• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Literatur

B. Penelitian Sebelumnya

Adapun hasil-hasil sebelumnya dari penelitian-penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 2.1

62 Tabel 2.1

Penelitian Sebelumnya Mengenai Pengaruh Opini Audit (X1), Kelemahan Spi (X2), Kepatuhan Terhadap Perundang-Undangan (X3), Rasio Kemandirian (X4), Rasio Aktivitas (X5), Rasio Pertumbuhan (X6), Terhadap

Tingkat Korupsi di Indonesia (Y).

No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil 1. Heriningsih

Kajian Empiris Tingkat Akuntabilitas

Pemerintah Daerah Dan Kinerja Penyelengara Pemerintah Daerah Terhadap Tingkat Korupsi Pada

Kabupaten Dan Kota Di Indonesia

Paradigma Jurnal Masalah Sosial, Politik, Dan Kebijakan Volume 18, Nomor 2,

September 2014 Hal 29-36

 Jenis Penelitian: Kuantitatif  Sumber Data: Sekunder  Sampel: LKPD Dan LKPP 36

Kabupaten Dan Kota Di Indonesia

 Tahun Data: 2010

 Metode Analisis: Regresi  Variabel Lainnya: Opini Audit,

Kelemahan Sistem Pengendalian Intern, Dan Ketidakpatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, Kinerja Penyelenggara (Dependen) Dan Korupsi (Independen)

V V V V Tingkat akuntabilitas yang diukur (opini audit, tingkat Kelemahan SPI, tingkat ketaatan terhadap

perundang-undangan) dan Kinerja penyelenggaran pemerintah daerah (skor IKK dari LPPD) tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi di

pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia 2. Sarah Pengungkapan Laporan Keuangan Pemda Kabupaten dan Kaitannya dengan Tingkat Korupsi di Indonesia.

 Jenis Penelitian: Kulitatif deskriptif

 Sumber Data: Sekunder

 Sampel: LKPD 392 Kabupaten Di Indonesia

 Tahun Data: 2011

 Metode Analisis: Konten

V V Kualitas pelaporan laporan

keuangan di Indonesia semakin baik, tidak terdapat kaitan antara pengungkapan laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten dengan

63 No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil

Skripsi UIN Jakarta 2014

 Variabel Lainnya: Pengungkapan LKPD, Opini Audit (Dependen) Dan Korupsi (Independen)

opini yang diberikan oleh BPK, perkembangan kasus korupsi di Indonesia semakin bertambah, pengungkapan laporan keuangan daerah kabupaten memiliki keterkaitan dengan tingkat kotupsi di Indonesia, serta terdapat kaitan antara opini audit dan tingkat korupsi 3. Manafe Dan Akbar

Accountability And Performance: Evidence From Local

Government

Journal Of Indonesian Economy And Business Volume 29, Number 1, 2014, 56-73

 Jenis Penelitian: Kuantitatif  Sumber Data: Sekunder  Sampel: 201 SKPD Nusa

Tenggar Timur  Tahun Data: 2011  Metode Analisis: SEM  Variabel Lainnya: SKPD

(Dependen) Dan Akuntabilitas (Independen)

V Hasil Penelitian

Menunjukkan Bahwa Konflik Di Persyaratan Akuntabilitas Memiliki Dampak Yang Signifikan Pada Konteks Kerja Dengan Persepsi Negatif Pada Tingkat Yang Berbeda, Tetapi Tidak Memiliki Dampak Yang Signifikan Terhadap Kinerja Kerja Para Pelaku Akuntabilitas .

4. Heriningsih Dan Marita Pengaruh Opini Audit Dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

 Jenis Penelitian: Kuantitatif  Sumber Data: Sekunder

 Sampel: LKPD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

V V V V V Hasil Pengujian Secara Statistik Membuktikan Bahwa Variabel Opini Audit Dan Kinerja

64 No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil

Terhadap Tingkat Korupsi

Pemerintah Daerah (Studi Empiris Pada Pemerintah Kabupaten Dan Kota Di Pulau Jawa)

Buletin Ekonomi Vol. 11 No. 1, April 2013 Hal. 1-86

 Tahun Data: 2008 Dan 2010  Metode Analisis: Regresi

Berganda

 Variabel Lainnya: Opini Audit, Rasio Kemandirian, Rasio Aktivitas Dan Rasio

Pertumbuhan (Dependen) Dan Tingkat Korupsi (Independen)

