• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Beluntas (Pluchea indica Less)

1. Keterangan botani

Beluntas (Pluchea indica Less) termasuk dalam keluarga Asteraceae (Plantamor, 2012). Di berbagai daerah di Indonesia, beluntas dikenal dengan nama beluntas (Sumatera), barunas (Sunda), luntas (Jawa Tengah), baluntas (Madura), lamutasa (Makassar). Di luar Indonesia beluntas juga dikenal dengan nama lenabou (Timor), beluntas (Malaysia), beluntas (Singapura) dan khlu (Thailand) (Heyne (cit.,Sulistiyaningsih, 2009)). Klasifikasi beluntas adalah :

Kingdom : Plantae

Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub kelas : Asteridae Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Genus : Pluchea

Spesies : Pluchea indica Less

2. Deskripsi daun beluntas

Daun beluntas berbentuk taji atau berbentuk telur, ujungnya tumpul atau tajam, panjang sampai 5 cm, bergerigi atau rata, wangi seperti cengkeh, pahit. (Sastroamidjojo, 2001). Daun tunggal, pangkal tumpul, berbulu halus, panjang 3,8-6,4 cm, lebar 2-4 cm, pertulangan menyirip, warna hijau muda hingga hijau (Syamsuhidayat dan Hutapea (cit., Sulistiyaningsih, 2009)).

3. Kandungan kimia daun beluntas

Daun beluntas mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, minyak atsiri, asam khlorogenik, natrium, kalium, aluminium, kalsium, magnesium dan fosfor, sedangkan akarnya mengandung flavonoid dan tanin (Susetyarini, 2007).

4. Khasiat dan kegunaan

Menurut Purnomo (2001), flavonoid dalam daun beluntas memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus sp, Propionibacterium sp dan

Corynebacterium sp. Flavonoid mengandung suatu senyawa fenol yang merupakan suatu alkohol yang bersifat asam sehingga disebut juga asam karbolat. Tanaman beluntas berkhasiat untuk meningkatkan nafsu makan, membantu pencernaan, peluruh keringat, pereda demam dan penyegar. Akar beluntas berkhasiat sebagai peluruh keringat dan penyejuk (Susetyarini, 2007). Beluntas biasanya berguna sebagai tanaman pagar, secara tradisional daunnya dapat digunakan sebagai penghilang bau badan, penurun panas, pereda batuk dan antidiare. Rebusan daun beluntas juga sering digunakan untuk mengobati penyakit kulit (Winarno dan Sundari (cit., Sulistiyaningsih, 2009)). Daun beluntas juga

dapat digunakan sebagai pereda nyeri pada rheumatik dan sakit pinggang (Wijayakusuma (cit., Sulistiyaningsih, 2009)).

B. Kemangi (Ocimum basilicum L)

1. Keterangan botani

Kemangi merupakan salah satu tanaman berkhasiat yang tidak hanya tumbuh di Indonesia, tetapi juga di India, Taiwan, Cina dan Asia Tenggara. Kemangi seringkali disebut tulsi, tulasi, holy basil, sacred basil. (Hendrawati, 2009). Kemangi (Ocimum basilicum L) merupakan anggota dari keluarga Lamiaceae yang berarti kelompok tanaman dengan bunga berbibir. Genus kemangi yaitu Ocimum berarti tanaman beraroma dan aroma tersebut dihasilkan dari daunnya (Siemonsma dan Piluek, 1994). Klasifikasi kemangi adalah :

Kingdom : Plantae

Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub kelas : Asteridae Ordo : Lamiales Famili : Lamiaceae Genus : Ocimum

Spesies : Ocimum basilicum L

2. Deskripsi daun kemangi

Daun kemangi tunggal, berhadapan, tangkai daun berukuran 0,25-3 cm, berbentuk bulat telur sampai elips memanjang dengan ujung meruncing atau tumpul, kedua permukaan berambut halus, tepi daun bergerigi lemah dan bergelombang sampai rata. (Sudarsono, Gunawan, Wahyuono, Donatus (cit., Hendrawati, 2009)). Pangkal daun pasak sampai membulat, kedua permukaan berambut halus dan berbintik-bintik kelenjar rapat 0,75-7,5 x 0,5-2,75 cm (Hendrawati, 2009).

