BAB IV PEMBAHASAN
B. Saran
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau bahan untuk
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan
transformasional dan kecenderungan perilaku kerja kontraproduktif pada
14 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gaya Kepemimpinan Transformasional 1. Definisi Gaya Kepemimpinan
Riggio (2008) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk
membimbing atau menuntun kelompok untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Maria (2012) secara singkat kepemimpinan diartikan sebagai seni
untuk memotivasi sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang sama.
Sedangkan gaya kepemimpinan merupakan cara-cara khusus dalam
melakukan kepemimpinan.
Menurut Lussier dan Achua (dalam Bosiok, Sad, dan Serbia, 2013) gaya
kepemimpinan adalah kombinasi dari sifat, kemampuan, dan perilaku yang
pemimpin gunakan ketika pemimpin berinteraksi dengan bawahan. Lewin
(dalam Bosiok, Sad, dan Serbia, 2013) mendefinisikan gaya kepemimpinan
sebagai cara dimana pemimpin mempengaruhi dan merangsang kegiatan dari
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan adalah sebuah cara yang dipakai oleh pemimpin untuk
mencapai tujuan organisasi.
2. Definisi Gaya Kepemimpinan Transformasional
Gaya kepemimpinan transformasional pertama kali diperkenalkan oleh
Burns pada tahun 1978 kemudian dikembangkan lagi oleh Bass (1985,
1998). Gaya kepemimpinan transformasional adalah sebuah proses
transformasi/perubahan perilaku organisasi, budaya dan individu, dan secara
bersamaan pemimpin juga mengubah dirinya sendiri (Suresh dan Rajini,
2013).
Menurut Riggio (2008) gaya kepemimpinan transformasional adalah
gaya kepemimpinan dimana pemimpinnya menginspirasi para pengikut
melalui visi dan pengembangan budaya organisasi yang merangsang kinerja.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional adalah sebuah gaya kepemimpinan yang
3. Ciri-ciri Kepemimpinan Transformasional
Menurut beberapa sumber, dibawah ini merupakan ciri-ciri dari
kepemimpinan transformasional :
a. Gaya kepemimpinan transformational berfokus pada kemampuan
pemimpin untuk membagikan nilai-nilai dan visi untuk masa depan di
dalam kelompok kerjanya (Riggio, 2008).
b. Menurut Northouse (dalam Aamodt, 2010) kepemimpinan
transformasional berfokus untuk mengubah tujuan, nilai-nilai, etika,
standar, dan kinerja dari orang lain.
c. Kepemimpinan transformasional meningkatkan motivasi, semangat,
dan kinerja dari pengikutnya melalui berbagai mekanisme (James dan
Ogbonna, 2013).
d. Menurut Ancok (2012) kepemimpinan transformasional mampu
mendorong anggota untuk mengembangkan aspirasi, mampu
mengembangkan pemimpin-pemimpin baru di lingkungan kerjanya,
serta mampu menciptakan lingkungan kerja yang apresiatif.
e. Pemimpin transformasional adalah seseorang yang mendorong dan
menginspirasi pengikutnya untuk mencapai hasil yang luar biasa
(2007) mengatakan bahwa pemimpin transformasional adalah
seseorang yang memimpin dengan menginspirasi orang lain untuk
mengadopsi tinggi tujuan dan berusaha untuk mencapainya. Menurut
Bryman (dalam Aamodt, 2010) seorang pemimpin transformasional
penuh keyakinan, memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain, dan memiliki sikap yang kuat atas apa yang mereka percayai, dan
ide-ide yang benar.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional ciri-ciri berfokus pada nilai, visi dan tujuan,
meningkatkan motivasi, dan mendorong serta mengembangkan aspirasi
pengikutnya.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepemimpinan Transformasional
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepemimpinan
transformasional, yaitu :
a. Perkembangan Moral dan Kepribadian
Menurut Kuhnert dan Lewis (dalam Bass, 1999) kedewasaan moral pada
kepemimpinan transformasional sangat diperlukan. Standar moral yang
pengalaman aktivitas ekstrakulikuler diperkirakan dapat membuat
seseorang mempunyai kecenderungan untuk menjadi pemimpin
transformasional (Avolio, dalam Bass, 1999).