Keuangan (Rasio Kemandirian, Rasio Aktivitas, Dan Rasio Pertumbuhan) Tidak Berpengaruh Terhadap Tingkat Korupsi Di Pulau Jawa

5. Fidelius

Analisis Rasio Untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Manado Jurnal EMBA Vol.1 No.4 Desember 2013, Hal. 2088-2096

 Jenis Penelitian: Kuantitatif  Sumber Data: Sekunder  Sampel: LKPD Kota Manado  Tahun Data: 2010- 2012  Metode Analisis: rasio kinerja

pengelolaan keuangan  Variabel Lainnya: Rasio

Kemandirian, Rasio Aktivitas Dan Rasio efektifitas (Dependen) Dan Kinerja Pengelolaan

Keuangan (Independen)

V V Hasil penelitian

menunjukkan bahwa, rasio kemandirian kota Manado masih sangat rendah, rasio efektiftivitas cukup efektif. Pada rasio aktivitas

pemerintah kota Manado memperioritaskan dananya pada belanja operasi. Rasio pengelolaan belanja sudah sangat baik karena

melebihi 100% yang berarti mengalami surplus anggaran

6. Dwijayanti Dan Rusherlistyanti Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan

 Jenis Penelitian: Kuantitatif  Sumber Data: Sekunder  Sampel: APBD Dan Laporan

Realisasi APBD di 33 Provinsi

V V V Terdapat Perbedaan Tingkat Kemandirian, Tingkat Aktivitas Belanja Rutin Dan Aktivitas

65 No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil

Pemerintah

Propinsi Seindonesia Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, Volume 12. Nomor 01 Maret 2013 Hal.43-66

Seluruh Indonesia  Tahun Data: 2008-2011  Metode Analisis: Metode

Analisis Rasio Keuangan Dan Analisis Uji Beda Kinerja Keuangan

 Variabel Lainnya: Rasio Kemandirian, Rasio Efektifitas PAD, Rasio Efisiensi, Rasio Aktivitas, Rasio Pertumbuhan (Dependen) Dan Kinerja Keuangan (Independen)

Belanja Pembangunan, dan Tingkat Efektivitas Yang Signifikan Pada Kinerja Keuangan Pemerintah Propinsi Se- Indonesia Periode 2008-2010, Tidak Terdapat Perbedaan Tingkat Efisiensi, Tingkat Pertumbuhan PAD Yang Signifikan Pada Kinerja Keuangan Pemerintah Propinsi Se-Indonesia Periode 2008- 2010. 7. Nugroho Pengaruh Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Kinerja Keuangan Daerah Dengan Pendapatan Asli Daerah Sebagai Variabel Intervening Skripsi Universitas Diponegoro 2012

 Jenis Penelitian: Kuantitatif  Sumber Data: Sekunder

 Sampel: LKPD Kabupaten Dan Kota Yang Ada Di Propinsi Jawa Tengah

 Tahun Data: 2008-2010

 Metode Analisis: Dokumentasi  Variabel Lainnya: Belanja Modal

(Dependen) Dan kinerja keuangan (Independen) dan Pendapatan Asli daerah (Intervening)

V Hasil Dari Penelitian Ini Menunjukkan Bahwa Belanja Modal Berpengaruh Negatif Terhadap Pertumbuhan Kinerja Keuangan Daerah Secara Langsung,

Sedangkan Secara Tidak Langsung Belanja Modal Berpengaruh Positif Terhadap Pertumbuhan Kinerja Keuangan Melalui Pendapatan Asli Daerah Sebagai Variabel

66 No. Peneliti /Judul/ Sumber Metodologi Penelitian X1 X2 X3 X4 X5 X6 Y Hasil 8. Setiawan Pengaruh Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Terhadap Tingkat Korupsi Pemerintah Daerah Di Indonesia. Skripsi Universitas Diponegoro 2012

 Jenis Penelitian: Kuantitatif  Sumber Data: Observasi

 Sampel: LKPD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia

 Tahun Data: 2008

 Metode Analisis: Analisis Regresi

 Variabel Lainnya: Opini Audit, Kelemahan Sistem Pengendalian Intern, Dan Ketidakpatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan

(Dependen) Dan Tingkat Korupsi (Independen)

V V V V Hasil Penelitian Ini

Menunjukkan Bahwa Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (Opini Audit, Kelemahan Sistem Pengendalian Intern, Dan Ketidakpatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan) Tidak Berpengaruh

Terhadap Tingkat Korupsi Pemerintah Daerah Di Indonesia.

