• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.13 Penelitian Sebelumnya

Di dalam sub bab ini akan dijelaskan tentang hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yang ada hubungannya dengan ketimpangan pembangunan. Kuznets yang telah berjasa besar dalam memelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju telah mengemukakan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal secara luas sebagai konsep kurva Kuznets “U-terbalik” (Kuznets, 1955).

Williamson meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi. Dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan ekonomi negara yang sedang berkembang, ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu. Pada tahap yang lebih matang dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antar wilayah dan disparitas berkurang dengan signifikan (Williamson, 1965).

Pendapatan orang asing dipengaruhi bukan hanya oleh calon penawaran pendapatan tersebut, tetapi dipengaruhi juga oleh karakteristik lokasi yang lain, seperti tingkat permintaan, infrastruktur publik, persediaan perusahaan dan biaya tenaga kerja (Roberto, Basile, 2004).

Akita (2001) melakukan penelitian untuk menaksir ketimpangan pendapatan wilayah regional di Cina pada periode tahun 1995-1998. Permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh Pemerintah Cina adalah masalah pemerataan pendapatan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi antarprovinsi. Sejak adanya perubahan sistem ekonomi di bawah Deng Xiaoping dengan melakukan kebijakan “pintu terbuka” yang dimulai pada tahun 1978, Cina telah mencapai suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam dua dekade tersebut. Penelitian ini menggunakan alat analisis Theil Index berdasarkan pada District-Level GDP dan data populasi jumlah penduduk. Penelitian ini juga melakukan suatu analisis ketimpangan bersarang dua tahap (two-stage) dikembangkan oleh Akita (2000), untuk meneliti faktor ketimpangan pendapatan regional. Ketimpangan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu ketimpangan dalam provinsi dan ketimpangan antarprovinsi. Alat analisis regresi juga digunakan untuk meneliti faktor-faktor yang mungkin sebagai penentu ketimpangan pendapatan dalam provinsi-provinsi.

Akita (2004) mengukur ketimpangan regional GDP per kapita dan produktivitas tenaga kerja di Indonesia dari tahun 1993-1999 dengan koefisien variasi yang dibobot dan Theil Index. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan regional, diantaranya Koefisien Gini,

koefisien variasi yang dibobot (Williamson, 1965), perbedaan hasil logaritmis, dan Theil Index (Theil, 1967). Penelitian ini menggunakan koefisien variasi yang diboboti (weighted) dan Theil Index, untuk mengukur ketimpangan regional baik dalam sektor (within sector) maupun ketimpangan sektor (between sector). Metode-metode yang digunakan untuk mengukur ketimpangan tersebut sebenarnya sangat bervariasi baik melalui pendekatan parametrik maupun non parametrik (Heshmati, 2004).

Ezcurra and Manuel (2006) meneliti Hubungan antara ketimpangan regional dan tingkat perkembangan ekonomi di 14 negara Eropa bagian Barat selama periode 1980-2002. Penelitian ini menggunakan metodologi semi-parametric, dan hasilnya muncul indikasi bahwa adanya sebuah proses divergensi regional ketika sebuah tingkat perekembangan tertentu telah dicapai.

Machael B dan Daniel F (2007) meneliti perkembangan dan kemunduran yang terjadi dalam ketimpangan wilayah. Penelitian ini menggunakan metode statistik dengan melihat tingkat pendapatan, infrastruktur wilayah dan selain menggunakan data primer penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa setelah ada perubahan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan bagi seluruh wilayah, maka ketimpangan semakin kecil sebelumnya kondisi pendapatan wilayah merupakan gini divergen.

Pierow. G.Y. (2003) meneliti bentuk ketimpangan wilayah ditinjau dari pasar tenaga kerja di Jerman. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan data yang digunakan adalah data sekunder. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada saat beberapa kota di Jerman mengalami peningkatan jumlah

pengangguran, ada beberapa kota yang mampu menurunkan angka penggangguran karena kota-kota tersebut mampu manampung tenaga kerja lebih banyak di sektor industri.

