• Tidak ada hasil yang ditemukan

A.1.1 Teori keagenan dan masalah keagenan.

Pembahasan mengenai corporate governance tidak dapat dipisahkan dari masalah keagenan. Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai pentingnya penerapan corporate governance, pada sub bab ini akan dijabarkan terlebih dahulu mengenai teori keagenan dan masalah keagenan.

Pada dasarnya teori keagenan membahas hubungan kontraktual antar anggota-anggota dalam organisasi, yaitu antara pemegang saham atau principal

dengan manajemen perusahaan atau dikenal dengan nama agent (Husnan, 2001; Arifin, 2005). Jensen dan Meckling (1976) memberikan definisi yang lebih jelas mengenai hubungan keagenan dan biaya keagenan. Hubungan keagenan menurut Jensen dan Meckling (1976: 5) adalah:

A contract under which one or more persons (the principal’s) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent.

Menurut definisi di atas, principal memberikan wewenang kepada agent

bertindak atas nama principal untuk mengelola perusahaan. Secara periodik,

agent harus mempertanggungjawabkan amanah yang diberikan principal

commit to user

Dalam tata kelola perusahaan, aplikasi teori keagenan dapat dilihat dari kontrak kerja yang disepakati antara pemegang saham dengan manajemen selaku pengelola perusahaan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya inti dari teori keagenan adalah proses penyusunan kontrak yang tepat untuk menselaraskan kepentingan antara principal dan agent apabila terjadi conflict of interest (Scott, 2006).

Eisenhard (1989) mengungkapkan asumsi yang melandasi teori keagenan yaitu: (a) asumsi sifat manusia, (b) asumsi keorganisasian, (c) asumsi informasi. Asumsi sifat manusia menekankan pada sifat manusia yang mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk averse). Asumsi keorganisasian menekankan pada timbulnya konflik antar anggota dalam sebuah organisasi, efisiensi, serta adanya asymmetry information antara principal dan agent. Selanjutnya asumsi informasi memandang bahwasanya informasi merupakan sebuah komoditi yang dapat diperjualbelikan.

Principal sebagai pemilik modal memiliki hak akses atas informasi

internal perusahaan serta bertindak sebagai pengambil keputusan-keputusan strategis jangka panjang dan global. Agent, di sisi yang lain mempunyai informasi riil dan lengkap mengenai kegiatan operasional perusahaan namun tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pengambilan keputusan strategis perusahaan (Arifin, 2005). Adanya posisi, fungsi, kepentingan dan latar belakang antara principal dan agent yang berbeda namun saling membutuhkan dapat

commit to user

menimbulkan masalah perbedaan kepentingan yang berpotensi kepada agency

problems.

Menurut Arifin (2005) masalah keagenan yang fundamental timbul karena adanya pemisahan antara pemilik dan pengelola. Pemisahan antara pemilik dan pengelola dapat menyebabkan timbulnya asymmetry information. Asymmetry

information adalah ketidakseimbangan informasi yang disebabkan adanya

distribusi informasi yang tidak sama antara principal dan agent (Arifin, 2005). Artinya agent tidak menyajikan informasi yang digunakan principal sebagai dasar pengambilan keputusan secara transparan. Akibatnya, informasi yang diperoleh principal kurang lengkap sehingga tidak dapat menjelaskan kinerja

agent yang sesungguhnya dalam hal mengelola kekayaan yang diamanahkan

kepadanya. Asymmetry information merupakan salah satu faktor yang mendorong terciptanya agency problems. Faktor asymmetry information dapat merangsang perilaku oportunistik pihak manajemen perusahaan (agent) untuk memaksimalkan keuntungan pribadi sehingga dapat merugikan pihak lain, khususnya pemegang saham (principal).

A.1.2 Corporate governance.