9. Sularso Dan Restianto Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal Dan Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten/Kota Di Jawa Tengah

Media Riset Akuntansi, Vol. 1 No.2 Agustus 2011 Hal. 109-124

 Jenis Penelitian: Kuantitatif  Sumber Data: Sekunder

 Sampel: LKPD Kabupaten Dan Kota Yang Ada Di Propinsi Jawa Tengah

 Tahun Data: 2006-2009  Metode Analisis: SEM  Variabel Lainnya: Kinerja

Keuangan (Dependen) Dan Alokasi Belanja Modal (Independen)

V V Alokasi Belanja Modal Dipengaruhi Oleh Kinerja Keuangan, Alokasi Belanja Modal

Berpengaruh Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Secara Tidak Langsung Dipengaruhi Oleh Kinerja Keuangan Daerah.

67 5) Keterkaitan Antar Variabel dan Pengembangan Hipotesis

Hipotesis penelitian adalah dugaan sementara terhadap penelitian yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Secara teknis penelitian dapat didefinisikan sebagai pernyataan mengenai populasi yang akan diuji kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian.

Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggung jawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan, dan ketaatan terhadap peraturan perundangan. Sasaran pertanggung jawaban ini adalah laporan keuangan yang disajikan. Tuntutan akuntabilitas terhadap penyelenggaraan pemerintahan berjalan seiring dengan adanya era yang lebih demokratis dan terbuka kepada rakyat (Halim, 2004). Menurut Widjajabrata dan Zaechea (1991) dalam Kurniawan (2009) Terdapat strategi yang dapat dilakukan guna memberikan hasil yang berbeda dalam upaya pemberantasan korupsi yakni melakukan upaya reformasi sektor publik yang utama, dimana di dalamnya terdapat kegiatan penguatan akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan.

Akuntabilitas juga dapat dikaitkan dengan reformasi saat ini yang menghendaki pemerantasan KKN, khusunya korupsi. Kaitan ini yang merupakan peran akuntabilitas dalam usaha memberantas korupsi, dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan:

68 Dimana K adalah Korupsi, M adalah Monopoli, D adalah diskresionari (kebijaksanaan), dan A adalah Akuntabilitas. Dari persamaan tersebut jelas bahwa korupsi akan terjadi bila terjadi monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi, terjadinya penyimpangan kebijakan publik, dan tidak adanya pertanggung jawaban terhadap publik setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah (Klitgaard, 2001).

BPK mendorong adanya peningkatan akuntabilitas melalui monitoring yang kuat sehingga memaksa semua pengelola patuh yang akan mengurangi KKN yang timbul dari adanya niat dan kesempatan (Poernomo, 2013).

Akuntabilitas Pemerintah Daerah merupakan tingkat pengukuran kinerja yang diukur dengan menggunakan hasil audit BPK RI atas LKPD setiap tahunnya yang dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Hasil pemeriksaan keuangan atas LKPD dan disajikan dalam 3 bagian yaitu: opini, sistem pengendalian intern, dan laporan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan (BPK, 2012).

Dalam proses peradilan tindak pidana korupsi untuk menentukan terbukti tidaknya terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, perlu dibuktikan unsur perbuatan melawan hukum dan pembuktian adanya kerugian Negara. Satu-satunya lembaga Negara yang memiliki kewenangan dalam menghitung kerugian Negara dalam proses peradilan tindak pidana korupsi adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (BPK, 2012). Dalam pasal 11 huruf c UU No. 15 Tahun 2006 disebutkan bahwa BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian Negara/daerah. Keterangan yang diberikan oleh BPK selaku ahli dalam