b. Pelatihan dan Pendidikan
Dalam hal ini para pemimpin transformasional akan dilatih untuk
meningkatkan perilaku mereka tentang kepemimpinan. Pelatih akan
membantu untuk membuat perencanaan bagaimana meningkatkan
perilaku dan bagaimana mengubah rintangan yang dirasakan. Kemudian,
para pemimpin akan dikembalikan ke tempat kerjanya semula untuk
melanjutkan rencana mereka.
c. Budaya Organisasi
Perilaku dari pemimpin ditingkat atas menjadi simbol bagi budaya
organisasi yang baru. Pemimpin yang peduli tentang pembaharuan
organisasional akan berusaha untuk menumbuhkan budaya organisasi
yang kondusif dan ramah bagi kreativitas, pemecahan masalah,
pengambilan resiko, dan eksperimentasi (Bass, 1999).
d. Perbedaan Jenis Kelamin
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa wanita cenderung untuk
sebagian besar penelitian di organisasi memperlihatkan bahwa yang
mendominasi adalah laki-laki (Bass, 1999).
e. Keragaman
Del Castillo (dalam Bass 1999) menyatakan bahwa pemimpin
transformasional akan sangat baik jika bisa menghargai dan beradaptasi
dengan perbedaan yang ada di antara pengikutnya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan transformasional ada lima
yaitu perkembangan moral dan kepribadian, pelatihan dan pendidikan,
budaya organisasi, perbedaan jenis kelamin, dan keragaman.
5. Pengukuran Kepemimpinan Transformasional
Bass (dalam Popper, Mayseless, dan Castelnovo, 2000) mengukur
kepemimpinan transformasional melalui pengembangan Multifactor
Leadership Questionnaire (MLQ). Ada tiga hal yang mempengaruhi
kepemimpinan transformasional pada versi pertama MLQ yaitu karisma,
pertimbangan individu, dan rangsangan intelektual. Pada perkembangan
selanjutnya komponen karisma dibagi menjadi dua bagian yaitu pengaruh
perkembangan lagi sehingga terbentuklah empat komponen dari
kepemimpinan transformasional, yaitu pengaruh ideal yaitu
mempertimbangkan kebutuhan orang lain sebelum kebutuhan pribadi ,
menghindari penggunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, menunjukkan
standar moral yang tinggi, dan mengatur tujuan bagi para pengikut mereka.
Kedua, inspirasi yang memotivasi yaitu mengacu pada cara-cara
pemimpin transformasional memotivasi dan mengilhami orang-orang di
sekitar mereka, sebagian besar dengan memberikan makna dan tantangan.
Secara khusus, mereka melakukannya dengan menampilkan semangat dan
optimisme, dengan melibatkan para pengikut membayangkan masa depan
negara, dengan mengkomunikasikan harapan yang tinggi, dan dengan
menunjukkan komitmen terhadap tujuan bersama.
Ketiga, pertimbangan individu yaitu usaha pemimpin yang konsisten
untuk memperlakukan setiap individu sebagai orang yang spesial dan
bertindak sebagai seorang pelatih dan mentor yang terus-menerus mencoba
untuk mengembangkan potensi pengikutnya. Keempat, rangsangan intelektual
yaitu usaha pemimpin dalam merangsang pengikutnya untuk lebih inovatif
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional dapat diukur dengan menggunakan
Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) dan meliputi emapat hal yaitu
pengaruh ideal, inspirasi yang memotivasi, pertimbangan individu, dan
rangsangan intelektual.