Munculnya isu corporate governance sangat berkaitan dengan terpisahnya pemilik dan pengelola perusahaan. Terpisahnya fungsi pemilik dan pengelola perusahaan menyebabkan perlunya mekanisme pengawasan yang spesifik untuk memastikan bahwa tindakan manajemen perusahaan sejalan dengan kepentingan pemiliknya.

commit to user

Perkembangan teori keagenan dan implikasinya terhadap corporate

governance dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1

Perkembangan Agency Theory dan Implikasinya terhadap Corporate Governance

Teori korporasi klasik

Teori korporasi

modern

Teori korporasi post modern

Karakteristik 1. Perusahaan dengan single majority shareholder. 2. Principal merangkap sebagai agent 3. Keseimbangan kepentingan antara principal dan agent tidak penting. 1. Perusahaan dengan banyak pemegang saham namun terdapat pemegang saham mayoritas. 2. Fungsi principal

dan agent mulai terpisah. 3. Meskipun pemilik mayoritas masih memiliki otoritas yang besar, kepentingan pemegang saham minoritas sudah mulai diperhatikan. 1. Perusahaan dengan banyak pemegang saham tanpa ada pemegang saham mayoritas. 2. Sulit mengidentifikasi

the true principal. 3. Principal umumnya

kurang atau tidak memahami bisnis. 4. Agent mempunyai

pengaruh yang besar dalam menjalankan perusahaan. 5. Terjadi

ketidakseimbangan kepentingan antara principal dan agent

Implikasi penerapan

good corporate governance

Aspek good corporate governance belum diperlukan

Aspek good corporate governance mulai diperlukan

Aspek good corporate governance sangat diperlukan.

Sumber: Arifin, 2005.

Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa kebutuhan akan implementasi

corporate governance dapat berbeda-beda menyesuaikan tahap perkembangan

perusahaan, terutama berkaitan dengan struktur kepemilikan. Aspek corporate

governance akan semakin diperlukan pada perusahaan yang mempunyai struktur

kepemilikan yang menyebar (dispear ownership). A.1.2.1 Definisi corporate governance.

Konsep corporate governance muncul bersamaan dengan konsep korporasi (Maksum, 2005). Namun banyak yang berpendapat bahwa konsep ini belum diketahui dan dipahami oleh berbagai pihak (Alijoyo dan Zaini, 2004).

commit to user

Faktor inilah yang menyebabkan masih banyak perusahaan sekalipun telah beroperasi di pasar modal yang menganggap good corporate governance

sebagai formalitas saja. Lahirnya teori keagenan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap konsep corporate governance khususnya corporate

governance (Maksum, 2005). Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman

yang mendalam mengenai konsep corporate governance perlu diketahui terlebih dahulu pengertian atau definisi dari corporate governance tersebut.

Secara sederhana, corporate governance diartikan sebagai seperangkat tindakan untuk melindungi kepentingan para pemegang saham (Hasim, 2009).

Definisi lain dari corporate governance yang dinyatakan dalam

The Cadbury Report (1992: 15) adalah sebagai berikut:

The system by which companies are directed and controlled. Boards of directors are responsible for the governance of their companies. The Shareholders’ role governance is to appoint the directors and the auditor and to satisfy themselves that an appropriate governance structure is in place. The responsibilities of the Board include setting the strategies aims, providing the leadership to put them into effect, supervising the management of the business and reporting to shareholders on their stewardship. The board’s actions are subject to laws, regulations and the shareholders in general meeting.

Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG: 21) mendefinisikan corporate governance sebagai berikut:

Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mereka. Atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.

Parkinson (1993) memberikan definisi yang lebih praktis, yaitu proses supervisi dan pengendalian yang dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa

commit to user

manajemen perusahaan bertindak sejalan dengan kepentingan para pemegang saham.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa corporate

governance merupakan suatu sistem yang disusun dalam rangka mengarahkan

dan mengendalikan perusahaan demi tercapainya keselarasan kepentingan berbagai pihak yang berhubungan dengan perusahaan.

A.1.2.2 Asas corporate governance.

Banyak pihak yang menduga bahwa terjadinya krisis perekonomian global yang melanda negara-negara Asia Tenggara tahun 1998 disebabkan adanya penerapan mekanisme corporate governance yang buruk, khususnya pada perusahaan – perusahaan di Indonesia (Husnan, 2001; Maksum, 2005; Arifin, 2005). Oleh karena itu, sejak tahun 1999 Komite nasional kebijakan corporate

governance (KNKCG) telah mengeluarkan pedoman good corporate governance

yang telah mengalami perbaikan tahun 2001. Menurut KNKCG (2006) yang tertuang dalam pedoman good corporate governance Indonesia mengenai asas-asas good corporate governance, agar tercipta pelaksanaan corporate

governance yang baik diperlukan asas-asas fundamental yang menjadi dasar bagi

setiap tindakan berbagai pihak dalam perusahaan dan kerjasama yang baik di antara organ-organ perusahaan. Asas–asas fundamental tersebut meliputi

transparency, accountability, responsibility, independency dan fairness.