69 proses peradilan adalah keterangan berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atau berdasarkan penilaian dan perhitungan kerugian Negara yang dilakukan BPK. Dalam hal ini hasil pemeriksaan BPK tersebut berupa laporan yang menunjukkan bahwa adanya penyimpangan keuangan atau terjadi korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat Negara dalam instansi mereka(Rampengan, 2013). Menurut Simatupang (2012) keputusan keuangan negara harus didasarkan pada perencanaan terlebih dahulu, dan tidak lahir dari keputusan yang asal-asalan dengan memperhatikan alokasi, kebutuhan, dan kemampuan, serta manfaat akhir. Semua direncanakan dan dilaksanakan secara hati-hati sehingga keuangan negara yang digunakan mencapai tujuan negara yang diharapkan. Jika suatu keputusan keuangan dalam APBN tidak didasarkan pada perencanaan, artinya keputusan mengenai tujuan dalam penerimaan pendapatan atau pengeluaran belanja tidak didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dan manfaat yang diperoleh, berarti ada korupsi.

Pengukuran kinerja pemerintah bertujuan untuk menilai sejauh mana pemda mampu menyediakan jasa yang berkualitas dengan biaya yang layak. Bagi organisasi publik kinerja pelayanan publik merupakan salah satu penilaian atas keberhasilan otonomi daerah antara lain meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Peningkatan pelayanan publik dimaksud adalah secara kuantitas maupun kualitas dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan rasio belanja aktivitas. Adapun memajukan perekonomian yaitu menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber-sumber daya

70 daerah sehingga memberikan dampak aspek finansial daerah (PAD dan pertumbuhan pendapatan tiap periode anggaran) yang diukur dengan rasio kemadirian daerah dan rasio pertumbuhan (Wakhyudi dan Tarunasari, 2013).

Dari keterkaitan korupsi dengan pengukuran kinerja pemerintah daerah berdasarkan LKPD, maka rasio yang digunakan yaitu: Rasio Kemandirian, Rasio Aktivitas yang terdiri atas aktivitas belanja operasional serta aktivitas belanja modal, Dan Rasio Pertumbuhan.

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Interaksi antara Opini Audit dengan tingkat korupsi

Opini yang diberikan oleh BPK menunjukkan tingkat kewajaran penyajian laporan keuangan terutama kesesuaiannya dengan standar akuntansi yang ditetapkan oleh pemerintah. Standar akuntansi merupakan standar kualitas laporan yang menjaga agar informasi yang disajikan wajar (Ruki, 2012). Ada empat jenis opini yang dapat diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yaitu:

a) Opini terbaik adalah Wajar Tanpa Pengeculian (Unqualified Opinion) yang berarti semua informasi yang material dalam laporan disajikan dengan wajar. opini ini diberikan karena auditor meyakini laporan keuangan telah bebas dari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang material berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan. Laporan keuangan dengan opini WTP merupakan kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan. opini WTP merupakan bentuk apresiasi tertinggi dalam

71 penilaian pengelolaan laporan keuangan (BDK, 2012). BPK dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas (WTP-DPP) karena keadaan tertentu sehingga mengharuskan pemeriksa menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam LHP sebagai modifikasi dari opini WTP (BPK, 2012).

b) Opini terbaik kedua adalah Wajar Dengan Pengecualian (Qualified

Opinion), yang berarti semua informasi yang material dalam laporan

keuangan disajikan secara wajar, kecuali bagian tertentu yan dikecualiakn BPK. Opini diberikan karena meskipun ada kekeliruan, namun kesalahan atau kekeliruan tersebut secara keseluruhan tidak mempengaruhi kewajaran laporan keuangan.

c) Opini paling buruk adalah Tidak Wajar (Adverse Opinion), terdapat informasi

Material tidak disajikan secara awal yang akan mengganggu kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Opini diberikan karena auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkannya bahwa laporan keuangan mengandung banyak sekali kesalahan atau kekeliruan yang material. Artinya, laporan keuangan tidak menggambarkan kondisi keuangan secara benar.

d) Opini Tidak Memberikan Pendapat atau Menolak Memberikan Pendapat

(Disclaimer Opinion) yang berarti BPK tidak dapat menyakini apakah

72 tersebut wajar atau tidak. Opini diberikan karena auditor tidak bisa meyakini apakah laporan keuangan benar atau salah. Ini terjadi karena auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan apakah laporan sudah disajikan dengan benar atau salah (BDK, 2013).

