• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.9. Penelitian Sejenis

Ada beberapa hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang membahas tentang wilayah pesisir dan mitigasi bencana serta model pengembangannya secara berkelanjutan. Berikut ini dikemukakan beberapa ringkasan diantaranya.

Fandora (2006) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul ‘Pengelolaan Pesisir Terpadu’ telah mengemukakan perbedaan antara wilayah pesisir utara dan selatan Jawa Barat. Diawali dengan penjelasan tentang karakteristik wilayah, potensi kawasan, permasalahan dengan penekanan kepada laju abrasi di pesisir utara dan pertambangan yang merusak lingkungan di pesisir selatan, sampai dengan perlunya pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal zone management). Selanjutnya dikemukakan hambatan utama untuk menerapkan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yaitu tidak adanya kepastian hukum. Akhirnya dikemukakan bahwa RUU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil diharapkan dapat menjadi solusi seluruh permasalahan yang menghambat penerapan pengelolaan pesisir terpadu tersebut.

Setyawan (2007) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Bencana Geologi Di Daerah Pesisir’ mengemukakan bahwa selama ini masyarakat berpendapat bahwa gelombang yang dapat menimbulkan kerusakan, hanya gelombang yang berasal dari bagian Barat dan Selatan Indonesia saja. Hal ini ternyata tidak benar, karena konfigurasi kepulauan Indonesia dengan empat pulau besar mengakibatkan arus yang terjadi di perairan dalamnya akan mengakibatkan gelombang pasang merusak pantura Jawa. Abrasi yang terjadi di pesisir Indramayu merupakan yang terparah kedua setelah abrasi di pesisir NAD.

Interdisiplin, Tantangan dan Peluangnya’ mengemukakan bahwa untuk menata kegiatan rekreasi bahari di pesisir Wadden Belanda Utara seperti olahraga air, pemancingan ikan, penerbangan ringan dan kegiatan yang kontroversi yaitu eksploitasi gas alam, diperlukan pendekatan Sistem Pengambilan Keputusan yang akan menyelesaikan analisis dari berbagai disiplin keilmuan. Seluruh kegiatan pariwisata bahari tersebut menyesuaikan dengan tujuan kebijakan pembangunan yaitu, perlindungan Pesisir Wadden sebagai kawasan alami yang berkelanjutan. Kondisi perbatasan pengelolaan kegiatan kawasan Wadden, harus aman terhadap banjir pesisir dan aksesibilitas keluar masuk kawasan harus terpelihara sehingga seluruh aktifitas ekonomi dan rekreasi tetap terjaga.

Allison dan Horemans (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan’ menggabungkan suatu kerangka kerja konseptual operasional untuk menyiapkan pedoman perumusan kebijakan dan praktek pengembangan pesisir. Prinsip Sustainable Livelihood Approach

(SLA) adalah meletakan kegiatan sosial ekonomi masyarakat pesisir dalam pusat analisis, mengutamakan batas-batas sektor, memperkuat hubungan makro-mikro menjadi lebih responsif dan partisipatif, membangun pada kekuatan, dan menerapkan wawasan keberlanjutan.

Gambar 15. Kerangka matapencaharian nelayan untuk memahami sistem pengelolalaan sumberdaya alam pesisir

Sumber : Allison dan Horemans (2006)

Pendekatan SLA ini sudah diterapkan secara luas dalam penelitian pengembangan pesisir dan perikanan, dan sudah didesiminasikan sebagai Konteks Kerentanan • Guncangan • Kecenderungan • Musiman Aset Matapencaharian • Manusia • Alam • Keuangan • Fisik Sosial PIP • Kebijakan • Kelembagaan • Proses Hasil Matapencaharian • Pendapatan/ Kesejahteraan meningkat • Kerentanan Menurun • Ketahanan Pangan meningkat • Berkelanjutan meningkat dgn basis sumber daya alam • Pemberdayaan termasuk Sosial

rancangan pengembangan program internasional, walaupun pengalaman lapangan secara luas belum terdokumentasikan. Program SLA yang melibatkan 25 negara Afrika Barat telah membantu meluruskan kebijakan perikanan berkelanjutan dengan inisiatif pengurangan kemiskinan di pesisir sekaligus membuktikan bahwa kemiskinan tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan (over-exploited fish resources).

