampel Air Telaga Ngurik, Waru, Girisekar, Panggang Bab II-27 Gambar 14. Grafik Konsentrasi Karbonmonoksida tahun 2010 – 2011 ... Bab II-29 Gambar 15. Grafik Konsentrasi Ozon (O3) tahun 2010 – 2011 ... Bab II-30 Gambar 16. Grafik Konsentrasi Timbal (Pb) tahun 2010 – 2011 ... Bab II-31 Gambar 17. Grafik Konsentrasi Hidrokarbon (HC) tahun 2010 – 2011 ... Bab II-32 Gambar 18. Grafik Konsentrasi NO2 tahun 2010 – 2011 ... Bab II-33 Gambar 19. Grafik Konsentrasi SO2 tahun 2010 – 2011 ... Bab II-35 Gambar 20. Karang Kelompok Gardineroseris di Pantai Gesing dan Ngrenehan Bab II-37 Gambar 21. Karang Kelompok Montiphora/ Karang hijau ... Bab II-37 Gambar 22. Lamun Jenis Syringodium sp. Makroalga bryopsis sp. di Perairan

Wediombo ... Bab II-38 Gambar 23. Enhalus acoraldes dan Thalasia sp. di perairan Kukup dan Drini ... Bab II-38 Gambar 24. Sargassum sp, di pantai Kukup dan Euchema sp, di Pantai Ngandon Bab II-39 Gambar 25. Bakau (Rhizophora spp) dan Api-api (Avcennia spp) di Kabupaten

Bantul dan Kulon Progo ... Bab II-39 Gambar 26. Grafik Persebaran Penduduk di Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun

2011 ... Bab III-1

(4)

Gambar 27. Grafik Beban Ketergantungan Penduduk Laki-Laki di DIY ... Bab III-3 Gambar 28. Grafik Beban Ketergantungan penduduk Perempuan di DIY ... Bab III-4 Gambar 29. Grafik Migrasi Selama Hidup di DIY menurut Kabupaten/Kota ... Bab III-5 Gambar 30. Grafik Penduduk Laki-Laki Berusia 5-24 Tahun Menurut Golongan

Umur dan Status Pendidikan ... Bab III-6 Gambar 31. Grafik Penduduk Perempuan Berusia 5-24 Tahun Menurut

Golongan Umur dan Status Pendidikan ... Bab III-7 Gambar 32. Grafik Proporsi Jumlah Penduduk Provinsi DIY Tahun 2010 ... Bab III-11 Gambar 33. Grafik Luas Lahan Sawah Menurut Frekuensi Penanaman Provinsi

DIY ... Bab III-21 Gambar 34. Produksi Tanaman Padi dan Palawija Menurut Jenis Tanaman

Provinsi DIY... Bab III-22 Gambar 35. Grafik Produksi Tanaman Ubi Kayu Menurut Kabupaten ... Bab III-23 Gambar 36. Produksi Tanaman Ubi Jalar dan Kacang Tanah menurut Kabupaten Bab III-24 Gambar 37. Penggunaan Pupuk Untuk Tanaman Pangan Menurut Jenis Pupuk

di Provinsi D.I. Yogyakarta ... Bab III-25 Gambar 38. Grafik Pemakaian Pupuk ... Bab III-26 Gambar 39. Perubahan Lahan Pertanian Menjadi Lahan Non Pertanian Provinsi

DIY ... Bab III-28 Gambar 40. Kawasan Industri Piyungan ... Bab IV-4 Gambar 41. Papan Nama dan Maket Jogja Inland Port ... Bab IV-5

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Status Mutu Air Sungai di Provinsi DIY dengan Metode Storet

Tahun 2011 ... Bab I - 3 Tabel 2. Kualitas Udara Ambien di Sekitar Ruas-Ruas Jalan Protokol

Provinsi DIY Tahun 2011... Bab I - 5 Tabel 3. Hasil Pengujian Parameter-Parameter Air Telaga ... Bab II -25 Tabel 4. Penduduk Laki-Laki Menurut Golongan Umur Provinsi DIY

Tahun 2011 ... Bab III - 3 Tabel 5. Penyediaan Rumah Formal di Provinsi DIY ... Bab III - 10 Tabel 6. Luas Wilayah untuk Fungsi Permukiman Provinsi DIY ... Bab III - 12 Tabel 7. Metode Pengklasifikasian Kawasan Kumuh Provinsi DIY ... Bab III - 15 Tabel 8. Jumlah Rumah di Provinsi DIY Menurut Jenis Bangunan ... Bab III - 17 Tabel 9. Pelayanan PSU Sanitasi, Persampahan, Air Bersih, Drainase ... Bab III - 18 Tabel 10. Data Perkembangan Industri Kabupaten/ Kota Tahun 2011 .... Bab III - 29

(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Kondisi Umum 1. Kondisi Geografi

DIY terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 7o3’- 8o12’ Lintang Selatan dan 110o00’-110o50’ Bujur Timur, dengan luas 3.185,80 km2. Wilayah administratif DIY terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten, 78 kecamatan dan 438 kelurahan/desa, yaitu:

a) Kota Yogyakarta (luas 32,50 km2, terdiri dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan);

b) Kabupaten Bantul (luas 506,85 km2, terdiri dari 17 kecamatan dan 75 desa);

c) Kabupaten Kulon Progo (luas 586,27 km2, terdiri dari 12 kecamatan dan 88 desa);

d) Kabupaten Gunungkidul (luas 1.485,36 km2, terdiri dari 18 kecamatan dan 144 desa);

e) Kabupaten Sleman (luas 574,82 km2, terdiri dari 17 kecamatan dan 86 desa).

Berdasarkan bentang alam, wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi sebagai berikut:

- Satuan fisiografi Gunungapi Merapi, yang terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung api termasuk juga bentang lahan vulkanik, meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan resapan air daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di Sleman bagian utara.

Gunung Merapi yang merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik khusus, mempunyai daya tarik sebagai obyek penelitian, pendidikan, dan pariwisata.

- Satuan Pegunungan Selatan atau Pegunungan Seribu, yang terletak di wilayah Gunungkidul, merupakan kawasan perbukitan batu gamping (limestone) dan bentang alam karst yang tandus dan kekurangan air permukaan, dengan bagian tengah merupakan cekungan Wonosari (Wonosari Basin) yang telah mengalami pengangkatan secara tektonik sehingga terbentuk menjadi Plato Wonosari (dataran tinggi Wonosari). Satuan ini merupakan bentang alam hasil proses solusional (pelarutan), dengan bahan induk batu gamping dan mempunyai karakteristik lapisan tanah dangkal dan vegetasi penutup sangat jarang.

(7)

- Satuan Pegunungan Menoreh Kulon Progo, yang terletak di Kulon Progo bagian utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan lereng curam dan potensi air tanah kecil.

- Satuan Dataran Rendah, merupakan bentang lahan fluvial (hasil proses pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di bagian selatan DIY, mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Satuan ini merupakan daerah yang subur. Termasuk dalam satuan ini adalah bentang lahan marin dan eolin yang belum didayagunakan, merupakan wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo sampai Bantul. Khusus bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis Bantul, yang terkenal dengan gumuk pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk kajian bentang alam pantai.

Kondisi fisiografi tersebut membawa pengaruh terhadap persebaran penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana wilayah, dan kegiatan sosial ekonomi penduduk, serta kemajuan pembangunan antar wilayah yang timpang. Daerah-daerah yang relatif datar, seperti wilayah dataran fluvial yang meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul (khususnya di wilayah Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta) adalah wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan memiliki kegiatan sosial ekonomi berintensitas tinggi, sehingga merupakan wilayah yang lebih maju dan berkembang, namun juga banyak terjadi pencemaran lingkungan.

2. Kondisi Lingkungan Hidup Provinsi DIY 2.1.Kondisi Kualitas Air

a. Kondisi Kualitas Air Sungai

Provinsi DIY memliki 11 sungai utama. Pemantauan kualitas air sungai diakukan sebanyak 3 kali dalam 1 tahun pada beberapa ruas sungai dari hulu sampai hilir.