3. Kandungan kimia daun kemangi

Daun kemangi mengandung tanin (4,6%), flavonoid, steroid atau triterpenoid, minyak atsiri (2%), asam heksauronat, pentosa, xilosa, asam metil homoanisat, molludistin dan asam ursolat (Peter (cit., Hendrawati, 2009)). Menurut Sudarsono dkk (cit., Sulistiyaningsih, 2009) dan Depkes RI, 1995), kandungan flavonoid terdiri dari flavonepigenin, luteolin, flavon-O-glikosida apigenin 7-O-glukoronida, luteolin 7-o7-O-glukoronida, flavon C-glukosida orientin, vicenin, cirsilineol, cirsimaritin, isothymusin dan isothymonin. Komponen minyak atsirinya terdiri eugenol (62%), α-pinen, β-pinen, sabinen, mirsen, limonen, 1,8 sineol, Z-β-osimen, E-β-osimen, E-sabinenhidrat, E-α-bergamoten, β -kariofilen, E-β-farnesen, α-humulen, metilkavikol, α-terpineol, germakaran-D, β

-bisabolen, α-bisabolen, metileugenol, α-bisabolol, eukaliptol, estragol, borneol,

osimen, geraniol, anetol, 10-kadinol, β-karofilen, α-terpinol, kamfora, 3-oktanon, safrol, seskuitujen, linalool (Hendrawati, 2009).

4. Khasiat dan kegunaan

Ekstrak etanol daun kemangi mampu menghambat pertumbuhan bakteri seperti Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus cereus, Pseudomonas fluorescens, Streptococcus alfa,

Bacillus subtilis, Mycobacterium tuberculosa, Klebsiella, Proteus, Salmonella

typhi, Shigella, Vibrio cholera, Neisseria gonorrhea dan fungi seperti Aspergillus flavus, Candida albicans, Rhizopus stolinifera dan Penicillium digitatum

(Hendrawati, 2009). Kegunaan kemangi diantaranya menghilangkan bau badan dan bau mulut, anestesi, membantu mengatasi ejakulasi prematur, merangsang aktivitas saraf pusat, melebarkan pembuluh darah, melancarkan sirkulasi dan mencegah pengeroposan tulang. Kemangi juga dapat mencegah kemandulan dan menurunkan gula darah (Ebit, 2010). Selain itu, berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa kemangi berkhasiat sebagai analgesik, anthelmentik, antibakterial, anti katarak, anti inflamasi, antitusif, anti ulkus, imunomodulator, radioprotektif dan anti kanker (Hendrawati, 2009).

C. Maserasi

Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang digunakan dihaluskan sesuai dengan persyaratan dalam Farmakope (biasanya terpotong-potong atau berupa serbuk halus) dan disatukan dengan bahan pengekstraksi. Rendaman selanjutnya disimpan terlindung dari cahaya langsung untuk mencegah reaksi yang dikatalisis oleh cahaya atau perubahan warna dan dikocok kembali. Lamanya waktu maserasi berbeda-beda,

masing-masing Farmakope mencantumkan 4-10 hari, kira-kira 5 hari menurut pengalaman sudah memadai, diperas dengan kain pemeras (Voigt, 1994).

Proses yang mendasari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak saat penghalusan, ekstraksi bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai maserasi artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan telah tercapai, maka proses ekstraksi berakhir. Rendaman harus diaduk berulang-ulang (kira-kira 3 kali sehari) (Voigt, 1994). Maserasi banyak digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari dan tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari (Depkes RI, 1986).

Proses pemilihan cairan penyari harus dipertimbangkan dan sesuai dengan zat aktif yang berkhasiat yang artinya dapat memisahkan zat aktif tersebut dari senyawa lainnya dalam bahan, sehingga ekstrak yang dihasilkan mengandung sebagian besar senyawa aktif berkhasiat tersebut (Depkes RI, 2000).

Cairan penyari harus memenuhi kriteria murah, mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, tidak toksik, netral, tidak mudah terbakar dan selektif yang artinya dapat menarik zat berkhasiat yang dikehendaki (Depkes RI, 1986)

Etanol dipertimbangkan sebagai cairan penyari yang baik karena selektif, relatif tidak beracun, netral, dapat bercampur dengan air dalam segala perbandingan, dapat diabsorpsi dengan baik, memerlukan sedikit panas untuk memekatkan dan pada konsentrasi di atas 20% dapat menghambat mikrobia. Selain itu, etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida,

kurkumin, kumarin, antrakuinon, flavonoid, steroid, sedangkan lemak, malam, tannin dan saponin hanya sedikit larut sehingga pengganggu dapat dibatasi (Depkes RI, 1986). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel, memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Umumnya berlaku sebagai cairan ekstraksi adalah campuran bahan pelarut yang berlainan, terutama campuran etanol-air (Voigt, 1994).

D. Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus biasanya hidup pada hidung dan kulit, serta merupakan bakteri patogen yang dapat menimbulkan penyakit saat imunitas menurun. Kebanyakan mikroba yang menetap dikulit merupakan basil difteroid aerob dan anaerob (seperti Corynebacterium, Propionibacterium); Stapylococcus

nonhemolitik aerob dan anaerob (Staphylococcus epidermidis, terkadang

Staphylococcus aureus dan spesies Peptostreptococcus); bakteri Gram-positif, aerob, pembentuk spora yang banyak terdapat di udara, air, dan tanah;

Streptococcus alfa-hemolitik (Streptococcusviridans) dan Enterococcus

(Enterococcusfaecalis); serta bakteri koliform Gram-negatif dan Acinetobacter

(Jawetz, Melnick dan Adeberg, 1996).

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri Gram-positif, koloni berwarna putih atau kuning dan bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini tidak mempunyai lapisan protein A pada dinding sel, dapat meragi laktosa, tidak meragi manitol dan bersifat koagulase negatif (Radji, 2011). Staphylocooccus epidermidis

yang bersentuhan dengan keringat yang dihasilkan akan menghasilkan bau yang tidak sedap yang disebabkan oleh asam isovalerik (Majalah Kesehatan, 2010).

E. Antimikrobia

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, sifat antimikrobia ada yang dapat menghambat pertumbuhan mikrobia, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh mikrobia, dikenal sebagai aktivitas bakterisida. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikrobia atau membunuhnya masing-masing dikenal sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM). Aktivitas antimikrobia tertentu dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid apabila kadar antimikrobianya ditingkatkan melebihi KBM (Ganiswara, 1995).

Agen antimikrobia penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin, artinya obat harus bersifat sangat toksis untuk mikrobia, tetapi relatif tidak toksis untuk hospes (Setiabudy dan Gan, 1995). Menurut Ganiswara (1995), mekanisme kerjanya antimikrobia dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu:

1) Antimikrobia yang menghambat sintesis dinding sel mikroba, 2) antimikrobia yang mengganggu metabolisme sel mikroba, 3) antimikrobia yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba, 4) antimikrobia yang mengganggu sintesis protein sel mikroba, dan 5) antimikrobia yang mengganggu sintesis asam nukleat.

Agen antimikrobia yang dapat berguna terhadap penyakit infeksi harus memenuhi kriteria diantaranya :

1) Obat harus rendah dalam toksisitas bagi sel inang untuk memusnahkan atau menghambat agen penyakit, yang artinya obat harus bisa menunjukkan toksisitas selektif bagi agen penyakit,

2) inang harus tidak menjadi alergi (sangat peka) terhadap obat,

3) organisme tidak boleh dengan mudah menjadi resisten terhadap obat, 4) inang harus tidak merusak, menetralkan atau mengeluarkan obat, dan 5) obat harus mencapai tempat infeksi (Volk and Wheeler, 1988).

F. Pengujian Aktivitas Antimikrobia

Pengujian aktivitas bahan antimikrobia dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu metode difusi agar dan dilusi (pengenceran). Prinsip metode difusi adalah potensi antimikrobia berdasarkan luasnya daerah hambat pertumbuhan bakteri akibat berdifusinya senyawa uji dari titik awal pemberian ke daerah difusi. Mikrobia ditanam pada media yang sesuai dan di atasnya diletakkan kertas cakram yang mengandung senyawa uji atau dibuat sumuran dengan diameter tertentu yang diisi senyawa uji. Ada beberapa metode difusi, yaitu :

1. Cara Kirby Bouwer

Cara ini dilakukan dengan memulaskan suspensi bakteri konsentrasi tertentu pada permukaan media agar hingga rata. Kertas disk yang mengandung antimikrobia diletakkan di atas media dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam kemudian dibaca hasilnya. Potensi antimikrobia diukur dengan mengukur

diameter zona hambat yang terbentuk. Pada zona hambat akan terlihat adanya pertumbuhan kurang subur atau lebih jarang jika dibandingkan dengan daerah di luar pengaruh senyawa uji tersebut. Melalui cara ini, dikenal dua zona yaitu :

a. Zona radikal, yaitu suatu daerah di sekitar disk yang sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan mikrobia.

b. Zona iradikal, yaitu suatu daerah di sekitar disk yang menunjukkan pertumbuhan mikrobia yang dihambat oleh antimikrobia tertentu tetapi tidak mematikan (Hugo and Russel, 1987).