Bonar dan Alim (2004) menganalisis keterkaitan antar sektor ekonomi,

multiplier output, multiplier nilai tambah dan distribusi pendapatan rumah tangga di Jawa. Hasil studi menunjukkan bahwa: (1) sektor industri makanan, minuman dan tembakau, serta sektor perdagangan, restoran dan hotel relatif lebih berorientasi pasar, sehingga kurang mampu menarik sektor-sektor yang di belakangnya untuk tumbuh, (2) sektor kehutanan dan perburuan dengan sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu, kurang terkait secara vertikal, (3) injeksi ekonomi pada sektor manapun selalu lebih menguntungkan golongan rumah tangga di kota daripada golongan rumah tangga di desa, dan (4) umumnya distribusi kenaikan pendapatan rumah tangga di Jawa berada pada posisi divergen. Jika pemerintah dapat menata ulang posisi sektor industri makanan, minuman dan tembakau serta sektor perdagangan, restoran dan hotel, maka output sektor-sektor lainnya akan meningkat, yang pada gilirannya akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Bonar dan Susilowati (2008) menganalisis dampak berbagai kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan sektoral, tenaga kerja dan rumah tangga. Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah, ekspor, investasi dan insentif pajak. Analisis menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Simulasi kebijakan di sektor agroindustri dilanjutkan untuk menganalisis distribusi pendapatan

menggunakan data SNSE dan SUSENAS. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan ekspor, investasi dan insentif pajak di sektor agroindustri berdampak menurunkan kesenjangan pendapatan sektoral, tenaga kerja dan rumah tangga. Kebijakan ekspor dan investasi di sektor agroindustri makanan berdampak menurunkan kesenjangan pendapatan lebih besar dibandingkan kebijakan di sektor agroindustri non makanan. Kebijakan ekonomi yang paling efektif menurunkan kesenjangan pendapatan adalah meningkatkan investasi di sektor agroindustri prioritas.

Firman dan Herlina (2004) meneliti tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan pada peternak sapi perah di wilayah kerja KUD Sinar Jaya Kabupaten Bandung. Objek dari penelitian ini adalah peternak sapi perah yang menjadi anggota koperasi. Jumlah responden yang dipilih untuk dijadikan sampel sebanyak 69 orang yang dilakukan secara proporsional. Hasil analisis pada tingkat kemiskinan dilakukan berdasarkan dua standar kemiskinan, yaitu berdasarkan Biro Pusat Statistik dan Bank Dunia. Adapun kondisi kemiskinan dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu miskin persistent dan miskin transient/vulnerable. Tingkat kemiskinan yang terjadi pada peternak sapi perah di wilayah KUD tersebut menunjukkan jumlah peternak miskin yang dikategorikan miskin

persistent sebanyak 14 orang (20,29%) berdasarkan standar BPS atau 24 orang (34,78%) berdasarkan standar Bank Dunia. Sedangkan responden yang dikategorikan sebagai miskin vulnerable sebanyak 32 orang (46,38%) berdasarkan standar BPS atau 22 orang (31,88%) berdasarkan standar Bank Dunia. Berdasarkan analisis tersebut menunjukkan bahwa yang tidak termasuk kategori

miskin berjumlah 23 orang (baik berdasarkan standar BPS ataupun Bank Dunia). Bila ditinjau dari tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dari parat peternak sapi perah di wilayah tersebut menunjukan nilai Gini Rationya sebesar 0,2149. Ini berarti bahwa tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di tingkat peternak sapi perah relatif rendah. Rendahnya tingkat ketimpangan tersebut menunjukkan bahwa antara peternak kaya dan miskin tidak terjadi gap yang lebar. Hal ini menandakan bahwa jumlah kepemilikan ternak tidak dapat dijadikan ukuran untuk melihat ketimpangan namun produktivitas dan kualitas susu-lah yang berpengaruh terhadap pendapatan peternak.

Dinlersoz, Emin M. (2004) meneliti bahwa sebagian didorong oleh perbedaan dalam komposisi industri lintas kota, untuk beberapa kota industri yang lebih besar cenderung mengakomodasi lebih banyak pekerja melalui sebuah ekspansi pada pembangunan industri, namun rata-rata ukuran pembangunan tidak berpengaruh signifikan.