Pada tahun 2011 pemantauan kualitas air sungai mengukur parameter fisik (suhu, TDS, TSS, dan DHL) , Parameter kimia (pH, Oksigen terlarut (DO), BOD, COD, Klorin bebas, Sulfida (H2S), Fluorida, Fosfat (PO4), Nitrat (NO3-N), Nitrit, Kadmium (Cd), Krom (Cr+6), Timbal (Pb), Tembaga (Cu), Boron, Sianida (CN), Minyak dan Lemak, Seng (Zn), Fenol, dan Deterjen), serta parameter biologi (Bakteri Koli Tinja (Fecal Coli) dan Total Coli). Sedangkan analisis hasil pemantauan kulaitas air untuk menentukan status mutu air sungai digunakan metode storet. Dari hasil analisis storet tersebut secara umum sungai di Provinsi DIY mulai pada bagian hulu sampai

(8)

bagian hilir sudah masuk kategori cemar berat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :

Tabel 1 :

Status Mutu Air Sungai di Provinsi DIY dengan Metode Storet Tahun 2011

NO Nama Sungai Nilai Baku

Storet Nilai Eksisting

Kualitas Air Sungai Keterangan

1 Winongo ≤ -31 -95 hingga -111 Cemar Berat

2 Code ≤ -31 -88 hingga -112 Cemar Berat

3 Gajahwong ≤ -31 -68 hingga -105 Cemar Berat

4 Sungai Bedog ≤ -31 -101 hingga -127 Cemar Berat

5 Tambakbayan ≤ -31 -79 hingga -89 Cemar Berat

6 Oyo ≤ -31 -81 hingga -115 Cemar Berat

b. Kondisi Pantai dan Air Laut

Luas tutupan karang yang ada di pantai selatan DIY, tersebar dari Pantai Sadeng sampai dengan Congot pada lokasi 2 – 4 mil dari pantai pada kedalaman 15 – 25 m. Beberapa jenis karang yang sering dijumpai antara lain karang jahe ( Coral submassive atau Acropora submassive), karang bundar (Coral encrusting), karang putih atau karang yang sudah mati (bleaching), karang otak (brain coral atau Coral massive), karang gondong (karang seperti daun atau Coral foliose), karang biru (Acropora). Sebaran karang di lepas pantai biasanya terjadi secara spot-spot dan lebih mengarah berbentuk gosong karang. Gosong karang adalah tempat berbagai makhluk hidup bersama-sama, terbentuk dari kerangka batu kapur, karang laut yang sudah mati yang tercampur akibat aktivitas ganggang penyusun karang.

Luas tutupan karang di pantai selatan Kabupaten Gunungkidul diperkirakan seluas 5.100 Ha. Hal tersebut didasarkan bahwa tutupan karang terjadi mulai dari tepi pantai sampai 400 m dari pantai, dengan rata-rata lebar tutupan 200 m. Dari panjang pantai Kabupaten Gunungkidul 71 km tidak semua tertutupi karang dan diperkirakan hanya sebesar 50 % terjadi penutupan karang. Sedangkan untuk pantai di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo ditemukan spot-spot pertumbuhan karang yang lebih mengarah bentuk gosong karang dan terjadi di sepanjang pantai pada jarak 2 – 5 mil dari pantai pada perairan yang tidak terlalu dalam.

(9)

Kualitas air laut dari hasil pengukuran parameter fisika, kimia, biologi dan logam terlarut di Pantai Baron, Pantai Depok, Pantai Pandansimo, Pantai Glagah pada tahun 2011, menunjukkan bahwa secara fisik, suhu air laut masih sesuai peruntukannya bagi wisata bahari, yaitu antara 25oC – 29oC. Kondisi ini tergolong nyaman, bagi biota perairan maupun manusia.

Secara kimia, derajat keasaman (pH) air laut antara 7,8 – 8,7, rata-rata masih berada di bawah ambang batas, hanya ada satu pengukuran di Pantai Depok dengan pH 8,7 pada periode bulan Maret 2011. Nilai pH air laut normal menurut baku mutu berkisar antara 7 – 8,5 (+ < 0,2), sementara pH yang mempunyai tingkat keasaman tinggi atau basa tinggi menunjukkan bahwa air laut mengalami polusi.

Tingginya nilai pH di pantai Depok kemungkinan disebabkan oleh aktivitas manusia yang membuang limbah organiknya di laut sehingga menyebabkan blooming fitoplankton, akibatnya pada siang hari pH menjadi tinggi. Selain itu, tingginya fosfat yang berasal dari limbah rumah makan yang sangat banyak di Pantai Depok , yaitu air cucian yang mengandung detergen. Salinitas yang telah diukur menunjukkan bahwa air laut di DIY berada dalam batas normal, yaitu antara 0,62% - 3,13%. Kadar salinitas lebih tinggi pada bulan Juni dari pada bulan Maret yang berbanding lurus dengan berkurangnya curah hujan

c. Kondisi Kualitas Air Tanah

Hasil pemeriksaan kualitas air sumur pada tahun 2011 yang dilakukan di beberapa lokasi permukiman penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman. Parameter fisika yang diuji adalah bau dan kekeruhan. Parameter kimia yang diuji meliputi kandungan besi, fluorida, kesadahan, klorida, chrom heksavalent, mangan, nitrat, nitrit, pH, deterjen dan permanganat. Parameter biologi yang diuji adalah bakteri koli tinja dan bakteri total koli. Secara keseluruhan ada 15 parameter yang diuji. Hasil analisis laboratorium menunjukkan ada lima parameter yang melebihi baku mutu dan satu parameter yang di bawah baku mutu. Parameter yang melebihi baku mutu adalah mangan, permanganat, nitrat, bakteri koli tinja dan bakteri total koli. Sedangkan parameter yang di bawah baku mutu adalah parameter pH.

Parameter bakteri koli tinja dan bakteri total koli yang melebihi baku mutu ditemukan di sebagian besar sampel. Terdeteksinya bakteri total koli mengindikasikan bahwa air tersebut telah tercemar oleh kotoran manusia atau

(10)

hewan. Sedangkan adanya bakteri koli tinja merupakan indikator yang lebih spesifik yaitu mengindikasikan adanya kontaminasi kotoran manusia. Sebagian besar sumur yang diteliti telah tercemar oleh bakteri koli sehingga tidak memenuhi persyaratan biologis untuk air bersih.

2.2. Kondisi Kualitas Udara Ambien

Penyumbang polutan udara terbesar di Provinsi DIY sekitar 80 persen berasal dari sumber begerak (sektor transportasi). Mendasarkan hasil pemantauan kualitas udara ambient dengan metode pasif di ruas-ruas jalan protokol yang notabene mempunyai kadar polutan udara lebih tinggi dari pada di wilayah permukiman, komplek pertokoan dan pedesaan, secara umum untuk parameter kunci pencemaran udara ambient seperti karbonmonoksida ( CO), Hidrokarbon (HC), Timah Hitam (Pb), Oksida Nitrogen (NOX) dan Sulfur dioksida (SO2) menunjukan konsentrasi zat pencemar udara tersebut masih di bawah baku mutu yang ditetapkan (kualitas udara ambient baik). Namun demikian sektor transportasi perlu tetap diwaspadai karena merupakan ancaman potensial pencemaran kualitas udara di DIY. Hasil Pemantauan Kualitas Udara ambient dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 :

Kualitas Udara Ambien di Sekitar Ruas-Ruas Jalan Protokol Provinsi DIY Tahun 2011

No Parameter Pencemar

Udara Baku

Mutu Satuan Eksisting

Konsentrasi Keterangan 1 Karbon Monoksida ( CO), 30.000 μg/m 3.000 - 12.500 Baik

2 Timah Hitam (Pb) 2,00 µg/m3 0,55 - 1,40 Baik

3 Oksida Nitrogen (NOX) 400 μg/m3 12,98 - 252,05 Baik 4 Sulfur dioksida (SO2) 900 μg/m3 2,36 - 402,65 Baik

5 Hidro karbon (HC), 160 µg/m3 3,33 - 163,3 Baik

2.2. Kondisi Hutan dan Lahan

Luas hutan negara di Provinsi seluas 18.712,867 Ha atau 5,87 % dari luas Provinsi DIY. Hutan tersebut tersebar di 4 (empat) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Sleman, Bantul, dan Kulonprogo. Dalam pengelolaannya, hutan di Provinsi DIY dibagi menjadi 5 Bagian Daerah Hutan (BDH) yaitu: BDH

(11)

Karangmojo, BDH Playen, BDH Panggang, BDH Paliyan, dan BDH Kulonprogo- Bantul.

Luas hutan produksi di Provinsi DIY seluas 13.411,70 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.: 171/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi DIY seluas 16.819,52 Ha.

Luas hutan lindung di Provinsi DIY seluas 2.312,800 Ha, sedangkan Taman Nasional seluas 1.743,250 Ha dan Taman Hutan Raya seluas 617.000 Ha. Luas cagar alam di provinsi DIY berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No: 526/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juli 1982 tentang penunjukan areal batu Gamping eosin seluas 1,117 Ha yang terletak di Desa Gamping, Sleman sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai Cagar Alam (seluas 0,015 Ha) dan sebagai Taman Wisata Alam (seluas 1,102 Ha). Sedangkan Cagar Alam Imogiri seluas 11,400 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.: 171/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi DIY seluas 16.819,52 Ha. Luas Suaka Margasatwa 615,600 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 171/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi DIY seluas 16.819,52 Ha. Luas Taman Nasional di provinsi DIY adalah seluas 1.743,250 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 234/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas + 6.410 Ha yang terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman Provinsi DIY menjadi Taman Nasional Gunung Merapi. Perhitungan luas kelompok hutan cikal bakal TNGM yang berada di wilayah DIY adalah CA dan TWA Turgo (282,25 Ha) dan hutan lindung (1.461 Ha).

Luas lahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 318,580 Ha; 18,40%

berupa lahan sawah dan 60% berupa lahan kering/marjinal. Dari luasan 318,580 Ha tersebut rata-rata mengalami penyempitan sebesar 0,42% per tahun. Jika penurunan/penyempitan lahan ini juga diikuti dengan penurunan tingkat lahan (akibat degradasi), maka Provinsi DIY akan mengalami kesulitan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun papan untuk tempat tinggal. Kekhawatiran ini bukanlah hal yang tidak beralasan, dari hasil monitoring kerusakan lahan akibat produksi biomassa terlihat adanya indikasi kerusakan lahan akibat penggunaan pupuk kimia yang intensif. Kerusakan tanah ini terutama pada sifat berkurangnya

(12)

permeabilitas tanah, meningkatnya berat volume (BV) dan meningkatnya Daya Hantar Listrik (DHL) pada beberapa sampel tanah.