Pemeriksaan keuangan tidak menilai benar atau salahnya suatu laporan, tetapi wajar tidaknya penyusunan laporan keuangan. Jadi, sepanjang disajikan secara wajar sesuai standar akuntansi, laporan keuangan bisa saja mendapat opini WTP meskipun sebenarnya mengandung korupsi (Prakasa, 2012). Menurut Poernomo (2013) WTP tidak menjamin pemda bebas korupsi, karena WTP hanya tata kelola keuangannya baik, dimana baik bukan berarti benar. Menurut Prakarsa (2012) jika BPK menemukan kejanggalan dalam memeriksa keuangan negara, BPK dapat mengusut kasus korupsi dan melakukan pemeriksaan tertentu. Dimana nantinya Laporan Hasil Pemeriksaan tersebut dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dijadikan sebagai tindakan penyelewengan dana yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara (Rampengan, 2013). Menurut Azis, ketua BPK (2015) BPK terus meningkatkan kualitas pemeriksaan dengan dengan meningkatkan pemaham atas Audit Berbasis Risiko (RBA) sehingga pemeriksa mempunyai sensistivitas dalam mendeteksi adanya penyimpangan, termasuk indikasi korupsi. Ukuran kualitas akuntabilitas pelaporan keuangan ditunjukan dari opini yang diberikan oleh BPK RI atas penyajian laporan

73 keuangan pemerintah (Ismiyati dan Widiyanto, 2015). Berdasarkan model Korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001) Opini audit laporan keuangan yang menunjukkan tingkat kewajaran pada akuntabilitas laporan keuangan yang berpengaruh pada korupsi. Jadi, dapat dihipotesiskan opini audit berpengaruh signifikan pada tingkat korupsi.

H1 : Opini audit laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah.

2. Interaksi antara Sistem pengendalian intern dengan tingkat korupsi

Sistem pengendalian intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan laporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan pada peraturan (Syafrudin, 2012).

Hasil pemeriksaan BPK atas sistem pengendalian intern mengungkapkan tentang Kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, Kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, Kelemahan struktur pengendalian intern (BPK, 2012). Kelemahan sistem pengendalian intern yang dilaporkan BPK menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan.

Berdasarkan model Korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001) sistem pengendalian internal menunjukkan akuntabilitas laporan keuangan yang

74 berpengaruh pada korupsi. Menurut Anwar (2006) untuk meningkatkan pengelolaan keuangan negara yang mengurangi korupsi, pemerintah melakukan koreksi secara menyeluruh sehingga memperbaiki akuntabilitas pelaporan keuangan, salah satunya dengan sistem pengendalian internal. Semakin banyak kelemahan sistem pengendalian intern menunjukkan informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan tidak dapat diandalkan (BPK, 2013), Artinya semakin banyak kelemahan sistem pengendalian intern menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan yang rendah. Jika tingkat akuntabilitas laporan keuangan yang tinggi dapat mengurangi tindak korupsi (Widjajabrata dan Zacchea, 2004). Menurut Rampengan (2013) Hasil LHP yang salah satunya menguji sistem pengendalian internal dapat dijadikan kasus tindak pidana korupsi, jika suatu instansi pemerintah atau pejabat pemerintah dikatakan telah melakukan penyelewengan dana (Korupsi) yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa kelemahan sistem pengendalian internal yang terjadi di pemda maka berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.

H2: Kelemahan sistem pengendalian intern laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah.

3. Interaksi antara Kepatuhan terhadap perundang- undangan dengan tingkat korupsi

75 Sebagai bagian pemrolehan keyakinan yang memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, sesuai dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), BPK melakukan pengujian kepatuhan pada pemda terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan, serta ketidakpatutan yang berpengaruh langsung dan material

terhadap penyajian laporan keuangan. BPK menemukan adanya

ketidakpatuhan, kecurangan, dan ketidakpatutan dalam pengujian kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan pada Pemda dengan Pokok-pokok temuan tertentu seperti Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, dan peraturan masing masing bupati pemda terkait anggaran LKPD (LPKD, 2013). Hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan mengungkapkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan penerimaan, administrasi, ketidakekonomisan, dan ketidakefektifan.

Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilaporkan BPK menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan. Berdasarkan model Korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001) Kepatuhan terhadap perundang- undangan menunjukkan akuntabilitas laporan keuangan yang berpengaruh pada korupsi. Semakin banyak kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan menunjukkan informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan dapat diandalkan (BPK, 2013).