Tobey dan Torrel (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Kemiskinan pesisir dan pengelolaan kawasan pesisir yang diproteksi di daratan Tanzania dan Zansibar (Marine Protected Area)’, membahas keterkaitan antara kemiskinan dan konservasi pesisir serta menemukan bahwa kemiskinan masyarakat pesisir seringkali memicu masyarakat melanggar peraturan perundangan pengelolaan. Oleh karena itu kemiskinan menambah kesulitan upaya mewujudkan program konservasi (yang merupakan landasan ketahanan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana). Mereka menyimpulkan bahwa keefektifan dan keberhasilan program Proteksi Kawasan Pesisir (MPA) dalam mencapai tujuan konservasi dan pembangunan sangat beragam, tetapi persepsi masyarakat sangat positif sehingga keberhasilan program MPA itu membutuhkan waktu lama dan investasi yang besar.

Peng et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Ukuran manfaat sosio ekonomi dari Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Zone Management): Aplikasi di Xiamen’, China mengemukakan sebuah pendekatan sistematik untuk mengukur seluruh manfaat social eokonomi dikaitkan dengan program pengelolaan pesisir terpadu (ICZM). Permasalahan multi sektor di lingkungan wilayah pesisir perlu diselesaikan dengan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal zone management). Pakar sepakat bahwa indikator penilaian keberhasilan dari program pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah manfaat sosio-ekonomi. Tetapi secara spesifik konsep terpadu masih belum jelas, karena peran dari berbagai variable penting dalam kerangka kerja analitik dan interaksi diantaranya belum dipahami dengan baik. Kasus Xiamen sangat menarik untuk dikemukakan karena wilayah pesisir yang semula aktifitasnya semrawut dan membuat kualitas lingkungan pesisir rusak (abrasi, polusi, dan kumuh) dalam sepuluh tahun melalui The Xiamen Demonstration Project yang dimulai pada tahun 1992 dan merupakan kerjasama antara the Global Environment Facility/United Nations Development Program/International Maritime Organization

Marine Areas in the East Asian Seas (MPA-EAS). Xiamen telah berubah menjadi suatu wilayah pesisir yang menarik dan aktifitasnya meningkat serta kualitas lingkungannya bertambah baik. Daratan seluas 1.565 km2 dan lautan seluas 340 km2 dengan garis pantai sepanjang 234 km telah menarik penduduk yang pada tahun 1980 kurang dari 1 juta jiwa menjadi sekitar 2 juta jiwa pada tahun 2001. Kegiatan ekonomi meningkat dengan pembangunan pelabuhan, transportasi laut, perkapalan, perikanan, permukiman pesisir, hotel, dan aquaculture serta wisata bahari. Program ICZM telah mereduksi multi konflik akibat pemanfaatan wilayah yang tumpang tindih dan meningkatkan perlindungan terhadap satwa langka seperti ikan lumba-lumba putih yang di dunia hanya ada di pesisir Xiamen. Dalam waktu sekitar 8 tahun manfaat sosioekonomi yang diperoleh dari program ICZM telah meningkat sekitar 40 %. Pendapatan dari pelabuhan meningkat 4.4 kali, pendapatan dari transportasi meningkat 35.09 kali, pendapatan dari perikanan menurun 0.7 kali, pendapatan dari pariwisata meningkat 2.74 kali dan pendapatan total meningkat 3.1 kali. Menurut UNDP, ICZM yang diterapkan di Xiamen, Cina dianggap berhasil dan dapat dijadikan pembelajaran bagi negara maritim lainnya.

WRI–IUC–UNEP (1992) dalam publikasi ilmiahnya yang berjudul Global Biodiversity Strategy. Guidelines for Action to Save, Study, and Use Earth’s Biotic Wealth Sustainably and Equitably mengemukakan konsep Bioregion yaitu batas darat dan perairan yang ditentukan bukan oleh batas secara politik, akan tetapi oleh batas geografis dari komunitas manusia dan sistem lingkungan . Luas area ini harus cukup besar guna mempertahankan integritas komunitas biologi wilayah tersebut; untuk menyokong proses ekologi yang penting seperti siklus nutrien dan limbah, migrasi dan aliran arus; untuk menjaga habitat dari spesies penting; dan juga komunitas manusia.