2.3. Kondisi Partisipasi Masyarakat

Adanya peningkatan peranserta masyarakat dalam penanganan lingkungan yaitu munculnya kelompok-kelompok warga masyarakat baik di perkotaan maupun perdesaan yang peduli dalam hal penanganan sampah rumah tangga, pembuatan sumur resapan/biopori, penghijauan dan konservasi sumberdaya alam, meskipun jumlahnya masih terbatas.

2.4. Kondisi Pentaatan/Penegakan Hukum Lingkungan

Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan muncul setiap saat. Hal ini sebagai dampak dari kegiatan/ aktitifitas manusia termasuk di dalamnya kegiatan industri, pelayanan kesehatan dan jasa pariwisata serta kegiatan lainnya merupakan sumber pencemar yang perlu dikendalikan sejak awal, karena tanpa ada langkah- langkah pencegahan akan menimbulkan masalah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Di sisi lain masyarakat sangat sensitif terhadap berbagai permasalahan hukum dan berkecenderungan berbuat menurut caranya sendiri dengan mengerahkan masa mendatangi kegiatan usaha yang mereka anggap sebagai penyebab pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.

Bertolak dari itu dirasakan betapa pentingnya peran pemerintah yang berfungsi sebagai fasilitator, mediator untuk menjadi penengah dalam menyelesaikan berbagai kasus permasalahan pencemaran dan kerusakan LH. Untuk itu Pemerintah Propinsi DIY dalam hal ini Gubernur DIY bersama Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa dan Kepolisian Daerah Provinsi DIY dan Kejaksaan Tinggi Provinsi DIY melakukan koordinasi penyelesaian kasus lingkungan hidup melalui suatu wadah yaitu Tim Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu.

B. Permasalahan

Dalam rangka mewujudkan tercapainya visi pengelolaan lingkungan hidup yaitu

”lestarinya daya dukung lingkungan hidup” di Provinsi DIY beberapa permasalahan penting yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut :

1. Letusan Gunung Merapi yang terjadi pada akhir tahun 2010 telah menyebabkan perubahan kualitas air sungai seperti Sungai Code, Gadjahwong dan Sungai Winongo, musnahnya lebih dari 70 persen berbagai jenis keanekaragman hayati, serta perubahan bentang lahan terutama di daerah Kabupaten Sleman. Rekayasa Pemulihan kondisi lingkungan seperti

(13)

semula akan memerlukan waktu yang cukup panjang serta membutuhkan dana yang besar cukup besar. Sementara wilayah Kabupaten Sleman terutama di kawasan lereng Gunung Merapi merupakan daerah resapan air bagi wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul 2. Bagi sebagian besar para pelaku usaha, masyarakat dan para pengambil kebijakan masih

beranggapan bahwa melakukan proses produksi atau kegiatan yang ramah lingkungan memerlukan biaya yang mahal dan memperbesar biaya produksi dan memperkecil keuntungan serta menghambat investasi. Pemahaman yang seperti ini merupakn tantangan dalam upaya pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan, terutama pengendalian pencemaran air sungai dan air tanah.

3. Masih terbatasnya kelompok masyarakat yang peduli terhadap lingkungan serta terbatasnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya menjaga kualitas lingkungan untuk menjaga kualitas hidup manusia. Kondisi ini menyebabkan replikasi percontohan/demplot tentang pengelolaan lingkungan belum berkembang secara cepat seperti yang diharapkan.

4. Pencemaran udara terutama terjadi di wilayah perkotaan yang ditunjukkan meningkatnya polutan udara seperti CO, NO2, HC dan partikulat sebagai akibat meningkatnya usaha/kegiatan masyarakat selain juga bertambahnya jumlah kendaraan bermotor .Terus meningkatnya jumlah kendaraan bermotor serta kondisi emisi gas buang dari kendaraan angkutan umum di Provinsi DIY terutama di Kota Yogyakarta menjadi penyebab memburuknya kualitas udara pada ruas-ruas jalan terutama pada saat padat kendaraan di lokasi simpang, titik-titik kemacetan dan pusat-pusat aktifitas penduduk, disamping keterbatasan luas Ruang Terbuka Hijau /jalur hijau menyebkan kodisi kualitas udara terutama di lokasi jalan raya masih belum memenuhi baku mutu untuk parameter- parameter tertentu .

5. Permasalahan lingkungan di daerah perkotaan adalah pengelolaan sampah yang belum sepenuhnya dapat menerapakan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle), meningkatnya pembuangan limbah cair domestik dan home industry ke aliran sungai dengan tanpa melalui pengelolaan terlebih dahulu, penyerobotan daerah sempadan sungai untuk permukiman, serta keterbatasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Kondisi ini menyebabkan tidak saja mengurangi estetika lingkungan tetapi telah mengancam pada pencemaran lingkungan.

(14)

C. Isu Strategis Lingkungan Hidup Provinsi DIY

Berdasarkan inventarisasi permasalahan-permasalahan lingkungan hidup yang ada di Provinsi DIY beberapa isu lingkungan hidup yang diprioritaskan adalah : Tanah longsor, Kerusakan kawasan pantai akibat abrasi, pencemaran udara, permasalahan sampah, pencemaran air tanah dan kerusakan lahan akibat penambangan galian golongan C

1. Tanah Longsor

Tanah longsor terutama terjadi pada saat musin hujan terutama terjadi di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul. Titik rawan dengan kondisi tanah curam di Kabupaten Kulon Progo berada pada daerah Perbukitan Menoreh, di Kecamatan Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, Kokap, Nanggulan dan Pengasih. Disamping itu Gunung Kelir yang terletak di Desa Jatimulyo Kecamatan Girimulyo, pada ketinggian 600 – 800 dpl. Bentuk lahan daerah ini merupakan perbukitan denudasional dengan kemiringan lereng sebagian wilayah lebih dari 45o, dengan penggunaan lahan terdiri dari permukiman dan kebun campur. Sedangkan di Kabupaten Bantul terutama di daerah perbukitan baik yang berada di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul maupun bagian Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo. Wilayah-wilayah tersebut meliputi kecamatan Piyungan, Dlingo, Imogiri, Pleret, Pajangan dan Sedayu. Mengingat struktur tanahnya yang labil berupa tanah liat yang sukar menyerap air, curah hujan tinggi, kurangnya penghijauan menyebabkan wilayah-wilayah tersebut setiap tahun mengalami longsor lahan yang mengakibatkan rusaknya bangunan sarana dan prasarana lainnya

2. Kerusakan kawasan pantai akibat Abrasi

Kawasan pantai selatan yang berada di Kabupaten Bantul tertutama di Kecamatan yaitu Kecamatan Srandakan, Sanden, dan Kretek dengan garis pantai kurang lebih 12 Km. Rusaknya ekosistem pantai dikhawatirkan mendorong terjadinya abrasi pantai. Dari ketiga kawasan pantai tersebut saat ini telah mengalami abrasi walaupun tingkat kerusakannya berbeda- beda. Pantai Parangtritis tingkat abrasinya lebih kecil dibandingkan dengan pantai Samas, Pandansimo dan Kuwaru. Hal ini disebabkan adanya gumuk pasir yang lebih banyak dibandingkan dengan pantai lainnya sehingga dapat menghalangi terjadinya gelombang pasang. Abrasi terbesar tahun 2011 terjadi di pantai Kuwaru, Srandakan yang mengikis habis bangunan pelestari penyu, mercu suar dan hanyutnya cemara udang.

3. Pencemaran Udara

Pencemaran udara terutama di wilayah perkotaan yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kadar polutan udara untuk parameter CO, NO2, HC dan partikulat sebagai akibat meningkatnya usaha/kegiatan masyarakat dan juga bertambahnya pesatnya jumlah

(15)

kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua, serta akibat kondisi emisi gas buang dari kendaraan angkutan umum terutama yang masih belum memenuhi baku mutu emisi gas buang menjadi penyebab memburuknya kualitas udara pada ruas-ruas jalan terutama di lokasi padat lalu-lintas, meskipun sampai saat ini kualitas udara ambien di Provinsi DIY relatif masih jauh di bawah baku mutu udara ambien yang ditetapkan.

4. Permasalahan Sampah

Meningkatnya jumlah penduduk diiringi oleh meningkatnya kebutuhan keluarga dan perkembangan teknologi, menyebabkan peningkatan produk-produk yang menghasilkan sampah anorganik lebih banyak dari sampah organik. Dari tahun ke tahun volume sampah selalu mengalami peningkatan baik jumlah maupun jenisnya, terutama di daerah perkotaan, Disisi lain kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah sejak dari sumbernya mash reletif rendah. Umumnya mereka masih mengelola sampah dengan paradigma lama yaitu kumpul, angkut dan buang dan belum menerapkan konsep 3 R dengan sepenuh hati.