6. Komponen Kepemimpinan Transformasional
Warrilow (dalam James dan Ogbonna, 2013) dan Riggio (2008)
membagi komponen gaya kepemimpinan transformasional kedalam empat
komponen yang dikenal juga dengan sebutan four I, yaitu:
a. Karisma atau pengaruh ideal : Merujuk pada pemimpin transformasional
yang menjadi model bagi pengikutnya. Pemimpin transformasional
memegang nilai-nilai dan kepercayaan mereka sehingga pengikutnya
sangat menghargai pemimpin transformasional.
b. Inspirasi yang memotivasi : pemimpin transformasional mampu untuk
meningkatkan gairah dan menginspirasi pengikutnya dengan cara
membagikan visi untuk masa depan dan hasil yang bermakna.
c. Rangsangan Intelektual: pemimpin merangsang rasa ingin tahu dan
d. Perhatian individu atau pertimbangan individu : melibatkan perhatian
pribadi pemimpin untuk mengetahui perasaan, kebutuhan, dan
kekhawatiran pengikutnya. Pemimpin bertindak sebagai mentor atau
pelatih dan menghargai dan mengapresiasi setiap kontribusi dari individu.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan memiliki transformasional mempunyai empat komponen
atau yang biasa disebut Four I yaitu Karisma atau pengaruh ideal, Inspirasi
yang memotivasi, rangsangan intelektual, dan Perhatian individu atau
pertimbangan individu.
7. Dampak dari Kepemimpinan Transformasional
Menurut Givens (2008), kepemimpinan transformasional dapat
berdampak pada oraganisasi dan kepribadian. Givens secara khusus
membahas pengaruh dari kepemimpinan transformasional pada organisasi.
Kepemimpinan transformasional memberikan dampak pada organizational
citizenship behavior (OCB). Penelitian memperlihatkan bahwa OCB
memiliki dampak yang positif pada kinerja karyawan dan memberikan
keuntungan pada organisasi. Selain itu, kepemimpinan transformasional juga
yang bekerja di organisasi. Pemimpin transformasional akan membantu
bawahannya untuk mencapai misi organisasi dan akhirnya meningkatkan
komitmen organisasi pada bawahan. Pemimpin transformasional juga
berpengaruh pada budaya organisasi melalui produktifitas organisasi.
Produktivitas pada organisasi akan meningkat. Kemudian, kepemimpinan
transformasional juga memberikan pengaruh yang positif pada visi
organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Nguni, Sleegers, dan Denessen
(dalam Givens, 2008) mendapatkan hasil bahwa pemimpin transformasional
memberikan dampak pada organisasi seperti organizational citizenship
behavior, komitmen organisasi, kepuasan kerja, usaha, dan kinerja.
Selain berdampak pada organisasi, kepemimpinan transformasional juga
berdampak pada hasil personal. Hasil panelitian memperlihatkan bahwa
kepemimpinan transformasional memberikan pengaruh positif pada
kekuatan, kepuasan kerja, komitmen, kepercayaan, keyakinan diri, dan
motivasi pada bawahan (Givens, 2008).
Yukl (1999) menambahkan bahwa kepemimpinan transformasional dapat
menghasilkan efek atau dampak yang negatif bagi pengikut dan organisasi.
Menurut Harrison (dalam, Yukl, 1999) tingkat emosional para pengikut di
sehingga para pengikut mengalami burn out karena stres yang
berkepanjangan. Pemimpin juga bisa mengeksploitasi pengikut tanpa
disadari. Porter dan Bigley (dalam Yukl, 1999) menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional juga memiliki dampak merugikan bagi
organisasi. Jika anggota organisasi dipengaruhi oleh pemimpin-pemimpin
yang berbeda visi, hasilnya akan meningkatkan ambiguitas peran dan
konflik peran. Selain itu adanya perasaingan diantara subunit dapat
mengakibatkan penurunan keefektifan organisasi.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan transformasional dapat memberikan dampak positif pada
organisasi dan individu seperti OCB, budaya organisasi, komitmen
organisasi, kepuasan kerja, keprcayaan, dan motivasi. Selain berdampak
positif, gaya kepemimpinan transformasinal juga membawa dampak negative
pada karyawan dan organisasi yaitu karyawan dapat mengalami stres dan
B. Perilaku Kerja Kontraproduktif
1. Definisi Perilaku kerja kontraproduktif
Perilaku kerja kontraproduktif adalah sebuah perilaku yang mempunyai
dampak merusak atau merugikan bagi sebuah organisasi dan anggotanya
(Neuman & Baron, 1998; Fox & Spector, 1999, dalam Spector, Fox & Miles,
2001 ). Menurut Sackett (dalam Firdousiya & Jayan, 2013) perilaku kerja
kontraproduktif adalah perilaku yang sengaja dilakukan oleh anggota
organisasi dimana perilaku tersebut jika dilihat oleh organisasi adalah sebuah
perilaku yang bertentangan dengan kepentingan organisasi.