Hanson (2007) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul Upaya Pengurangan Risiko Bencana di Pesisir (coastal disaster counter measures) mengemukakan bahwa upaya pencegahan bencana pesisir dapat dilakukan dengan berbagai upaya, yaitu Tidak ada tindakan (no action), Relokasi/Mundur (retreat), Akomodas/Adaptasi (accommodation/adaptation), Stabilisasi (slope protection/revetment/seawall), Pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), Penahan sedimentasi sejajar pantai (groyne), Pengaman pantai (beach protective) dan vegetasi.

pembangunan seperti biasa, dimana penggunaan lahannya sangat tidak teratur dengan keuntungan tidak dibutuhkan biaya pengelolaan, tidak ada dampak sampingan dan tidak ada pembangunan konstruksi. Tetapi kerugiannya adalah berlangsungnya abrasi dan banjir pesisir yang berkelanjutan, serta dibutuhkannya biaya tidak langsung yang cukup besar seperti evakuasi warga yang menjadi korban bencana, pembangunan hunian

sementara, rehabilitasi kawasan dan kegiatan sosioekonomi yang terganggu.

• Relokasi (retreat) dengan memundurkan permukiman menjauh dari pantai. Sebagai bentuk pembangunan skala rendah secara umum melaksanakan evakuasi gradual dengan durasi dan tempo yang cukup seimbang serta adanya perubahan nilai kepemilikkan. Keuntungan yang diperoleh adalah kegiatan pembangunan skala rendah dengan biaya sedang. Tetapi kerugiannya adalah berkurangnya fungsi lahan dan perlu investasi serta implikasi sosial secara luas.

• Akomodasi melalui upaya adaptasi yaitu meninggikan hunian dengan mengangkat lantai rumah sedemikian rupa sehingga terhindar dari hantaman gelombang pasang. Keuntungannya adalah tidak ada masalah sosial dan pembangunan prasarana perlindungan pantai. Tetapi kerugiannya adalah semua pembiayaan pembangunan dipikul sendiri, dan jika konstruksinya kurang baik berisiko rubuh dihantam gelombang pasang atau tsunami.

• Stabilisasi dengan membuat pengaman lereng (slope protection/seawalls) pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), tanggul/krib (groyne),

pengaman gisik (protective beaches)dan vegetasi.

o Pengaman lereng (slope protection/revetment/seawalls) yang memisahkan daratan dan lautan untuk meredam hantaman gelombang. Kerugiannya biaya awal cukup tinggi, mengurangi akses ke pantai, meningkatkan refleksi gelombang, tidak ada proteksi tanggul pantai dan abrasi jatuh menyimpang.

o Pemecah gelombang (breakwater) yang sejajar dengan pantai atau terpisah tetapi tetap sejajar pantai (detached breakwater). Keuntunganya efisien menahan pergerakan sedimentasi, melindungi terjadinya abrasi lepas pantai, energi gelombang terbatas dan tidak ada struktur di pantai. Kerugiannya tidak melindungi terhadap banjir, erosi jatuh menyimpang.

o Krib (groyne) yang tegak lurus pantai dengan konstruksi dan panjang yang terbatas untuk mencegah sedimentasi yang bergerak sejajar/sepanjang pantai, menghambat abrasi atau mencegah material pantai runtuh tergerus ke lokasi sedimentasi yang bergerak tadi. Kerugiannya abrasi jatuh menyimpang.

o Pengaman gisik (protective beaches) dengan membuat gunuk (dune

kondisi pasca kerusakan minor, biayanya murah, estetis dan tahan lama. Kerugiannya adalah sensitif terhadap gelombang yang berkepanjangan, dan awal perawatannya memerlukan persyaratan tertentu .

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Indramayu, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, dan wilayah pesisir Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis. Letak Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis dalam peta skematis Provinsi Jawa Barat ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 16. Lokasi penelitian pada peta skematis Provinsi Jawa Barat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2007 sampai pertengahan Juni 2008. Pertimbangan penentuan lokasi adalah sebagai berikut :

1. Di Indonesia ada dua setting lingkungan pesisir yang berbeda yang dilanda oleh bencana gelombang badai, yaitu pesisir yang menghadap samudera Hindia dan pesisir yang berada di lingkungan dalam perairan Indonesia, yaitu wilayah pesisir Indramayu yang menghadap ke timur (Setyawan, 2007). 2. Selain gelombang pasang, pantai utara Jawa juga terkena abrasi pantai

yang mengakibatkan hilangnya lahan daratan pesisir pantai dan bergesernya garis pantai ke daratan, serta akresi yang mengakibatkan timbulnya lahan daratan di muara-muara sungai (DKP dan DPU, 2007).

3. Kawasan pantai Pangandaran adalah andalan sektor pariwisata Provinsi Jawa Barat yang pada tahun 2006 baru saja mengalami bencana tsunami (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007).

Dokumen terkait