5. Pencemaran Air Tanah

Meningkatnya kegiatan Usaha Kecil dan Menengah seperti usaha loundry semakin marak, disamping usaha skala rumah tangga, peternakan, pelayanan jasa kesehatan umumnya belum dilengkapi dengan fasilitas pengolah limbah. Disamping itu sumber pencemaran air berasal dari limbah rumah tangga dan industri juga bnayk yang membuang limbahnya langsung ke sungai tanpa diolah lebih dulu. Kualitas air tanah dan air permukaan mengalami penurunan, terutama di wilayah perkotaan dan diperkirakan terus mengalami ancaman pencemaran seiring terus bertambahnya jumlah penduduk serta berkembangnya usaha/kegiatanmasyarakat. Terlebih lagi masih kurangnya pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan dari berbagai pihak.

6. Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Galian Golongan C

Kerusakan lahan akibat penambangan galian golongan C terjadi baik di wilayah pesisir seperti di pantai selatan Kabupaten Kulon Progo yang mempunyai potensi pasir besi meliputi Kecamatan Galur, Panjatan, Wates dan Temon yang terdiri atas 10 desa wilayah pesisir yaitu Desa Kranggan, Banaran, Karangsewu, Bugel, Pleret, Karangwuni, Glagah, Palihan, Sindutan dan Jangkar. Di pantai wilayah Kabupaten Gunung Kidul terjadi penambangan pasir putih pada sempadan pantai. Penambangan galian golongan C juga terjadi pada Kawasan perbukitan karst di Kabupaten Gunung Kidul. Sedangkan di kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman marak terjadi penambangn pasir pada wilayah terlarang dan tidak melakukan upaya reklamasi pasca penambangan.

(16)

BAB II

KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

A. Lahan dan Hutan

Tanah dan air merupakan sumber daya yang paling fundamental yang diperlukan oleh manusia. Tanah merupakan media utama bagi manusia untuk mendapatkan bahan pangan, sandang, papan, tambang, dan tempat dilaksanakannya aktivitas. Tanah dapat dipandang sebagai campuran antara partikel mineral dan organik dengan berbagai ukuran dan komposisi. Partikel-partikel tersebut menempati kurang lebih 50% volume, sedangkan sisanya berupa pori-pori, diisi oleh air dan udara. Salah satu fungsi tanah yang penting adalah sebagai media tumbuhnya tanaman.

Luas lahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 318,580 Ha; 18,40% berupa lahan sawah dan 60% berupa lahan kering/marjinal. Dari luasan 318,580 Ha tersebut rata-rata mengalami penyempitan sebesar 0,42% per tahun. Jika penurunan/penyempitan lahan ini juga diikuti dengan penurunan tingkat lahan (akibat degradasi), maka Provinsi DIY akan mengalami kesulitan besar dalam memenuhi kebutuhan pangan maupun papan untuk tempat tinggal. Kekhawatiran ini bukanlah hal yang tidak beralasan, dari hasil monitoring kerusakan lahan akibat produksi biomassa terlihat adanya indikasi kerusakan lahan akibat penggunaan pupuk kimia yang intensif. Kerusakan tanah ini terutama pada sifat berkurangnya permeabilitas tanah, meningkatnya berat volume (BV) dan meningkatnya Daya Hantar Listrik (DHL) pada beberapa sampel tanah.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengambil kebijakan untuk mencegah dan mengendalikan kerusakan lahan maupun alih fungsi lahan secara dini. Diantaranya telah menghimbau kepada para Bupati/walikota di Provinsi DIY mengajak masyarakat petani agar kembali kepada usaha pertanian yang ramah lingkungan dengan penggunaan pupuk berimbang, yaitu penggunaan pupuk organik dengan penambahan pupuk kimia secukupnya. Melalui Dinas Pertanian Provinsi telah diprogramkan fasilitasi lahan abadi seluas 2.000 Ha per tahun.

Dengan program tersebut diharapkan produktivitas lahan pertanian di Provinsi DIY akan meningkat sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat DIY khususnya dan masyarakat luar DIY pada umumnya, sehingga kekhawatiran akan kesulitan pangan dan papan akan dapat diminimalisir.

(17)

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Luas hutan negara di Provinsi seluas 18.712,867 Ha atau 5,87 % dari luas Provinsi DIY. Hutan tersebut tersebar di 4 (empat) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Sleman, Bantul, dan Kulonprogo. Dalam pengelolaannya, hutan di Provinsi DIY dibagi menjadi 5 Bagian Daerah Hutan (BDH) yaitu: BDH Karangmojo, BDH Playen, BDH Panggang, BDH Paliyan, dan BDH Kulonprogo-Bantul.

Luas hutan produksi di Provinsi DIY seluas 13.411,70 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.: 171/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi DIY seluas 16.819,52 Ha. Luas hutan lindung di Provinsi DIY seluas 2.312,800 Ha, sedangkan Taman Nasional seluas 1.743,250 Ha dan Taman Hutan Raya seluas 617.000 Ha. Luas cagar alam di provinsi DIY berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No: 526/Kpts/Um/7/1982 tanggal 21 Juli 1982 tentang penunjukan areal batu Gamping eosin seluas 1,117 Ha yang terletak di Desa Gamping, Sleman sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai Cagar Alam (seluas 0,015 Ha) dan sebagai Taman Wisata Alam (seluas 1,102 Ha). Sedangkan Cagar Alam Imogiri seluas 11,400 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.: 171/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi DIY seluas 16.819,52 Ha. Luas Suaka Margasatwa 615,600 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 171/Kpts-II/2000 tanggal 29 Juni 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi DIY seluas 16.819,52 Ha. Luas Taman Nasional di provinsi DIY adalah seluas 1.743,250 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 234/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merapi seluas + 6.410 Ha yang terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman Provinsi DIY menjadi Taman Nasional Gunung Merapi. Perhitungan luas kelompok hutan cikal bakal TNGM yang berada di wilayah DIY adalah CA dan TWA Turgo (282,25 Ha) dan hutan lindung (1.461 Ha).

Hutan di Provinsi DIY tumbuh pada berbagai macam jenis tanah, mulai dari tanah yang mempunyai solum sangat tipis dan tidak subur seperti Mediteran/Renzina sampai dengan tanah yang mempunyai solum tebal dan subur seperti aluvial/kambisol/grumusol.

Secara geologis wilayah Provinsi DIY memiliki beberapa satuan batuan. Satuan batuan ini sangat menentukan terhadap ketersediaan air baku terutama air tanah, karena

(18)

keberadaan air tanah maupun air permukaan ditentukan oleh sifat batuan, antara lain porositas, permeabilitas, arah perlapisan batuan, komposisi mineral, stratigrafi, dan topografi. Dalam kaitannya dengan potensi air pada umumnya sifat batuan sangat mendukung adanya air, baik air permukaan maupun air tanah. Hujan yang cukup tinggi terutama pada arah datangnya hujan akan merupakan pasokan untuk air permukaan dan air tanah sedangkan lereng yang terletak pada bayangan hujan akan mendapat hujan dengan jumlah sedikit, sehingga potensi airnya kecil.

Hutan yang ada di Provinsi DIY tersebar pada berbagai formasi batuan yang ada.

Hutan yang berada dalam pengelolaan BDH Kulonprogo-Bantul merupakan hutan yang berada pada formasi batuan yang paling beragam.

Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya (fungsi produksi dan pengatur tata air). Menurunnya fungsi tersebut akibat dari penggunaan lahan yang kurang atau tidak memperhatikan Tehnik Konservasi tanah sehingga menimbulkan erosi, tanah longsor dan berpengaruh terhadap kesuburan tanah, tata air, dan lingkungan. Luas lahan kritis pada kawasan hutan negara di Provinsi DIY seluas 4.056,3 Ha. Keluasan tersebut terletak pada kawasan hutan produksi, dan kawasan hutan lindung dengan tingkat kekritisan agak kritis, kritis, potensi kritis, dan sangat kritis.

Sedangkan lahan kritis di luar kawasan hutan negara seluas 20.3770,23 Ha yang tersebar di 5 kabupaten/kota.

Kerusakan hutan di Provinsi DIY adalah masalah gangguan keamanan hutan yang secara garis besar disebabkan oleh tekanan ekonomi masyarakat sekitar hutan yang menjadikan tingkat kerawanan hutan di provinsi DIY cukup tinggi baik dalam pencurian, perambahan, dan pelanggaran lainnya. Gangguan keamanan hutan yang terjadi disebabkan oleh adanya pencurian kayu, kebakaran hutan, dan bencana alam. Adanya pencurian kayu baik pencurian kayu jati maupun kayu rimba menyebabkan kerugian sebanyak 305 batang setara dengan Rp.40.783.000,-. Sedangkan bencana alam menyebabkan kerugian sebanyak 23 batang pohon setara dengan Rp. 4.464.000,-. Kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh kelalaian masyarakat yang membuat perapian (membakar seresah) di dekat kawasan hutan. Kebakaran hutan pada tahun 2011 menyebabkan kerugian hutan seluas 81 Ha setara dengan Rp. 15.562.500,-.

Selain pendekatan kepada masyarakat secara kontinyu untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya fungsi hutan melalui penyuluhan juga dilaksanakan operasi keamanan hutan baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan untuk peredaran hasil hutan (terutama kayu). Kegiatan penghijauan di provinsi DIY dilaksanakan Dinas Kehutanan

(19)

dan Perkebunan Provinsi DIY bersama dengan BPDAS Serayu Opak Progo dan Instansi yang membidangi kehutanan di kabupaten/kota. Pelaksanaan penghijauan dengan penanaman serentak, pengkayaan tanaman di kawasan hutan. Kegiatan penghijauan di Kota Yogyakarta dilaksanakan pada sekolah-sekolah.

B. Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati atau disingkat KEHATI adalah keanekaragaman bentuk kehidupan di muka bumi, interaksi diantara berbagai makhluk hidup, serta antara mereka dengan lingkungannya termasuk di dalamnya keberagaman sistem pengetahuan dan kebudayaan masyarakat. Keanekaragaman hayati mempunyai 3 (tiga) tingkatan, yaitu keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman spesies (jenis) dan keanekaragaman genetis.

Ketiga tingkatan keanekaragaman hayati saling terkait, sehingga kawasan yang mempunyai keanekaan ekosistem tinggi biasanya juga mempunyai keanekaragaman spesies tinggi dan variasi genetis yang tinggi pula.

Keanekaragaman hayati di Propinsi DIY yang dalam hal ini adalah keanekaragaman jenis satwa liar cukup tinggi walaupun populasinya tidak begitu besar karena di wilayah ini mempunyai keanekaragaman ekosistem yang bervariasi (ekosistem gunung api, ekosistem dataran tinggi, ekosistem dataran rendah, ekosistem karst, ekosistem pantai berbatu, ekosistem pantai berpasir dan ekosistem perairan tawar). Satwa liar yang mempunyai banyak variasi dan banyak dijumpai di Provinsi DIY adalah jenis burung atau aves.

Seperti diketahui kelas Aves adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan lingkungan dan cukup stabil di ekosistemnya kecuali ada predator. Jenis-jenis elang, alap- alap mendominasi dalam kawasan ini. Tingginya populasi burung dapat menjadi indikator kelestarian habitat dalam kawasan tersebut dengan kata lain burung adalah bio indicator baik buruknya suatu habitat, semakin baik habitatnya keanekaragaman jenis dan populasinya akan semakin besar.

Selain bervariasinya keanekaragaman jenis satwa liar di alam/di habitatnya/di luar kawasan hutan, keanekaragaman jenis satwa liar juga dapat dijumpai di luar kawasan hutan.

Seperti diketahui upaya konservasi keanekaragaman hayati dalam hal ini adalah satwa liar dilakukan tidak hanya di dalam kawasan (in-situ) tetapi juga di luar kawasan (ex-situ).

Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, pengetahuan masyarakat tentang satwa liar serta kebiasaan masyarakat Jawa untuk memelihara satwa liar sebagai “klangenan”

menyebabkan tingkat keberhasilan konservasi satwa liar cukup tinggi, baik in-situ maupun ex-situ.

(20)

Mengingat kawasan hutan di Provinsi DIY sebagai habitat satwa liar kurang memadai, maka pengembangan konservasi satwa liar lebih di arahkan ke arah ex-situ, antara lain dengan kegiatan penangkaran satwa liar, pelestarian satwa liar tertentu dan pengembangan lembaga konservasi. Penangkar satwa liar di Provinsi DIY pada tahun 2011 semakin bertambah karena ada manfaat ekonomi yang mereka peroleh ketika mereka menangkarkan Jalak Bali (Leucopsar rothschildii) misalnya. Selain itu, sifat masyarakat Jawa yang menyukai dan menyayangi satwa liar sebagai hobi menyebabkan meningkatnya kegiatan penangkaran satwa liar jenis Rusa Jawa (Russa timorensis) dan Rusa Totol (Axis axis).

Pada tahun 2011 perubahan jumlah jenis satwa liar dilindungi yang ditemukan di kawasan hutan Provinsi DIY tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, karena tidak ada perubahan fungsi kawasan hutan yang menyebabkan degradasi hutan sebagai habitat satwa liar. Perilaku masyarakat yang bijak (local wisdom) dan implementasi regulasi konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati yang cukup ketat menyebabkan kondisi kawasan hutan di Provinsi DIY relatif stabil.

Perubahan jumlah jenis satwa liar di luar kawasan hutan pada tahun 2011 ini menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Bertambahnya jumlah jenis dan populasi satwa liar yang ada di penangkaran dan lembaga konservasi sebagai contohnya. Penangkaran satwa liar dilindungi di Provinsi DIY adalah jenis Rusa Jawa (Russa timorensis) dan Jalak Bali (Leucopsar rothschildii), setiap tahun masyarakat yang melakukan kegiatan penangkaran ini semakin bertambah dan hasilnya juga cukup menggembirakan bahkan ada yang telah berhasil memanfaatkan.

Pada tahun ini Provinsi DIY mempunyai satu lembaga konservasi lagi, selain Kebun Raya dan Kebun Binatang (KRKB) Gembiraloka juga terdapat Taman Satwa Yogyakarta yang dikelola oleh Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta (YKAY). Kedua lembaga konservasi ini mempunyai komitmen yang kuat dalam pelestarian satwa liar dilindungi. KRKB Gembiraloka telah menambah beberapa koleksi satwa liar dilindungi sebagai salah satu upaya memberikan pendidikan lingkungan kepada masyarakat terutama untuk jenis Reptil.

Sedangkan YKAY merupakan lembaga konservasi yang mengelola eks-PPSJ dimana didalamnya banyak merehabilitasi satwa liar dilindungi untuk selanjutnya dilepaskan ke habitatnya (release).

Balai KSDA Yogyakarta sebagai institusi pemerintah yang mempunyai kewenangan dalam konservasi satwa liar dilindungi pada tahun 2011 telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan pengawasan terhadap peredaran satwa liar dilindungi di Provinsi DIY.

(21)

Dalam rangka penegakan hukum, Balai KSDA Yogyakarta telah melakukan operasi pengamanan perdagangan satwa ilegal, di mana pelakunya telah mendapatkan sanksi hukum dan satwa liar sebagai barang bukti disita oleh Balai KSDA Yogyakarta yang selanjutnya apabila sudah mempunyai ketetapan hukum akan disalurkan ke lembaga konservasi atau dilepaskan ke habitatnya (release). Selain itu di tahun ini juga telah dilakukan pemantauan terhadap perdagangan burung di pasar-pasar burung di wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul dan masih dijumpai perdagangan burung dilindungi, yaitu jenis-jenis Colibri atau burung madu (Nectaridae). Dalam rangka pengembangan pelestarian satwa liar dilindungi, Balai KSDA Yogyakarta juga telah bekerjasama dengan RCI atau Raptor Club Indonesia untuk melestarikan satwa liar dilindungi jenis Burung Elang (Falconidae).

Keanekaragaman hayati terutama jumlah jenis satwa liar di Provinsi DIY pada tahun 2011 ini banyak terjadi perubahan pada kegiatan konservasi ex-situ, sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa upaya pengembangan konservasi satwa liar ex-situ dipicu minat dan kesadaran masyarakat. Perubahan tersebut terlihat sangat signifikan dibandingkan tahun 2010. Sedangkan perubahan jumlah jenis satwa liar di dalam kawasan hutan (in-situ) tidak banyak menunjukkan perubahan seperti tahun 2010, karena kondisi kawasan hutan sebagai habitat satwa liar yang masih stabil dan pengamatan satwa liar (inventarisasi atau monitoring satwa liar di dalam kawasan) dilakukan 2 (dua) tahun sekali karena apabila dilakukan setahun sekali kurang ada perubahan yang signifikan.

Tumbuhan dan satwa liar (TSL) dilindungi di alam dapat ditemukan di dalam kawasan hutan konservasi yang ada di DIY, antara lain di Taman Nasional Gunung Merapi, Suaka Margasatwa Sermo, Suaka Margasatwa Sermo, Cagar Alam Imogiri dan CA/TWA Gamping. Selain itu dapat pula dijumpai dalam kawasan ekosistem esensiil seperti Hutan Wonosadi, Pantai Samas, Dusun Ketingan Sleman, dan Arboretum UGM. Sedangkan di kawasan ekosistem esensial TSL dilindungi tidak banyak variasinya namun khas untuk masing-masing lokasi, yaitu Penyu di Pantai Samas, Burung Kuntul di Dusun Ketingan Sleman dan Burung Cangak Awu di Arboretum UGM. Sedangkan di hutan Wonosadi dijumpai berbagai jenis burung, baik yang dilindungi atau tidak di lindungi, serta beberapa jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat.

Di kawasan-kawasan tersebut di atas jenis TSL dilindungi yang dijumpai sebagian besar adalah jenis burung (Kelas Aves). Jumlah burung yang ditemui dan keanekaragaman jenis burung di SM Sermo (ekosistem air tawar) lebih banyak daripada di SM Paliyan (ekosistem karst dan ekosistem dataran tinggi), karena penutupan vegetasi di SM Sermo

(22)

lebih rapat dibandingkan di SM Paliyan. Jumlah dan jenis aves yang ditemui di CA Imogiri juga lebih banyak daripada di CA/TWA Gamping karena kawasan CA Imogiri lebih luas dan mempunyai vegetasi yang cukup rapat juga dibandingkan di CA/TWA Gamping. Untuk jenis- jenis burung perubahan jumlah dan jenis yang ditemui terjadi karena adanya migrasi satwa dari satu tempat ke tempat lainnya. Sedangkan perubahan yang terjadi untuk jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang ada di luar kawasan hutan adalah adanya kematian dan kelahiran satwa, atau pengurangan satwa karena ditranslokasi ke lembaga konservasi atau tempat lain.