Robbinson dan Bennet (dalam Kelloway, Francis, Prosser, & Cameron,
2010 ) mendefinisikan perilaku kerja kontraproduktif sebagai salah satu
perilaku menyimpang yang dilakukan secara sukarela di tempat kerja dengan
melanggar semua norma-norma organisasi, sehingga mengancam
kesejahteraan organisasi dan anggota organisasi.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku kerja
kontraproduktif adalah perilaku yang dilakukan secara sengaja oleh
2. Dimensi Perilaku Kerja Kontraproduktif
Hollinger, Hollinger dan Clark, Robbinson dan Bennett (dalam
Kelloway, Francis, Prosser, & Cameron, 2010) menyebut perilaku kerja
kontraproduktif sebagai perilaku menyimpang dan membaginya dalam dua
dimensi. Dimensi yang pertama melihat perilaku menyimpang dari tingkat
keparahannya (minor-mayor). Beberapa perilaku menyimpang seperti
berbicara antar karyawan pada saat jam kerja termasuk dalam kategori
penyimpangan perilaku minor. Sedangkan perilaku penyerangan fisik
dikategorikan sebagai penyimpangan perilaku yang parah atau mayor.
Dimensi yang kedua melihat perilaku menyimpang dari sifat target, misalnya
perilaku yang dapat membahayakan individu (interpersonal deviance) atau
kesejahteraan organisasi (organizational deviance).
Berdasarkan hal tersebut maka Robbinson dan Banett (dalam Anderson,
Ones, Sinangil, & Viswesvaran, 2001) membagi perilaku kerja
kontraproduktif kedalam empat dimensi, yaitu:
a. Penyimpangan Property (Property Deviance)
Pada penyimpangan properti, yang menjadi target adalah organisasi.
Individu mencuri atau memakai barang-barang milik perusahaan
keloway, Francis, Prosser, & Cameron, 2010) masuk kedalam
perilaku penyimpangan property.
b. Penyimpangan Produksi (Production Deviance)
Robbins dan Banett (dalam Keloway, Francis, Prosser, & Cameron,
2010) menyatakan bahwa perilaku yang termasuk dalam
penyimpangan produksi misalnya, datang terlambat atau mengambil
terlalu banyak waktu untuk beristirahat. Dan target dari perilaku
penyimpangan produksi ialah organisasi.
c. Agresi Individu (Personal Agression)
Yang menjadi target dalam agresi individu adalah individunya atau
rekan kerja. Perilaku agresi individu seperti pelecehan seksual,
agresi non verbal dan agresi verbal.
d. Penyimpangan Politik (Politic Deviance)
Menurut Robbinson dan Banett (dalam Anderson, Ones, Sinangil, &
Viswesvaran, 2001) yang menjadi target dari penyimpangan politik
adalah interpersonal. Tindakan memilih kasih antar karyawan,
bergosip, dan menyalahkan atau menuduh seseorang atas suatu
perbuatan yang tidak dilakukannya menurut Robbinson dan Banett
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dimensi dari perilaku
kerja kontraproduktif adalah peyimpangan property (Property deviance),
penyimpangan produksi (production deviance), agresi individu (personal
agression), dan penyimpangan politik (politic deviance).