Asas transparency mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan semua informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh para pemangku kepentingan. Accountability berhubungan dengan

commit to user

pertanggungjawaban pihak manajemen kepada pemegang saham berkaitan dengan kinerjanya secara transparan dan wajar. Responsibility berkaitan dengan kepatuhan perusahaan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga tidak ada dominasi di antara organ-organ perusahaan (independency) dan senantiasa memperhatikan kepentingan semua pemangku kepentingan (fairness).

A.1.2.3 Organ – organ perusahaan.

Organ perusahaan yang terdiri dari rapat umum pemegang saham (RUPS), dewan komisaris dan direksi mempunyai peran penting dalam pelaksanaan

corporate governance yang efektif. Selanjutnya akan diuraikan wewenang

masing-masing organ tersebut di atas dalam perusahaan. A.1.2.3.1 RUPS.

RUPS bertanggungjawab dalam pengangkatan, pemberhentian, pemberian bonus dan insentif bagi dewan komisaris dan direksi. Pengangkatan dewan komisaris dan direksi harus memperhatikan kualitas dan melalui proses fit and

proper test.

A.1.2.3.2 Dewan komisaris.

Dewan komisaris bertanggungjawab melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada dewan direksi serta memastikan bahwa good

corporate governance (GCG) telah dilaksanakan dengan baik. Dewan komisaris

tidak boleh melakukan tugas yang berhubungan dengan pengambilan keputusan operasional. Agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik, perlu dipenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:

commit to user

- Komposisi dewan komisaris harus dibuat sedemikian rupa sehingga mendorong terciptanya independensi dan pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan jelas.

- Seorang komisaris harus professional dalam arti mempunyai integritas dan kemampuan yang memadai dalam menjalankan tugasnya.

- Dewan komisaris dapat terdiri dari komisaris independen dan komisaris terafiliasi. Salah satu anggota dewan komisaris independen harus mempunyai keahlian di bidang akuntansi atau keuangan.

A.1.2.3.3 Direksi.

Agar pelaksanaan tugas direksi dapat berjalan secara efektif, perlu dipenuhi prinsip-prinsip berikut KNKCG (2006: 19):

Komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen. Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya. Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan. Direksi mempertanggung jawabkan kepengurusannya dalam RUPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sistem corporate governance yang baik harus dapat memberikan perlindungan kepada pemegang saham dan kreditur melalui mekanisme internal maupun eksternal. Perlindungan melalui mekanisme internal dapat dilakukan dengan melibatkan unsur auditor internal dan dewan komisaris sedangkan perlindungan mekanisme eksternal dapat diwakili oleh peran auditor eksternal (Sulistyanto, 2008). Agar tercapai perlindungan maksimal, diperlukan kerja yang sinergis antara mekanisme eksternal dan internal.

commit to user A.1.3 Kualitas laba.

A.1.3.1 Definisi kualitas laba.

Informasi keuangan yang berkualitas merupakan informasi yang sangat penting bagi pengambilan keputusan bisnis dan investasi. Agar bermanfaat, laporan keuangan perlu mempunyai karakteristik sebagai laporan keuangan yang berkualitas (Sutopo, 2009). Laporan laba merupakan salah satu komponen laporan keuangan yang harus mempunyai kualitas tinggi karena berbagai pihak sangat menaruh perhatian pada unsur ini. Kualitas laba yang rendah merupakan permasalahan tersendiri karena dapat menyesatkan pengguna laporan keuangan tersebut (Ismail et al., 2010)

Dalam literatur penelitian, tidak ada konsensus yang seragam mengenai definisi kualitas laba. Schipper dan Vincent (2003: 4) melakukan benchmark

untuk mendefinisikan kualitas laba, yaitu:

Earning quality is the extent to which reported earnings correspond to economic income as defined by Hicks (1939): The Amount that the firm can pay out in dividends (that is, the amount that can be consumed) during a period, while leaving the firm equally well off at the beginning and the end of period.