Perbandingan data satwa liar dilindungi di Provinsi DIY antara tahun 2010 dan 2011 terlihat pada prioritas pengambilan datanya. Untuk tahun 2010 lebih banyak data diperoleh dari inventarisasi dan monitoring satwa liar di dalam kawasan hutan yang pada tahun 2011 tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Sedangkan tahun 2011 lebih banyak diperoleh data dari hasil monitoring satwa liar dilindungi di luar kawasan hutan, antara lain di pasar-pasar burung, di lembaga konservasi dan yang ada di masyarakat, yang jumlah jenis dan populasinya cenderung meningkat tiap tahun. Kegiatan monitoring populasi satwa liar di dalam kawasan hutan di Provinsi DIY akan dilakukan kembali pada tahun 2012 untuk melihat perubahannya.

Pelestarian keanekaragaman hayati tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah tapi juga masyarakat melalui kegiatan konservasi, yang meliputi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam kegiatan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dapat dilakukan secara in situ (di dalam kawasan hutan) maupun secara ex-situ (di luar kawasan hutan).

C. Air

Dari hasil pemantauan kualitas air sungai, air telaga dan air tanah (air sumur) yang ada di Provinsi DIY dapat dijelaskan kualitas airnya sebagai berikut :

1. Kualitas Air Sungai Winongo

Pemantauan kualitas air Sungai Winongo dilakukan sebanyak 4 (empat) periode dalam satu tahun, yaitu pada Bulan Februari, April, Juni, dan Agustus tahun 2011. Parameter kualitas air yang dianalisa meliputi: parameter fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik meliputi suhu, TDS, TSS, dan DHL. Parameter kimia meliput pH, Oksigen terlarut (DO), BOD,

(23)

COD, Klorin bebas, Sulfida (H2S), Fluorida, Fosfat (PO4), Nitrat (NO3-N), Nitrit, Kadmium (Cd), Krom (Cr+6), Timbal (Pb), Tembaga (Cu), Boron, Sianida (CN), Minyak dan Lemak, Seng (Zn), Fenol, dan Deterjen. Parameter biologi meliputi Bakteri Koli Tinja (Fecal Coli) dan Total Coli.

Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY No 22 Tahun 2007 tentang Penetapan Kelas Air Sungai di Provinsi DIY dan Peraturan Gubernur DIY No 20 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air di Provinsi DIY, maka penetapan kualitas air di Sungai Winongo dengan 10 lokasi pemantauan, tergolong dalam air sungai kelas I untuk lokasi titik pemantauan W-1 dan W-2, sedangkan titik pemantauan W-3, W-4, W-5, W-6, W-7, dan W-8 termasuk dalam air sungai kelas II.

Berdasarkan analisa status mutu air dengan metode indeks pencemaran, di tiap penggal titik pemantauan Sungai Winongo menunjukkan kondisi cemar ringan hingga cemar berat. Pada titik W-1 dan W-2 yang mengacu pada kelas air sungai I, kondisinya tercemar ringan hingga tercemar berat. Nilai tertinggi pada bulan Februari di titik W-1 (Jembatan Karanggawang) sebesar 12,7295, dengan parameter yang melebihi baku mutu yaitu bakteri koli tinja dan bakteri total koli masing-masing dengan nilai 2.400.000 MPN/100ml, sulfida (0,009 mg/l), klorin bebas (0,07 mg/l), COD (36 mg/l) dan BOD (17 mg/l).

Titik W-3 hingga W-10 mengacu pada baku mutu air sungai kelas II dengan nilai tertinggi terdapat di titik W-8 (Jembatan Bakulan, Jetis Bantul) pada bulan April sebesar 10,0480. Parameter yang mempengaruhi tingginya nilai Indeks Pencemaran tersebut adalah bakteri total koli dan bakteri koli tinja masing-masing sebesar 210.000 MPN/100ml, timbal (0,07 mg/l), seng (0,2 mg/l), fosfat (0,3 mg/l), fenol (400 µg/l), detergen (290 µg/l), sulfida (0.045 mg/l), nitrit (0,09 mg/l), klorin bebas (0.07 mg/l), dan BOD sebesar 9 mg/l.

(24)

Gambar 1. Grafik Status Mutu Air Sungai Winongo Tahun 2011 dengan Metode Indeks Pencemaran

Dapat dilihat pada gambar 1. bahwa nilai indeks pencemaran di Sungai Winongo didominasi tingkat cemar sedang. Sedangkan nilai indeks pencemaran di seluruh penggal Sungai Winongo berkisar antara 3,4177 hingga 12,7295.

Berdasarkan perhitungan dengan metode STORET dan dikaitkan dengan kategori kelas air sungai untuk masing-masing titik pantau, menunjukkan bahwa Sungai Winongo tergolong tercemar berat. Nilai Storet berkisar antara -95 hingga -111, dimana nilai ini sangat jauh melampaui batas minimal dari kategori cemar berat (≤-31). Nilai tertinggi (-95) ada di lokasi titik pantau W-2 (Denggung Sleman), W-3 (Jembatan Jatimulyo Kricak Yogyakarta) dan W-6 (Jembatan Dongkelan Bantul), sedangkan nilai terendah (-111) terjadi di lokasi W-1 (Jembatan Karanggawang Sleman), sebagaimana terlihat pada grafik di bawah ini.

0 2 4 6 8 10 12 14

FEBRUARI APRIL JUNI AGUSTUS

Nilai Indeks Pencemaran

Bulan Pemantauan

W-1 W-2 W-3 W-4 W-5 W-6 W-7 W-8 memenuhi baku mutu cemar ringan cemar sedang

(25)

Gambar 2. Grafik Status Mutu Sungai Winongo Tahun 2011 Pada Semua Titik Pantau dengan Metode Storet

Pada titik pantau W-1 ditetapkan sebagai sungai klas I di mana baku mutunya sangat ketat sekali. Lokasi ini merupakan lokasi dengan status mutu air paling tercemar berat dibanding dengan titik pantau lainnya. Beberapa parameter yang melebihi baku mutu dan memberikan kontribusi skor negatif pada titik pantau W-1 adalah parameter bakteri coliform, bakteri coli tinja, TSS, BOD, fenol, Sulfida, COD, klorin bebas, fosfat, seng, tembaga dan timbal. Ada 4 parameter yang selalu melebihi baku mutu pada semua periode pemantauan, yakni bakteri coliform (tertinggi 2400000 MPN/100ml, terendah 7300MPN/100ml, rata-rata 734235 MPN/100ml, kadar maksimal 1000 MPN/100ml), bakteri coli tinja (tertinggi 2400000 MPN/100ml, terendah 7300 MPN/100ml, rata-rata 626325 MPN/100ml, kadar maksimal 100MPN/100ml), parameter TSS (tertinggi 114 mg/L, terendah 12 mg/L, rata-rata 91,25 mg/L, kadar maksimal 0 mg/L) dan parameter BOD (tertinggi 17 mg/L, terendah 4 mg/L, rata-rata 7,75 mg/L, kadar maksimal 2 mg/L). Dari 4 kali periode pemantauan, menunjukkan bahwa pada periode pemantauan bulan Agustus merupakan kondisi yang paling tercemar di mana sebanyak 8 parameter melebihi baku mutu air sungai klas I.

2. Kualitas Air Sungai Code

Pemantauan kualitas air Sungai Code dilakukan sebanyak 4 (empat) periode dalam satu tahun, yaitu pada bulan Februari, Mei, Juni, dan Agustus tahun 2010. Parameter kualitas air yang dianalisa meliputi : parameter fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik meliputi suhu, TDS, TSS, dan DHL. Parameter kimia meliput pH, Oksigen terlarut (DO), BOD, COD, Klorin bebas, Sulfida (HS), Fluorida, Fosfat (PO), Nitrat (NO-N), Nitrit, Kadmium (Cd),

Gambar 2. Grafik Status Mutu Sungai Winongo Tahun 2011 Pada Semua Titik Pantau dengan Metode Storet

Pada titik pantau W-1 ditetapkan sebagai sungai klas I di mana baku mutunya sangat ketat sekali. Lokasi ini merupakan lokasi dengan status mutu air paling tercemar berat dibanding dengan titik pantau lainnya. Beberapa parameter yang melebihi baku mutu dan memberikan kontribusi skor negatif pada titik pantau W-1 adalah parameter bakteri coliform, bakteri coli tinja, TSS, BOD, fenol, Sulfida, COD, klorin bebas, fosfat, seng, tembaga dan timbal. Ada 4 parameter yang selalu melebihi baku mutu pada semua periode pemantauan, yakni bakteri coliform (tertinggi 2400000 MPN/100ml, terendah 7300MPN/100ml, rata-rata 734235 MPN/100ml, kadar maksimal 1000 MPN/100ml), bakteri coli tinja (tertinggi 2400000 MPN/100ml, terendah 7300 MPN/100ml, rata-rata 626325 MPN/100ml, kadar maksimal 100MPN/100ml), parameter TSS (tertinggi 114 mg/L, terendah 12 mg/L, rata-rata 91,25 mg/L, kadar maksimal 0 mg/L) dan parameter BOD (tertinggi 17 mg/L, terendah 4 mg/L, rata-rata 7,75 mg/L, kadar maksimal 2 mg/L). Dari 4 kali periode pemantauan, menunjukkan bahwa pada periode pemantauan bulan Agustus merupakan kondisi yang paling tercemar di mana sebanyak 8 parameter melebihi baku mutu air sungai klas I.