3. Kategori Perilaku kerja kontraproduktif
Gruys (dalam Anderson, Ones, Sinangil, dan Viswesvaran, 2001)
mengemukakan 11 kategori dari perilaku kerja kontraproduktif. 11 kategori
perilaku kerja kontraproduktif ini merupakan gambaran dari perilaku yang
masuk kedalam perilaku kerja kontraproduktif :
a. Pencurian dan perilaku yang terkait (theft and related behavior) yaitu
pencurian uang tunai atau barang milik perusahaan/organisasi,
memberikan pelayanan atau barang tanpa seijin
organisasi/perusahaan, dan penyalahgunaan diskon karyawan.
b. Merusak barang (Destruction of property) yaitu merusak atau
menghancurkan barang-barang milik perusahaan/organisasi serta
c. Menyalahgunakan informasi (misuse of information) yaitu
mengungkapkan atau menyebarkan rahasia organisasi/perusahaan
serta memalsukan informasi mengenai organisasi/perusahaan.
d. Menyalahgunakan waktu dan sumber daya (misuse of time and
resources) yaitu membuang-buang waktu, memalsukan jam kerja,
dan melakukan pekerjaan pribadi diwaktu bekerja.
e. Perilaku tidak aman yang membahayakan organisasi/perusahaan
(unsafe behavior) seperti gagal mengikuti atau gagal mempelajari
prosedur yang benar.
f. Tingkat kehadiran yang rendah (poor attendance) seperti absen atau
datang terlambat tanpa alasan yang jelas serta menyalahgunakan ijin
sakit.
g. Rendahnya kualitas kerja (poor quality work) seperti dengan sengaja
bekerja secara lambat atau melakukan suatu pekerjaan dengan tidak
rapi.
h. Penggunaan alkohol (alcohol use) seperti meminum alkohol pada saat
bekerja atau datang ke kantor dalam keadaan mabuk akibat
i. Penggunaan obat-obat terlarang (drug use) seperti memiliki,
menggunakan, dan menjual obat-obatan di tempat kerja.
j. Berbicara kasar (inappropriate verbal actions) seperti berdebat
dengan pelanggan atau secara lisan melecehkan teman kerja.
k. Kekerasan fisik (Inappropriate physical actions) seperti menyerang
sesama teman kerja dan melakukan pelecehan seksual kepada sesama
pekerja.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan perilaku kerja yang masuk
dalam kategori perilaku kerja kontraproduktif, yaitu pencurian dan perilaku
yang terkait, merusak barang, menyalahgunakan informasi,
menyalahgunakan waktu dan sumber daya, perilaku tidak aman yang
membahayakan organisasi/perusahaan, tingkat kehadiran yang rendah,
rendahnya kualitas kerja, penggunaan alkohol, penggunaan obat-obat
terlarang, berbicara kasar, kekerasan fisik.
4. Faktor Penyebab Perilaku kerja kontraproduktif
Menurut Thomas (2012) faktor-faktor yang dapat menyebabkan
a. Kepribadian (personality)
Kepribadian merupakan salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab
seseorang melakukan perilaku kerja kontraproduktif. Penelitian yang
dilakukan selama ini berfokus pada big five personality yaitu
extraversion (keinginan seseorang untuk terlibat dalam interaksi
sosial), openness to experience(kemampuan individu untuk menerima
ide baru dan pengalaman baru), agreebleness(kemampuan individu
untuk bersama dengan orang lain), conscientiousness (kemampuan
individu untuk melatih kontrol diri, perencanaan, dan pengaturan),
emotional stability (salah satu kemampuan individu untuk mengatur
suasana hati).
b. Stresor dari organisasi (organisational stresors)
I.1 Kontrak psikologis (psychological contract)
Kontrak psikologis ini mengarahkan karyawan kepada sebuah
kepercayaan apa yang bisa karyawan berikan kepada
perusahaan/organisasi dan apa yang karyawan bisa terima dari
perusahaan/organisasi. Kontrak ini lebih sering diartikan secara
sepenuhnya oleh kedua belah pihak dan jika seorang karyawan
percaya bahwa organisasi telah melakukan pelanggaran maka
akan menimbulkan perasaan negatif pada organisasi/perusahaan
sehingga mendorong karyawan untuk melakukan perilaku kerja
kontraproduktif.