76 Artinya semakin banyak ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan rendah.

Menurut Widjajabrata dan Zacchea (2004) Jika tingkat akuntabilitas laporan keuangan yang tinggi dapat mengurangi tindak korupsi, Artinya akuntabilitas yang lemah diyakini berpengaruh pada meningkatnya korupsi. menurut Rampengan (2013) Hasil LHP yang salah satunya menguji kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangandapat dijadikan kasus tindak pidana korupsi, jika suatu instansi pemerintah atau pejabat pemerintah dikatakan telah melakukan penyelewengan dana yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang terjadi di pemda maka berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.

H3: Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan

laporan keuangan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi pemerintah daerah.

4. Interaksi antara Rasio Kemandirian dengan tingkat korupsi

Kemandirian keuangan menunjukkan kemampuan pemda dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah dengan kata lain rasio ini menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern (Wakhyudi dan

77 Tarunasari, 2013). Kemandirian keuangan ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan Asli daerah (PAD) dibandingkan dengan total pendapatan (Halim dan Kusufi, 2012). Dengan menggunakan rasio keuangan APBD dapat terlihat kemandirian suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahannya dan kemampuan pemerintah dalam mempertahankan keberhasilan keuangan dari periode ke periode berikutnya.

Menurut Halim (2002) Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Menurut Heriningsih dan marita (2013) Semakin tinggi rasio kemandirian, maka semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga akan menimbulkan adanya korupsi. Menurut Saputra (2012) dengan tingginya partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD) rentan menjadi objek korupsi. Terbukti dengan adanya UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan retribusi daerah yang dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi Pemda yang seharusnya memberikan kontribusi PAD yang lebih tinggi untuk kesejahteraan mayarakat. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa rasio kemandirian pemda maka berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.

H4: Rasio Kemandirian berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah.

78 5. Interaksi antara Rasio aktivitas Belanja operasional dengan tingkat korupsi

Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin (operasi) secara optimal. Rasio belanja aktivitas dihitung dengan membandingkan total belanja operasi pada total APBD. Pengukuran kinerja pemerintah bertujuan untuk menilai sejauh mana pemda mampu menyediakan Produk (jasa) yang berkualitas dengan biaya yang layak (Wakhyudi dan Tarunasari, 2013). Anggaran belanja rutin merupakan anggaran yang disediakan untuk membiayai kegiatan yang bersifat lancar, rutin dan secara terus menerus yang dimaksudkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat (Pramono, 2014). Menurut Heriningsih dan marita (2013) Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin (operasi) berarti adanya peningkatan sumber-sumber pendapatan yang dibelanjakan untuk kesejahteraan masyarakat yang bersifat rutin sehingga akan menimbulkan korupsi. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa rasio aktivitas belanja operasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.

H5: Rasio Aktivitas Belanja Operasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah.

6. Interaksi antara Rasio aktivitas Belanja Modal dengan tingkat korupsi

Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya belanja pembangunan (modal) secara optimal. Rasio belanja aktivitas dihitung dengan membandingkan total belanja modal pada total APBD. Pengukuran kinerja pemerintah bertujuan untuk

79 menilai sejauh mana pemda mampu menyediakan Produk (jasa) yang berkualitas dengan biaya yang layak (Wakhyudi dan Tarunasari, 2013). Menurut Halim (2004) Anggaran belanja pembangunan adalah anggaran yang disediakan untuk membiayai proses perubahan, yang merupakan perbaikan dan pembangunan menuju kemajuan yang ingin dicapai. Pengeluaran yang dianggarkan dalam pengeluaran pembangunan didasarkan atas alokasi sektor industri, pertanian dan kehutanan, hukum, transportasi, dan lain sebagainya.

Menurut Heriningsih dan marita (2013) Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja pembangunan (modal) berarti adanya peningkatan sumber-sumber pendapatan yang dibelanjakan untuk kesejahteraan masyarakat yang bersifat menambah aset atau kekayaan negara sehingga akan menimbulkan korupsi. Jadi dapat dihipotesiskan bahwa rasio aktivitas belanja operasi berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi.

H6: Rasio Aktivitas Belanja Modal berpengaruh signifikan terhadap tingkat korupsi di pemerintah daerah.

Dokumen terkait