Akan tetapi definisi kualitas laba di atas sangat sulit diobservasi baik secara praktis maupun secara operasional sehingga muncul definisi kualitas laba dari benchmark yang ke dua yaitu:

Earnings quality is the function of decision usefulness based on the FASB’s conceptual framework and on direct observation of the function of earnings capital allocation: (Schipper dan Vincent, 2003: 6)

1. Financial reporting should provide information that is useful to present and potential investors and creditors and other users in making rational investment , credit and similar decisions (concepts statement #1).

2. Decision usefulnessis the overriding criterion for judging accounting choices (concept statement #2).

commit to user

Menurut Soewardjono (2005), kualitas laba akuntansi ditunjukkan oleh korelasi antara laba akuntansi dan laba ekonomi. Berdasarkan dua definisi yang dinyatakan oleh Schipper dan Vincent (2003) serta Soewardjono (2005), dapat disimpulkan bahwa definisi kualitas laba secara garis besar dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu definisi kualitas laba yang dilihat dari sisi core

earnings dan definisi kualitas laba yang dilihat dari kegunaan laba dalam konteks

pengambilan keputusan bisnis.

Kategori kualitas laba yang ke dua ini lebih observable baik secara operasional maupun praktis sehingga menyediakan topik penelitian empiris yang banyak. Oleh karena itu, kualitas laba yang ada dalam penelitian-penelitian empiris terdahulu mendasarkan pada definisi kualitas laba dalam konteks kegunaannya dalam pengambilan keputusan bisnis para pemakainya.

A.1.3.2 Pengukuran kualitas laba.

Ada berbagai pendekatan untuk menentukan tingkat kualitas laba. Dechow et al. (2009) mengelompokkan ukuran kualitas laba ke dalam tiga

aspek, yaitu: statistical properties of earnings, investor responsiveness to

earnings, dan external indicators of financial reporting quality.

Statistical properties of earnings meliputi persistensi dan accruals,

earnings smoothness, asymmetric timeliness dan timely loss recognition, serta

benchmarking.

Investor responsiveness meliputi penggunaan earnings response

coefficient (ERC) sebagai ukuran kualitas laba, sedangkan external indicators

melihat kualitas laba dari dimensi standar akuntansi dan auditing, restatement, dan prosedur pengendalian internal perusahaan.

commit to user

Schipper dan Vincent (2003) mengkategorikan ukuran kualitas laba sebagai berikut:

a. Properties earnings.

Kualitas laba dari properties of earnings dilihat berdasarkan time series

properties of earnings yaitu tingkat persistensi, predictive ability, dan variability

yang merupakan standar deviasi dari realisasi laba terhadap arus kas. Selain itu kualitas laba dari sisi ini dapat juga dinilai melalui hubungan antara laba, kas dan

accruals. Kualitas laba dikatakan baik jika nilainya semakin mendekati nilai kas

atau tingkat accruals yang rendah. Model accruals yang paling sering dipergunakan untuk menentukan kualitas laba adalah discretionary accruals

(Hasim, 2009). Keberadaan discretionary accruals berarti terdapat praktek manajemen dan mengindikasikan kualitas laba yang rendah.

b. Nilai relevansi earnings terhadap harga saham sepanjang waktu.

Nilai relevansi laba dapat diperoleh melalui regresi antara laba dengan nilai buku saham pada saat tertentu. Nilai relevansi yang semakin turun dapat memberikan sinyal bahwa kualitas laba juga menurun.

c. Hubungan earnings dengan karakteristik ekonomi yang lain.

Kualitas laba dari aspek ini biasanya dihubungkan dengan cost of capital dan strategi pembiayaan modal perusahaan.

d. Kualitas laba yang dinilai dari standar pelaporan keuangan.

Kualitas laba dihubungkan dengan FASB (1980) mengenai karakteristik kualitatif laporan keuangan yang dituangkan dalam conceptual framework SFAC nomer 2 mengenai laba yang berkualitas, yaitu meliputi relevansi, reliabilitas dan komparabilitas.

commit to user

A.1.3.3 Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kualitas laba.