I.2 Pemberian hadiah (reward allocation)
Apabila karyawan melihat bahwa organisasi/perusahaan tidak adil
dalam memberikan hadiah maka karyawan akan lebih terdorong
untuk melakukan perilaku kerja kontraproduktif.
I.3 Kepemimpinan (leadership)
Kepemimpinan otoritatif merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya perilaku kerja kontraproduktif. Jika manager dan
sepervisor tidak menaati kode etik atau aturan-aturan dalam
perusahaan/organisasi dan banyak melakukan pelecehan kepada
karyawan maka konsekuensinya adalah munculnya perilaku kerja
kontraproduktif di kalangan karyawan.
I.4 Lingkungan kerja (work environment)
Lingkungan kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan
mengakibatkan karyawan merasa stres, sakit, dan konsekuensinya
adalah karyawan meninggalkan perusahaan/organisasi.
I.5 Stres Kerja
Beberapa hasil penelitian mendapati bahwa stres kerja dapat
menjadi salah satu penyebab dari perilaku kerja kontraproduktif
(Bowling & Eschleman, 2010; Aftab & Javeed, 2012). Penelitian
yang dilakukan oleh Aftad dan Javeed (2012) mendapati bahwa
stres kerja dapat mendorong seseorang untuk melakukan perilaku
kerja kontraproduktif. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh
penelitian yang dilakukan oleh Salami (2010). Penelitian ini
mendapati bahwa stres kerja mempunyai hubungan yang
signifikan dengan perilaku kerja kontraproduktif. Karyawan yang
mempunyai pengalaman negatif di tempat kerja seperti konflik
interpersonal, masalah kepemimpinan, kelebihan beban kerja, dan
ketidakadilan dalam organisasi dapat mendorong karyawan untuk
melakukan perilaku kontra produktif. Selain itu, perilaku kerja
kontraproduktif dapat dihasilkan oleh kejadian-kejadian stres atau
emosi negatif (Fox & Spector, 1999; Glomb, 2002, dalam
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku kontra
produktif dapat disebabkan oleh kepribadian (personality), stressor yang
berasal dari organisasi (kontrak psikologis, pemberian hadiah,
kepemimpinan, lingkungan kerja), dan stress kerja.
C. Perawat
1. Definisi Perawat
Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
HK.02.02/MENKES/148/1/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik
perawat, definisi perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan
perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Revalicha, 2013). Menurut College of Nurses of Ontario (2011), perawat adalah sebuah profesi yang difokuskan pada hubungan kolaboratif atau kerjasama untuk mempromosikan hasil yang terbaik bagi klien. Hubungannya dapat terjadi baik secara interprofessional
dengan melibatkan berbagai professional kesehatan yang bekerjasama untuk memberikan perawatan yang berkualitas maupun secara intraprofessional
dengan melibatkan beberapa anggota dengan profesi yang sama untuk memberikan perawatan yang berkualitas.
Ellis dan Harley (dalam Pratopo, 2001, dalam Almasitoh, 2011)
mendefinisikan perawat sebagai orang yang merawat, memelihara, dan
menjaga orang yang sakit. Sementara Gunarsa (dalam Almasitoh, 2011)
mengartikan perawat sebagai individu yang telah dipersiapkan melalui
pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit
yang dilaksanakan sendiri atau di bawah pengawasan supervise dokter atau
penyelia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perawat ialah seseorang
yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan dan bertugas untuk
merawat serta memelihara orang yang sakit di rumah sakit.