2. Cara Tuang (pour plate)

Mula-mula 1 ml suspensi bakteri dicampur dengan 4 ml agar base 1,5% pada temperatur 50oC hingga homogen kemudian dituang dalam media Mueller Hinton Agar (MHA), dibiarkan membeku. Disk antimikrobia diletakkan di atasnya kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Hasilnya dibaca seperti cara Kirby Bouwer (Trihendrokesowo, 1986).

3. Cara Sumuran

Penyiapan dilakukan seperti cara Kirby Bouwer. Setelah siap, dibuat sumuran dengan diameter tertentu dan tegak lurus terhadap permukaan media. Senyawa uji diinokulasikan ke dalam sumuran dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Hasilnya dibaca seperti cara Kirby Bouwer (Trihendrokesowo, 1986).

Metode dilusi digunakan untuk menentukan Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM) dari bahan antimikrobia (Tortora, 2001). Prinsip metode dilusi (pengenceran) adalah senyawa uji diencerkan hingga diperoleh berbagai macam konsentrasi. Pada dilusi cair, masing-masing

konsentrasi senyawa uji ditambahkan dengan suspensi bakteri uji dalam media cair. Perlakuan diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Senyawa uji agen antimikrobia pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM. Senyawa yang ditetapkan sebagai KHM tersebut diuji kembali pada media cair tanpa penambahan bakteri uji ataupun agen antimikrobia dan media tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Konsentrasi senyawa dalam media cair yang tetap terlihat jernih (jika dibandingkan dengan kontrol media dan kontrol pertumbuhan bakteri) setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM. Pada dilusi padat, tiap konsentrasi tersebut dicampur dengan suspensi bakteri uji dan media padat kemudian dituang pada petri untuk diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Konsentrasi yang menunjukkan hasil jernih kemudian di-streak pada media agar padat. Setelah inkubasi, konsentrasi terkecil yang tetap menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai KHM sedangkan konsentrasi terkecil yang sudah tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri uji (jernih) ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

G. Landasan Teori

Kulit memiliki beberapa jenis bakteri sebagai flora normal seperti

Micrococci dengan Staphylococci koagulase negatif, Peptococcus spp,

Micrococcus spp, Diphtheroids dengan Corynebacteria dan Brevibacterium spp,

Propionibacteria dan gram negatif bentuk batang (Elsner, 2006). Bakteri di permukaan kulit yaitu Staphylococcus epidermidis akan menguraikan keringat

dari kelenjar apokrin menjadi asam mudah menguap yaitu asam isovalerik dan menimbulkan bau tidak sedap (Majalah Kesehatan, 2010).

Banyaknya jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai antimikrobia merupakan alternatif sebagai pengobatan herbal. Contoh tanaman yang dapat digunakan yaitu beluntas dan kemangi. Beluntas sebelumnya hanya tanaman pagar dan dimanfaatkan sebagai urap atau lalapan sedangkan kemangi biasanya dikonsumsi sebagai lalapan mentah menurut Peter (cit., Hendrawati, 2009) dan Meyer et al, (cit., Hendrawati, 2009).

Pada penelitian sebelumnya, kedua tanaman ini sudah pernah digunakan sebagai antibakteri karena adanya kandungan zat aktif masing-masing. Kandungan dari daun beluntas yang diduga bersifat sebagai antibakteri, yaitu fenol hidrokuinon, tanin dan alkaloid (Ardiansyah dkk, 2003). Berdasarkan penelitian Maryati, dkk (2007), kandungan daun kemangi yang bersifat sebagai antibakteri adalah minyak atsiri dan menurut Purnomo (2001), flavonoid pada daun kemangi yang bersifat sebagai antibakteri. Pada penelitian ini akan dilihat daya antibakteri ekstrak etanol daun beluntas dan daun kemangi terhadap

Staphylococcus epidermidis.

H. Hipotesis

1. Ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea indica Less) memiliki daya antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis.

2. Ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum L) memiliki daya antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis.

18

Dokumen terkait