Jun (2009) menyatakan bahwa kualitas laba dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

a. Standar akuntansi.

Perbedaan standar akuntansi yang dipergunakan di suatu perusahaan dapat menyebabkan perbedaan kualitas laba. Webster dan Thornton (2005) menemukan perbedaan kualitas laba yang dilihat dari nilai discretionary accruals pada perusahaan US yang menganut GAAP dan perusahaan US yang menganut IAS.

b. Karakteristik perusahaan.

Karakteristik perusahaan yang dapat berpengaruh terhadap kualitas laba adalah komposisi pemegang saham, keberadaan pemegang saham pengendali dan ukuran perusahaan. Beberapa peneliti menemukan berkurangnya tindakan manajemen laba pada perusahaan dengan komposisi pemegang saham institusional yang lebih besar (Lee et al., 2007; Velury dan Jenkins, 2006). Penelitian Wang dan Tong (2006) menemukan bukti bahwa kualitas laba berhubungan negatif dengan keberadaan pemegang saham pengendali dan akan meningkat seiring dengan menurunnya persentase kepemilikan saham oleh pemegang saham pengendali.

c. Karakteristik komisaris dan komite audit.

Fungsi pengawasan yang melekat pada dewan komisaris terbukti mampu meningkatkan kualitas laba dengan cara membatasi tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Keberadaan komisaris independen mampu menurunkan praktik manajemen laba di suatu perusahaan (Beasley, 1996;

commit to user

Dechow et al., 1995). Vafeas (2005) mengungkapkan bukti bahwa jumlah pertemuan komite audit berhubungan positif dengan kualitas laba.

d. Karakteristik manajerial.

Karakteristik manajerial yang berpengaruh terhadap kualitas laba misalnya kompensasi, reputasi, gender, tingkat perputaran, usia, dan sebagainya. Healy (1985), Balsam (1998), serta Kalyta dan Magnan (2008) mengungkapkan bahwa adanya kompensasi yang berbentuk tunai, rencana bonus maupun program pensiun perusahaan dapat menjadi dorongan para manajer untuk melakukan manajemen laba.

A.1.3.4 Manfaat kualitas laba.

Laporan keuangan yang dipublikasikan oleh perusahaan merupakan sumber informasi utama bagi dasar pengambilan keputusan pihak eksternal. Laporan keuangan diterbitkan dengan tujuan menyediakan informasi keuangan perusahaan yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan penanaman modal investor, pihak kreditur maupun keputusan-keputusan lain yang berhubungan dengan bisnis perusahaan (FASB, 1978) dalam conceptual framework SFAC nomer 1.

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa informasi keuangan merupakan informasi penting yang berpengaruh bagi berbagai pihak. Oleh karena itu informasi keuangan yang dilaporkan harus berkualitas tinggi. Wild (1996) menekankan pentingnya memastikan bahwa laporan keuangan melaporkan informasi keuangan yang berkualitas tinggi. Informasi keuangan yang berkualitas tinggi akan meminimalkan adanya kesenjangan asimetri informasi antara pihak

commit to user

manajemen perusahaan dan para pemegang saham (Karamanou dan Vafeas, 2005).

Informasi laba merupakan salah satu komponen yang paling menarik perhatian pihak eksternal karena menjadi dasar bagi penilaian investasi dan keputusan kerjasama bisnis (Lev, 1989; Schipper dan Vincent, 2003; Francis et al., 2005). Para analis keuangan menggunakan informasi laba untuk meramalkan nilai pengembalian investasi di masa datang (Siegel, 1982). Komisaris perusahaan dan pemilik institusional menggunakan informasi laba untuk menilai kinerja perusahaan dan kualitas manajemen perusahaan (Lev, 2003). Peasnell et al. (2000) menyatakan bahwa pemegang saham memerlukan informasi laba untuk menentukan bonus berbasis laba sekaligus sebagai dasar dalam memberikan penghargaan kepada para eksekutif perusahaan.