2. Kualitas Air Sungai Code

Pemantauan kualitas air Sungai Code dilakukan sebanyak 4 (empat) periode dalam satu tahun, yaitu pada bulan Februari, Mei, Juni, dan Agustus tahun 2010. Parameter kualitas air yang dianalisa meliputi : parameter fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik meliputi suhu, TDS, TSS, dan DHL. Parameter kimia meliput pH, Oksigen terlarut (DO), BOD, COD, Klorin bebas, Sulfida (HS), Fluorida, Fosfat (PO), Nitrat (NO -N), Nitrit, Kadmium (Cd),

Gambar 2. Grafik Status Mutu Sungai Winongo Tahun 2011 Pada Semua Titik Pantau dengan Metode Storet

Pada titik pantau W-1 ditetapkan sebagai sungai klas I di mana baku mutunya sangat ketat sekali. Lokasi ini merupakan lokasi dengan status mutu air paling tercemar berat dibanding dengan titik pantau lainnya. Beberapa parameter yang melebihi baku mutu dan memberikan kontribusi skor negatif pada titik pantau W-1 adalah parameter bakteri coliform, bakteri coli tinja, TSS, BOD, fenol, Sulfida, COD, klorin bebas, fosfat, seng, tembaga dan timbal. Ada 4 parameter yang selalu melebihi baku mutu pada semua periode pemantauan, yakni bakteri coliform (tertinggi 2400000 MPN/100ml, terendah 7300MPN/100ml, rata-rata 734235 MPN/100ml, kadar maksimal 1000 MPN/100ml), bakteri coli tinja (tertinggi 2400000 MPN/100ml, terendah 7300 MPN/100ml, rata-rata 626325 MPN/100ml, kadar maksimal 100MPN/100ml), parameter TSS (tertinggi 114 mg/L, terendah 12 mg/L, rata-rata 91,25 mg/L, kadar maksimal 0 mg/L) dan parameter BOD (tertinggi 17 mg/L, terendah 4 mg/L, rata-rata 7,75 mg/L, kadar maksimal 2 mg/L). Dari 4 kali periode pemantauan, menunjukkan bahwa pada periode pemantauan bulan Agustus merupakan kondisi yang paling tercemar di mana sebanyak 8 parameter melebihi baku mutu air sungai klas I.

2. Kualitas Air Sungai Code

Pemantauan kualitas air Sungai Code dilakukan sebanyak 4 (empat) periode dalam satu tahun, yaitu pada bulan Februari, Mei, Juni, dan Agustus tahun 2010. Parameter kualitas air yang dianalisa meliputi : parameter fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik meliputi suhu, TDS, TSS, dan DHL. Parameter kimia meliput pH, Oksigen terlarut (DO), BOD, COD, Klorin bebas, Sulfida (HS), Fluorida, Fosfat (PO), Nitrat (NO -N), Nitrit, Kadmium (Cd),

(26)

Krom (Cr+6), Timbal (Pb), Tembaga (Cu), Boron, Sianida (CN), Minyak dan Lemak, Seng (Zn), Fenol, dan Deterjen. Parameter biologi meliputi Bakteri Koli Tinja (Fecal Coli) dan Total Coli.

Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY No 22 Tahun 2007 tentang Penetapan Kelas Air Sungai di Provinsi DIY dan Peraturan Gubernur DIY No 20 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air di Provinsi DIY, maka penetapan kualitas air di Sungai Code dengan 8 lokasi pemantauan, tergolong dalam air sungai kelas I untuk lokasi titik pemantauan C-1 dan C-2, titik pemantauan C-3, C-4, dan C-5 termasuk dalam air sungai kelas II, sedangkan lokasi titik pemantauan, C-6, C-7, dan C-8 termasuk dalam air sungai kelas III.

Analisa status mutu air dengan metode indeks pencemaran di Sungai Code mengacu pada baku mutu kelas air sungai I untuk titik C-1 dan C-2, kelas II untuk C-3 sampai C-5, serta kelas III untuk C-6 hingga C-8. Nilai IP tertinggi untuk titik C-1 dan C-2 berada di titik C-1 (Jembatan Boyong) pada bulan Februari sebesar 11,5555. Parameter yang memberikan kontribusi skor lebih besar dari satu pada kondisi tersebut yaitu bakteri koli tinja (150.000 MPN/100ml), bakteri total koli (1.100.000 MPN/100ml), sulfida (0,11 mg/l), klorin bebas (0.18 mg/l), BOD (18 mg/l), COD (44 mg/l) dan TSS (147 mg/l).

Nilai tertinggi untuk titik C-3 hingga C-5 juga terjadi pada bulan Februari di titik C-3 (Jembatan Gondolayu) sebesar 10,2531 dengan parameter yang melebihi baku mutu yaitu bakteri koli tinja dan bakteri total koli dengan nilai sama sebesar 2.400.000 MPN/100ml, sulfida (0.014 mg/l), klorin bebas (0.12 mg/l), BOD (11 mg/l), dan TSS (114 mg/l).

Gambar 3. Grafik Status Mutu Air Sungai Code Tahun 2011 dengan Metode Indeks Pencemaran

Sedangkan untuk titik C-6 hingga C-8, nilai tertinggi berada di titik C-7 (Jembatan Abang Ngoto) pada bulan April sebesar 17,9383 dengan parameter yang mencemari yaitu

0 4 8 12 16 20

FEBRUARI APRIL JUNI AGUSTUS

Nilai Indeks Pencemaran

Bulan Pemantauan

C-1

C-2

C-3

C-4

C-5

(27)

bakteri koli tinja (28.000 MPN/100ml), bakteri total koli (712.400.000 MPN/100ml), fenol (36 mg/l), sulfida (0,01 mg/l), nitrit (0,2 mg/l), klorin bebas (0,07 mg/l), dan BOD (9 mg/l).

Tingginya tingkat pencemaran di sungai Code dimungkinkan karena daerah tersebut merupakan kawasan padat penduduk, sehingga tingkat penggunaan air dan pembuangan limbah domestik cukup tinggi. Secara keseluruhan nilai Indeks Pencemaran berkisar antara 3,9342 – 17,9383.

Secara umum dapat dilihat dalam gambar 3. bahwa sebagian besar nilai Indeks Pencemaran Sungai Code Tahun 2011 berada di antara garis cemar ringan dan garis cemar sedang. Berdasarkan perhitungan dengan metode STORET dan dikaitkan dengan kategori klas air sungai sesuai dengan masing-masing titik pantau, menunjukkan bahwa Sungai Code tergolong tercemar berat. Nilai Storet berkisar antara -88 hingga -112, di mana nilai ini sangat jauh melampaui batas minimal dari kategori cemar berat (≤-31). Nilai tertinggi (-88) ada di lokasi titik pantau C-7 (Jembatan Abang Ngoto Bantul) dan titik pantau C-8 (Jembatan Brajan Wonokromo Pleret Bantul) serta nilai terendah (-112) berada wilayah perkotaan Yogyakarta tepatnya di lokasi titik pemantauan C-5 (Jembatan Keparakan Mergangsan, Yogyakarta) sebagaimana terlihat pada gambar 4.

Titik pantau C-5 (Jembatan Keparakan Yogyakarta) termasuk kategori klas II. Pada lokasi ini merupakan lokasi dengan status mutu paling tercemar berat dibandingkan dengan lokasi pemantauan lainnya. Beberapa parameter yang melebihi baku mutu dan memberikan kontribusi skor negatif pada lokasi titik pantau C-5 (Jembatan Keparakan) adalah parameter bakteri coliform, bakteri coli tinja, BOD, Klorin bebas, sulfida, TSS, fosfat, deterjen, nitrit, fenol, minyak lemak, krom, tembaga dan timbal.

(28)

Gambar 4. Grafik Status Mutu Sungai Code Tahun 2011 Pada Semua Titik Pantau Dengan Metode Storet

Terdapat 5 parameter yang selalu melebihi baku mutu pada semua periode pemantauan, yakni parameter bakteri coliform (tertinggi 1100000 MPN/100ml, terendah 93000 MPN/100ml, rata-rata 848250 MPN/100ml, batas maksimal 5.000 MPN/100ml, bakteri coli tinja (tertinggi 1100000 MPN/100ml, terendah 93000 MPN/100ml, rata-rata 625750, batas maksimal 1.000 MPN/100ml), parameter BOD (tertinggi 16 mg/L, terendah 7 mg/L, rata-rata 11,75 mg/L, kadar maksimal 3 mg/L), parameter klorin bebas (tertinggi 0,3 mg/L, terendah 0,04 mg/L, rata-rata 0,1475 mg/L, kadar maksimal 0,03 mg/L) dan parameter sulfida (tertinggi 0,025 mg/L, terendah 0,003 mg/L, rata-rata 0,015 mg/L, kadar maksimal 0,03 mg/L). Dari 4 periode pemantauan menunjukkan bahwa kondisi palin tercemar terjadi pada periode pemantauan bulan April di mana terdapat 10 parameter yang melebihi baku mutu air sungai klas II.