2. Tugas, Fungsi, dan Peran Perawat
Menurut Yulmawati, Manjas, dan Bachtiar (2011) tugas utama yang
dimiliki oleh perawat adalah memberikan pelayanan keperawatan kepada
pasien, baik untuk kesembuhan ataupun pemulihan status fisik dan mental
pasien. Perawat juga bertugas memberikan pelayanan lain bagi kenyamanan
perawat juga mempunyai tugas-tugas administratif seperti
mendokumentasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelayanan
keperawatan.
Organization of Nursing (dalam manajemen keperawatan, 2003)
menjabarkan peran, tugas, serta fungsi dari perawat. Dalam manajemen
keperawatan seorang perawat mempunyai peran sebagai berikut:
a. Pelaksana Pelayanan Keperawatan
Perawat mempunyau tanggung jawab untuk memberikan pelayanan
dari yang bersifat sederhana hingga kompleks.
b. Pengelola dalam bidang pelayanan keperawatan
Tenaga keperawatan secara fungsional mengelola pelayanan
keperawatan termasuk perlengkapan, peralatan, dan lingkungan.
Selain itu, perawat juga membimbing tenaga kesehatan yang
berpendidikan lebih rendah dan bertanggung jawab dalam hal
administrasi.
c. Pendidik pelayanan keperawatan
Tenaga Keperawatan bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan
pengajaran ilmu keperawatan dasar bagi tenaga kesehatan lainnya dan
Menurut Organization of Nursing (dalam manajemen keperawatan, 2003)
tenaga keperawatan juga diharapkan dapat melaksanakan fungsi (khususnya
pada pasien yang dirawat) sebagai berikut :
a. Menentukan kebutuhan kesehatan pasien dan mendorong pasien
untuk berperan serta di dalam memenuhi kebutuhan kesehatannya.
b. Memberikan penyuluhan kesehatan mengenai kebersihan perorangan,
kesehatan lingkungan, kesehatan mental, gizi, kesehatan ibu dan
anak, pencegahan penyakit dan kecelakaan.
c. Memberikan asuhan keperawatan kepada pasien yang meliputi
perawatan darurat, serta bekerjasama dengan dokter dalam program
pengobatan.
d. Melaksanakan rujukan terhadap kasus-kasus yang tidak dapat
ditanggulangi dan menerima rujukan dari organisasi kesehatan
lainnya.
e. Melaksanakan pencatatan asuhan keperawatan.
Menurut Organization of Nursing (dalam manajemen keperawatan, 2003)
seorang perawat bertugas untuk memelihara kebersihan dan kerapihan di
dalam ruangan; menerima pasien baru; melaksanakan asuhan keperawatan
keluar; membimbing dan mengawasi pekarya kesehatan dan pekarya rumah
tangga; mengatur tugas jaga; mengelola peralatan medis dan keperawatan,
bahan habis pakai dan obat; mengelola administrasi.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perawat
mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan perawatan, kenyamanan, dan
keamanan kepada pasien dan peran sebagai pelaksana, pengelola, dan
pendidik dibidang pelayanan kesehatan. Selain itu, perawat juga
melaksanakan fungsinya untuk merawat dan memenuhi kebutuhan pasien
selama masa perawatan.
3. Tuntutan Bagi Seorang Perawat
Menurut Revalicha (2013) seorang perawat dituntut untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, seorang
perawat dituntut untuk lebih professional. Selain itu seorang perawat juga
dituntut untuk memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengembangkan
keterampilan dan pengetahuannya dalam usaha untuk memberikan pelayanan
yang berkualitas kepada pasien.
Perawat juga dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang ramah,
dalam diri perawat sangat diperlukan misalnya melakukan tugas lainnya
apabila dibutuhkan oleh rumah sakit (Koesmono, 2007).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perawat
dituntut untuk dapat meningkatkan dan memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas kepada masyarakat
4. Penelitian Tentang Perawat
The Institute of Medicine (IOM) (dalam Olds dan Clarke, dalam Bae,