FASB (2000) dalam conceptual framework SFAC nomer 7 secara tegas menyatakan bahwa tujuan laba adalah untuk memberikan acuan bagi investor meramalkan cash flow perusahaan atau tingkat pengembalian saham. Isu mengenai kualitas laba menjadi penting seiring kebutuhan para pengguna akan informasi laba yang berkualitas tinggi sehingga meningkatkan nilai kebermanfaatannya dalam pengambilan keputusan.

A.1.4 Manajemen laba.

Pembahasan tentang kualitas laba tidak dapat dipisahkan dari manajemen laba. Terdapat hubungan yang sangat erat antara manajemen laba dengan kualitas laba. Hal ini dikarenakan keberadaan praktik manajemen laba dapat menginterpretasikan tingkat kualitas laba (Hasim, 2009).

commit to user

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan manajemen laba berpengaruh negatif terhadap kualitas laba (Dechow et al., 1995; Beasley, 1996;

Xie et al., 2003).

A.1.4.1 Definisi manajemen laba.

Dalam literatur penelitian, terdapat beberapa definisi mengenai manajemen laba. Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan intervensi yang penuh arti terhadap proses pembuatan laporan keuangan kepada pihak eskternal dengan maksud mendapatkan beberapa keuntungan pribadi.

Hampir sama dengan Schipper (1989), Asih dan Gudono (2000) mengartikan manajemen laba sebagai suatu proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Accepted Accounting Principles (GAAP).

Berbeda dengan kedua definisi di atas, Scott (2006) mengartikan manajemen laba sebagai pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer untuk tujuan tertentu.

A.1.4.2 Faktor – faktor penyebab manajemen laba.

Ada beberapa faktor pendorong terjadinya manajemen laba. Dalam positif

accounting theory terdapat tiga hipotesis yang dapat menjelaskan motivasi

praktik manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986):

a. Bonus Plan Hypothesis.

Standar akuntansi memberikan kelonggaran bagi manajemen untuk memilih berbagai metode pengukuran dan pencatatan (Fayoumi et al., 2010). Menurut hipotesis ini, manajemen perusahaan cenderung memilih metode akuntansi untuk

commit to user

memaksimalkan keuntungan pribadi, yaitu penerimaan bonus yang tinggi. Perusahaan yang memberikan apresiasi kinerja manajemen dalam bentuk bonus menyebabkan para manajer cenderung memilih metode akuntansi yang dapat digunakan untuk meningkatkan laba. Terdapat dua istilah yang berkaitan dengan bonus, yaitu bogey dan cap. Bogey merupakan tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus, sedangkan cap merupakan tingkat laba tertinggi untuk pembagian bonus. Bonus akan tersedia jika perusahaan berhasil memperoleh tingkat laba di antara bogey dan cap.

b. Debt covenant hypothesis.

Manajer di sebuah perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity yang cukup tinggi cenderung melakukan manajemen laba dengan cara memilih metode akuntansi yang dapat mencerminkan angka laba yang lebih tinggi. Tujuannya adalah untuk menjaga reputasi perusahaan di mata pihak eksternal. Rasio debt to

equity yang tinggi dapat menyebabkan perusahaan kesulitan mencari sumber

dana eksternal.

c. Political cost hypothesis.

Profitabilitas yang tinggi dapat menciptakan political cost yang tinggi pula. Profitabilitas tinggi akan menarik perhatian banyak pihak. Pemerintah tertarik pada perusahaan dengan profitabilitas tinggi karena berhubungan dengan pembayaran pajak yang tinggi. Oleh karena itu, manajer pada perusahaan dengan tingkat profitabilitas tinggi cenderung memilih metode akuntansi menangguhkan laba pada periode mendatang sehingga angka laba yang dilaporkan kecil. Konsisten dengan Watt dan Simmerman (1986), Dechow dan Skinner (2000)

commit to user

mengungkapkan beberapa motivasi yang mendorong manajemen mempraktikkan manajemen laba yaitu: motivasi kontraktual, motivasi peraturan, dan motivasi pasar.

Motivasi kontraktual berhubungan dengan hal-hal yang bertujuan untuk memperoleh hasil yang memuaskan yang berkaitan dengan perjanjian kredit, kompensasi manajemen, keamanan pekerjaan dan kesepakatan kerja antar perusahaan (Hasim, 2009). Praktek manajemen laba dilakukan dalam rangka

Dokumen terkait