3. Kualitas Air Sungai Gadjahwong

Pemantauan kualitas air sungai Gadjahwong dilakukan sebanyak 4 (empat) periode dalam satu tahun, yaitu pada Bulan Februari, April, Juni, dan Agustus tahun 2010.

Parameter kualitas air yang dianalisa meliputi : parameter fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik meliputi suhu, TDS, TSS, dan DHL. Parameter kimia meliput pH, Oksigen terlarut (DO), BOD, COD, Klorin bebas, Sulfida (H2S), Fluorida, Fosfat (PO4), Nitrat (NO3-N), Nitrit, Kadmium (Cd), Krom (Cr+6), Timbal (Pb), Tembaga (Cu), Boron, Sianida (CN), Minyak dan Lemak, Seng (Zn), Fenol, dan Deterjen. Parameter biologi meliputi Bakteri Koli Tinja (Fecal Coli) dan Total Coli.

-101 -97 -100 -100 -112

-94 -88 -88 -120

-100 -80 -60 -40 -20 0

C-1 C-2 C-3 C-4 C-5 C-6 C-7 C-8

S k o r

Status Mutu Sungai Code Tahun 2011

Mutu Sungai Code sesuai (0)

cemar ringan (-1 s/d -10) cemar sedang (-11 s/d -30) cemar berat (≤-31) Lokasi Titik Pantau C-1 : Boyong Sleman C-2 : Ngaglik Sleman C-3 : Gondolayu YK C-4 : Sayidan YK C-5 : Keparakan YK C-6 : Tungkak YK C-7 : Abang Ngoto Bantul C-8 : Brajan Wonokromo Btl

(29)

Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY No 22 Tahun 2007 tentang Penetapan Kelas Air Sungai di Provinsi DIY dan Peraturan Gubernur DIY No 20 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air, di Provinsi DIY, maka penetapan kualitas air di sungai Gadjahwong dengan 8 lokasi pemantauan, tergolong dalam air sungai kelas I untuk lokasi titik pemantauan G-1 dan titik pemantauan G-2, G-3, G-4, G-5, G-6, G-7, dan G-8 termasuk dalam golongan air sungai klas II.

Berdasarkan analisa status mutu air dengan metode indeks pencemaran, dengan menggunakan standar baku mutu kelas I dan baku mutu kelas II dan disesuaikan dengan tiap penggal titik pemantauan sungai, menunjukkan bahwa di sungai Gadjahwong titik pemantauan G-1 hingga G-8, tergolong cemar ringan hingga cemar berat sebagaimana dapat dilihat dalam grafik pada gambar 5. Dominasi cemar berat terjadi di bulan April, sedangkan dominasi cemar sedang pada bulan Juni dan Agustus.

Gambar 5. Grafik Status Mutu Air Sungai Gajahwong Tahun 2011 dengan Metode Indeks Pencemaran

Di lokasi hulu, nilai tertinggi terjadi pada bulan April di titik G-1 (Jembatan Tanen) sebesar 11,4990. Parameter yang menyebabkan tingginya nilai tersebut adalah bakteri koli tinja (2.100.000 MPN/100ml), bakteri total koli (1.100.000 MPN/100ml), sulfida (0,005 mg/l), COD (12 mg/l), BOD (5 mg/l), dan TSS (19 mg/l). Sedangkan untuk titik G-2 hingga G-8 yang mengacu pada baku mutu air sungai kelas II, nilai tertinggi berada di titik G-6 (Jembatan Tegalgendu) pada bulan April sebesar 10,2765. Parameter yang mempengaruhi tingginya nilai tersebut yaitu bakteri koli tinja (93.000 MPN/100ml), bakteri total koli (2.400.000

0 2 4 6 8 10 12

FEBRUARI APRIL JUNI AGUSTUS

Nilai Indeks Pencemaran

Bulan Pemantauan

G-1 G-2 G-3 G-4 G-5 G-6 G-7 G-8

(30)

MPN/100ml), fenol (26 mg/l), sulfida (0,025 mg/l), klorin bebas (0,07 mg/l), dan BOD (10 mg/l). Secara keseluruhan, nilai indeks pencemaran Sungai Gadjahwong pada tahun 2010 berkisar antara 3,7597 hingga 11,4990.

Berdasarkan perhitungan dengan metode STORET dan dikaitkan dengan kategori klas air sungai sesuai masing-masing titik pantau, menunjukkan bahwa Sungai Gajahwong tergolong tercemar berat. Nilai Storet berkisar antara -68 hingga -105, di mana nilai ini sangat jauh melampaui batas minimal dari kategori cemar berat (≤-31). Nilai tertinggi (-68) ada di lokasi titik pantau G-7 (Jembatan Wirokerten Bantul) dan nilai terendah (-100) berada wilayah perkotaan Yogyakarta tepatnya di lokasi titik pemantauan G-5 (Jembatan Rejowinangun) sebagaimana terlihat pada gambar 6.

Gambar 6. Grafik Status Mutu Air Sungai Gajahwong Tahun 2011 Pada Semua Titik Pantau dengan Metode Storet

Titik pantau G-5 (Jembatan Rejowinangun Yogyakarta) termasuk kategori sungai Klas II, merupakan titik pantau dengan status mutu paling tercemar berat dibandingkan titik pantau lainnya. Beberapa parameter yang melebihi baku mutu dan memberikan kontribusi skor negatif pada lokasi titik pantau G-5 (Jembatan Rejowinangun Yogyakarta) adalah parameter bakteri coliform, bakteri coli tinja, BOD, Sulfida, klorin bebas, fosfat, timbal, TSS, COD nitrit, fenol dan tembaga. Terdapat 4 parameter yang melebihi baku mutu pada semua periode pemantauan, yakni parameter bakteri coliform (tertinggi 2400000 MPN/100ml, terendah 21000 MPN/100ml, rata-rata 634750 MPN/100ml, kadar maksimal 5.000 MPN/100ml), parameter bakteri coli tinja (tertinggi 150000 MPN/100ml, terendah 7000

-87 -82 -93

-100 -105 -83

-68 -80

-120 -100 -80 -60 -40 -20 0

G-1 G-2 G-3 G-4 G-5 G-6 G-7 G-8

S k o r

Status Mutu Sungai Gajahwong Tahun 2011

Mutu Sungai Gajahwong sesuai (0)

cemar ringan (-1 s/d -10) cemar sedang (-11 s/d -30) cemar berat (≤-31) Lokasi Titik Pantau G-1 : Tanen Pakem Slm G-2 : Pelang Concat Slm G-3 : IAIN YK

G-4 : Muja-muju YK

(31)

MPN/100ml, rata-rata 61750 MPN/100ml, kadar maksimal 1.000 MPN/100ml), parameter BOD (tertinggi 13 mg/L, terendah 5 mg/L, rata-rata 7,75 mg/L, kadar maksimal 3 mg/L) dan parameter sulfida (tertinggi 0,027 mg/L, terendah 0,008 mg/L, rata-rata 0,01775 mg/L, kadar maksimal 0,002 mg/L). Dari 4X periode pamantauan, kondisi paling tercemar terjadi pada periode pemantauan bulan April dan Agustus, di mana terdapat 8 parameter yang melebihi baku mutu air sungai klas II.

4. Kualitas Air Sungai Bedog

Pemantauan kualitas air sungai Bedog dilakukan sebanyak 4 (empat) periode dalam satu tahun, yaitu pada bulan Februari, April, Juni, dan Agustus tahun 2010. Parameter kualitas air yang dianalisa meliputi : parameter fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik meliputi suhu, TDS, TSS, dan DHL. Parameter kimia meliput pH, Oksigen terlarut (DO), BOD, COD, Klorin bebas, Sulfida (H2S), Fluorida, Fosfat (PO4), Nitrat (NO3-N), Nitrit, Kadmium (Cd), Krom (Cr+6), Timbal (Pb), Tembaga (Cu), Boron, Sianida (CN), Minyak dan Lemak, Seng (Zn), Fenol, dan Deterjen. Parameter biologi meliputi Bakteri Koli Tinja (Fecal Coli) dan Total Coli.

Berdasarkan Peraturan Gubernur DIY No 22 Tahun 2007 tentang Penetapan Kelas Air Sungai di Provinsi DIY dan Peraturan Gubernur DIY No 20 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air, di Provinsi DIY, maka penetapan kualitas air di Sungai Bedog dengan 4 lokasi pemantauan, tergolong dalam air sungai kelas I untuk lokasi titik pemantauan B-1 dan titik pemantauan B-2, sedangkan titik pemantauan B-3 dan B-4 masuk pada air sungai klas II.

Analisa status mutu air di Sungai Bedog dengan menggunakan metode indeks pencemaran, didasarkan pada kelas air sungai I untuk titik B-1 dan B-2. serta kelas II untuk titik B-3 dan B-4. Pada bulan April, menunjukkan bahwa di seluruh titik pemantauan telah tergolong cemar berat. Begitu pula untuk titik pantau B-1 dan B-2 hampir di semua bulan pemantauan telah tercemar berat. Hal ini dimungkinkan karena acuan yang digunakan untuk menganalisa kedua titik tersebut menggunakan kelas air I dengan spesifikasi yang cukup ketat, sehingga kualitas airnya terlihat buruk.

Referensi

Dokumen terkait